PART. 13
Kirana sudah merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa dengan selimut menutup rapat tubuhnya.
Arsyl belum pulang, mungkin ia tak akan pulang karena pasti dia tengah menghabiskan malam bersama Karina, pikir Kirana.
Kirana tidak tahu kenapa tiba-tiba air mata jatuh di pipinya. Dihapus pelan air matanya, kini dadanya yang terasa sesak. Kirana bangun dari rebahnya, tapi buru-buru berbaring lagi saat terdengar suara pintu kamar yang dibuka. Ia mengintip dari sela bulu matanya, Arsyl melangkah masuk masih dengan pakaian yang dipakainya tadi, saat mereka bertemu di rumah sakit.
Arsyl mendekatinya, Kirana menutup mata dengan rapat, dan berusaha menahan nafasnya. Kirana merasakan kecupan Arsyl mendarat di atas keningnya, di kedua matanya, juga di bibirnya.
'Ya Tuhan.
Jangan biarkan hatiku goyah karena sikap manisnya.'
Doa Kirana di dalam hati.
Arsyl masuk ke dalam kamar mandi, tidak berapa lama ia ke luar lagi dengan rambut basah, dan handuk melilit di pinggangnya.
Arsyl mengambil celana boxer dari dalam lemari, lalu melepas handuknya, dan memasang celana boxernya. Kirana masih memejamkan rapat matanya, saat Arsyl melakukan itu.
Tiba-tiba Kirana merasa tubuhnya melayang, dan diturunkan di atas alas yang empuk. Kirana merasakan lengan kokoh yang dijadikan bantal untuk kepalanya, sedang lengan yang lain memeluk pinggangnya.
Kirana bisa mencium aroma harum yang membuai penciumannya.
Entah kenapa ia merasa ingin pasrah sepasrahnya, terhadap apapun yang ingin dilakukan Arsyl pada dirinya.
"Kirana ...." bisik Arsyl di telinga Kirana, tapi Kirana diam saja.
"Kirana ... aku tidak pernah membayangkan sebelumnya, kalau pada akhirnya cinta itu akan kembali lagi." Arsyl mempererat pelukannya.
Kirana hanya bisa menangis dalam hatinya.
'Aku tahu Karinamu sudah kembali ... aku tahu ....'
Kirana hanya bisa menangis di dalam hati.
Arsyl mengecup rambut Kirana lembut. Lalu ia berusaha memejamkan mata, tidur dengan Kirana dalam dekapannya.
--
Arsyl terbangun saat matahari mulai tinggi. Kirana sudah tidak ada dalam pelukannya lagi.
'Aahh ... pasti dia dibawah,' batin Arsyl yang segera masuk ke dalam kamar mandi. Arsyl menuruni anak tangga dengan wajah ceria, ia semakin yakin dengan apa yang ada di dalam hatinya.
"Bik, Kirana mana?" tanya Arsyl pada Bik Ning yang menghampirinya.
"Non Kirana sudah pergi Tuan muda, dia menitipkan surat ini." Bik Ning mengangsurkan amplop putih ke tangan Arsyl.
Arsyl menerima amplop itu dengan perasaan bingung.
"Dia pergi ke kampus? Kok pakai titip surat segala?" Arsyl membuka amplop putih itu.
Assalamuallaikum wr.wb.
Abang.
Aku rasa sudah saatnya pernikahan ini diakhiri.
Aku tidak ingin menjadi benalu dalam hubungan Abang, dan Karina.
Abang mencintai dia, begitupun Karina pasti juga mencintai Abang.
Aku tidak mungkin sanggup merenggut kebahagiaan yang dirasakan oleh Bu Kartika juga yang dirasakan Karina.
Abang.
Aku baru tahu kalau Bu Kartika itu Ibu kandungku, dan Karina itu Kakak satu Ibu denganku.
Abang.
Aku akan menemui Ayah, aku akan bicara pelan-pelan pada Ayah mengenai hal ini, aku yakin Ayah pasti akan bisa mengerti.
Abang.
Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi, aku akan minta Ayah agar mengijinkanku untuk tidak tinggal di rumah besar lagi.
Maafkan kalau ada salahku pada Abang.
Semoga Abang, dan Karina bisa hidup bahagia, tak perlu Abang beritahukan tentang aku pada Bu Kartika, dan Karina, biarlah mereka tetap menganggap aku tak pernah ada.
Sekali lagi maafkan salahku.
Wassalam.
Kirana.
'Arsyl meremas surat Kirana.
Kau bodoh....
Kau bodoh....
Kau bodoh Kirana!
Kau yang aku cintai bukan Karina.
Karina ... Kirana tahu tentang aku, dan Karina, dia ....'
Arsyl berlari menaiki tangga menuju kamar tidurnya, ia masuk ke dalam kamar mandi, dan tepat seperti apa yang ia duga. Busana muslim yang dipakai wanita, yang memakai masker, dan kacamata di kamar perawatan Bu Kartika ada di dalam keranjang cucian.
Ia sudah curiga itu Kirana, karena ia sempat melihat cincin yang dipakai wanita itu. Tadi malam ia terlalu lelah hingga malas mengamati baju di dalam keranjang cucian itu.
Arsyl segera turun ke bawah lagi, ia akan menyusul Kirana yang akan menemui Ayahnya.
Baru saja ia menjejakan kakinya di dasar tangga.
Drrtt ....
Drrtt ....
Ponselnya berbunyi.
"Hallo."
"Dengan Pak Arsyl?"
"Ya benar, saya sendiri."
"Kami dari kepolisian, Pak."
"Kepolisian, ada apa, Pak?"
"Apakah Ibu Kirana adalah istri anda?"
"Iya, benar."
"Ibu Kirana baru saja mengalami kecelakaan, dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit ...." Polisi itu menyebutkan nama rumah sakitnya.
"Apa?" Tanpa sadar, Arsyl berteriak cukup nyaring.
"Kami harap, Bapak bisa segera datang ke rumah sakit."
"Ya, ya saya segera ke sana sekarang."
Arsyl menutup telponnya, lalu berlari naik lagi ke atas menuju kamarnya.
Diambil kunci mobil, dan dompetnya.
--
Arsyl berusaha menenangkan Kirana yang kembali histeris, setelah sadar dari pingsannya, yang entah sudah keberapa kali.
Kenyataan yang ada membuat Kirana menjadi goyah, membuatnya kehilangan kepercayaan dirinya.
Kirana terus meronta, seraya berteriak histeris dalam dekapan Arsyl. Infus di tangannya sudah terlepas karena ia renggutkan secara paksa.
Lantai kamar berantakan, karena Kirana sempat melemparkan apa saja yang diraihnya secara sembarang.
"Istighfar Kirana, istighfar. Astaghfirullah hel adzim. Ingatlah Allah tidak akan memberikan ujian diatas kemampuan kita." Arsyl menitikan air matanya, sepuluh tahun sudah, ia sendiri lupa untuk mengingat penciptanya, dan hari ini ia meminta agar Kirana ber Istighfar.
Arsyl merasa malu pada dirinya sendiri, yang selama ini hidup bergelimang dosa.
"Kenapa Allah menimpakan ini padaku, apa salahku! Apa salahku!" Kirana berteriak histeris, ia menangis, meraung, dengan suara sangat nyaring. Wajah Kirana basah oleh air mata. Pakaiannya basah oleh keringat. Rambutnya kusut masai karena ia tarik-tarik.
"Kirana dengarkan aku, Kirana. Kamu harus sabar, harus tabah, dan harus ikhlas menerima cobaan ini, aku yakin semua akan bisa dilewati." Arsyl menangkup wajah Kirana dengan kedua telapak tangannya.
Kirana tetap ingin berontak, tangannya berusaha melepaskan tangan Arsyl di wajahnya.
"Lepaskan aku, kenapa tidak biarkan aku mati saja dari pada aku harus hidup begini!" pekik Kirana dengan airmata terus membasahi kedua pipinya.
"Aku sudah tidak berguna, untuk apa lagi aku hidup, biarkan aku mati! Aku ingin mati saja, lepaskan aku! Lepaskan akuuu ...." Kirana memukuli lengan Arsyl.
"Kirana, Kirana siapa bilang kamu tidak berguna! Kamu ...." Arsyl mendekap kepala Kirana ke dadanya.
"Aku tidak berguna, aku tidak bisa melihat lagi, aku tidak bisa berjalan lagi, apa yang bisa diharapkan dari orang buta, dan lumpuh seperti aku!" suara Kirana semakin meninggi.
Arsyl memeluknya semakin erat.
"Kamu harus tahu, kamu sangat berarti bagiku, Kirana. Kamu harus tahu aku mencintaimu, aku mencintaimu ...." Arsyl mengecup kepala Kirana lembut. Perasaan Arsyl juga ikut terguncang, melihat apa yang terjadi pada Kirana. Arsyl mengerti, tidak akan mudah untuk membangkitkan semangat hidup Kirana.
**BERSAMBUNG**