BAB DUA

1805 Words
Di malam hari yang hening ini tampak dua orang sedang mengendap-endap, berjalan bagaikan perampok yang takut ketahuan pemilik rumah. Kepala keduanya menoleh ke kiri dan kanan, depan dan belakang. Tatapan mereka pun menelisik sekitar, memastikan pergerakan mereka tak diketahui siapa pun.  Saat sedikit lagi tiba di tempat tujuan, mereka menyembunyikan diri dengan merapat pada dinding salah satu bangunan. Pandangan mereka kini menerawang ke arah depan dimana dua pengawal tengah berjaga di depan pintu gerbang.  “Bagaimana ini, Yang Mulia? Sepertinya cukup sulit untuk melewati mereka,” ucap pria paruh baya dengan badan gemuk dan perut buncit, terlihat ragu untuk melanjutkan rencana mereka. Meski perawakannya seperti itu, sebenarnya dia bukan orang sembarangan. Melainkan ajudan putra mahkota yang setiap hari selalu mengikuti kemana pun sang pangeran pergi. Seperti saat ini contohnya, sang pangeran yang memutuskan untuk kabur dari istana, ajudan bernama Bundy itu harus tetap mengikuti, meski terpaksa. “Ck, itulah gunanya ada kau di sini, Bundy. Sekarang cepat lakukan seperti yang sudah kita rencanakan.” “Tapi ... sepertinya dua pengawal itu sangar-sangar jika dilihat dari wajahnya.” Sang pangeran memutar bola mata, “Kau takut pada orang yang kedudukannya lebih rendah darimu? Kau ini ajudanku, kau lebih terhormat dari mereka.” “Oh, anda benar juga.” Bundy tertawa. Sedangkan sang pangeran hanya menyengir sebal karena ajudannya itu terkadang lemot alias lamban. “Sudah sana pergi sebelum ada prajurit yang berpatroli ke sini.” “Hm, Yang Mulia, apa menurut anda rencana kita ini akan berhasil? Tiba-tiba saya ragu.” Kini sang pangeran menggeram tertahan, habis sudah kesabarannya menghadapi ajudannya yang plin-plan itu. Lalu tanpa merasa iba sedikit pun, dia mendorong punggung sang ajudan cukup kencang hingga nyaris tersungkur ke depan.  “Cepat pergi sana!”  Mendapat pelototan dari junjungannya, Bundy menciut. Dia menelan ludah sebelum kedua kaki gemuknya berjalan menghampiri dua pengawal yang memang berwajah sangar, mereka masih setia berdiri di depan pintu gerbang sambil memegang tombak di tangan.  “Selamat malam,” sapa Bundy, basa-basi. Seketika dua pengawal itu menoleh padanya. “Selamat malam juga, Tuan,” salah seorang dari mereka menyahuti. “Hm, apa kalian melihat anjingnya Yang Mulia Putra Mahkota berlari ke sini?” tanya Bundy sambil menyengir lebar. “Anjing milik putra mahkota?” Bundy mengangguk-anggukan kepala, “Iya. Anjing galak itu, Charlie ... dia melarikan diri dari istana putra mahkota. Kalian melihatnya berlari ke sini?”  Kedua pengawal itu saling berpandangan, lalu menggeleng dengan serempak.  “Ck, padahal aku yakin tadi dia lari ke sini. Kalian berdua bisa bantu aku mencarinya karena putra mahkota sedang marah-marah di istananya sekarang. Beliau tidak mau tidur sebelum anjingnya kembali.”  Kedua pengawal itu tampak terkejut, “Tentu saja, Tuan. Kami akan membantu.” Bundy pun seketika mendesah lega dalam hati.  Di tempat persembunyiannya, sang putra mahkota yang tidak lain Pangeran Clyde Wendell, sedang terkikik sambil membekap mulut begitu melihat ajudannya berhasil mengelabui dua pengawal itu. Dia pun cepat-cepat berlari, bukan untuk menerobos pintu gerbang karena dia tahu gerbang itu dalam keadaan tertutup rapat dan mustahil bisa dia buka seorang diri mengingat betapa besarnya pintu gerbang tersebut. Tujuannya adalah benteng paling selatan yang menjadi pilar pelindung istana dari dunia luar. Memang untuk bisa pergi ke sana dia harus melewati gerbang tersebut.  Kini Clyde sudah berhasil tiba di tempat tujuan. Sesuai rencana awal, dia akan melarikan diri dari sini dengan memanjat dinding beton ini, menggunakan tangga tali yang sudah dipersiapkan orang suruhan Bundy. Namun yang membuat Clyde bingung karena tangga yang terbuat dari tali itu ternyata menggantung dan cukup tinggi, sangat sulit untuk dijangkau meski dia berulang kali melompat-lompat.  “Ck, si payah Bundy itu benar-benar tidak berguna. Bagaimana bisa ayahanda memilihnya untuk menjadi ajudanku? Jangankan menjalankan tugasnya sebagai asistenku nanti setelah menjadi raja, dia bahkan tidak becus menyiapkan tangga untukku melarikan diri. Bagaimana caranya aku mencapai tangga itu?” gerutu Clyde sambil menggaruk-garuk kepalanya, kebingungan.  “Yang Mulia, kenapa anda masih di sini? Kenapa belum pergi?”  Clyde terkejut bukan main hingga nyaris menjerit gara-gara Bundy yang tiba-tiba muncul di belakangnya bagai hantu. Detik itu juga, Clyde memukul kepala sang ajudan, tak peduli meski pria itu lebih tua darinya.  “Belum pergi kepalamu, dasar bodoh. Bagaimana aku bisa memanjat jika tangganya digantung setinggi itu?” tanya Clyde geram sambil menunjuk tangga di atas. Bundy mengikuti arah yang ditunjuk sang pangeran, “Memang sengaja digantung di atas, Yang Mulia. Supaya tidak ada yang menyadari ada tangga itu di sini. Lagi pula tangga ini kan baru dipasang dua jam yang lalu, setelah anda pergi, sudah ada orang yang menunggu untuk menyingkirkannya. Jangan sampai ada yang tahu jika saya terlibat dengan pelarian anda ini, Yang Mulia. Atau saya bisa dihukum mati nanti. Selain itu, Yang Mulia, kenapa anda tidak mengendarai salah satu mobil mewah koleksi anda saja? Kenapa anda repot-repot melarikan diri dengan menunggangi kuda?” Clyde berdecak, “Itu karena menunggangi kuda lebih menguntungkan. Aku bisa mengambil jalan pintas agar tidak ketahuan prajurit yang mengejarku nanti. Daripada naik mobil hanya bisa dipakai di jalan raya.” “Oh, benar juga. Dengan begini saya juga bisa bernapas lega karena menghilangnya anda tidak akan cepat-cepat diketahui. Jika menggunakan mobil, bisa dilacak dari GPS ya. Saya beruntung jadi memiliki banyak waktu untuk menyiapkan alibi agar tidak dicurigai terlibat dengan pelarian anda ini,” kata Bundy sambil mengusap-usap dadanya, merasa lega.  Clyde mengerti sekarang, jadi ajudannya itu lebih mementingkan nasibnya sendiri dibandingkan kesuksesan pelarian majikannya. Dan hal itu membuat Clyde semakin kesal, sebuah ide kurang ajar pun terlintas di benaknya.  “Aku tidak bisa menjangkau tangga tali itu walau dengan melompat-lompat. Jadi sekarang kau membungkuk.” Bundy melongo, tak paham. “Membungkuk? Untuk apa, Yang Mulia?” “Sudah, jangan cerewet. Cepat membungkuk.”  Bundy mulai merasakan firasat buruk tapi toh dia turuti juga perintah majikannya itu. Dia pun membungkuk membuatnya terlihat seperti seekor banteng gemuk yang siap menyeruduk. Dia meneguk ludah ketika melihat sang pangeran tengah mengambil ancang-ancang untuk berlari. Dan firasat buruknya terbukti benar begitu melihat putra mahkota berlari lalu melompati punggungnya setelah itu tangannya berusaha menangkap tangga tali yang menggantung di atas. Berhasil, sang pangeran kini tengah bergelantungan. Namun sungguh memprihatinkan kondisi Bundy yang tulang punggungnya seakan-akan retak di beberapa bagian. Seolah tak memedulikan kondisi ajudannya, Clyde terus berpegangan pada tangga berbentuk tali itu. Begitu kakinya berhasil berpijak pada anak tangga, dia pun mulai memanjat dengan perlahan, meninggalkan Bundy yang sedang meringis sambil mengusap-usap punggungnya di bawah.  Setelah berhasil mencapai puncak dinding beton, Clyde melambaikan tangan pada Bundy sebagai ucapan selamat tinggal lalu dia kembali turun dengan menggunakan tangga lain yang memang sudah disiapkan juga di luar.  “Berhasil. Akhirnya aku bisa kabur juga,” kata Clyde riang setelah kedua kakinya baru saja menapak di tanah. Dia merentangkan kedua tangannya tinggi di udara untuk menghirup udara di luar istana yang terasa lebih segar dibandingkan di dalam istana.  Dia menggulirkan mata ke sekeliling dan menyeringai saat menemukan seekor kuda yang sejak tadi dicarinya sudah terikat di salah satu pohon, tentu saja yang menyiapkannya orang suruhan Bundy. Di salah satu sisi kuda itu juga sudah dilengkapi tas kain yang menggantung, isinya tentu saja keperluan sang pangeran selama pelariannya seperti uang dan pakaian. Cepat-cepat dia berlari dan menaiki kuda itu. Lalu memacunya cepat agar bergegas pergi sejauh-jauhnya dari istana.  Bukan tanpa alasan pangeran berwajah tampan, memiliki postur tubuh tinggi dan bersifat periang itu melarikan diri dari istana seperti ini. Melainkan karena inilah caranya mengutarakan penolakan atas ide raja yang berniat menjodohkannya dengan wanita bangsawan berwajah menor dan bagai pelangi berjalan karena selalu mengenakan pakaian warna-warni setiap hari. Terlebih wanita itu merupakan keponakan Ratu Ketiga yang selalu tidak akur dengan Clyde. Cih, dia tak sudi dijodohkan dengannya. Bagi Clyde lebih baik luntang-lantung di jalanan menjadi gelandangan daripada harus menikahi si pelangi berjalan.  Clyde memacu kudanya tanpa istirahat. Hingga tak terasa dirinya tiba di jalanan sepi karena tak ada yang berlalu lalang di sini. Mungkin karena sekarang masih dini hari menjadi alasan lain jalanan ini begitu sunyi senyap.  Clyde menguap lebar, jujur dirinya mulai mengantuk. Namun rasa kantuknya itu seolah menguap pergi dalam sekejap begitu tiga orang pria mengenakan pakaian serba hitam tiba-tiba bermunculan dari semak-semak, dan kini menghadang jalan Clyde. Clyde panik luar biasa, berniat memacu kudanya untuk berputar arah, lagi-lagi kuda pilihan ajudannya yang tidak berguna itu membawa petaka bagi Clyde. Alih-alih menurut untuk berbalik arah, kuda itu tampak ketakutan melihat tiga pria memegang pedang di depannya, kuda itu tiba-tiba melompat-lompat yang membuat Clyde terjatuh, berguling-guling di tanah.  Saat ingin bangkit berdiri dari posisi menelungkup, Clyde urung melakukannya karena ujung pedang salah satu perompak itu sudah terhunus dan nyaris menusuk punggungnya.  “Ampun, ampun. Jangan bunuh aku. Kalian ambil saja semua hartaku, asal jangan nyawaku!” teriak Clyde histeris, luar biasa ketakutan.  “Cepat berikan uangmu!” bentak perompak yang menghunuskan pedangnya ke punggung Clyde. “Di dalam tas kain yang menggantung di kuda itu, semua itu hartaku. Silakan kalian ambil,” balas Clyde, dia tak peduli walau benar-benar jadi gelandangan karena semua perbekalannya diambil, yang penting nyawanya selamat.  Para perompak tertawa puas saat mendapatkan banyak uang di dalam tas itu.  “Wah, dia sepertinya bangsawan. Kita harus menyanderanya lalu menghubungi keluarganya untuk meminta uang tebusan.”  Clyde terbelalak mendengar ucapan salah satu perompak yang memiliki ide luar biasa gila itu. Tentu ini malapetaka besar bagi Clyde, bukan karena dia kasihan pada ayahnya yang akan kehilangan banyak uang. Toh, ayahnya seorang raja, ketiga perompak ini bukannya akan mendapatkan uang tapi sudah pasti kepala mereka akan dipenggal jika ketahuan memeras raja. Tapi malapetaka yang dimaksud Clyde adalah pelariannya yang susah payah ini akan gagal total jika sampai mereka benar-benar menghubungi orangtuanya.  “Kau benar. Ayo, cepat bawa dia pergi.” “Eh, tunggu, tunggu.” Clyde buru-buru berdiri setelah ujung pedang menyingkir dari punggungnya. “Aku ini yatim piatu. Semua uang di dalam tas tadi merupakan harta peninggalan terakhir dari ayahku. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Sungguh.” “Kau pikir kami percaya?” Clyde meringis, tentu saja dia sudah bisa menebak mereka tidak akan memercayai kebohongannya semudah itu.  “Begini saja, aku masih memiliki benda berharga lain yang bisa kuberikan pada kalian. Tapi berjanjilah, setelah itu biarkan aku pergi.” “Memangnya kau memiliki benda berharga apa?”  Clyde memamerkan kelima jemari tangan kirinya dimana di jari tengah dan manisnya terdapat cincin yang tentunya berharga fantastis. Dia pun melepas dua cincin itu. “Aku akan memberikan ini pada kalian,” katanya.  Clyde bisa melihat dengan jelas ketiga perompak itu semakin menyeringai lebar dan itu pertanda berbagai pikiran licik sedang menari-nari di dalam kepala mereka. Beruntung Clyde tak sebodoh itu. “Ini, kalian ambil sendiri cincinnya!” teriaknya sembari melemparkan kedua cincin itu. Saat fokus ketiga perompak tertuju pada cincin yang dilemparkannya, Clyde mengambil langkah seribu untuk melarikan diri. Namun naas, ketiga perompak itu malah mengejarnya alih-alih mencari cincin itu.  “Kenapa mereka malah mengejarku bukannya mencari cincinnya?!”  Dan entah akan jadi seperti apa nasib Clyde setelah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD