3. Tempat Pertemuan

1686 Words
Lia lebih sering berada di luar ruangan jika bukan saat jam pelajaran. Menemukan keberadaan Lia sama seperti mencari kucing liar, susah hingga Putri sampai kepayahan. Berbagai tempat telah ia datangi, mulai dari ruang club, taman, kantin sekolah hingga atap. Setiap kali Putri bertanya keberadaannya pada teman-teman yang mungkin melihat, jawaban yang diterima selalu berbeda tempat menandakan bahwa Lia aktif bergerak tidak bisa menetap di satu tempat. Lalu akhirnya setelah mencari sekian lama, sosok yang dicari Putri lihat di depan mata. “Aku mendapat surat lagi!” Putri langsung sampaikan keperluannya begitu bertemu dengan Lia. “Lantas kenapa?” Lia bereaksi datar. Tak acuh pada senggal napas Putri yang berpacu. Putri menghilangkan peluh dengan sebelah tangannya. Mengatur napas, menenangkan diri. “Aku ingin bertanya atau meminta bantuanmu.” Wajah Lia terlihat enggan. “Itu membuat posisiku sulit... Sarif kerabatku dan kamu temanku. Aku ingin bersikap netral.” “Bukan begitu! Jangan salah paham.” Putri menyanggah ucapan Lia dengan cepat. “Oh, syukurlah kalau begitu. Aku pikir kamu memintaku mewakilimu untuk menolaknya.” Lia kembali menyeruput minuman kalengnya. “Bukan. Ini tentang isi surat―” Putri mencari surat yang ia kantongi tadi. “Tunggu! Apa maksudmu dengan menolaknya?” Putri mengangkat wajah kembali menatap Lia, bertanya tidak mengerti. Bola mata Lia menghindari menatap Putri balik. Ia terlalu malas menjelaskan arti dari ocehannya sesaat lalu. “Ada apa dengan isi suratnya?” Lia berkelit menghindar dari pertanyaan Putri. Jelas bagi Lia tampaknya Putri belum tahu maksud dan tujuan sepupunya mengirimi dia surat. Putri memberikan surat Sarif untuk Lia baca.“Apa Sarif bermaskud ingin bertemu denganku? Tapi dia tidak memintaku untuk membalas suratnya. Apa artinya ini?” Putri bertanya bingung. Lia membaca dengan seksama lalu bekata. “Aku rasa kamu hanya perlu menunggu. Ini masalah waktu.” Wajah Putri semakin bingung. “Waktu untuk apa?” “Waktu untuk Sarif merasa siap bertemu denganmu secara langsung.” Lia terdengar meyakinkan seolah ia sangat mengerti Sarif. Jika pun memang benar begitu adanya, kenapa Sarif harus mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Putri. Apa yang dikatakan Lia membuat Putri merasa sulit, tidak tahu harus berbuat apa. Ah, bukan tafsiran Lia pada surat itu yang membuat Putri sulit, tapi pemuda bernama Sarif yang selalu mengiriminya surat ini. Karena Putri sendiri belum tahu akan menemui Sarif atau tidak. “Aku dan Sarif bertemu? Mengapa, untuk apa?” Rentetan pertanyaan tidak pernah habis memenuhi benak Putri. “Jangan tanyakan itu padaku Putri... Aku bukan Sarif, bagaimana bisa aku mengerti dan menjawab pertanyaanmu.” Saat ini Lia sungguh terkesan bersikap dingin. Tapi sesungguhnya ia hanya tidak ingin terlibat pada persoalan dua anak muda tersebut. Itu lebih baik bagi keduanya bila tidak ada pihak luar yang mengintrupsi proses apa pun itu yang terjadi dan akan terjadi antara Putri dan Sarif. Kemelut di hati Putri bertambah, semua kerisauan itu tampak jelas di wajahnya. Lia meraih genggaman tangan Putri. Menatap kedua mata Putri yang kini juga menatap matanya. “Putri, ingat baik-baik apa yang aku katakan saat ini. Aku milih untuk tetap netral. Jadi tidak perlu bersikap sungkan padaku. Apa pun yang terjadi kita tetap berteman. Mengerti?” Putri merasa bingung dengan perilaku Lia yang tidak biasa, kata-katanya terdengar terlalu dramatis. Namun Putri memberi anggukan kepala pada Lia. Jika mengingat orang seperti apa Lia dari yang Putri kenal, bukan sekali atau dua kali Lia memang suka melakukan hal yang sulit Putri pahami. Sejujurnya dari penilaian Lia dalam situasi seperti ini, apa yang terjadi antara Putri dan Sarif. Sudah sangat jelas jawaban itu adalah permasalahan asmara. Siapa pun bisa langsung mengetahuinya, apa lagi jika bukan cinta. Tapi Lia tidak bisa percaya Putri sama sekali tidak menangkap maksud dari surat-surat Sarif yang Putri terima. Di sisi lain Lia merasa kasian pada Sarif, hasil dari akhir cerita ini tampaknya sudah sangat jelas. Sepucuk surat kembali datang kemudian dalam sela waktu berlalu hitungan hari. Ini merupakan surat ketiga dari Sarif. Putri sendiri yang menerima surat itu langsung dari seorang pengantar di saat waktu istirahat, surat itu bertuliskan.   Aku akan menunggu balasan suratmu untuk jawaban dari pertanyaanku di surat sebelumnya. Pohon besar di belakang sekolah.. Di sana ada lubang sarang tupai pada batang pohon itu. Aku menunggu surat balasanmu pada botol kaca yang telah kusimpan di sana. Teman asingmu                               Sarif   Putri sangat kebingungan, entah dari titik mana dan sejak kapan semua jadi rumit seperti ini. Apa itu artinya Putri harus menulis balasan untuk kepastian pertemuan mereka. Menulis balasan untuk Sarif, Putri harus memberi jawaban apa pada suratnya. Kali ini Putri tidak bisa meminta pertolongan siapa pun, untuk sekedar saran atau pun pendapat. Kali ini isi surat Sarif terlalu personal Putri tidak bisa menunjukkan pada orang lain. Apa yang harus Putri lakukan, ia harus segera menemukan jalan keluar. *** Dua hari berselang Sarif sudah bolak-balik ke tanah lapang di belakang sekolah memeriksa pohon besar untuk memastikan apa ada surat balasan dari Putri. Sayangnya hari ini pun nihil. Sarif kembali kecewa, ia menyerah. Putri tidak membalas suratnya sama artinya dengan Putri tidak ingin mereka bertemu. Sarif tidak perlu mencari tahu mengapa, alasannya jelas karena Putri tidak nyaman dengan Sarif. Perasaan ini yang semula Sarif mengira hanya gejolak sesaat ternyata terasa sangat menyakitkan ketika Putri tidak membalas suratnya. Jika hanya rasa sesaat seharusnya tidak sesakit ini. Di saat Sarif menyadari perasaannya, di saat itu juga Sarif harus melepas rasanya pada Putri. Sarif tidak bisa memaksakan kehendak dan Putri berhak untuk menolak. Sarif kembali meraih pena dan mulai menulis surat untuk Putri. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Sarif ingin meninggalkan kesan baik pada Putri. Sarif menulis surat ucapan perpisahan serta permohonan maaf atas surat-suratnya selama ini. Dan satu lagi surat yang Sarif buat untuk ia letakkan dalam botol kaca di pohon besar, di mana tempat pertemuan yang ia sebutkan pada Putri di belakang sekolah. Surat itu bertuliskan mengenai isi hati Sarif, perasaannya terhadap Putri. Semua yang Sarif pikirkan tentang Putri, yang selama ini tidak dapat tersampaikan. Sarif curahkan semua di atas kertas, berharap itu bisa membuatnya merasa lebih baik. Kini Sarif anggap botol ini adalah hatinya dan surat dalam botol adalah perasaannya. Biarlah Putri menjadi misteri terindah yang tak terpecahkan bagi Sarif. Dan biarkan perasaannya Sarif titipkan pada pohon besar ini. Bisa melihat Putri sebagai teman dari kelas sebelah sudah cukup bagi Sarif. Menjadi teman asing seperti angin yang dapat dirasa tapi tidak terlihat oleh mata. Sarif memutuskan untuk menjadi keberadaan yang seperti itu dalam keseharian Putri. Surat keempat teman Sarif sendiri yang mengantarkannya menemui Putri. “Putri ‘kan?” Tanya pemuda itu. “Iya.” Putri tengah berada di dalam kelas pada jam istirahat. Pemuda itu menyerahkan surat lalu berkata, “Karena sudah kusampaikan, permisi.” Pamitnya dengan mimik wajah dingin. “Tunggu!” Putri mencegahnya pergi. Teman Sarif berhenti memenuhi panggilan lalu berbalik kembali menatap Putri. “Kamu kenal pengirim surat ini?” “Tentu saja, kami berteman.” Katanya kurang ramah dengan wajah seram. “Tolong beritahu aku orangnya―” “Maaf sebelumnya.” Teman Sarif memotong perkataan Putri dengan tegas. “Mungkin tidak seharusnya aku berkata seperti ini. Tapi sebagai teman baiknya aku tidak bisa hanya diam. Bukankah kamu tidak membalas suratnya? Sama artinya itu adalah sebuah penolakan. Jadi sementara ini biarkan dia sendiri.”  Selesai berkata teman Sarif pergi meninggalkan kelas 1-4. Berlalu meninggalkan Putri yang syok. Baru kali ini ia mendapat perlakuan tidak bersahabat seperti tadi. Egi yang sesaat menyadari percakapan dua orang tadi begitu memasuki kelas langsung menghampiri Putri bertanya apa yang telah terjadi. Putri menunjukkan surat yang dikirimkan Sarif. “Dia temannya Sarif, sepertinya dia marah padaku.” Putri merasa bersalah, ada sesuatu yang terasa tak nyaman dihatinya. “Apa? Teman Sarif! Dia ‘kan anak kelas sebelah. Berarti Sarif...” Perkataan Egi menggantung, tapi Putri dapat mengira kelanjutan perkataan Egi. Sementara Egi sendiri langsung berlari pergi ke luar kelas. Putri menyusul dengan satu pertanyaan. “Apa yang akan Egi lakukan?” Putri merasa cemas. Tidak ada. Egi mengintip kelas sebelah dan bertanya pada salah seorang penghuni kelas sebelah mengenai Sarif, tapi katanya orang yang dicari dengan nama bersangkutan tidak berada di kelas. “Kamu tahu dia pergi ke mana?” Tanya Egi lagi. “Beberapa hari ini tiap kali istirahat Sarif pergi ke pohon besar di belakang sekolah.” Terang teman sekelas itu. “Di mana?” Egi tampak sangat terkejut, seolah ia salah mendengar. Sekali lagi dengan sabar teman Sarif mengulang ucapannya. Egi kembali menghadapi Putri yang menunggu agak jauh. Dengan pertanyaan masih mengganggu benaknya, Egi menyampaikan informasi yang berhasil ia dapat barusan. “Pohon besar di belakang sekolah? Apa sekolah kita punya tempat seperti itu?” Tatap Egi pada Putri, tapi Putri menunjukkan reaksi yang berbeda. “Pohon besar itu...” Gumam Putri. Tempat pertemuan di mana Putri dan Sarif seharusnya bertukar surat. “Ini adalah surat terakir dari Sarif.” Kata Putri, mencoba mengurai isi kepalanya. “Apa? Mengapa begitu?” Tanya Egi. “Aku tidak membalas suratnya. Sarif memintaku untuk bertemu, tapi aku tidak membalas surat darinya.” Putri ceritakan pembicaraannya dengan teman Sarif di kelas tadi. “Tapi aku dengar Sarif masih datang ke tempat itu. Jika benar, aku merasa kasihan padanya.” Kata Egi hanya berkata jujur tanpa maksud menyudutkan Putri. “Lantas aku harus bagaimana? Aku tidak bisa melarangnya untuk datang ke sana.” Putri terdengar agak jengkel. Ya wajar jika Putri tersingung, Egi bisa memahami karena ia akui salah bicara. “Kamu benar. Aku bukan bermaksud untuk menyalahkanmu Putri.” “Aku harus menarik diri dengan batasan jelas agar dia tidak salah paham. Apa yang dikatakan teman Sarif benar, aku harus membiarkan dia sendiri.” Putri tak inginkan memberi harapan palsu sementara ia tak tahu harus berbuat apa. “Begitu... Jadi itu surat terakhir untukmu. Aku sedikit merasa sedih bila memang surat-menyurat ini berakhir.” Egi terlihat kecewa. Bagi teman-teman Putri surat-surat dari Sarif terkesan unik dan klasik karena tidak ada lagi anak muda di jaman sekarang melakukan itu. Egi dapat mengerti posisi Putri walau sesungguhnya Egi merasa kecewa kisah ini berakhir begitu saja. Sejujurnya Putri pun merasa demikian. Apa yang Putri rasakan ini, hatinya menyayangkan menerima surat terakhir Sarif. Lalu perasaan bersalah, apa mungkin Putri sudah bersikap keterlaluan pada Sarif. Apa pun itu, semua telah berakhir.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD