BAB SEPULUH

3043 Words
Clyde masih setia memasang wajah cemberut meskipun pembicaraannya dengan Ivy sudah lama berakhir. Pria itu juga kini sedang berendam di dalam air sungai, sedang membersihkan tubuh. Meski air dingin nan segar dari sungai kini membasuh kepala dan sekujur tubuhnya tapi rupanya belum cukup mendinginkan suasana hati Clyde yang memanas karena penghinaan Ivy padanya dan sang ayah.  Clyde menoleh saat dia tiba-tiba mencium aroma yang sukses membuat cacing di dalam perutnya meronta-ronta, dari aromanya dia menebak pasti yang sedang dia cium itu merupakan aroma dari ikan bakar. Tidak mengherankan ada aroma ini karena Ivy katanya sedang menangkap ikan. Yang mengherankan adalah kenapa bisa aroma menggiurkan ini bisa dia hirup secepat ini mengingat seharusnya baru 20 menit berlalu sejak dia dan Ivy memisahkan diri dengan tujuan masing-masing. Ivy yang katanya ingin menangkap ikan, sedangkan Clyde memutuskan untuk pergi mandi.  Clyde cepat-cepat menyelesaikan aktivitas mandinya lalu dengan gerakan gesit mengenakan pakaiannya yang sengaja dia jemur di atas batu besar tepat di pinggir sungai.  Clyde yang mulai kelaparan karena aroma ikan bakar itu kini berjalan cepat menuju sumber aroma berasal. Dia pun menemukan keberadaan Ivy yang sedang sibuk memanggang ikan di atas api unggun yang Clyde tebak dibuat sendiri oleh gadis itu.  “Kau membuat apinya sendiri?” tanya Clyde memastikan. “Tentu saja aku yang membuatnya. Memangnya siapa lagi kalau bukan aku?” “Kau punya pemantik api?”  Ivy mendengus, “Aku tidak membutuhkan pemantik api untuk menyalakan api.” Clyde terbelalak karena dia kini tak paham maksud ucapan Ivy, menurutnya bagaimana bisa Ivy membuat api unggun jika tak ada alat untuk menyalakan api seperti pemantik.  “Terus kau menyalakan api dengan apa?”  Ivy melayangkan tatapan bingung bukan main karena dia kini semakin yakin Clyde memang tipe anak bangsawan yang apa pun bisa dia dapatkan dengan mudah karena bisa memerintah orang lain sesuka hatinya.  Ivy pun mengangkat dua buah batu yang tergeletak di dekat kakinya. “Aku menggunakan batu-batu ini untuk menciptakan api.”  Clyde yang baru mendengar hal itu seketika berjongkok di seberang Ivy, memperhatikan batu yang ada di tangan Ivy dengan seksama. “Bagaimana caranya dua batu itu bisa menciptakan api?” Ivy kini menggelengkan kepala, tak habis pikir ada orang selugu Clyde, apalagi dia seorang pria yang seharusnya tahu betul hal sederhana seperti itu. Begitulah pemikiran Ivy membuatnya kini semakin yakin bahwa Clyde memang tipe pria yang tidak bisa diandalkan dan harus dia jauhi setelah ini.  “Tinggal digesek-gesek. Nanti dari percikannya bisa menciptakan api asalkan kita siapkan ranting dan daun kering. Kau ini masa hal seperti ini saja tidak tahu?”  Clyde rasa-rasanya ingin menjawab tentu saja dia tak tahu karena selama ini dia selalu tinggal di istana mewah yang lengkap dengan alat canggih seperti penghangat ruangan dan tungku perapian pun disediakan jika ingin mendapatkan kehangatan secara manual langsung dari api. Jika keluar istana pun dia akan menetap di mansion, kastil atau hotel yang mewah sehingga baru kali ini dia terdampar di alam terbuka dan baru mengetahui bahwa dua buah batu jika digesek bisa menciptakan percikan api. Clyde tak peduli seandainya Ivy menganggapnya bodoh karena selama ini yang dipelajari Clyde bukan pelajaran seperti itu melainkan belajar tentang hukum di dalam kerajaan dan sistem pemerintahan yang hanya para pejabat saja yang mendalami hal ini.  “Aku memang tidak tahu makanya aku bertanya padamu.” “Kau ini memang payah. Pria tapi banyak tidak tahu. Kau ini anak bangsawan ya?” tanya Ivy seraya menelisik penampilan Clyde yang sekilas pun memang terlihat seperti anak bangsawan. Kini dia mengerti alasan ketiga perompak ingin merampoknya semalam. Terjawab sudah alasan pria itu tak bisa bela diri ataupun menggunakan senjata karena Ivy menebak pasti semasa hidupnya Clyde selalu dijaga ketat oleh pengawal yang menjaganya.  “Aku bukan anak bangsawan. Aku anak orang biasa saja.”  Ivy berdecak, apa pun yang dikatakan Clyde, meski pria itu tak mau mengaku sekalipun, dia tetap bisa menebak pria itu memang keturunan bangsawan.  “Sebenarnya aku heran kau ini kenapa bisa berkeliaran di tempat ini. Kau tidak pulang ke rumahmu?” Ivy memang penasaran sejak semalam karena Clyde terlihat berkeliaran tanpa tujuan, terlebih melihat pria itu membawa banyak perlengkapan di dalam tasnya, dia jadi curiga pria itu baru saja kabur dari rumahnya.  “Aku sedang berkelana,” jawab Clyde seraya menyengir lebar. “Berkelana? Untuk apa?” “Ya, untuk mencari pengalaman.” “Aku dengar semalam kau mengatakan pada para perompak kau ini anak yatim piatu karena orang tuamu sudah tiada, apa itu benar?”  Clyde meneguk ludah saat Ivy tiba-tiba bertanya demikian, terlebih karena tatapan Ivy kini menyiratkan kecurigaan yang mendalam. Bola mata Clyde bergulir gelisah karena pria itu sedang berusaha memutar otak untuk mencari jawaban yang tepat agar Ivy tak mencurigai apa pun.  “Hm, ibuku memang sudah meninggal. Tapi ayahku masih ada.”  Hingga pada akhirnya dia memilih berkata jujur pada Ivy, terkecuali identitas ayahnya yang akan dia sembunyikan mati-matian dari semua orang, termasuk pada Ivy. Tak boleh ada seorang pun yang tahu bahwa dia seorang putra mahkota yang sedang melarikan diri dari istana karena menolak dijodohkan.  “Ayahmu seorang bangsawan, kan?”  Clyde menggeleng-gelengkan kepala berulang kali, “Bukan. Sudah kukatakan keluargaku hanya orang biasa.”  Ivy mendecih, tak percaya karena dari suara Clyde yang tergugu dia sudah mengetahui pria itu memang sedang berbohong.  “Hei, ikannya sudah matang tuh. Mana sini bagianku? Aku lapar.”  Clyde dengan sengaja mengalihkan pembicaraan karena tak ingin Ivy lebih jauh lagi menanyakan tentang ayah ataupun keluarganya.  Ivy bukannya tak sadar bahwa Clyde dengan sengaja mengalihkan topik pembicaraan, hanya saja dia juga merasa tak memiliki hak untuk mendesak Clyde menceritakan jati diri yang sebenarnya walau dia semakin curiga ada yang disembunyikan pria itu.  Ivy menyerahkan satu ikan yang sudah ditusuk dengan ranting pohon. Ikan itu sudah matang dan Clyde memakannya tanpa ragu.  “Adududududuh … panas, panas!” Clyde berteriak dengan heboh karena dia memakan ikan itu tanpa meniupinya terlebih dahulu. Sekali lagi Ivy menggelengkan kepala, kini bukan hanya lugu tapi pria itu dia anggap sangat ceroboh.   ***   Clyde sedang duduk di balik batu besar saat ini karena Ivy sudah mewanti-wanti agar dirinya berjaga selama gadis itu sedang mandi. Alasan dia duduk di balik batu besar juga karena perintah dari Ivy, tidak lain karena Ivy khawatir Clyde akan mengintipnya selama dia berendam di sungai.  Clyde menopang dagu dengan siku yang tertekuk, begitu pun dengan wajahnya yang menekuk masam, luar biasa jengkel. Dia ingat betul bagaimana Ivy tadi memberinya perintah seenaknya di saat seumur hidup Clyde, tak pernah ada yang berani bersikap kurang ajar seperti itu padanya.  Hei, sejak dilahirkan Clyde itu sudah dinobatkan sebagai seorang pangeran. Dan begitu usianya menginjak 15 tahun dia sudah resmi dinobatkan sebagai putra mahkota, tentu saja yang dia jalani biasanya hidup dengan dikelilingi kemewahan, harta  dan juga kekuasaan. Clyde dengan leluasa bisa memberikan perintah pada semua orang yang tak ada seorang pun berani membantahnya. Dia begitu dihormati dan dipuja. Tapi sekarang bahkan seorang gadis jelata begitu berani memerintahnya. Seandainya dia sedang berada di istana pasti sudah dia beri hukuman yang cukup berat pada gadis tak tahu etika itu.  “Kenapa aku harus berjaga di sini? Padahal tempat ini sudah pasti aman. Mana mungkin ada perompak yang beraksi siang bolong seperti ini,” gumam Clyde yang meyakini Ivy berlebihan dengan menyuruhnya berjaga selama gadis itu sedang mandi.  Di tengah-tengah suasana hati Clyde yang luar biasa buruk, pria itu dikejutkan oleh sesuatu yang dia rasakan merayap di punggungnya. Clyde terbelalak, yakin dengan seyakin-yakinnya ada sesuatu yang sedang berjalan-jalan di punggungnya, itu pasti seekor hewan tapi dia tak tahu hewan apa itu.  Clyde pun meraba punggungnya, terkesiap saat menyadari hewan itu memiliki ruas-ruas aneh dan kenyal saat dia tekan. Dia pun mengambil hewan yang menempel di punggungnya tersebut, terbelalak hingga refleks melemparnya begitu menyadari itu seekor ulat yang mungkin jatuh dari pohon yang tumbuh di dekat batu tempat Clyde duduk sejak tadi.  Clyde spontan bangkit berdiri, bermaksud untuk pindah tempat, dia tak sengaja berbalik badan dan menatap ke arah Ivy yang sedang berendam di air sungai. Gadis itu tak menyadari Clyde sedang menatapnya dari balik batu karena dia sedang sibuk membasuh rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai ke samping bahu. Rambut panjang Ivy yang selalu diikat sejak bertemu dengan Clyde semalam, kini dibiarkan tergerai dengan indah. Clyde tanpa sadar meneguk ludah melihat betapa cantik Ivy saat ini dengan rambut terurai panjang.  Bahu telanjang Ivy juga bisa dia lihat dengan jelas, Clyde seketika menegang saat teringat pada kejadian semalam dimana dia nyaris melakukan tindakan tak senonoh pada gadis itu saat tak sadarkan diri. Clyde ingat tangannya nyaris menyentuh sesuatu yang berharga milik Ivy yang seharusnya tak dia sentuh. Diam-diam Clyde bersyukur karena dia tak jadi melakukan tindakan tak senonoh tersebut.  Namun, sekarang melihat tubuh Ivy yang elok nan indah, Clyde hanya bisa meneguk ludah. Sebagai seorang pria normal tentu saja sekarang dia merasakan desiran aneh, bukan hanya pada tubuhnya tapi kali ini pada hatinya juga.  “Dia memang cantik,” gumamnya sembari mengulas senyum. Jangan lupakan semburat merah yang kini mulai bermunculan di kedua pipinya.  Clyde memilih kembali mendudukan diri dan tak jadi berpindah tempat karena tak ingin Ivy sampai memergokinya sempat mengintip barusan.  “Sayangnya dia juga galak dan menyeramkan.”  Ya, karena bagi Clyde kemampuan bela diri Ivy yang hebat meskipun dia seorang wanita membuatnya merasa Ivy memang sangat menyeramkan. Jika kembali mengingat dia yang sempat ditendang sampai membentur dinding gubuk, tak diragukan lagi Ivy memang gadis yang galak.  Tapi entah kenapa Clyde justru merasa beruntung karena sudah dipertemukan dengan gadis pemberani seperti Ivy. Berharap pertemuan dan kebersamaan mereka tak akan cepat berlalu.   ***   Ivy mendapati sikap Clyde berubah aneh setelah dia selesai mandi. Pria itu tiba-tiba saja menghindarinya dan secara terang-terangan selalu membuang muka setiap kali mereka tanpa sengaja saling bertatap muka. Padahal tadi pria itu bersikap biasa saja, Clyde mulai bersikap aneh memang sejak dia selesai mandi.  “Kau ini kenapa aku perhatikan sejak tadi jadi aneh?” tanya Ivy karena tak kuasa lagi menahan rasa penasarannya dengan perubahan drastis sikap Clyde tersebut. Padahal biasanya Clyde selalu berisik dan bersikap seolah mereka sudah lama dekat walau sebenarnya mereka baru bertemu dan berkenalan semalam. Itu pun pertemuan dan kebersamaan mereka ini bisa terjadi karena sebuah insiden tak terduga.  Clyde menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, tak mungkin juga mengatakan dengan jujur bahwa dia berusaha tak menatap wajah dan tubuh Ivy karena tak ingin pikirannya kembali melanglang buana pada kejadian semalam dan tadi saat dia mengintip Ivy yang sedang mandi.  “Aku tidak menghindarimu. Kenapa juga aku harus menghindarimu?” Tatapan Ivy semakin memicing tajam karena dia bisa menangkap reaksi panik dari gelagat tubuh dan ekspresi wajah Clyde. “Kau tidak mengintipku saat mandi tadi, kan?”  Clyde melebarkan mata, bukan karena dia takut tertangkap basah tapi karena dia takjub dengan tebakan Ivy yang tepat sasaran karena dia yakin Ivy sama sekali tak melihat apalagi menyadari Clyde memang sempat mengintipnya walau itu murni sebuah ketidaksengajaan.  “Tidak. Untuk apa aku mengintipmu? Aku bukan pria tidak beretika seperti itu ya,” sanggah Clyde, tentu tak mungkin mengakui yang sebenarnya karena dia masih belum mau kehilangan nyawa. Clyde bergidik ngeri membayangkan entah apa yang akan dilakukan Ivy padanya jika dia ketahuan sempat mengintip.  “Bagus kalau kau memang tidak mengintip. Awas saja kalau kau ketahuan berbohong.” Clyde berdeham, “Memangnya kau akan melakukan apa padaku jika aku ternyata ketahuan berbohong?”  Dengan gerakan tangannya yang seolah tengah menggorok lehernya sendiri, Ivy berkata, “Maka bersiaplah kehilangan kepalamu.”  Clyde meneguk ludah. Apa dirinya akan dipenggal gadis itu jika ketahuan berbohong? Clyde kembali bergidik ngeri, ternyata konsekuensi yang harus dia dapatkan jika ketahuan berbohong dan sempat mengintip Ivy tidak ada bedanya dengan eksekusi untuk penjahat kelas kakap yang dianggap berbahaya untuk kerajaan.  Clyde menghela napas panjang, ternyata Ivy memang seberbahaya itu, dia harus berhati-hati sekarang jika berbicara maupun bersikap di depan Ivy.  “Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Sudah cukup kan istirahatnya? Kau sudah puas meminum air sungai itu?”  Clyde berdecak jengkel, “Sudah puas. Kau pikir aku ikan yang harus terus meminum air?” “Kau kan sejak meninggalkan gubuk merengek terus karena kehausan jadi selagi kita masih di sini puaskan dahagamu agar tidak haus lagi. Setelah ini tak ada lagi yang namanya istirahat atau mampir ke suatu tempat. Kita harus cepat pergi ke padepokan.” Ivy menegaskan dia tak akan menerima alasan apa pun lagi jika Clyde mencoba mengulur-ulur perjalanan mereka padahal dia sudah tak sabar ingin segera tiba di padepokan karena sangat yakin semua penghuni padepokan kini sedang mengkhawatirkan dirinya yang sejak kemarin tidak pulang.  “Iya, iya. Aku tidak akan menghentikan lari kudanya lagi. Ya sudah, ayo, kita lanjutkan perjalanan.”  Setelah berkata demikian, Clyde bermaksud membantu Ivy naik ke punggung kuda seperti sebelumnya. Namun lagi-lagi gadis itu mengabaikan niat baiknya karena dia naik dengan sendirinya ke punggung kuda tanpa mengalami kesulitan sedikit pun. Luka di pinggangnya juga tak lagi terasa sakit.  “Wah, pinggangku sudah tidak sakit. Obat milikmu memang mujarab.”  Clyde mendengus, tak merasa senang sedikit pun dengan pujian Ivy itu, dia kesal karena untuk kedua kalinya Ivy mengabaikan kebaikannya yang ingin membantu. Pria itu lalu ikut melompat naik ke punggung kuda, duduk tepat di belakang Ivy seperti sebelumnya. Namun, saat akan memegang tali kekang kuda, Clyde terkejut karena Ivy tiba-tiba mengambil alih tali itu.  “Biar aku saja yang mengendalikan kudanya.”  Clyde ingin melakukan protes, tapi belum sempat dia mengeluarkan suara, sang gadis sudah memacu kuda agar berlari cepat tanpa menunggu persetujuannya.  Menyadari tak ada gunanya dia menolak, toh tali kekang kuda sudah berada di tangan Ivy, Clyde hanya bisa mengalah dan memilih membiarkan gadis itu melakukan apa pun yang dia inginkan.  Di sepanjang jalan tak ada satu pun di antara mereka yang mengeluarkan suara. Ivy yang fokus mengendalikan kuda, sedangkan Clyde yang lebih memilih menikmati keindahan tempat yang mereka lewati alih-alih mengajak gadis itu berbincang.  Setelah hampir 30 menit melakukan perjalanan, Ivy akhirnya menghentikan lari sang kuda. Gadis itu lalu melompat turun tanpa menjelaskan apa pun pada Clyde yang masih setia duduk di punggung kuda.  “Kita sudah sampai di padepokanmu?” tanya Clyde, memastikan. “Sudah. Pedepokan tempatku tinggal ada di depan sana,” kata Ivy, jari telunjuknya terarah lurus ke depan, pada jalan setapak yang harus dilalui jika ingin menuju padepokan.  “Kau pergi saja.Terima kasih atas tumpangannya.”  Clyde terbelalak, tak menyangka Ivy begitu tega mengusirnya. “Aku tidak ditawari mampir di pedepokanmu?”  Kedua alis Ivy menyatu, hingga suara dengusannya kini mengudara, “Yang benar saja? Kenapa aku harus menawarimu mampir ke padepokan?” “Hei, kau ini kejam sekali ya. Padahal aku ini sudah berbaik hati memberimu tumpangan dan mengantarmu sampai sini.” “Aku tidak pernah memintanya, kau sendiri yang menawarkan diri untuk mengantarku.” “Lantas tidak ada balasan darimu sebagai bentuk terima kasih?” “Kau tidak ikhlas menolongku?”  Clyde memutar bola mata, “Ini bukan masalah ikhlas atau tidak, tapi ini masalah sopan santun dan etika. Masa kau mengusir orang yang sudah berbaik hati mengantarmu pulang, apalagi aku ini sudah menyelamatkanmu?”  Ivy kini bersedekap d**a sembari mengangkat dagu, memasang ekspresi luar biasa angkuh di hadapan Clyde yang tak dia ketahui identitas aslinya sebenarnya merupakan seorang putra mahkota yang harus dia hormati.  “Kau sepertinya lupa aku juga sudah menyelamatkan nyawamu?” “Kau hanya menyelamatkanku sekali. Sedangkan aku berkali-kali. Perlu aku sebutkan satu-satu? Baiklah, akan aku sebutkan,” kata Clyde, begitu menggebu-gebu. “Pertama, aku menyelamatkanmu karena berkat obat milikku luka di pinggangmu sekarang membaik. Berkat obat itu juga kau selamat karena pendarahannya berhasil dihentikan.”  Sorot mata Ivy semakin tajam tapi suaranya tak mengalun barang sepatah kata pun.  “Kedua, berkat obatku juga demammu yang tinggi berhasil kembali menjadi normal. Semalam aku juga yang mengganti pakaianmu yang basah kuyup oleh keringat dan menghangatkan tubuhmu saat menggigil kedinginan. Jika bukan karena pertolonganku maka sudah dipastikan kau tidak akan bisa berdiri dan kembali segar bugar seperti sekarang.”  Karena Ivy masih diam membisu, Clyde berpikir dia belum cukup menyebutkan semua kebaikannya pada gadis itu.  “Selain itu ....” “Baiklah, aku mengerti. Tanpa kau sebutkan pun aku tahu jasamu lebih banyak dari jasaku padamu. Sekarang aku tanya kau mau apa mampir ke padepokanku?” tanya Ivy, terlihat menantang.  “Hanya ingin melihat-lihat sebentar. Lagi pula mungkin aku bisa berkenalan dengan teman-temanmu di sana.”  Ivy memutar bola mata, “Bukan teman tapi mereka semua keluargaku.” “Ya, ya, terserah kau. Yang pasti izinkan aku mampir. Aku juga ingin bertemu gurumu yang sudah mengajarimu bela diri hebat sehingga kau bisa jadi setangguh ini,” tambah Clyde sembari mengulas senyum lebar.  Karena merasa tak memiliki pilihan, Ivy akhirnya menyetujui. “Baiklah, kau boleh mampir ke padepokan. Tapi aku peringatkan dari sekarang …” Ivy berjalan mendekati Clyde yang masih setia duduk di atas punggung kuda. “… jangan merepotkan kami,” katanya lalu melenggang pergi begitu saja membuat Clyde gelagapan dan secepat mungkin ikut turun dari punggung kuda. Dia berjalan mengekori Ivy di belakang sembari memegangi tali kekang sang kuda agar berjalan mengikutinya.  “Huh, bukannya sejak awal yang sering merepotkan itu dia?” gerutu Clyde tentu saja terlontar di dalam hati karena dia tak cukup memiliki nyali untuk mengatakannya langsung di depan Ivy.  Awalnya, Clyde berjalan santai mengikuti langkah Ivy di depan, tapi tiba-tiba Ivy menarik tangannya dan mengajak Clyde bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Clyde terheran-heran dengan reaksi Ivy yang begitu tiba-tiba dan mendadak panik ini.  “Hei, kau ini kenapa? Kenapa kita harus bersembunyi di sini?” “Sssssttttt.” Ivy meletakan jari telunjuk tepat di depan bibirnya. “Lihat ke sana,” katanya sembari menunjuk dengan dagunya ke arah depan.  Clyde pun menurut, dia ikuti arah yang ditunjuk Ivy. Di detik berikutnya Clyde hanya bisa melebarkan mata dikala menemukan ada banyak prajurit istana yang sedang berdiri di depan sebuah bangunan sederhana yang sepertinya merupakan padepokan tempat Ivy tinggal.  “Kenapa prajurit istana bisa sampai ke padepokan ini? Apa ayahanda sudah menyadari aku kabur dari istana dan memerintahkan mereka untuk mencariku sampai ke padepokan ini?” gumam Clyde di dalam hati. “Sial, kenapa prajurit-prajurit itu menemukan identitasku sebagai bagian dari padepokan? Apa penyamaranku terbongkar dan kini mereka sudah tahu bahwa aku yang mencuri stempel milik Menteri Perpajakan?” Begitu pun dengan Ivy yang batinnya tengah mengutarakan rasa heran dan kesalnya.  Kedua orang itu pun hanya bisa meneguk ludah karena sama-sama berpikir para prajurit itu sedang mencari mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD