BAB SEMBILAN

2188 Words
Ivy hanya diam membisu selama kuda yang dia tumpangi berlari dengan cepat menelusuri jalan menuju padepokan. Alasan gadis itu terdiam karena … entahlah, yang pasti dia merasa gugup karena menyadari dirinya berada dalam jarak sedekat ini dengan seorang pria. Padahal dalam kamus hidup Ivy, tak pernah dia membiarkan satu pun pria berdekatan dengannya seperti ini, terutama seorang pria asing. Pria-pria di padepokan yang sudah dia anggap seperti saudaranya sendiri jelas merupakan pengecualian.  Di mata Ivy, sosok pria yang mengenalkan diri sebagai Clyde merupakan pria misterius yang payah dan berisik. Kenapa dia menyebutnya payah? Karena pria itu begitu lemah menurutnya. Pria yang tidak memiliki ilmu bela diri atau kemampuan menggunakan senjata tidak lebih hanya pria tidak berguna karena seorang pria seharusnya memiliki kemampuan untuk melindungi orang-orang di sekitarnya apalagi hidup di zaman yang semua hal bisa menjadi berbahaya. Sistem monarki di Kerajaan Wendell yang terkadang merugikan rakyat membuat Ivy berpikir seharusnya setiap orang memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri serta orang-orang di sekitarnya. Sedangkan Clyde, jangankan melindungi orang lain, melindungi dirinya sendiri pun dia tak mampu. Buktinya sangat jelas yaitu kejadian semalam dimana pria itu sama sekali tak berdaya saat nyaris dirampok oleh ketiga perompak.  Sedangkan alasan Ivy berpikir Clyde seorang pria berisik karena mulut pria itu memang seperti wanita yang senang berteriak meminta tolong. Ivy tersenyum sendiri saat mengingat bagaimana awal pertemuan mereka dimulai karena dia mendengar teriakan pria itu yang meminta tolong.  “Kenapa kau senyum-senyum sendiri?”  Ivy terkesiap begitu mendengar pertanyaan Clyde, tak menyangka pria itu ternyata menyadari dia sedang tersenyum sendiri karena sedang menertawakan mulut Clyde yang berisik bagaikan seorang wanita.  “Aku tidak tersenyum,” sahut Ivy, tak mau mengakui. “Padahal jelas-jelas kau senyum-senyum sendiri. Jangan bilang kau sedang membayangkan ketampananku makanya senyum-senyum bagai orang gila?”  Ivy mendelik mendengar ucapan pria itu yang begitu percaya diri. Membayangkan ketampanannya dia bilang? Ivy rasa-rasanya ingin tertawa sekarang. Tapi ngomong-ngomong soal ketampanan, Ivy harus mengakui wajah Clyde memang tampan. Pria itu memiliki rambut hitam pekat yang pendek dan tertata rapi layaknya seorang pria kebanyakan di kota Wyred. Paras pria itu memang tampan dengan sorot mata yang penuh misteri, terkadang terlihat ramah, terkadang terlihat berwibawa tapi terkadang terlihat menjengkelkan dan konyol. Dilihat sekilas pun Ivy bisa menebak bahwa Clyde memiliki karakter periang yang tak bisa diam. Dengan kata lain pria itu memiliki sifat ceria dan senang tertawa serta banyak bicara. Tipe orang yang sangat dibenci Ivy karena dia tidak suka keributan. Ivy lebih senang bergaul dengan orang-orang yang memiliki tipikal sama sepertinya yaitu orang yang tenang, serius dan tak banyak bicara jika dirasa tak penting. Ya, itulah tipe orang yang disukai Ivy sehingga sosok Clyde jelas tak masuk ke dalam daftar orang yang akan dia dekati. Sebaliknya dia tipe orang yang harus dijauhi. Ivy bertekad setelah dia sampai di padepokan, dia akan menyuruh Clyde pergi agar tak perlu lagi berurusan dengan pria itu. Lagi pula urusan mereka sudah selesai, urusan balas budi sudah dianggap impas karena Ivy sudah menyelamatkan pria itu dari para perompak, dan Clyde pun sudah menyelamatkan Ivy dengan obat-obat mujarabnya.  “Hei, kenapa jadi diam? Jadi benar kau ini sedang membayangkan ketampananku? Jangan bilang kau terpesona padaku sekarang?”  Ivy mendengus, lagi-lagi pria itu terlalu percaya diri. “Jangan besar kepala. Memangnya siapa yang membayangkan ketampananmu? Lagi pula aku tidak mengakui kau ini tampan. Menurutku … kau ini normal-normal saja, tidak ada bedanya dengan pria-pria lain yang pernah aku temui.”  Clyde terbelalak mendengar jawaban Ivy, untuk pertama kalinya ada wanita yang berkata demikian padanya. Padahal di istana saja dia dipuja banyak wanita, jangankan para putri bangsawan bahkan pelayan-pelayan dan staff kerajaan memujanya secara terang-terangan. Tapi Ivy … gadis itu dengan lancang mengatakan dia biasa saja? Clyde terkejut bukan main.  “Jadi menurutmu, aku ini tidak tampan?” “Wajahmu biasa saja. Sudah banyak pria memiliki wajah sepertimu,” balas Ivy cuek.  Clyde melongo dengan mulut yang terbuka hingga membentuk huruf O, alih-alih marah dia justru takjub karena untuk kali pertama ada seorang gadis yang berpikir demikian tentangnya. Entah kenapa dia menyukai karakter Ivy ini.  Clyde ingin menanyakan hal lain pada gadis itu, sebenarnya hingga kini dia penasaran dengan stempel yang dimiliki Ivy namun dia urung menanyakan itu dikala tanpa sengaja matanya melihat ada sungai di sebelah kanan yang baru saja kuda mereka lewati. Seketika Clyde menarik tali kekang kuda sehingga sang kuda pun berhenti berlari.  Ivy terheran-heran karena Clyde tiba-tiba saja dengan sengaja membuat kudanya berhenti berlari padahal mereka masih cukup jauh dari padepokan.  “Kenapa kita berhenti?” tanya Ivy, meminta penjelasan. “Itu … di sana ada sungai.” Clyde menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah sungai yang dia maksud. “Iya, memang ada sungai di sekitar sini.” Ivy menjawab dengan santai karena dia memang tahu ada sungai di daerah tersebut. “Kenapa kau tidak bilang jika di daerah ini ada sungai?” Satu alis Ivy terangkat, “Kenapa aku harus memberitahumu?” Clyde berdecak karena Ivy begitu tak peka menurutnya, “Aku kan sudah bilang tadi haus. Air sungai itu aman untuk diminum, kan? Lagi pula aku ingin mandi. Sejak semalam aku belum mandi rasanya tubuhku tidak nyaman karena aku tidak terbiasa tidak mandi seperti ini. Asal kau tahu aku ini pecinta kebersihan.”  Ivy memutar bola mata mendengar ucapan Clyde yang menurutnya sok perfeksionis. “Kita teruskan saja perjalanan. Sebentar lagi kita sampai di padepokan.” “Aku haus. Tenggorokanku kering.” “Karena itu kita percepat perjalanannya supaya kau bisa minum di padepokan.” “Kalau bisa meminum air sungai itu, kenapa kita harus repot-repot menunggu sampai di padepokan? Aku akan meminum air sungai itu sekalian mandi dulu sebentar.”  Ivy terbelalak, ingin melakukan protes pun percuma karena Clyde melajukan kudanya ke arah sungai tanpa menunggu responnya.  “Hei, jangan membuang-buang waktu. Kau bilang ingin mandi dulu di sungai itu? Apa kau sedang bercanda? Tindakanmu itu hanya akan membuat kita lama tiba di padepokan. Semua orang pasti sedang khawatir padaku sekarang.”  Ivy akhirnya melayangkan protes walau rasanya percuma karena kini kuda mereka sudah tiba di pinggir sungai.  “Jangan memikirkan dirimu sendiri. Kau ini tidak melakukan perjalanan sendiri. Aku membutuhkan air karena haus dan ingin mandi. Kudanya juga pasti haus dan ingin minum. Kau juga …”  Ivy menoleh pada Clyde yang duduk di belakangnya karena pria itu tak melanjutkan ucapannya. “Kenapa dengan aku?” tanyanya penasaran. “Kau juga butuh air untuk mandi karena tubuhmu bau. Apa kau tidak sadar? Kau ini semalaman berkeringat jadi bersihkan tubuhmu sana.”  Ivy detik itu juga menciumi aroma tubuhnya sendiri dan ya, dia menyadari yang dikatakan Clyde memang benar. Dia memang butuh mandi karena tubuhnya menguarkan aroma tak sedap untuk dihirup. Sekarang Ivy tak memiliki alasan lagi untuk menolak.  Begitu Clyde melompat turun dari kuda, Ivy pun ikut turun dengan perlahan karena terlalu banyak bergerak membuat luka di pinggangnya kembali terasa sakit. Clyde awalnya berniat membantu Ivy turun sampai kedua tangannya sudah terlentang ke depan, siap memegangi Ivy. Namun, naas karena kepedulian Clyde diabaikan oleh Ivy. Gadis itu melompat sendiri, dengan sengaja mengabaikan kedua tangan yang terulur ke arahnya.  “Ck, padahal aku ini sedang berbaik hati ingin membantumu turun.” “Aku tidak memintanya. Aku masih bisa turun sendiri, kau pikir aku ini cacat.”  Clyde menggelengkan kepala, gadis itu memang menyebalkan, tak salah lagi. Dia memperhatikan saat Ivy berjalan mendekati air sungai lalu gadis itu tanpa ragu meminum airnya.  “Tadi berlagak bisa menahan haus sampai padepokan, ternyata dia juga diam-diam memang kehausan. Dasar gadis aneh,” gumam Clyde sembari mengulas senyum, sebelum kakinya ikut melangkah menyusul Ivy dan ikut berjongkok di pinggir sungai untuk meminum airnya.  “Ah, segar sekali air sungai ini. Aku tidak menyesal sudah datang ke sini,” kata Clyde heboh setelah air sungai yang dingin dan segar itu akhirnya mengalir di tenggorokannya yang sejak tadi terasa kering.  Ivy hanya mendelik, dia lalu bangkit berdiri dan melenggang begitu saja meninggalkan Clyde.  “Hei, kau mau kemana?” “Menangkap ikan,” sahut Ivy.  Clyde terbelalak, kaget tentu saja. “Hah? Kau ingin menangkap ikan? Memangnya bisa? Kita tidak punya alat untuk memancing.” “Aku tidak membutuhkan alat pancing untuk menangkap ikan di sungai ini.”  Clyde melongo, tak percaya gadis biasa seperti Ivy bisa menangkap ikan. Tapi penasaran ingin membuktikan ucapan gadis itu, dia mengekorinya di belakang.  “Kenapa kau mengikutiku? Katanya ingin mandi?” tanya Ivy yang tentunya menyadari sedang diikuti oleh Clyde. “Iya, memang benar. Tapi aku ingin melihat caramu menangkap ikan.” “Kau mandi saja sana, untuk mempersingkat waktu.” “Kau sendiri tidak mandi?” tanya Clyde sambil menunjuk Ivy dengan jari telunjuknya. “Aku akan mandi juga setelah kau selesai. Kita harus gantian, jangan sama-sama mandi. Bagaimana jika tiba-tiba ada yang menyerang kita saat sedang mandi?”  “Hah?” Clyde tercengang, tak percaya alasan Ivy memilih menangkap ikan alih-alih mandi di sungai karena memiliki pemikiran seperti itu yang menurut Clyde berlebihan. Pria itu pun tertawa, “Memangnya siapa yang mau menyerang kita di siang bolong seperti ini?”  Ivy mendengus, “Kau ini seperti anak rumahan yang tidak tahu kerasnya hidup di dunia luar ya?”  Seketika tawa Clyde terhenti, hatinya merasa tersentil atau tersindir lebih tepatnya karena memang benar dia ini seperti anak rumahan yang tak pernah keluar dari rumah. Ini karena sebagai putra mahkota yang memiliki peran penting di dalam kerajaan membuat Clyde tak diizinkan keluar dari istana secara sembarangan. Seandainya keluar pun dia akan dijaga ketat oleh prajurit istana karena itu dia tak pernah merasa terancam karena tahu persis keamanannya dijaga dengan ketat.  “Di dunia ini banyak orang jahat. Kalau pun bukan orang jahat tapi mereka terpaksa menjadi jahat demi memenuhi kebutuhan hidup. Tak perlu jauh-jauh, contohnya ketiga perompak semalam. Menurutmu kenapa mereka sampai ingin merampokmu?” tanya Ivy. “Hm, ya, karena mereka memang perompak yang kerjaannya merampok orang, kan?”  Ivy menggelengkan kepala, “Mereka pasti memiliki alasan sehingga memilih menjadi perompak yang mencuri harta milik orang lain. Kau tahu apa alasan sampai mereka melakukan itu?”  Kali ini Clyde yang menggelengkan kepala, dia tak tahu menahu alasan orang bisa memilih menjadi seorang perompak di saat ada banyak pilihan profesi lain yang bisa dipilih.  “Itu karena hidup mereka serba kekurangan. Jadi untuk bertahan hidup mereka terpaksa mengambil uang orang lain.” Clyde berdecak, tak sependapat dengan Ivy. “Salah sendiri hidup mereka jadi serba kekurangan. Ini pasti karena mereka malas bekerja. Padahal mereka bisa mencari uang dengan cara yang benar.” “Kau ini sepertinya memang anak rumahan yang tidak tahu apa pun tentang kehidupan di dunia luar ya?” Clyde mengerjap-erjapkan mata, tak paham. “Kenapa kau berpikir begitu?” “Karena kau bahkan tak tahu di zaman sekarang mencari pekerjaan sangat sulit. Terutama untuk rakyat kecil yang tidak memiliki pendidikan tinggi seperti kami. Lain ceritanya dengan para bangsawan. Dengan uang, mereka bisa melakukan apa pun termasuk menyuap para petinggi pemerintahan agar mereka bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Kau ini tidak sadar kehidupan rakyat di Kerajaan Wendell sangat tidak adil. Mau tahu kenapa?”  Clyde memicingkan mata, entah kenapa dia tersinggung mendengar Ivy yang sedang mengkritik habis-habisan sistem pemerintahan di Kerajaan Wendell, yang mana artinya gadis itu sedang mengkritik cara sang raja memerintah yang tidak lain merupakan ayah Clyde.  “Karena hukum yang dibuat kerajaan ini sama sekali tidak tegas pada para bangsawan, tetapi begitu kejam pada rakyat kecil seperti kami. Jadi intinya bangsawan semakin kaya sedangkan rakyat jelata semakin tercekik hidup di wilayah kerajaan ini.”  Kedua tangan Clyde terkepal erat, mulai tersulut emosi mendengar Ivy secara terang-terangan mencemooh kebijakan raja yang membuat dan menetapkan hukum di dalam kerajaan ini. Padahal yang Clyde tahu ayahnya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan kesejahteraan pada seluruh rakyatnya.  “Hidup di wilayah Kerajaan Wendell sama sekali tidak adil. Mau adil bagaimana, rajanya saja tidak bisa adil karena begitu memuja seorang wanita?” Ivy mendengus seraya tersenyum sinis saat mengatakan ini. “Aku dengar raja begitu tergila-gila pada salah satu istrinya sampai apa pun yang diminta sang istri dia kabulkan. Tidak peduli meski permintaan istrinya itu sangat merugikan rakyat kecil seperti kami.”  Clyde tak berkomentar apa pun, pria itu kini menundukan kepala dengan kedua tangan masih terkepal erat.  “Seandainya aku bisa menemui raja, aku pasti sudah memakinya karena dia tidak becus memerintah kerajaan ini. Seorang raja itu seharusnya berusaha memakmurkan dan menyejahterakan rakyatnya. Ini justru hanya istrinya yang dia makmurkan dan sejahterakan.” Ivy menggelengkan kepala menunjukan betapa kecewa dia pada Raja Rudolf yang saat ini sedang duduk di kursi singgasana penguasa Kerajaan Wendell.  “Aku berharap ada perubahan kebijakan hukum dan sistem pemerintahan di kerajaan ini. Semoga saja setelah putra mahkota naik takhta, dia bisa memerintah lebih baik dari ayahnya. Ya, walau aku tidak yakin karena buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Kau paham maksudku, kan? Jika ayahnya begitu, anaknya apalagi.”  Ivy melangkah pergi setelah puas mencurahkan kekecewaannya pada pemimpin kerajaan tempatnya menetap. Tanpa gadis itu ketahui orang yang sedang dia bicarakan … sang putra mahkota sedang berdiri di belakangnya. Kini wajah sang putra mahkota tampak memerah karena tengah menahan emosi sekaligus memikirkan hukuman apa yang nanti harus dia berikan pada Ivy yang begitu berani menghina sang ayah dan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD