London, Spring 2017
Musim semi adalah musim yang menyimpan kenangan buruk bagi Kim Nara. Terutama musim semi di Seoul, Korea Selatan enam tahun yang lalu. Kejadian naas yang menimpanya enam tahun yang lalu itu telah mengubah hidupnya. Saat itu, ia hanyalah seorang gadis polos berusia 15 tahun yang tidak tahu apa-apa. Tidak. Bukan polos, tapi bodoh. Ya, Nara merasa dirinya sangat bodoh saat itu karena ia dengan mudahnya terjerat cinta palsu seorang pemuda bernama Oh Sehun.
Oh Sehun.
Ugh, bahkan mengingat namanya saja membuat tubuh gadis itu bergidik ngeri. Selain benci, ia juga sangat takut pada sosok rupawan pemuda yang tiga tahun lebih tua darinya itu. Oh Sehun adalah salah satu orang yang telah menghancurkan hidupnya. Salah satu orang yang membuatnya terusir dari rumahnya sendiri sehingga ia harus hidup sebatang kara mengurus kehamilannya di Negeri Ratu Elizabeth ini.
"Ibu," panggilan pelan Kim Yena membuyarkan lamunannya. Gadis cilik berusia 5 tahun itu menarik-narik ujung cardigan Nara, sedikit kesal. Yena tadi sedang bermain dengan teman-temannya sedangkan Nara duduk di kursi taman, menunggunya. Tapi, karena ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan pada ibunya, Yena pun berlari menghampiri Nara yang ternyata sedang melamun.
Nara terkesiap dan segera berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh putri semata wayangnya. "Iya, Sayang. Ada apa?"
"Ibu melamun, ya? Yena panggil sejak tadi Ibu diam saja." Yena mempoutkan bibirnya kesal. Nara tersenyum meminta maaf.
"Maaf. Memangnya ada apa, hm? Yena mau sesuatu?"
Yena menggeleng keras. Nara mengernyit heran.
"Lalu?"
Tiba-tiba Yena menunjuk ke arah sebuah kafe di seberang taman bermain. Nara mengikuti arah yang ditunjuk oleh Yena. "Di sana ada paman yang menolong Yena saat Yena tersesat kemarin," jelas Yena antusias.
"Oh ya?" Mata Nara berpendar mencari sosok yang dimaksud Yena. "Yang mana orangnya?"
"Itu, dia yang bertubuh tinggi dan memakai jas hitam, Ibu. paman itu juga orang Korea-Oh! Dia baru saja berjalan keluar dari kafe."
Deg!
Nara tiba-tiba terpaku melihat sosok yang sejak tadi diceritakan putrinya. Ingatannya tentang kejadian naas enam tahun lalu berputar lagi di otaknya. Bukan, sosok itu bukanlah Oh Sehun. Dia adalah Park Chanyeol, sahabat Sehun yang juga ikut andil dalam kehancuran hidupnya. Salah satu dari empat orang sahabat yang telah merenggut kesucian dan masa depannya.
*****
Seoul, Spring 2011
Mansion keluarga Kim tampak tenang di pagi hari. Para maid sedang sibuk menyajikan berbagai macam hidangan di atas meja makan untuk sarapan para majikan mereka. Tepat setelah semua hidangan tersaji, Kim Junmyeon—Tuan Besar mereka— tiba di ruang makan. Tak lama setelah itu, putri sulung keluarga itu—Kim Soyoung— menyusul.
"Selamat pagi, Ayah!" sapa Soyoung sedikit cuek. Gadis cantik itu duduk di samping ayahnya dengan memasang wajah dinginnya. Well, Soyoung memang tergolong gadis yang berwajah cantik tapi terkesan dingin. Wajahnya ini merupakan warisan dari ibu sang ibu. Namun, tak hanya wajahnya, Soyoung juga selalu bersikap dingin pada siapa pun.
"Selamat pagi, Honey!" balas Junmyeon tanpa memusingkan sikap tak bersahabat putrinya yang sekarang sudah duduk di kelas tiga sekolah menengah atas itu. Ia sudah terbiasa dengan segala sikap Soyoung pada dirinya. Ia paham betul dengan penyebab Soyoung bersikap begitu padanya. Dan itu semua memang karena kesalahannya.
