Universe (Prequel That Should (not) Be Me)

3520 Words
Kopi adalah hal pertama yang dicari oleh Oh Sehun tiap kali membuka mata. Pemuda tampan ini memang sangat menyukai Si Hitam yang pengandung kafein tersebut. Bahkan di apartemennya ia punya mesin pembuat kopi sendiri. Baginya kopi adalah teman terbaik saat menikmati waktu sendirinya. Namun akhir-akhir ini Sehun menjadi malas membuat kopi paginya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebab tak jauh dari gedung apartemennya ada sebuah kedai kopi baru yang cukup enak. Sayangnya, bukan itu alasan utama Sehun sering menyambangi kedai tersebut. Ada hal lain yang membuat Sehun betah berlama-lama di sana sambil menikmati secangkir kopi favoritnya. Kim Nara. Nama yang terdengar cantik dan indah itu tentu saja milik seorang gadis. Siapa dia? Dia adalah seorang gadis pekerja paruh waktu di kedai kopi langganan Sehun. Gadis itu selalu mendapat giliran menjaga kasir pada pagi hari. Nah, itulah yang selalu ingin Sehun lihat setiap menyambangi kedai; wajah cantik dan senyuman manis gadis bernama Kim Nara. Sebenarnya Kim Nara seangkatan dengannya di kampus. Mereka satu fakultas, tapi berbeda jurusan. Nara mengambil jurusan akuntansi, sementara dirinya mengambil jurusan bisnis. Sayangnya, Sehun baru mengetahuinya baru-baru ini. Padahal ini adalah tahun keduanya di kampus. Kalau saja ia tidak bertanya pada gadis cantik itu, ia pun tidak akan mengetahuinya. "Pagi ini kau sedikit terlambat dari biasanya?" Nara bertanya sambil mengurus pesanan Sehun. Saking seringnya Sehun menyambangi kedai, Nara sampai hafal pada kebiasaan pemuda tampan itu. Beberapa kali mereka juga sempat mengobrol soal banyak hal. Inilah yang membuat mereka semakin dekat. Mendengar pertanyaan itu, Sehun menyengir kuda. "Semalam aku mengerjakan tugas hingga pukul 2 pagi. Jadi aku bangun sedikit terlambat pagi ini." Nara tersenyum. "Begitu?" Lantas, gadis cantik itu pun mengangguk sambil menyerahkan pesanan pemuda di hadapannya. "Silakan!" "Terima kasih!" Akan tetapi Sehun tak kunjung pergi dari tempatnya dan justru berdiri diam di depan kasir. Berulang kali pemuda itu membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu. Tetapi ia selalu mengatupkannya kembali, seakan ragu dengan apa yang hendak ia utarakan. Nara menyadari hal ini. Maka dari itu ia pun berinisiatif bertanya pada Sehun. "Kenapa? Apa kau ingin memesan yang lain?" Sehun buru-buru menggeleng. "Tidak, tidak. Aku tidak ingin memesan apa pun lagi." Sehun berhenti bicara. Sepertinya pemuda tampan itu sedang menyusun kata-kata. "Maukah kau berkencan denganku besok Sabtu?" Tak pelak rona merah menghiasi pipi pualam Nara tepat setelah Sehun bertanya demikian. Dengan diiringi senyum dan anggukan malu-malu, Nara pun menjawab, "Baiklah." Dari situlah getaran-getaran cinta dari sepasang anak manusia ini terjalin dengan begitu erat. Sabtu itu, mereka resmi menjalin hubungan. ***** "Nara!!" Teriakan memekakkan telinga menyapa Nara di malam yang cukup sunyi ini. Gadis cantik yang sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya itu menggeram kesal pada objek cantik yang kini memeluk tubuh kurusnya dengan cukup erat. "Kiara, aku tidak bisa bernapas! Ada apa sih?!" sembur Nara begitu pelukan sahabatnya kian erat, seakan ingin mencekiknya. Nara berusaha membebaskan tubuh kurusnya dari gadis bernama Kiara itu. Kiara pun melepaskan tubuh Nara, tapi cengiran bodoh gadis itu masih membuat sang sahabat mengerutkan dahi heran. Nara baru akan bertanya, tapi Kiara sudah lebih dulu berkata, "Tadi aku bertemu dengan dia lagi, Nara. Kali ini aku bisa melihat wajah tampannya dengan lebih jelas." Kerutan di dahi Nara kian dalam. "Dia siapa?" "Siapa lagi kalau bukan pemuda yang menolongku waktu itu, Nara? Yang kemarin kuceritakan padamu. Masa kau lupa?" Kiara gemas. Nara sibuk mengingat-ingat. Kiara menanti reaksi Nara dengan sabar. Ah! Sekarang Nara ingat. Beberapa hari yang lalu Kiara hampir menjadi korban perampokan oleh sekumpulan preman. Malam itu Kiara baru pulang dari agenda pemotretan. Yeah, Kiara adalah seorang model. Sebenarnya gadis bertubuh langsing tersebut kuliah di Paris. Dia sedang pulang ke Korea untuk liburan. Selama berada di tanah kelahirannya itu Kiara banyak melakukan pemotretan. Maklum, sejak masih duduk di bangku SMA gadis itu memang sudah terkenal di kalangan model. "Aku ingat sekarang. Lalu bagaimana? Kau sudah tahu siapa namanya?" tanya Nara antusias. Sedikit banyak Nara tahu tentang perasaan sahabatnya itu. Kiara mengaku kalau ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada pemuda misterius yang telah menyelamatkannya. Kiara menghembuskan napasnya lesu. "Aku belum tahu. Tadi aku memang bertemu dengannya, tapi kami tidak sempat bertegur sapa. Dia kelihatan buru-buru sekali tadi." Melihat sahabatnya bersedih, Nara pun mengulurkan tangannya dan mengusap bahu Kiara. "Ya sudah, tidak apa-apa. Kalau berjodoh, kalian pasti akan bertemu lagi." "Benarkah?" Kiara berbinar. Nara mengangguk meyakinkan. "Tentu saja!" Senyum Kiara makin lebar setelah itu. Namun, tiba-tiba gadis cantik itu terkesiap. "Oh ya, kau bilang kau sekarang sudah punya kekasih? Ayo kenalkan padaku! Aku penasaran seperti apa tipe lelaki sahabatku ini." Kiara menaik-turunkan alisnya, menggoda sang sahabat. Yang digoda justru merona malu. "Jangan begitu, Ki! Kau membuatku malu." "Malu kenapa? Karena ini pengalaman pertamamu, ya? Sudah tidak perlu malu! Siapa namanya? Ayo ceritakan tentangnya!" "Namanya Oh Sehun," Nara memulai dengan nada malu-malu. Setelah itu, Nara dan Kiara sudah larut dalam perbincangan mengenai sosok kekasih Nara tersebut. ***** "Jadi ini kekasihmu yang kau ceritakan padaku itu?" Kiara bertanya sambil menatap Sehun dan Nara dengan tatapan ... tak menyangka? Siang itu Nara mengajak Kiara makan berdua di kafe dekat apartemen sederhananya. Mereka sibuk mengobrol dan bercanda tawa. Namun, tiba-tiba saja ponsel Nara berdering. Rupanya itu Sehun yang bertanya di mana keberadaannya sekarang. Saat itulah Kiara berinisiatif mengajak Sehun bergabung bersama mereka. Akan tetapi, kehadiran Sehun di sana justru berbuah pahit bagi Kiara. Hancur sudah hatinya begitu tahu kalau sosok yang digadang-gadang sebagai kekasih sang sahabat adalah pemuda yang menjadi bunga malamnya akhir-akhir ini. Ya, Kiara tak menyangka bahwa pemuda yang membuatnya jatuh cinta sejak pertemuan pertama itu adalah milik Nara, kekasih Nara. Melihat keterdiaman sang sahabat, Nara pun menjadi heran. "Iya, ini Oh Sehun, kekasihku. Kenapa, Ki?" Yang ditanya gelagapan. "Oh, tidak apa-apa." Kiara menyunggingkan senyumnya sedikit terpaksa. Tak lama setelah itu, uluran tangan ia berikan pada Sehun yang rupanya sama sekali tak mengenalinya. "Aku Kiara Jung." "Oh Sehun," balas Sehun dengan nada ramah. Kiara mengangguk sebagai balasan. Tak lama, gadis itu terkesiap pelan. "Eh, maaf sebelumnya ... aku harus pergi. Aku ada pemotretan, jadi—" "Lho, bukankah tadi kau bilang kau tidak ada pemotretan?" Pertanyaan Nara membuat Kiara kikuk. "Aku lupa, Nara. Ternyata hari ini aku pemotretan." Kiara bangkit dari duduknya dengan cukup tergesa. "Ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu, ya? Dah!" Kiara pergi dari kafe begitu saja, tanpa mendengar balasan Nara terlebih dahulu. Hal ini membuat Nara dan Sehun keheranan. Mereka saling bertatapan tak mengerti. Sekeluarnya dari kafe itu, Kiara sibuk menangis di dalam mobilnya. Ia sedih, marah, dan kecewa sebab lagi-lagi ia kalah telak dari Nara. Sejak kecil Nara dan Kiara sudah bersahabat. Bahkan hubungan mereka sudah seperti kakak-adik. Orang tua Kiara juga sudah menganggap Nara seperti anak kandung mereka sendiri, mengingat bahwa gadis itu adalah anak yatim piatu sejak berusia tujuh belas tahun. Namun, kedekatan mereka rupanya tidak selalu menguntungkan. Kiara acap kali dibanding-bandingkan dengan Nara dari segi apa pun, baik dalam hal perilaku, maupun prestasi. Jujur, Kiara merasa terbebani oleh hal itu. Terkadang ia merasa malu dan kesal. Tak jarang gadis itu juga merasa iri karena curahan perhatian kedua orang tuanya yang kadang justru lebih besar kepada Nara. Kiara sama sekali tak pernah membenci Nara karena hal itu. Memang ia iri, tapi untuk membenci gadis itu ... Kiara tidak pernah bisa melakukannya. Well, Kiara pernah berpikir untuk membenci sahabatnya itu. Namun entah kenapa selalu tidak bisa. Rasa sayangnya pada Nara jauh lebih besar dari niatnya untuk membenci gadis itu. Akan tetapi kali ini sepertinya berbeda. Karena seorang pemuda bernama Oh Sehun, kebencian yang telah lama Kiara tepis dari hatinya kini mulai muncul ke permukaan. "Kali ini aku tidak boleh kalah dari Nara. Sudah cukup selama aku kalah darinya di hadapan orang tuaku. Sekarang itu tidak boleh terjadi lagi." Tekad Kiara untuk mendapatkan Sehun pun semakin kuat. Apa pun yang terjadi, pemuda itu harus menjadi miliknya. Bagaimanapun caranya. ***** A year later Nara menghembuskan napas lesu untuk kesekian kali. Tatapan nanarnya ia arahkan pada ponsel dalam genggaman. Saat ini ia sedang duduk sendiri di ranjang apartemennya. Sudah hampir seminggu ini Sehun sulit dihubungi. Entah apa yang terjadi, Nara tak mengerti. Sungguh, Nara sangat khawatir. Gadis cantik itu takut sesuatu yang buruk menimpa kekasihnya. Tak hanya Sehun, Nara juga merasa khawatir pada keadaan sang sahabat, Kiara. Kabarnya Kiara sudah kembali dari Paris, tapi tak pernah sekalipun ia menghubungi Nara selama di Seoul. Padahal biasanya Kiara akan mengabari Nara soal kepulangannya dan mereka pun akan berkumpul bersama. Namun sampai saat ini sahabatnya itu tak pernah menampakkan batang hidungnya. Jangankan menampakkan diri, menghubungi Nara saja tidak. Bahkan Nara tahu soal kepulangan Kiara dari Shinbi, salah satu teman mereka yang juga menjadi seorang model seperti Kiara. Ada apa dengan Sehun dan Kiara? Nara sudah mencoba mencari tahu, tapi petunjuk mengenai kondisi kedua orang tersayangnya itu tak kunjung menemui titik temu. Sungguh, ini semua membuat Nara kalut. Penantian Nara akhirnya terbayarkan saat suatu pagi ia menerima panggilan dari Kiara. Nara menerima panggilan itu dengan perasaan lega. Namun reaksi Kiara sungguh di luar dugaannya. Gadis itu bicara dengan nada dinginnya. Nada bicara yang biasanya hanya ditujukan kepada orang asing itu kini Kiara tujukan pula pada Nara. Jelas saja hal ini membuat Nara kebingungan. Alih-alih memusingkan soal sikap berbeda yang Kiara tunjukkan, Nara tetap menerima ajakan temu dari gadis itu dengan senang hati. Siang itu, Nara sudah duduk di kafe tempat janji temunya dengan Kiara. Kafe itu adalah tempat favorit mereka. Sudah hampir sepuluh menit berlalu dari waktu yang mereka sepakati, tapi batang hidung Kiara tak kunjung kelihatan. Nara berpikir mungkin saja jalanan sedang macet maka dari itu Kiara datang terlambat. Sekitar lima menit kemudian, Nara mendengar derap langkah mendekat ke arah meja yang ia tempati. Derap langkah itu berasal dari belakang punggungnya, jadi Nara pun menoleh demi melihat apakah yang datang benar Kiara atau bukan. Akan tetapi saat hazelnya berhasil menangkap dua sosok yang berjalan berdampingan ke arahnya, Nara membeku. Kiara datang bersama Sehun, kekasihnya. Tapi yang membuat Nara kaget setengah mati adalah karena mereka berjalan sambil bergandengan tangan mesra. Senyum mengejek tampak jelas di wajah Kiara saat melihat raut bingung yang ditunjukkan oleh Nara. Dengan santai, ia mengajak Sehun untuk duduk di sebelahnya, di hadapan Nara. Berbeda dengan Kiara yang menampilkan senyum bangganya, Sehun justru tampak kaku. Tatapan dan raut wajah pemuda itu sama sekali tidak bisa dideskripsikan oleh Nara yang melihatnya. "Kiara ... Sehun ... Apa yang—" "Aku tahu kau pasti sedang bingung saat ini, kan? Nah, kami berdua ingin menjelaskan sesuatu yang sangat penting padamu, Nara. Ini mengenai hubungan kami." Nara tercekat. Kumpulan kristal bening mulai menggenangi pelupuk matanya. Kiara memang belum menyampaikan apa pun padanya, tapi entah kenapa d**a Nara sudah terasa sesak duluan. Hatinya berkata ada yang tidak beres. "Aku dan Sehun sudah dijodohkan oleh orang tua kami. Bulan depan kami akan menikah." Dan air mata itu pun luruh begitu saja. Saking terkejutnya, Nara bahkan sampai tidak bisa berkata apa-apa. Ia ingin bertanya secara detail mengenai hal ini, tapi lidahnya terasa kelu. Terlalu banyak yang ingin ia tanyakan, tapi tak ada satu pun yang dapat ia utarakan begitu saja. Rasa sakit yang sudah terlanjur merajai hati membuatnya bak orang linglung. "Ini undangannya," Kiara berujar sambil mengangsurkan selembar kertas undangan di atas meja. "Kuharap kau bisa datang, ya?" Perkataan Kiara membuat jantung Nara semakin terasa tertusuk. Sakit sekali. Nara tak pernah menyangka bahwa kedua orang yang paling ia percayai di dunia akan berlaku seperti ini padanya. Nara merasa dikhianati. Tidak! teriak batinnya. Walaupun merasa sakit, Nara tidak boleh menunjukkannya. Ia harus kuat. Selama ini hidupnya banyak diterpa ujian. Dan selama itu Nara bisa melewatinya dengan tegar. Kali ini pun ia juga harus begitu. Ia harus kuat, paling tidak untuk dirinya sendiri. Lantas, Nara pun memberanikan diri mengambil undangan bernuansa merah itu walaupun hatinya terasa hancur di saat yang sama. Senyum tipis yang tampak dipaksakan muncul di kedua sudut bibirnya seraya berkata, "Aku akan datang." Jawaban Nara membuat Kiara tersenyum puas. "Aku senang mendengarnya." ***** Hari itu datang juga. Peresmian hubungan Kiara dan Sehun di atas altar baru saja usai. Wajah bahagia Kiara, kedua orang tuanya, serta kedua orang tua Sehun menghiasi hazel Nara. Namun, diam-diam ia merasa sedikit aneh saat tak menemukan raut suka cita yang sama pada wajah Sehun. Sebaliknya, pemuda itu tampak memendam sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa disampaikan olehnya secara gamblang. Apakah Sehun terpaksa menerima perjodohan itu? Itu sebabnya ia sama sekali tidak merasa bahagia? Tapi, kenapa Sehun selama ini hanya diam? Kenapa ia tidak mencoba menjelaskan semuanya pada Nara? Sungguh, Nara begitu penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda yang sampai saat ini masih sangat ia cintai itu. Ada banyak hal yang ingin Nara dengarkan dari mulut Sehun, tapi ia sadar bahwa kini semuanya terasa percuma. Sehun-nya sudah menjadi milik orang lain. ***** Usai menghadiri acara pernikahan Sehun dan Kiara, Nara memutuskan untuk pergi dari Seoul. Gadis cantik ini memilih untuk pergi ke Busan, kampung halamannya. Nara ingin sedikit menenangkan dirinya dengan tinggal di sana untuk beberapa waktu ke depan. Selama berada di Busan, Nara tinggal rumah lamanya. Rumah yang sudah selama hampir lima tahun tak ia sambangi itu selama ini dibiarkan kosong. Sengaja, agar saat pergi ke Busan seperti sekarang ia bisa menggunakan rumah itu untuk menginap. Pagi pertama di Busan Nara awali dengan sarapan secangkir kopi dan roti bakar. Sama seperti Sehun, Nara juga amat menyukai minuman pengandung kafein tersebut. Akan tetapi kalau urusan candu, Sehun lebih maniak ketimbang Nara. Biasanya Nara hanya minum kopi sekali dalam sehari. Berbeda dengan Sehun yang bisa minum kopi hingga dua sampai tiga kali sehari. Ah, Sehun .... Lagi-lagi Nara memikirkan pemuda itu tanpa sadar. Sejujurnya Nara sudah mencoba menghapus bayang-bayang Sehun sejak sebulan lalu saat ia menerima undangan pernikahan itu. Namun apa daya, kenangan yang sudah terukir sejak dua tahun kebersamaan mereka terlalu membekas di benaknya. Terlalu sulit untuk dihapus begitu saja. "Lupakan, Kim Nara! Lupakan dia!" Sambil berusaha menghilangkan bayang-bayang Sehun dari benaknya, Nara melahap roti bakarnya. Namun, semakin lama Nara berusaha semakin sulit juga nama Sehun terhapus dari hatinya. Semakin terasa sesak dadanya dan hal itu membuat Nara akhirnya menumpahkan air matanya. Nara terisak keras di atas meja makan. Tok! Tok! Tok! Di tengah isak tangisnya, Nara mendengar suara pintu rumahnya diketuk. Lantas, gadis cantik itu buru-buru menghapus air matanya dan bergegas membukakan pintu. Alangkah terkejutnya Nara saat melihat siapa sosok pemuda yang sedang berdiri di sana. "Se-Sehun? Sedang apa kau—" Tanpa basa-basi, Sehun segera menarik tubuh kurus Nara ke dalam pelukannya. Untuk sesaat, Nara seolah lupa dengan statusnya dan Sehun kini. Hampir saja tangannya terulur untuk membalas dekapan pemuda itu dengan sama eratnya. Beruntung, otak cantiknya masih cukup waras untuk menyadari semua sehingga ia hanya bisa diam dan berusaha mati-matian untuk menahan diri. Padahal sebenarnya Nara juga sangat ingin menyalurkan kerinduannya pada pemuda itu. Sayangnya, Nara hanya bisa melampiaskannya lewat gigitan bibir dan kepalan tangan di sisi tubuhnya, tak bisa berbuat lebih. "Aku merindukanmu, Kim Nara. Sangat rindu." Kata-kata Sehun membuat air mata Nara mengalir begitu saja. Kini ia tanpa sadar membalas dekapan Sehun dan menangis keras di d**a pemuda itu. "Selama ini aku mati-matian menahan diri untuk tidak menemui dirimu, Nara. Aku tidak bisa menemuimu karena keluargaku dan keluarga Kiara. Aku terjebak. Aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Percayalah, sejujurnya aku menentang keras perjodohan itu. Tapi ... Kiara mengancam akan bunuh diri jika aku tidak mau menikah dengannya." "Apa?!" Nara langsung menarik diri secara tiba-tiba usai mendengar penjelasan Sehun. Tatapannya menyiratkan ketidakpercayaan. "Apa maksudmu Kiara ingin bunuh diri? Kenapa dia begitu?" Sehun mendengus kasar saat melanjutkan, "Selama ini Kiara menyukaiku. Dia mencintaiku sejak aku menyelamatkannya dari perampok setahun yang lalu—" "Jadi kau pemuda itu?!" Lagi-lagi Nara terkejut. Sehun mengangguk. "Aku saja juga baru mengetahuinya belum lama ini." Seketika Nara tercenung. Ia sungguh tak menyangka bahwa pemuda yang selama ini diceritakan oleh Kiara dalah kekasihnya sendiri. "Nara?" Nara menoleh. Ia terkesiap pelan saat Sehun mendekatkan tubuh mereka kembali dan menyatukan dahi mereka berdua. Dengan mata terpejam Sehun berujar, "Sungguh berat rasanya berpisah denganmu. Aku tidak sanggup, Nara. Kau adalah semestaku. Kau poros duniaku. Tanpamu aku tak ada apa-apanya. Aku hanya seonggok daging tanpa nyawa jika kau tak berada di sampingku." Dahi Nara berkerut heran mendengar ucapan Sehun. "Sehun, apa maksud dari perkataanmu?" Sehun membuka matanya kembali. Tangan kanannya yang berada di pinggang Nara kini merambat ke atas, ke tengkuk gadis itu. Sehun menatap Nara intens saat berujar, "Nara, kumohon kembalilah padaku! Aku tidak sanggup jika harus berpisah denganmu. Aku ingin kita bersama lagi seperti dulu—" Nara mendorong tubuh Sehun menjauh. "Jangan gila, Sehun! Mana mungkin kita bersama lagi? Status kita sekarang—" "Persetan dengan statusku, Nara!" Sehun menarik kembali bahu Nara agar  mendekat padanya. Napasnya memburu. "Aku tidak mencintai Kiara. Hanya kau yang kucinta, tak ada yang lain. Kaulah napasku, Nara. Kau segalanya bagiku. Berpisah denganmu sama saja dengan bunuh diri. Kau ingin melihatku mati bila berjauhan denganmu?" Nara menatap Sehun tak habis pikir. "Sehun! Apa sih yang kau bicarakan?! Kau itu suami orang. Suami sahabatku! Aku tidak mungkin merebutmu dari—" "Faktanya dialah yang merebutku dari dirimu, Nara! Dia sudah tahu sejak setahun yang lalu kalau kita berpacaran, tapi dia tetap egois menginginkan diriku. Bahkan dia menggunakan cara kotor untuk membuatku terikat dengannya. Dengan menikahinya saja itu sudah pengorbanan besar bagiku. Lantas, salahkah jika sekarang aku ingin bersikap egois dengan kembali padamu?" Nara tak bisa menjawab. Gadis itu hanya sanggup menundukkan kepalanya. Sungguh, tawaran Sehun terdengar menggiurkan. Jauh di lubuk hatinya terdalam ia juga ingin kembali menjalin hubungan dengan Sehun. Namun, hati nuraninya tidak semudah itu mengizinkan. Nara masih saja teringat akan sosok Kiara. Sungguh ia tidak bisa mengkhianati sahabatnya itu walaupun sejak awal Kiara-lah yang berkhianat lebih dahulu. Berdasarkan status, jelas di sini Nara-lah pengkhianatnya. Sehun mengangkat dagu Nara lembut agar gadis itu mau menatapnya. Senyum sendu langsung menghiasi wajah tampan Sehun saat mendapati pipi gadisnya basah oleh air mata. "Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan, Nara. Aku paham betul kalau hati nuranimu jelas tak ingin mengiyakan niatanku. Tapi asal kau tahu, di sini yang merasa tersakiti adalah kita berdua. Kita berdua terpaksa berpisah karena Kiara. Tapi sekarang kau justru mengkhawatirkan perasaannya? Lalu bagaimana dengan perasaanku? Apa kau juga memikirkannya? Bagaimana juga dengan perasaanmu? Apakah kau tidak merasa sakit?" Lagi-lagi Nara terbungkam oleh kata-kata Sehun. Gadis itu semakin berada dalam posisi sulit. Bagai makan buah simalakama; serba salah. Ia tidak ingin menyakiti Sehun dan dirinya sendiri, tapi ia juga tidak sanggup menyakiti Kiara secara tidak langsung dengan tetap mengencani Sehun. Alih-alih menjawab pertanyaan Sehun, Nara kini hanya bisa terisak. Sungguh, batinnya berperang dengan begitu pelik saat ini. Haruskah ia juga bersikap egois kali ini? Sehun menghela napas cukup kasar sambil membebaskan tubuh Nara dari kuasanya. Pemuda itu menjauh dari tubuh Nara hanya untuk meloloskan u*****n ke udara. Sehun tampak kalut saat ini. "Aku ... mau." Ucapan lirih yang Nara lontarkan mau tak mau membuat Sehun menatap gadis itu terkejut. Untuk memastikan pendengarannya, Sehun sampai harus kembali mendekati Nara untuk mendengar suara gadis itu sekali lagi. Sehun menyarangkan kedua tangannya di bahu sempit Nara. Tatapannya penuh harap. "Apa katamu tadi? Kau mau ... apa?" Nara terkekeh sebentar sebelum menjawab, "Aku mau ... kembali padamu. Aku mau menjalin hubungan lagi denganmu." Oke, rupanya Nara memilih mengikuti perkataan Sehun untuk bersikap egois sekali ini saja. Jawaban Nara membuat raut Sehun yang tadinya terlihat putus asa kini mendadak cerah. Senyum bahagia menghiasi wajah tampan pemuda itu. Sehun memeluk Nara sambil mengangkat tubuh ramping kekasihnya itu ke udara. Sehun memutar tubuh Nara hingga membuat sang empunya memekik terkejut. Sepasang kekasih ini pun saling berpelukan dan tertawa bersama. Sejenak melupakan kepedihan yang sempat mereka rasakan beberapa saat lalu. Puas tertawa dan berpelukan, kini Sehun mulai menurunkan tubuh Nara ke lantai. Tatapan elangnya enggan lepas dari tatapan lembut kekasih hatinya. Entah siapa yang memulai lebih dulu, material basah milik mereka pun akhirnya bersentuhan secara lembut. Ciuma lembut dan penuh kasih sayang itu kini berubah semakin panas setelah Sehun kembali mengangkat tubuh Nara agar setara dengan tinggi badannya. Dengan bersemangat Sehun melumat bibir atas dan bawah Nara secara bergantian. Tak jarang pula lidahnya menggoda bibir Nara yang sedikit terbuka agar mau terbuka sepenuhnya untuknya. Keinginan Sehun pun menjadi nyata saat Nara sengan senang hati membiarkan lidah Sehun masuk ke rongga mulutnya. Menit-menit berlalu begitu saja. Tanpa sadar Sehun dan Nara kini sudah berada di kamar milik gadis itu. Mereka saling b******u di atas ranjang Nara dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Tanpa perlu ditanya lagi, sudah jelas akan ke mana semua kegiatan ini berlanjut, bukan? "Sehun ...." Lenguhan panjang diloloskan Nara saat lidah Sehun menggoda miliknya di bawah sana. Tangannya sejak tadi mencengkeram erat rambut hitam sang kekasih sebagai pelampiasan akan rasa asing yang menghinggapi dirinya. Dipanggil dengan cara seperti itu, Sehun pun menghentikan aksinya. Sambil menyeringai menggoda, pemuda itu kembali menindih Nara sambil melebarkan kedua kaki kekasihnya. Sehun merunduk dan mencium bibir Nara lagi. Kali ini hanya berupa sekedar lumatan singkat. "Kau percaya padaku?" tanya Sehun disertai geraman yang Nara mulai paham apa artinya. Sejujurnya Nara masih takut melangkah sejauh ini dengan Sehun. Tapi semuanya sudah kepalang tanggung karena mereka tinggal masuk ke kegiatan inti. Lagi pula, Nara juga menginginkan Sehun sebanyak Sehun menginginkan dirinya. Alhasil, anggukan kepala pun Nara berikan sebagai jawaban. Sehun tersenyum. Perlahan, pemuda itu mendorong dirinya memenuhi Nara. "Akh!" Pekikan itu pun menjadi pertanda bahwa mereka telah menjadi satu. Dari situ pulalah hubungan terlarang mereka dimulai. FIN
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD