6. Secercah Harapan

1780 Words
Sejak mereka mulai mengerjakan tugas bersama sebenarnya ada hal yang ingin sekali Putri tanyakan pada Sarif. Tapi Putri merasa ragu apakah tepat baginya melakukan itu. Bagaimana jika Sarif telah menganggap perasaannya untuk Putri adalah hal yang pernah terjadi di masa lalu. Itu berarti Putri tidak pantas untuk bertanya dan mengungkit-ungkitnya lagi. “Kamu tahu surat yang kamu tinggalkan,” Putri memikirkan cara untuk mencari tahu perasaan Sarif saat ini. Satu-satunya cara yang terpikir oleh Putri dengan mengangkat pembicaraan tentang surat yang Sarif tulis untuknya. Sarif bergeming, tapi benaknya sibuk berpikir. “Surat? Apa yang Putri maksud adalah surat dalam botol kaca? Jadi Putri mengambil surat yang kutinggalkan, benarkah itu!” Sarif meragu dalam hati sekaligus tidak pernah mengira Putri akan membicarakan surat yang ditulisnya. “Kamu mengambilnya? Kapan?” Tanya Sarif. “Saat kamu tidak lagi datang ke sana.” Sarif kembali bergulat dengan pikiran di benaknya. “Bahkan Putri tahu kalau aku selalu ke sana dan berhenti datang ke sana lagi. Tapi kami tidak pernah bertemu.” Sarif merasa heran. Sarif dan Putri tidak pernah bertemu karena bila Sarif berada di sana, Putri akan kembali memutar arah. Saat itu Putri tidak menemukan alasan untuk bertemu dengan Sarif. Putri takut menimbulkan kesalahpahaman, ia langsung membuat alasan di depan Sarif. “Aku hanya... Maksudku, itu karena... Kudengar tempat itu akan menghilang jadi aku menyimpannya untukmu. Jika kamu menginginkannya kembali—” “Tidak.” Sarif tegas menyela. “Tidak mengapa, kamu simpan saja.” Mendengar ucapan Sarif, kesimpulan Putri ternyata memang benar bahwa semua itu hanyalah berarti masa lalu baginya. Tiba-tiba hati Putri terasa sakit, seolah kata-kata Sarif berubah jadi belati tak kasat mata menusuk bagian jantung dan hatinya secara perlahan. Putri refleks menaruh tangan di d**a, di bagian yang terasa sakit menyengat. Ia tak mengerti mengapa kata-kata Sarif terasa menyakitkan untuk ia terima. “Kamu tidak apa-apa?” Tanya Sarif cemas ketika menyadari raut wajah Putri yang merintih tak nyaman, tampak kurang sehat . “Aku... Aku tidak apa-apa.” Pertama kalinya Putri menyadari bahwa Sarif bukan sekedar kenalan biasa, lebih dari sekedar teman satu sekolah. “Sungguh, kamu yakin?” “Y-ya, sungguh...” Putri merasa malu jadi terlihat lemah seperti ini di hadapan Sarif. Sarif berpikir mungkin Putri terlalu lelah dengan tugas ini juga persiapan acara sekolah. Belum juga bila ditambah dengan kegiatan club dan selama jam pelajaran kelas. Memang karena acara persiapan HUT sekolah, mereka jadi lebih sibuk dari biasa. “Sejauh ini pekerjaan kita belum menunjukkan hasil terbaik. Aku berharap kita bisa mendapat tangkapan besar.” Ratap Sarif mengkilas balik perjalanan dua hari ini. Bila saja mereka sudah mendapatkan hasil maka beban tanggung jawab dari tugas akan lebih terasa ringan. Baik Sarif dan Putri merasa bersalah pada anggota lain jika tidak bisa memenuhi tujuan atau pun target panitia. “Haruskah kita mencari cara lain, memperbaiki proposal yang kita miliki misalnya. Atau mencoba sesuatu yang lain, adakah terpikir ide menarik olehmu?” Sarif bertanya pada Putri. Berbagi kerisauan hatinya tentang kelangsungan nasib acara sekolah mereka. Ada satu hal yang Putri pikirkan tapi masih ragu untuk ia sampaikan pada Sarif. Berulang kali Putri mencuri pandang pada Sarif seolah ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian ia mengurungkan niat. Sarif bisa melihat jelas perilaku, bagaimana Sarif tidak menyadari gelagat tak biasa Putri itu jika setiap detik dan menit yang berlalu ia selalu mengawasi-mengamati hal terkecil dari gadis bersamanya itu. “Putri katakan saja kalau ada yang ingin kamu sampaikan.” Ucap Sarif akhirnya, merasa harus memberi Putri dorongan. “Eh?” “Kamu punya ide?” Sarif menunggu dengan sabar hingga Putri mengumpulkan keberanian untuk bicara. Putri tak kuasa bicara dengan menatap wajah Sarif. Ia tetap melihat arah lain saat beranikan diri menyampaikan keinginannya. “Umm, aku ingin mencoba menggabungkan lukisanku dengan proposal kita.” “Kamu pandai melukis?” Putri tersipu malu, tak kuasa menjawab pertanyaan Sarif karena tidak merasa percaya diri pada keterampilannya sendiri. Bukankah perkara pandai atau tidak itu adalah penilaian orang lain terhadapnya, bukan pengakuan atas diri sendiri. “Aku akan mencobanya, jika hasilnya buruk kamu bisa melupakan ideku tadi.” “Aku akan mendukungmu, ayo kita coba bersama.” tutur Sarif menyetujui saran Putri. “Aku tidak tahu kamu adalah seniman.” Putri merasa kecewa, jika Sarif menyukainya pasti ia mengetahui hal-hal mendasar tentang Putri. Kenyataannya Sarif menyukai Putri memang dalam periode yang singkat, bisa jadi Sarif tidak mengetahui itu. Dan sebelum ia tahu, Putri sudah menjadi masa lalunya. “Aku tahu kamu juga menyukai seni menulis. Dalam suratmu, barisan kata dan kalimat yang kamu tulis terdengar seperti puisi atau semacamnya.” “Benarkah? Aku memang senang menuangkan ide dan pemikiranku dalam tulisan. Dan saat melakukannya aku seperti meninggalkan rekam jejak usia yang telah kulalui.” “Rekam jejak?” “Saat usiaku delapan tahun, rasanya aku mulai menulis ketika menginjak usia itu. Dan tetap kujalani hingga saat ini.” Sarif terlarut dalam kisahnya. “Ketika aku membaca tulisanku sendiri sejak aku memulainya dan sampai saat ini, aku bisa melihat jelas perbedaan waktu yang berlalu. Aku bisa melihat usia, kematangan pemikiran, perkembangan dan pemahaman diriku. Serta wawasan, kecemasan yang kualami, kisah pada masa itu dan banyak hal lagi yang bisa aku temukan pada tulisanku sendiri dalam setiap waktu yang terjadi.” Putri mendengarkan semua cerita Sarif tanpa memotong atau pun memberi reaksi hingga Sarif menyelesaikan ceritanya. “Aku tetap melakukannya sebagai cermin pembelajaran diri.” “Aku mengerti apa yang kamu maksudkan.” Kata putri. Cermin pembelajaran diri, Putri suka pemilihan kata yang Sarif gunakan. Itukah mengapa alasannya Putri selalu membaca surat-surat Sarif secara berulang. “Bagaimana denganmu?” Sarif ingin bisa bicara lebih lama dengan Putri seperti saat ini. “Aku? Ada apa denganku?” Putri bingung. “Tentang melukis, apa yang kau sukai?” “Hmm.. Tidak seperti Kakak yang pintar belajar dan mudah menguasai pelajaran sekolah. Saat kecil aku lebih suka menggambar dan mewarnai dengan krayon di buku gambarku.” Mungkin karena Sarif membuka dirinya lebih dulu hingga akhirnya Putri bisa bercerita tentang dirinya juga secara natural. “Saat kelas empat dan lima sekolah dasar aku mengikuti beberapa kontes. Guru dan orang tuaku melihat ada potensi, sejak itu aku diarahkan untuk pengembangan bakat.” Berbagi cerita seperti ini, Putri dan Sarif terasa sudah seperti teman akrab. Putri berpikir bukan ide buruk jika dirinya dan Sarif berakhir dengan menjadi teman dekat. Sebelumnya Putri tidak pernah memiliki seorang teman laki-laki. Pasti menyenangkan memiliki teman seperti Sarif yang memberikan kenyamanan dan dapat diandalkan berbagi cerita. “Biar aku antar kamu pulang.” Kata Sarif menyadari hari semakin sore, sudah saatnya mereka kembali pulang. “Tidak apa, rumahku jauh dari sini.” Tolak Putri segan. “Aku tahu, karena itu aku ingin mengantarmu pulang.” “Jangan, sungguh aku tidak apa-apa!” Putri menolak tegas. “Aku senang bisa berbagi cerita denganmu. Sampai bertemu besok di sekolah.” Putri pamit lalu bergegas pergi. Meninggalkan Sarif yang tersipu malu mendengar Putri mengatakan merasa senang bicara dengannya. Sarif bingung bagaimana harus mengartikan kata terakhir Putri. Atau Putri bisa juga tidak bermaksud apa pun dari perkataan itu. *** Di hari ketiga, ini adalah hari terakhir mereka menyebar proposal. Hari ini tugas selesai lebih lama dari hari-hari sebelumnya. Sarif dan Putri merasa sangat kelelahan selama tiga hari menjalankan tugas berturut-turut. Hari telah larut dan langit semakin gelap. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Putri dan Sarif berjalan bersama mencapai jalan raya untuk mencari kendaraan umum. “Terima kasih untuk hari ini, hati-hati di jalan.” Pesan Putri ketika mereka akan berpisah untuk naik angkutan umum yang berbeda tujuan. “Bagaimana kalau aku antar pulang? Hari sudah larut berbahaya kalau pulang sendiri.” Sarif kumpulkan keberanian untuk mengajukan diri. “Tidak, kamu juga pasti lelah. Cepat pulang dan beristirahat.” Tolak Putri sopan. “Bagaimana aku bisa beristirahat dengan tenang kalau membiarkanmu pulang sendirian. Kalau kamu tidak ingin aku tahu rumahmu aku akan mengantar hanya sampai―” “Bukan begitu.” Putri memotong perkataan Sarif. Pemuda itu terkejut Putri lebih agresif dari biasanya. “Bukan karena alasan itu, sungguh!” Putri mengulang perkataannya. Putri kesal mengapa Sarif tidak bisa mengerti maksud baiknya. Mereka berdua sama-sama merasa lelah, akan sangat melelahkan untuk Sarif menemani Putri pulang sampai ke rumah. Dan mengapa juga Putri tidak mencoba untuk mengerti niat baik Sarif yang mencemaskannya. “Lalu? Jadi karena apa?” Sarif masih menunggu penjelasan Putri. “Baiklah, lakukan saja jika itu yang kamu inginkan.” Putri mengalah. Tidak ingin berdebat, tidak ingin berpisah dengan akhir perasaan kesal atau saling marah. Sepanjang perjalanan dalam angkutan umum mereka berdua hanya saling diam. Tadi itu bukan berarti sebuah pertengkaran dan mereka diam bukan karena sedang marah. Melainkan karena tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Angkutan umum berhenti di komplek perumahan di mana Putri tinggal. Rumah Putri terletak agak di dalam komplek, untuk sampai harus sedikit berolahraga berjalan kaki. Sarif masih mengiringi Putri, menemaninya berjalan. Putri tetap menutup rapat mulutnya dengan pandangan menatap jalan. Sarif berjalan disampingnya dengan jarak sekitar setengah meter kurang lebih. “Apa menurutmu acara ini bisa berjalan lancar?” Sarif coba mencari topik pembicaraan untuk mencairkan suasana. “Harus! Harus kita buat lancar dan sukses.” Kata Putri optimis. Jika mengingat kerja keras mereka berdua serta usaha yang dikerahkan seluruh orang yang terlibat dalam rencana acara ini, Putri ingin acara berakhir dengan sukses besar. “Benar.” Sarif tersenyum. Sejenak kembali hening. “Apa kamu merasa terbebani bertugas denganku?” Sarif mengajukan pertanyaan acak, tanpa maksud apa pun. Mulai muncul topik perbincangan tentang mereka. “Kenapa kamu berpikir begitu?” Nada bicara Putri terdengar kecewa. Pandangan mata mereka bertemu. Sarif tidak kuasa memandang langsung wajah Putri terlalu lama, tapi juga tidak ingin menghindar. Sarif ingin memberi kesan baik di hadapan Putri. Putri tersadar mereka bertatapan cukup lama, timbul kecanggungan yang membuat Putri beralih pandang dari tatapan Sarif. Ia rasakan wajahnya memanas karena rasa malu. “Kamu berpikir aku tidak merasa nyaman bersamamu?” “Tidak, hanya saja.. Mungkin.” Sarif langsung menyesali telah bertanya. Juga menyesali dirinya yang terlalu jujur. Sarif sekilas mencuri pandang pada Putri. Memastikan Putri tidak marah padanya. Kali ini pun Sarif berharap momen perbincangan ini dapat berlangsung sedikit lebih lama. “Sejujurnya ada yang ingin kutanyakan padamu, sejak hari pertama kita mengerjakan tugas berdua.” Pandangan Putri jatuh menatap aspal jalan. Sarif diam membatu mendengar yang baru saja Putri katakan. “Apa yang ingin ditanyakan Putri? Apakah tentang surat yang kutulis untuknya?” Banyak pertanyaan berkelebat menguasai pikiran. Sarif menjadi antusias menanti pertanyaan putri. “Apa tentang alasan mengapa aku menyukainya? Atau tentang mengapa aku tidak lagi menulis surat untuknya?” Sarif masih bergulat dalam benak sendiri. Jika benar tentang semua itu, bolehkah Sarif bergembira dan mengartikan bahwa itu pertanda Putri juga tertarik padanya, sedikitnya Putri menyimpan rasa penasaran terhadap dirinya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD