Minta Uang Lagi

1113 Words
"Minta uang lagi," ujar Daffa sebelum berpisah dengan sang istri. Dia sudah berada di depan kos sang istri. Kos yang memiliki peraturan ketat seperti jam malam serta tidak boleh membawa laki-laki masuk ke dalamnya. Eksas mengerutkan kening. Ia berkata, "tadi kan udah." "Tinggal dua ratus ribu." Daffa menunjukkan isi dompetnya kepada Eksas. Hanya dalam waktu tidak lebih dari dua jam, sang suami sudah menghabiskan uang lebih kurang tiga ratus ribu. Sungguh hal yang akan membuat siapapun pusing termasuk Eksas yang hidup dengan penuh perjuangan hanya untuk menghasilkan uang setiap harinya. Eksas memijat pangkal hidung. Dia tidak bisa banyak mengeluh, apalagi uang yang ia pegang berasal dari orang tua Daffa. Tapi kalau sang suami terlalu boros, bisa-bisa Eksas akan mengecewakan kepercayaan dari Papa dan Mama mertuanya. Mereka sudah sangat baik kepada Eksas terutama Mama mertuanya. Eksas melihat isi dompetnya. Tinggal empat ratus ribu lagi. "Uang cashnya cuma empat ratus ribu. Apa kurang?" "Ya udah, segitu aja." Daffa mengambil sisa uang yang pertama kali Eksas ambil di Atm yang ada di dalam bandara. Eksas hanya mengambil satu juta saja untuk pegangan tapi dalam waktu singkat sudah tidak ada lagi. "Yakin cukup?" Eksas memastikan. Bagaimanapun gaya hidupnya dengan gaya hidup Daffa berbeda. Jadi dia tidak ingin Daffa sampai kekurangan uang. "Hm." Daffa menyimpan uang tersebut ke dalam kantong celana. Dia memperhatikan sebentar kosan sang istri. Lantas dia bertanya, "apa disini aman?" "Aman kok." Sejauh ini aman-aman saja. Harga kosnya juga sesuai dengan isi kantong walau sedikit jauh dari kampus. Dia harus berjalan beberapa menit untuk sampai ke kampus. "Kenapa nggak cari yang dekat dengan kampus?" "Mahal. Uang beasiswa nggak terlalu banyak jadi ya harus pandai-pandai untuk mengaturnya." Daffa menghela nafas panjang. "Jadi ke kampus naik apa?" "Jalan kaki," jawab Eksas. Dia tidak ingin sang suami merasa kasihan. "Tapi banyak juga kok jalan kaki," lanjutnya lagi. Daffa tidak ingin berlama-lama disana. Apalagi ia berada di depan kos perempuan. Pasti orang akan memandang mereka dengan tidak baik. Daffa pamit ala kadarnya. Selanjutnya mobil mengantar Daffa ke kosannya. Tentu saja kosan Daffa jauh berbeda dengan Eksas. Kosannya lebih seperti rumah yang memiliki tiga kamar. Dia sengaja mencari kosan seperti itu karena tidak nyaman jika terlalu banyak orang dalam satu rumah. Kawasan kos Daffa termasuk kawasan elit. Semua fasilitas lengkap. Dapur dengan kitchen set yang lengkap, kemudian ada kulkas, ada ruang untuk menonton, ruang tamu serta ada pendingin ruangan di setiap kamarnya. Keamanan terjamin serta parkir yang luas. Mobil sudah sampai. Daffa membayar biaya yang sudah tertera di aplikasi. Dia juga menambah karena sang driver sudah menunggu dirinya mengobrol sebentar dengans sang istri sebelum mereka berpisah. Lampu depan masih menyala. Daffa benar-benar tidak habis pikir. Padahal di dalam kos sudah ada dua manusia yang datang lebih dulu. Tapi bisa-bisanya mereka lupa mematikan lampu depan. Daffa membuka gerbang kos. Dia masuk sambil menarik koper. Pintu sedikit terbuka dan dia langsung masuk saja. Terlihat seorang pria yang seumuran dengannya tengah tiduran di sofa dengan laptop dan televisi yang menyala. Daffa hanya bisa geleng-geleng kepala. "Eh, suami orang udah datang ternyata." Zeef sedikit terkejut dengan kedatangan Daffa. Ia kira Daffa akan tiba dimalam hari karena ingin menghabiskan waktu dengan istrinya terlebih dahulu. Meskipun pada awalnya Zeef dan Aldi tidak percaya dengan status baru Daffa, tapi sekarang mereka sudah percaya. Dikosan ini ditempati oleh tiga orang yaitu Daffa sendiri, Zeef dan Aldi. Lantas dimana Bima tinggal? Mereka memang berkuliah di kampus yang sama, hanya beda jurusan saja. Bima tinggal di apartemen. Dia termasuk orang yang Perfeksionis sehingga cukup merepotkan jika tinggal bersama. "Hm." Zeef menguap. Dia seperti orang yang baru bangun tidur. Teman-temannya memang sedikit gila. Kehidupan penuh keterbalikan. Seharusnya malam untuk tidur, sedangkan siang untuk beraktivitas tapi mereka malah sebaliknya. Jam empat sore baru bangun dengan muka bantal. Luar biasa sekali. "Lo bawa makanan nggak?" tanya Zeef. Dia belum mengisi perut sama sekali. "Nggak." Daffa datang dengan tangan kosong. Buat apa juga beli oleh-oleh, mereka saja berasal dari daerah yang sama. "Gue belum makan." Zeef mengadu. "Terus?" Daffa seakan-akan tidak peduli. Padahal di dapur ada stok mie instan dan tinggal langsung masak saja. "Ya kirain lo bawa makanan gitu. Gue malas keluar soalnya." Zeef duduk di ujung sofa yang ditiduri oleh Aldi. Ia menggaruk kepalanya yang sedikit gatal. "Lo ada kutu ya?" tanya Aldi yang ternyata sudah bangun. Beberapa kali ia melihat Zeef menggaruk kepala. Jadi wajar kalau ia curiga dikepala sang teman ada binatang kecil yang bernama kutu. Zeef cukup tersinggung. Dia langsung mencabut bulu kaki Aldi. Tentu saja segala macam u*****n langsung keluar dari mulut Aldi. Bayangkan saja bulu kakinya tiba-tiba dicabut. Mana tingkat kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Zeef benar-benar gila. Tentu saja Aldi tidak tinggal diam. Dia langsung membalas dengan cara meletakkan tangannya di leher Zeef. Terjadi perlawanan dari Zeef. Hal seperti ini sudah biasa terjadi. Daffa juga tidak ingin peduli dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Keributan dari luar tidak terlalu terdengar ketika Daffa menutup pintu. Dia langsung merebahkan tubuh di atas ranjang. Beristirahat sebentar adalah hal baik untuk sekarang. Tapi ia tidak tidur sama sekali. Daffa hanya menatap langit-langit kamar. Baru juga beberapa menit di dalam kamar, suara teman-teman memanggilnya dari luar terdengar. Bahkan mereka menggedor kamar Daffa dengan kuat. Daffa terpaksa bangkit dari ranjang. Dia membuka pintu dengan wajah menahan kesal. "Kenapa?" tanya dengan ketus. Kini tidak hanya ada Aldi dan Zeef saja tetapi juga ada Bima. Entah kapan dia datang ke sini. "Istri lo mana?" tanya Bima. Dia tengah duduk di sofa dengan kedua kaki yang naik ke atas. "Di Kosnya lah." "Lah, kok gitu?" Teman-teman Daffa bertanya-tanya. Mereka kira setelah menikah, Daffa dan istrinya akan tinggal bersama. Mereka juga sudah sah secara agama dan hukum jadi tidak masalah. "Lo harapin apa?" Bima menyengir. "Otak lo agak konslet ya." Daffa tahu apa yang dipikirkan oleh teman-temannya. Dia juga normal dan tahu hubungan yang dilakukan oleh suami istri. Tapi sebelum itu terjadi, Daffa harus benar-benar memiliki perasaan kepada Eksas dan begitupun sebaliknya. Dia juga masih bisa mengontrol nafsunya sendiri, jadi hidup sendiri-sendiri tidak akan masalah. Banyak hal yang ingin Daffa lakukan, begitupun dengan Eksas. Zeef tertawa. "Wajar dong, lo juga udah nikah. Kecuali belum nikah." Zeef memberikan tanda silang karena hubungan intim sebelum nikah dilarang. Hal ini hanya akan merugikan pihak perempuan saja. "Atau mungkin... lo nikah cuma buat main-main ya?" tuding Aldi. Mata Daffa langsung melotot. "Enak banget kalau ngomong, mau ini?" Daffa menunjukkan kepalan tangan kepada sang teman. Urat-urat tangannya juga terlihat jelas. Aldi membuat gerakan untuk mengunci mulut. Dia tidak akan bisa melawan Daffa. Lebih baik Aldi langsung melambaikan tangan pada kamera saja. Kos Daffa dan teman-temannya selalu saja ramai sebagaimana kosan cowok pada umumnya. Dari semester awal sampai sekarang, mereka masih baik-baik saja. Tentu saja mereka pernah bertengkar, tapi kemudian mereka baikan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD