GirlxFriend

2896 Words
Jalanan sekitar Times Square selalu macet pada jam-jam makan siang seperti ini. Suara klakson berbunyi bersahutan. Begitu memekakan telinga. Siapapun yang sudah lama tinggal di Kota The Big Apple ini pasti sudah tak asing dengan suasana seperti ini. Tak terkecuali seorang wanita berusia 24 tahun berperawakan model yang kini sedang menatap jengah kemacetan di luar kafe tempatnya berada saat ini. Kim Nara. Wajah cantiknya tampak bosan. Ditambah lagi, ia juga memang sedang menunggu seseorang. Padahal wanita ini sangat benci dengan yang namanya menunggu. Hazel Nara melirik Rolex-nya sebentar. Great, batinnya kesal. Satu jam sudah ia menunggu, tapi batang hidung pria itu tak muncul juga. Pria? Ya, wanita itu sedang menunggu seorang pria yang begitu ia rindukan. Pria yang selama dua bulan ini harus pergi ke Korea, tanah kelahirannya untuk mengurus bisnis di sana. Kekasihnya? Bukan. Suami? Hell no! Bahkan percaya dengan ikatan pernikahan saja tidak. So? Nara hendak beranjak pergi saat sebuah suara berat yang begitu familiar menyapa telinganya. Ia langsung mengurungkan niatnya. "Wow, kau pasti sangat merindukanku hingga rela menunggu kedatanganku selama ini!" Nara menoleh ke sumber suara. Ekspresi terkejut, kesal, sekaligus tak percaya terlukis jelas di wajah cantiknya begitu mendapati seorang pria tampan dengan dagu super lancip dan kulit pucat sudah duduk di meja yang jaraknya tak begitu jauh dari mejanya. Pria itu menyeringai jahil padanya. "Oh Sehun," wanita itu mendesis kesal. Dengusan kasar keluar dari cerinya, "Jadi, kau sudah lama berada di sini tapi kau membiarkanku menunggu seperti orang bodoh, huh?" Sambil tersenyum meminta maaf, Sehun berdiri lalu menghampiri Nara yang tampak kesal. "I'm so sorry, Amour. Wajahmu saat sedang kesal itu begitu menggemaskan, membuatku ingin berlama-lama menatapnya." Nara langsung menghadiahi pinggang Sehun dengan cubitan yang sangat kencang. Sehun mengaduh kesakitan. "Aw! Hey, ini sakit sekali, Amour! Aku hanya bercanda." "Just kidding, huh? Kalau begitu tertawalah sepuasmu, Tuan Oh Sehun Menyebalkan!" Nara langsung pergi dari hadapan Sehun, keluar dari kafe. Sehun mengejarnya sambil terus tersenyum lebar. Well, inilah yang dirindukan Oh Sehun dari sosok Kim Nara; sifat kekanakan dan kelakuannya saat sedang kesal. Sejak kecil ia memang sering sekali membuat Nara kesal padanya. Hal ini bukan tanpa alasan. Seperti yang Sehun katakan tadi, ia begitu menyukai ekspresi Nara saat sedang kesal. "Amour!" panggil Sehun. Nara tetap menjejakkan stiletto-nya menjauh dari jangkauan Sehun. Sehun tidak menyerah. Ia tetap mengejar sahabat kecilnya itu. "Am—" "Stop calling me 'Amour'!" bentak Nara sambil berbalik menatap Sehun marah. Hal itu membuat Sehun berhenti berjalan dan mulutnya terbungkam seketika. Tak hanya Sehun, orang-orang yang lewat di sekitar mereka ikut berhenti berjalan karena terkejut oleh bentakan Nara. Nara kembali berbalik dan hendak berjalan lagi, tapi tiba-tiba Sehun berteriak, "Aku akan melakukan apa pun asal kau mau memaafkanku!" Lambat laun, Nara berbalik. Ia menatap Sehun tak percaya sambil bertanya, "Sungguh kau akan melakukan apa pun yang kuinginkan?" Sehun mengangguk sambil tersenyum lebar. Nara tersenyum tak kalah lebar lalu berlari kecil menghampiri Sehun. Kecupan ringan di bibir ia berikan pada pria jangkung itu. "Itu bonus untukmu. Sekarang aku sudah memaafkanmu," bisik Nara mesra di telinga Sehun. Sedetik kemudian, ia menjauhkan tubuhnya dari Sehun. Sambil menyeringai, Sehun kembali menarik pinggang Nara agar kembali merapat padanya. "Dan ini sebagai ungkapan terima kasih karena telah memaafkanku." Kedua material basah itu kembali bertemu. Kali ini bukan hanya sekedar kecupan ringan, melainkan ciuman penuh nafsu disertai gairah yang meluap-luap. Sepasang sahabat itu sedang melampiaskan rasa rindu mereka masing-masing dengan cara yang begitu mereka sukai, tapi sedikit tak lazim bagi kebanyakan orang. Sehun dan Nara sudah bersama bahkan seumur hidup mereka. Tempat tinggal mereka di Korea bersebelahan. orang tua mereka pun berteman satu sama lain. Hal itulah yang membuat mereka dekat dan akhirnya bersahabat hingga saat ini. Sejak dulu, sepasang sahabat ini tak pernah terpisahkan satu sama lain. Di mana ada Sehun, pasti ada Nara. Begitu pula sebaliknya, di mana ada Nara, pasti ada Sehun. Sehun akan berada di tempat di mana Nara berada. Pun dengan Nara yang akan berada di tempat di mana Sehun berada. Sama seperti saat ini, mereka sama-sama berkuliah lalu berkarier dan menetap di New York. Sehun sebagai pebisnis dan Nara sebagai seorang model. Mereka pun membagi pengalaman pertama mereka pada satu sama lain. Sehun adalah orang pertama yang tahu tentang menstruasi pertama Nara, sebaliknya Sehun juga memberitahu Nara tentang mimpi basah pertamanya. Tak hanya itu, mereka juga melakukan ciuman dan seks pertama mereka dengan satu sama lain di usia mereka yang menginjak 17 tahun. Wow! Ini gila memang, tapi itulah yang terjadi. Sehun dan Nara sudah sejauh itu, tapi status mereka tak lebih dari sekedar sahabat. Atau mungkin diam-diam di antara mereka ada yang berharap status mereka beranjak dari sekedar sahabat? Hmm. ***** "Sungguh, aku tak percaya kalau kau dan Sehun hanya bersahabat. Come' on! Pada zaman sekarang, mana ada persahabatan yang pure antara laki-laki dan perempuan?" Olivia Jung menatap Nara penuh selidik. Di antara sekian banyak teman sejawat Nara yang tidak percaya akan hubungannya dengan Sehun, wanita itulah yang paling sering menginterograsinya soal 'persahabatan'nya. Nara memutar bola mata malas sambil menyeruput Ice Americano-nya yang sejak lima menit lalu belum disentuhnya. "Itulah faktanya, Liv," ujar Nara setelah meletakkan gelasnya kembali. "Sehun dan aku hanya bersahabat. Aku tidak mencintainya, dan ia juga tidak mencintaiku, okay?" "Tapi kalian terlalu mesra untuk sekedar menjadi sepasang sahabat!" Olivia mendengus sambil mengeluarkan cermin kecil dari tasnya. Ia menyodorkannya pada Nara. "Bercerminlah dan lihat apa yang ada di lehermu!" Dengan penasaran Nara mengambil cermin itu dan melihat lehernya. Damn you, Oh Sehun! rutuknya dalam hati. Ia lupa menutupi kissmark yang Sehun buat semalam di lehernya. Cepat-cepat ia menutupi lehernya dengan menyampirkan rambut panjangnya ke depan melewati bahu. "See? Itu kissmark yang dibuat Sehun, 'kan? Hey, Nona Kim, aku sudah berkali-kali melihat tanda seperti itu bersemayam di tubuhmu! Kau dan Sehun sering b******a, 'kan? Ayo, mengaku!" Olivia menunjuk Nara sambil memicing menatapnya. Nara menghela napas tanda menyerah. "Baiklah, aku mengaku. Aku dan Sehun memang sering b******a. Kami sudah melakukannya sejak usia kami masih 17 tahun. Puas kau, sekarang?" ujar Nara menggebu-gebu. Sementara itu, Olivia hanya bisa melongo tak percaya. Gila, ini benar-benar gila! batinnya. "Kau tahu, Nara? Kurasa kau dan Sehun sama-sama sinting!" kutuk Olivia tak percaya. "Kalian sudah sejauh itu, tapi status kalian hanya sekedar sahabat? Kenapa kalian tidak menikah saja kalau begitu? Toh, kalian juga sama-sama sedang tidak punya pasangan, 'kan?" Kali ini, Nara menghembuskan napas berat. Ia menatap Olivia serius. "Dengar, Liv. Aku dan Sehun tidak mungkin menikah. Menjalin hubungan yang lebih dari persahabatan saja sudah tidak bisa, apalagi menikah?" "Tapi kau menyayanginya, bukan? I know you do, Nara. Don't lie!" Nara menatap Olivia lama sebelum akhirnya menunduk dan berkata, "Ya, aku menyayanginya, tapi—" Nara menggeleng. Tatapan kembali menghujam manik Olivia. "—yang kurasakan padanya bukanlah rasa sayang yang seperti itu, Olivia. Aku sayang padanya hanya sebagai sahabat—" "Ini pasti karena orang tuamu, kan? Kau takut mengalami apa yang mereka alami, makanya kau tidak pernah mau punya hubungan dengan siapapun. Kau takut berkomitmen dengan seseorang karena kau takut kehilangan. Am I right?" Nara mengalihkan pandangannya ke arah lain. Perasaannya begitu kalut sekarang. Kata-kata Olivia memang benar omong-omong. Sejak orang tuanya bercerai 12 tahun yang lalu, Nara menjadi tak percaya dengan yang namanya cinta sejati dan pernikahan. Sejak saat itu pula ia juga tak ingin berkomitmen dengan orang lain. Setiap ia dekat dengan laki-laki selain Sehun, mereka hanya menjadi teman kencan saja, tidak lebih. "Oh!" tiba-tiba Olivia terkesiap. Ia melihat sesuatu di belakang punggung Nara dengan tatapan takjub. "Nara, guess who's coming!" bisiknya. "Who?" Nara menoleh ke arah yang ditunjuk Olivia. Hatinya berdesir melihat lelaki yang kini sedang tersenyum sambil berjalan ke arah mejanya dan Olivia. "Hey, Ladies!" sapa Sehun sambil menduduki kursi kosong di antara Olivia dan Nara. Pakaian kerjanya masih melekat di tubuh atletisnya. Nara berasumsi kalau Sehun berangkat ke kafe ini dari kantornya. "Hey, Hun! Long time no see!" sapa Olivia riang. "Hai, Liv! Lama tak berjumpa, ya? Terakhir kali kita bertemu di pameran fotografinya Kai musim semi lalu, kan?" Olivia mengangguk menanggapi Sehun. "Well, apa yang membawamu kemari, Hun? Ini belum jam pulang kerja, 'kan?" Nara bertanya tanpa basa-basi. Sehun memfokuskan almond-nya pada Nara dan tersenyum padanya. "Aku ke sini untuk menemuimu. Aku sedang bosan di kantor, jadi aku pulang lebih awal lalu pergi kemari," jawabnya enteng. Nara menanggalkan alisnya. "Hanya itu?" Sehun tertawa renyah. "Tentu saja tidak. Aku ingin mengajakmu pulang bersama, Amour. Jadi, kapan pemotretanmu selesai?" "Pemotretannya sudah selesai. Kalian pulanglah!" Olivia menjawab dengan nada yang begitu bersemangat. Sehun dan Nara menatapnya keheranan. Namun, Olivia hanya tersenyum tanpa dosa. Akhirnya, Sehun dan Nara pulang bersama. Sebelum pulang, mereka terlebih dahulu membeli kebutuhan bulanan untuk apartemen mereka. Well, jangan heran saat aku menyebut 'apartemen mereka' karena nyatanya, mereka memang tinggal bersama di sebuah apartemen mewah di Manhattan. Sehun dan Nara sampai di apartemen mendekati jam makan malam. Setelah beristirahat sebentar, mereka memutuskan untuk memasak. Mereka-atau Sehun lebih tepatnya- memasak risotto untuk ia dan Nara. Sementara Nara yang tidak bisa memasak hanya membantu Sehun dalam hal menyiapkan bahan-bahan serta memotong-motongnya. "It's so delicious as usual," puji Nara saat mereka sudah selesai menyantap makan malam mereka di meja makan. Sehun tersenyum bangga. "Dan kau makan dengan lahap seperti biasa," seloroh Sehun. "Aku sungguh heran denganmu. Kau ini seorang wanita, tapi memasak saja tidak bisa. Dan lagi, selera makanmu luar biasa besarnya, padahal kau seorang model terkenal. Huh! Namamu sama sekali tidak mencerminkan dirimu yang sebenarnya, kau tahu? Seharusnya, kau diberi nama Julian bukannya Nara." Nara menatap Sehun tak percaya. Mulutnya terbuka lebar akibat perkataan Sehun barusan. Sungguh, Sehun benar-benar membuatnya naik pitam. Dengan kesal, Nara mencolek risotto di piringnya lalu ia oleskan di pipi Sehun. Sehun melotot terkejut menatap Nara yang menjulurkan lidahnya mengejek Sehun. "Kim Nara!" Sehun mendesis kesal. Sang empunya nama mulai berlari diiringi tawa mengejek. Sehun dengan sigap mengejarnya. Kejar-kejaran pun terjadi antara dua anak manusia ini. Gelak tawa dan kalimat-kalimat ejekan terdengar dari keduanya, semakin meramaikan suasana apartemen itu. Sampai pada akhirnya Sehun berhasil menangkap Nara dan menggelitiki perutnya. Nara berteriak kegelian, tapi Sehun justru semakin gencar menyerang Nara. "Aw, Sehun! Hentikan! Geli!" "No, no, no, Nara! You'll be punished." "Punished?! No, don't! I'm sorry, okay? Please ...." Kali ini Nara memasang ekspresi memohon di sela-sela kegeliannya. Sehun berhenti menggelitiki Nara. Ia menatap Nara yang menghembuskan napas lega dengan tatapan geli. "Bagaimana, sudah merasa menyesal karena menjahiliku?" tanyanya. Nara mengerucutkan bibirnya kesal. "Ya, aku menyesal. Puas?" Sehun tertawa renyah sambil mengacak pelan surai kecokelatan wanita yang sepuluh sentimeter lebih pendek darinya itu. Nara mencebik. "Hey, aku mau mandi. Mau ikut mandi bersamaku?" tanya Sehun dengan senyum menggodanya. Nara membulatkan matanya antusias. "That's very good idea! Kau duluan saja. Setelah mencuci piring, aku akan menyusulmu, oke?" Nara berlari masuk ke dapur untuk mencuci piring. Sementara Sehun pergi ke kamar mandi disertai senyum tak henti-hentinya menghiasi wajah tampannya. ***** Saat Nara tiba di kamar mandi, Sehun baru saja memasukkan tubuh polosnya ke dalam bathtub dan membasahi tubuhnya dengan air. Sambil saling melempar senyum dengan Sehun, Nara membuka tiga kancing teratas kemejanya, lalu langsung melepasnya melewati kepala. Setelah kemeja, ia melepas bra hitam yang menutupi dadanya, hotpants, lalu celana dalamnya. Kemudian, ia memasukkan tubuh indahnya yang tanpa busana tersebut ke bathtub dengan posisi membelakangi Sehun. Ia menyandarkan punggungnya di d**a bidang Sehun sementara Sehun membasahi tubuhnya dengan tangannya. "Oh ya, Hun ... bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Anna?" tanya Nara di sela-sela manuver yang Sehun berikan pada tubuhnya untuk menyabuninya. Ia benar-benar penasaran dengan perkembangan hubungan Sehun dengan putri investor terbesar di perusahaan Sehun tersebut. Setahu Nara mereka sudah mulai penjajakan selama tiga bulan belakangan. Akan tetapi, Sehun sama sekali tidak pernah membahas soal itu dengannya. Sehun menghembuskan napasnya pelan sebelum menjawab, "Well, tidak berjalan baik. Aku dan dia sudah tidak pernah berhubungan lagi sejak sebulan lalu." Nara yang terkejut langsung berbalik menatap Sehun bertanya-tanya. "Kenapa begitu? Kalian cocok bersama. Sungguh, ini membuatku kecewa." Sehun tersenyum masam. "Itu 'kan menurutmu, Nara. Pada kenyataannya, aku dan dia memang tidak terlalu cocok. Entahlah, penjajakan kami rasanya hambar. Aku tidak merasakan letupan-letupan apa pun dengannya." Sehun sedikit melirik pada Nara dan menyeringai, "Yah, sama seperti hubunganmu dengan Kai." Nara melotot tak terima mendengar perkataan Sehun. "Ke-Kenapa kau membawa-bawa hubunganku dengan Kai?" Nara tampak gugup. Sehun terkekeh pelan sambil membasuh tubuhnya yang penuh sabun dengan air. "Kenapa? Yang kukatakan tadi sama persis dengan yang kau katakan setengah tahun yang lalu saat kau memutuskan untuk tidak berkencan lagi dengan Kai, 'kan?" Nara tidak menimpali. Ia hanya membasuh tubuhnya sendiri dengan air. Pura-pura tidak peduli dengan perkataan Sehun. Yah, ia memang tidak membantah apa yang Sehun katakan karena memang begitulah faktanya. Setiap ia berkencan dengan orang lain, ia tidak pernah merasakan perasaan yang seharusnya ia rasakan pada lawan jenisnya. Mereka semua hanya seperti seorang teman baginya. Nara berpikir bahwa mungkin saja ia tidak merasakannya karena ia belum merasa cocok dengan mereka. Tapi, kalaupun ia merasa cocok, apakah ia akan berani berkomitmen? Nara rasa jawabannya adalah 'tidak'. Sampai kapanpun, ia tidak akan pernah bisa dan berani untuk berkomitmen dengan siapa pun. "Tidakkah kau berpikir kalau hubungan kita begitu aneh?" tiba-tiba Sehun berujar. Nara mengerjap pelan mendengar pertanyaan pria itu. "Aneh ... apanya?" tanya Nara tak mengerti. "You know ... Kita berciuman, b******a, bahkan mandi bersama. Kita bersahabat, tapi bertingkah layaknya sepasang kekasih. Tidakkah itu aneh bagimu?" Nara tercenung mendengar perkataan Sehun. Sungguh, ia tidak menyangka Sehun akan menanyakannya setelah sekian lama hubungan mereka berkembang hingga sejauh itu. Apa Sehun mulai tidak nyaman dengan hubungan mereka? Nara bertanya-tanya. Sekarang, Nara mulai khawatir kalau jawaban dari pertanyaannya adalah 'ya'. "How about you? Apa menurutmu hubungan kita ... aneh?" tanya Nara ragu-ragu. Sehun mengernyitkan dahi, berpikir. Sedetik kemudian, seulas senyum terbit di wajahnya. "Menurutku, ini aneh dan tidak biasa. Tapi ...." Sehun menyeret kalimatnya. Nara dibuat penasaran dengan kelanjutan kalimat Sehun. Dan ia tak bisa menyembunyikan senyum leganya saat Sehun berkata, "... anehnya, aku merasa nyaman dengan semua itu. Aku merasa kalau hubungan kita begitu spesial. Iya, 'kan?" Nara tiba-tiba memeluk Sehun dengan begitu eratnya. Rasa bahagia membuncah di dadanya. Ia lega karena Sehun merasa nyaman dengan hubungan mereka yang memang bisa dibilang tidak lazim itu. Ia takut Sehun pergi darinya. Bagaimanapun, ia tak ingin kehilangan Sehun. Sehun bagaikan belahan jiwa baginya. "I'm happy to hear that, Sehun. I'm very happy." Nara menarik diri dan menatap Sehun dengan tatapan memohon. "Please, don't ask about it anymore. It hurts me," bisiknya sendu. Sehun yang merasakan kesedihan Nara langsung menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi pualam Nara. "Hey, don't be sad! Aku janji tak akan menanyakanya lagi. Kau bisa pegang kata-kataku. Okay?" Sehun tersenyum saat Nara mengangguk sambil tersenyum padanya. Perlahan, ia mengikis jarak antara ia dan Nara. Nara memejamkan matanya. Bibirnya bersiap menyambut kelembutan bibir tipis milik Sehun. Dua material basah itu bertemu dan saling menyesap perlahan dengan begitu lembutnya. Hanya berselang beberapa detik, ciuman manis itu sudah berubah menjadi ciuman panas disertai lumatan-lumatan dan aksi perang lidah. "Nara?" panggil Sehun setelah menarik diri secara paksa. Nara hanya bergumam menanggapinya. Wanita itu terengah pelan. "I love you." Nara membulatkan mata terkejut. Sehun menatap wanita itu serius. "Sejak dulu aku mencintaimu, Nara. Itulah sebabnya aku tidak pernah bisa berhubungan dengan wanita lain selain dirimu." Kata-kata Sehun sukses membuat jantung Nara berpacu dengan kecepatan luar biasa. Dan ia pun yakin kalau Sehun jujur dan tulus mengatakannya. Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan? tanyanya dalam hati. Sehun tersenyum tipis. Ia mengusap pipi Nara perlahan sambil berujar, "Kau tidak perlu khawatir, Nara. Aku mengatakannya hanya karena aku ingin kau mengetahuinya. Aku tidak meminta kau untuk menjawab perasaanku. Dan please, jangan pernah ubah sikapmu padaku karena seperti yang kukatakan tadi, aku nyaman dengan hubungan kita saat ini. Jadi kau tidak perlu takut untuk berkomitmen denganku. Aku tidak akan pernah memintamu menjalin hubungan denganku kecuali kau sendiri yang memintanya." Sehun mengakhiri kata-katanya dengan sebuah kecupan lembut di dahi Nara. Setelah itu, ia menjauhkan tubuhnya dari wanita itu. Sementara Nara hanya mampu menatap sendu ke arah mata Sehun yang masih menatapnya intens. Nara ingin sekali mengatakan apa yang ada di lubuk hatinya yang terdalam pada pria itu. Tapi, lidahnya terasa kelu. Nara menarik tengkuk Sehun perlahan dan mencium bibir pria itu lembut, menyalurkan segala perasaannya di sana. Sehun membalasnya dengan sama lembutnya. Setelah satu menit berciuman, mereka saling menarik diri. "I do love you too, Sehun," bisik Nara. Sehun membelalak terkejut mendengar pengakuan wanita itu. Nara membelai pipi Sehun diiringi air mata yang mulai berjatuhan dari hazelnya. "Tapi, kau juga tahu benar bagaimana rasa traumaku pada perpisahan orang tuaku, 'kan? Aku tidak ingin kehilanganmu kalau komitmen yang kita jalani nanti tidak berhasil, Sehun. Aku—" "Sst!" Sehun meletakkan telunjuknya di bibir Nara. "I know, Nara. I know. Aku tahu benar tentang ketakutanmu selama ini. Aku juga sudah bilang kalau aku tidak mempermasalahkannya, 'kan? Kita cukup bersahabat dan menjalaninya seperti yang selama ini terjadi. Itu sudah sangat berarti untukku karena yang terpenting adalah aku selalu berada di sisimu." Nara mengangguk kemudian kembali mencium Sehun. Kali ini, ciuman mereka lebih singkat dari sebelumnya. Nara yang pertama kali menarik diri dan tersenyum manis pada Sehun. "Kau yang terbaik, Sehun. Sekali lagi maafkan aku, ya?" Sehun terkekeh pelan dan menggeleng singkat. Pria itu mencubit ujung hidung Nara gemas. "Berhenti meminta maaf atau aku akan 'menghabisimu' di sini, Amour!" "Lakukan saja kalau begitu!" Nara menantang. Sehun menaikkan sebelah alisnya, rahu. Namun, tak lama kemudian pria itu kembali terkekeh sambil mengangkat bahunya. "Whatever you want, Amour." Sehun dan Nara pun melakukan kegiatan favorit mereka dengan Nara yang berada di atas tubuh Sehun dan memimpin permainannya. FIN
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD