Vanya sudah sampai di depan ruang ICU Rumah Sakit Cipta, di sana Vanya melihat ibunya, Utari Purnomo yang menunggu dengan cemas, wajahnya tampak lelah, sudah beberapa hari ini Utari kurang tidur karena mengurus suaminya yang sakit.
"Ibu..." ucap Vanya lirih, sambil mempercepat langkah menuju Ibunya.
Utari langsung bangun dari duduknya ketika mendengar suara anak gadisnya memanggil, Vanya memeluk ibunya dan langsung bertanya tentang keadaan ayahnya.
Utari menjelaskan jika ayahnya masih tidak sadar dan perlahan kondisinya sudah membaik, namun dokter menyarankan jika ayah Vanya secepatnya melakukan operasi cangkok ginjal (transplantasi ginjal), apalagi beberapa hari yang lalu pihak Rumah Sakit mendapat kabar jika ada seorang pendonor yang bersedia mendonorkan ginjalnya.
Keluarga Vanya saat ini berada dalam keadaan yang sulit, semenjak ayahnya sakit, bisnis keluarga mereka berantakan, ayahnya mengidap penyakit gagal ginjal akut dan itu membuat ayahnya harus melakukan cuci darah secara rutin.
Pagi ini, ayah Vanya tiba-tiba tidak sadarkan diri, yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.
Walaupun sudah ada pendonor, itu tidak semata-mata menyelesaikan masalah, biaya untuk operasi cangkok ginjal mencapai 250 Juta sampai 400 Juta, dengan kondisi ekonomi keluarga Vanya yang sekarang tentu saja nominal biaya operasi itu sangat besar.
"Ibu tidak usah memikirkan itu, aku akan mencari cara agar ayah dapat dioperasi secepatnya."
Vanya berusaha meyakinkan ibunya yang terlihat lelah dan juga cemas, Vanya sendiri bingung di mana dia akan mendapatkan uang sebanyak itu, namun setidaknya dengan bersikap tenang dia bisa membuat ibunya tidak semakin terbebani.
"Iya Nak, Ibu percaya padamu."
Tentu saja Utari menyadari jika putrinya hanya berusaha bersikap tenang di hadapannya. Utari juga tidak mau terlihat semakin menyedihkan dengan terus cemas dan panik di hadapan putri tercintanya ini.
Mata Utari kini tertuju pada perban yang membalut tangan putrinya.
"Vanya kenapa tanganmu Nak?" Wajah Utari terlihat panik begitu melihat perban putih yang membalut tangan putrinya.
"Tidak apa-apa Ibu, ini hanya luka kecil."
Vanya menjawab pertanyaan ibunya tanpa menyebut kecelakaan yang menimpanya, dia tidak mau menambah beban pikiran Ibunya.
"Kamu yakin? Apakah perlu diperiksa ke dokter? Bagaimana bisa kamu mengendarai motor dari Jakarta ke Bogor dengan tangan seperti itu?"
Utari kembali bertanya karena khawatir jika luka yang diderita anaknya lebih parah dari kelihatannya, apalagi ibunya tahu tidak mudah bagi seorang gadis menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan menggunakan sepeda motor.
"Tidak usah Ibu... ,tadi di kantor ada sedikit insiden kecil, lagian aku tidak menggunakan motor kesini, aku diantar oleh Vicky."
Tanpa sadar Vanya menyebut nama Vicky di depan ibunya.
"Oh, Vicky?! Siapa dia?" Dengan sedikit terkejut dan menggunakan nada menggoda, Ibunya bertanya tentang pemuda yang namanya baru saja disebut oleh anaknya.
Utari sangat mengenal anaknya, dia tahu jika Vanya tidak pernah sama sekali dekat dengan pria. Vanya selalu memikirkan pendidikan dan karir jadi sangat mengejutkan saat Vanya menyebut nama seorang pria.
Vanya sontak kaget ketika ibunya bertanya tentang Vicky, dia tidak sadar sudah menyebut nama Vicky dengan santainya, wajahnya tersipu malu.
"Itu... umm... teman, Bu, iya teman..." Dengan gugup Vanya menjawab pertanyaan ibunya, matanya menatap ke plafon rumah sakit seakan-akan di plafon rumah sakit itu ada jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.
Melihat tingkah lucu anaknya Ibu Vanya tertawa. "Ya sudah...nanti kamu harus mengenalkan Ibu ke temanmu yang bernama Vicky itu, dia sudah sangat baik mengantar kamu sampai disini."
"Iya Ibu sayang," Jawab Vanya manja kepada ibunya.
Vanya dan ibunya kembali melanjutkan pembicaraan mereka dengan suasana hati yang sedikit lebih baik.
—
"Pak Barry." Vicky memanggil Barry yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Iya Tuan Muda," jawab Barry sambil berjalan mendekat ke arah Tuan mudanya.
"Coba cari tahu keadaan ayah Vanya ke pihak Rumah Sakit, sekalian titip pesan ke Vanya melalui petugas jaga jika besok malam kita akan kembali ke sini."
"Siap Tuan Muda," jawab Barry yang langsung melaksanakan perintah dari Vicky.
Setelah menyampaikan itu kepada Barry, Vicky menuju halaman depan rumah sakit, beberapa saat kemudian Barry sudah menyelesaikan tugasnya. Barry segera mengambil mobil yang berada di parkiran dan menjemput Vicky yang menunggu di depan pintu masuk Rumah Sakit.
Setelah Vicky naik tak berselang lama mobil mereka meninggalkan Rumah Sakit Cipta.
"Jadi informasi apa yang Pak Barry dapat dari Rumah Sakit?" Vicky bertanya kepada Barry sambil menatap langit yang sudah terlihat mendung.
"Ayah Nona Vanya menderita gagal ginjal yang sudah cukup parah, dokter mengatakan jika Ayah Nona Vanya harus segera melakukan operasi, kebetulan beberapa hari yang lalu Rumah Sakit Cipta mendapat kabar ada pendonor yang bersedia, namun sepertinya kondisi ekonomi keluarga Nona Vanya sedang tidak baik, hal itu yang membuat operasi belum dilakukan, jadi apa perintah tuan muda?"
Barry sudah mengerti jika setelah menyampaikan informasi, Vicky pasti akan langsung meminta Barry untuk bertindak, oleh karena itu dia langsung menanyakan kepada Vicky instruksi selanjutnya.
"Kalau begitu urus semua biaya rumah sakit dan minta dokter untuk segera melakukan operasi, dan untuk masalah Eddy tadi, buat dia agar menghormati Vanya, aku tidak mau kejadian serupa kembali terjadi," balas Vicky.
"Siap Tuan Muda," jawab Barry singkat.
Ketika menoleh ke tempat di mana Vanya tadi duduk, Vicky melihat jaket biru gelap yang tadi dikenakan Vanya.
Karena tadi terburu-buru dan cemas Vanya lupa mengambil jaketnya, Vicky lalu meraih jaket yang berada di sampingnya.
Tak sengaja tangannya menyentuh saku bagian dalam jaket milik Vanya, dia menyadari ada sesuatu di dalamnya, Vicky mengeluarkan benda yang berada di saku jaket Vanya, yang ternyata adalah dompet milik Vanya.
"Gadis ceroboh," batin Vicky sambil menyunggingkan senyum tipis.
Vicky membuka dompet Vanya, di dalamnya ada beberapa lembar pecahan uang seratus ribu, kartu ATM, dan beberapa kartu identitas. Vicky menarik kartu tanda pengenal milik Vanya, dia lalu melihat data yang tertera disitu.
"2 Februari? Bukannya itu besok?" pikir Vicky sambil melihat jam tangannya.
Ketika melihat tanggal lahir Vanya terbesit sebuah ide di benak Vicky.
"Pak Barry, besok tolong buka rekening di Bank Bumi Angkasa menggunakan identitas ini."
Vicky menyerahkan kartu yang berada di tangannya kepada Barry.
"Siap Tuan Muda," balas Barry sambil menerima kartu yang diserahkan Vicky.
Barry melihat sekilas identitas yang tertera di kartu, dia lalu memasukkannya ke dalam saku jas yang dia kenakan.
Vicky kembali bersandar dan menatap keluar jendela.
"Pak Barry, bukankah suara Vanya sangat mirip dengan Kirana?"
"Iya Tuan Muda, aku juga terkejut sewaktu pertama kali mendengar suara Nona Vanya, dan yang lebih mengejutkan bahkan tanggal lahir mereka juga sama," balas Barry sambil melihat Vicky dari spion tengah mobil.
"Sebuah kebetulan satu berbanding sejuta," ucap Vicky sambil tersenyum dan kembali menatap keluar jendela.