"Selamat pagi, Ayah, Kakak!" sapa Nara dengan nada ceria sambil memasuki ruang makan. Ia memasang senyum manisnya sambil duduk di seberang Soyoung.
"Selamat pagi, Honey!" balas Junmyeon. Sementara itu, Soyoung hanya menatap malas pada adik tirinya itu. Adik yang tidak pernah ia anggap sebagai adiknya.
Inilah yang membuat Soyoung bersikap dingin pada semua orang termasuk pada ayahnya sendiri. Kim Nara. Ya, gadis itu adalah putri ayahnya dari selingkuhannya. Soyoung sangat membenci Nara karena gadis itu adalah penyebab Bae Joohyun-ibu kandungnya pergi dari rumah ini, meninggalkannya.
Joohyun tidak terima dengan perselingkuhan Junmyeon, tentu saja. Wanita itu juga menentang Nara untuk tinggal di rumah ini setelah ibu kandungnya meninggal saat Nara masih berusia 10 tahun. Namun, Junmyeon bersikeras untuk membawa Nara ke rumah ini. Alhasil, Joohyun pun marah dan pergi meninggalkan rumah dan menghilang entah ke mana.
Sejak saat itu, Soyoung pun berubah. Gadis ramah dan periang itu berubah menjadi gadis yang dingin. Tidak hanya itu, ia juga sangat membenci Nara dan bersumpah akan membuat gadis itu menderita bagaimanapun caranya.
*****
Seperti biasa, hari ini Nara ikut dengan Pak Lee—supirnya dan supir kakaknya— untuk menjemput Soyoung di sekolahnya, Hannam High School. Sekolah Nara—Hannam Junior High School— memang satu yayasan dan satu arah dengan Hannam High, jadi setiap hari Pak Lee akan menjemput mereka secara bersama-sama. Toh, selisih waktu kepulangan Nara dan Soyoung juga tidak terlalu jauh.
Bel pulang berbunyi. Murid-murid Hannam pun mulai keluar dari kelas masing-masing. Saat itulah Nara kembali melihat sosok yang membuat jantungnya berdetak begitu cepat.
Oh Sehun.
Sehun satu angkatan dengan Soyoung, tapi berbeda kelas. Keluarganya dan keluarga Sehun juga saling mengenal. Pemuda berkulit pucat itu sedang berjalan sambil bergurau dengan ketiga sahabatnya, Park Chanyeol, Kim Jongin, dan Byun Baekhyun.
Nara mendesah lesu. Pasalnya, Sehun selalu bersikap dingin padanya. Padahal, jika sedang bersama sahabat-sahabatnya, Sehun bisa tertawa lepas seperti yang ia lihat saat ini. Bahkan, saat mereka bertemu di acara yang melibatkan keluarga mereka pun, sikap Sehun tidak berubah sama sekali. Nara jadi sering sekali berpikir kalau Sehun itu adalah versi laki-laki dari Soyoung.
Panjang umur, batin Nara takjub saat mendapati Soyoung sedang berjalan ke arah mobil mereka. Seperti biasa, wajah cantik itu tampak dingin. Nara selalu berandai-andai, seandainya saja Soyoung mau sedikit tersenyum, pasti ia akan terlihat lebih cantik lagi. Bahkan, saat sedang memasang wajah dingin saja kakaknya itu sudah sangat mempesona, apalagi kalau tersenyum?
"Apa yang kau tatap?" tanya Soyoung ketus saat ia sudah duduk di samping Nara. Tatapannya begitu menyelidik. Nara gelagapan karenanya.
"Ti-Tidak apa-apa, Kak." Nara tersenyum kikuk. Soyoung melengos dan menyuruh Pak Lee untuk segera melajukan mobilnya.
*****
Brukkk!!
Nara tidak dapat menutupi rasa terkejutnya saat wajah Sehun berada dekat sekali dengan wajahnya. Ia sedang lari pagi sambil mendengarkan musik dengan headset di taman dekat rumahnya. Beberapa saat yang lalu, tanpa ia sadari ada sepeda yang hampir menabraknya yang sedang berlari. Beruntung, Sehun datang entah dari mana dan menarik tubuh Nara, sehingga ia tidak tertabrak. Namun, sesuatu yang lebih mengejutkan justru terjadi. Nara terjatuh di atas tubuh Sehun sehingga wajah mereka pun berdekatan.
Sadar akan keterkejutannya, Nara pun menarik diri. Ia bangkit berdiri sambil membantu Sehun bangun. Wajahnya kentara sekali gugup.
"Eh, ma-maaf, Senior. Ak-Aku menimpa ... tubuhmu. Apa ada ... yang terluka?"
Sehun menatap datar wajah gugup sekaligus khawatir Nara sambil berusaha berdiri. "Seharusnya aku yang bertanya, apa kau terluka?"
Nara menggeleng. Sehun menghela napas pelan. "Lain kali lihat-lihat kalau sedang berlari dan menyeberang—" Sehun menarik pelan headset yang masih terpasang di telinga Nara. "—jangan sambil mendengarkan musik seperti tadi."
Nara serta merta mengangguk lalu menunduk malu. Aish, ini benar-benar memalukan! Kenapa ia harus bertemu Sehun di saat yang membuatnya menjadi orang paling konyol di dunia? Sial!
"Sshh ...."
Ringisan pelan yang keluar dari bibir Sehun membuat Nara kembali mendongak. Rupanya Sehun terluka di bagian sikunya. Pemuda itu hanya memakai kaos hitam lengan pendek, jadi wajar jika sikunya langsung terluka saat beradu dengan tanah.
"Senior terluka!" pekik Nara pelan. Ia langsung memeriksa siku Sehun. "Senior, ini harus dīobati."
Sehun menarik lengannya. "Tidak apa-apa—"
"Tidak bisa. Ini harus diobati kalau tidak bisa infeksi."
Beberapa menit kemudian, Nara dan Sehun sudah berada di depan minimarket. Nara dengan begitu telaten mengobati luka di siku Sehun. Sentuhan terakhir—plester— ia berikan di sana.
"Terima kasih sudah menolongku, Senior. Maaf telah membuatmu terluka," ujar Nara sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia benar-benar merasa bersalah atas terlukanya Sehun. Bagaimanapun, Sehun mendapatkan luka itu karena menolong dirinya.
"Tidak apa-apa. It's not your fault, anyway." Sehun meneguk air mineralnya. "Aku kebetulan sedang berada di sana. Jadi, tidak mungkin aku tidak menolongmu padahal aku bisa. Benar, 'kan?"
Nara mendongak dan menatap Sehun tak percaya. Bagaimana tidak? Sikap Sehun tidak sedingin biasanya. Tutur katanya juga lebih ramah dan bersahabat. Dan kini, Nara merasakan pipinya memanas. Ia merona. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya.
Keheningan melanda mereka. Nara semakin gugup dibuatnya. Ia tidak suka dengan keadaan ini. Maka dari itu, ia mencari topik untuk dibahas. "Oh ya, kenapa ... Senior bisa ada di daerah ini? Maksudku, bukankah rumah Senior—"
"Aku baru pindah ke Apartemen Paradise," sela Sehun cepat. Sedetik, dua detik, Nara hanya mengerjapkan matanya pelan. Namun, tiba-tiba matanya terbuka lebar saat otaknya sudah mencerna perkataan Sehun dengan baik.
"Senior pindah ke Apartemen Paradise?" Nara nyaris memekik. Sehun tampak sedikit terkejut. Sadar akan sikap berlebihan yang ia tunjukkan, Nara pun memperbaiki sikapnya. "Eum, kenapa Senior pindah?"
Sehun mengangkat bahu cuek, "Aku hanya ingin hidup mandiri."
Nara menggumamkan 'oh' pelan. Tak lama, Sehun bangkit dari kursinya. Nara mengikuti pergerakan Sehun lewat pandangan mata.
"Sudah semakin siang." Sehun sambil mendongak menatap langit. Kemudian, ia kembali menatap hazel Nara. "Sepertinya aku harus pulang. Kau juga."
Nara terkesiap mendengar perkataan Sehun. Ia ikut berdiri. "Eum, iya. Ak-Aku akan pulang"
Sehun mengangguk. "Hati-hati di jalan! Terima kasih karena telah mengobati lukaku." Sehun tersenyum tipis di akhir kalimatnya. Desiran aneh langsung menggelitiki hati Nara. Alhasil, ia pun hanya mampu mengangguk menanggapi perkataan Sehun.
*****
Seminggu berlalu sejak kejadian itu. Tanpa disadari, Nara dan Sehun semakin dekat satu sama lain. Ada saja hal-hal tak terduga yang mempertemukan mereka berdua. Dan sejujurnya, hal ini membuat Nara senang. Apalagi, sikap Sehun juga semakin hangat padanya. Bahkan Sehun tak segan meminta Nara memanggilnya dengan sebutan 'oppa'.
Seperti hari ini, Sehun mengajak Nara ke apartemennya. Nara tidak tahu kenapa Sehun mengajaknya ke apartemen pemuda itu. Tapi yang pasti, itu menjadi pertanda kalau hubungannya dengan Sehun mulai berkembang ke arah yang jauh lebih baik.
Dengan memakai dress bunga-bunga berwarna pink yang jatuh di atas lutut dan flat shoes yang membalut kakinya, Nara pergi ke apartemen Sehun dengan berjalan kaki. Polesan tipis khas anak remaja seusianya semakin mempercantik wajahnya. Ia semakin terlihat cantik karena senyum yang tak henti-hentinya menghiasi wajahnya.
Nara segera memencet bel flat apartemen Sehun begitu ia sampai. Sebenarnya, ia sangat gugup saat ini. Tapi, ia berusaha agar tenang dan dapat mengontrol perasaannya. Ia tidak ingin terlihat sekali menyukai Sehun, omong-omong.
Beberapa saat kemudian, pintu apartemen terbuka dan menampilkan sosok rupawan Sehun dengan kaos hitam kesayangannya dipadu celana jeans hitam pula. Santai, tapi tetap menawan, pikir Nara. Sehun langsung tersenyum lembut pada Nara yang terpesona olehnya.
"Oh, kau? Ayo masuk!" ajak Sehun sambil mengedikkan kepalanya ke dalam. Sambil menahan rasa gugupnya, Nara pun masuk ke dalam flat bernuansa abu-abu tersebut.
Nara tidak bisa menahan rasa kagumnya saat masuk ke flat apartemen Sehun yang cukup besar untuk satu orang itu. Flat tersebut bisa dibilang tertata dengan sangat rapi dan bersih untuk dihuni seorang pemuda. Selain tampan dan cerdas, rupanya Sehun juga pemuda yang sangat mengedepankan kerapian dan kebersihan. Nara menjadi semakin kagum dibuatnya.
Sehun mempersilakan Nara duduk. Kemudian, pemuda itu beranjak ke dapur untuk mengambilkannya minuman. Tidak sampai lima menit, Sehun pun kembali ke ruang tamu dengan dua gelas jus jeruk di tangan. Ia menaruhnya di meja di depan sofa.
"Nah, menurutmu bagaimana apartemenku?" tanya Sehun setelah melesatkan pantatnya di sofa di samping sofa tempat Nara duduk. Nara mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, menilai.
"Eum, untuk tempat yang hanya dihuni oleh seorang pemuda, apartemenmu sangat rapi dan bersih, Oppa." Nara mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum lebar. Sehun terkekeh pelan lalu meneguk jusnya sendiri.
"Omong-omong, untuk apa Oppa mengajakku ke sini?" Tanya Nara kemudian.
Sehun meletakkan gelasnya kembali lalu menatap hazel Nara. Senyum miring menghiasi bibirnya. "Hanya ingin saja. Bukankah kau sejak kemarin terus bertanya tentang apartemenku? Kukira, kau ingin ke sini, jadi ...."
"Eh, itu ...." Nara gugup. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Bahkan, kau sampai berdandan secantik ini hanya untuk bertemu denganku."
Perkataan Sehun barusan membuat Nara terdiam seketika. Sungguh, ia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskannya pada Sehun. Ia tidak ingin mengatakan yang sejujurnya pada pemuda itu tentang perasaannya. Tapi, apa yang harus ia lakukan sekarang?
Tanpa Nara sadari, kini Sehun berpindah tempat duduk ke sebelahnya. Nara semakin gugup karena sekarang ia bisa menghirup aroma tubuh Sehun yang begitu memabukkan. Seseorang, tolong tarik Nara keluar dari tempat ini sekarang juga! Kalau tidak, mungkin Nara akan mengalami serangan jantung sebentar ini.
"Nara, please be honest!" Sehun berujar dengan suara lirih yang membuat Nara merinding. "Do you like me?"
Matilah kau, Nara! batin Nara panik. Untuk sesaat, Nara hanya bisa menatap Sehun dalam diam. Sejurus kemudian, ia menunduk malu. Namun, Sehun segera mendongakkan dagu Nara dengan jarinya agar Nara mau menatapnya. Perlahan-lahan, Sehun mendekatkan wajahnya. Nara membeku.
Sehun mempertemukan bibir mereka. Awalnya, Nara hanya bisa mengerjapkan matanya kaget. Tapi karena ciuman yang diberikan Sehun begitu lembut, Nara pun terbuai dan membalasnya sambil memejamkan kedua hazelnya. Bahkan, jantungnya yang bertalu-talu pun tak ia hiraukan.
Setelah beberapa detik, akhirnya Sehun menjauhkan wajahnya. Nara pelan-pelan membuka matanya. Dilihatnya Sehun tersenyum sambil mengusap pelan bibir Nara dengan ibu jarinya. "Bibirmu terasa manis. Apa itu lipgloss rasa ceri? Aku suka rasanya."
Jantung Nara berdebar semakin kencang mendengar perkataan manis Sehun. Ya Tuhan, ia baru saja mendapatkan ciuman pertamanya dengan orang yang ia suka! Semakin spesial karena Sehun-lah yang pertama kali menciumnya. Apa Sehun juga menyukainya maka dari itu pemuda itu menciumnya?
Ting tong!
Suara bel pintu apartemen membuyarkan pikiran Nara tentang Sehun. Sehun tersenyum penuh arti sambil menatap ke arah pintu.
"Finally," gumam Sehun pelan. Nara mengernyit tak mengerti.
"Apa? Itu siapa, Oppa?" tanya Nara yang hanya dibalas kerlingan oleh Sehun.
Sehun beranjak membukakan pintu. Seketika, muncullah sahabat-sahabat Sehun yaitu, Park Chanyeol, Kim Jongin, dan Byun Baekhyun. Nara sedikit terkejut. Untuk apa mereka kemari?
Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun berjalan ke ruang tamu setelah sebelumnya berpelukan dengan Sehun. Sehun pergi ke dapur. Mereka saling lirik dan tersenyum satu sama lain saat melihat Nara. Hal ini cukup membuat Nara risih.
"Hai, Kim Nara! Kau adiknya Soyoung, 'kan? Aku Park Chanyeol," ujar Chanyeol sambil duduk di seberang Nara. Pemuda itu tersenyum lebar padanya.
Nara mengangguk. "Apa kabar, Chanyeol Oppa. Aku Nara."
"Kalau aku Kim Jongin." Jongin memperkenalkan diri. Ia mengedik pada Baekhyun. "Dan dia Byun Baekhyun."
Baekhyun tersenyum sambil melambai pada Nara. Nara membalas senyum Baekhyun dan membalas sapaan Jongin. "Apa kabar, Jongin Oppa dan Baekhyun Oppa. Aku Nara."
"Omong-omong, kalian di sini untuk apa? Apa kalian ada acara dengan Sehun Oppa? Apa aku mengganggu—"
"Tidak, kau tidak mengganggu, kok" Baekhyun tersenyum menenangkan. "Lagi pula, kami juga sudah tahu kalau Sehun mengajakmu ke sini."
Nara semakin tak mengerti. "Kalian ... sudah tahu?"
Jongin terbahak pelan. "Benar, Nara. Kami sudah tahu. Itulah yang membuat kami datang ke sini."
"Memangnya, Sehun tidak bilang padamu kalau kami juga akan datang?" tanya Chanyeol. Nara menggeleng.
"Hun, kau belum memberitahunya?" teriak Jongin. Sehun keluar dari dapur sambil membawa beberapa kaleng bir. Nara membelalak terkejut.
"Tentu saja belum. Ini 'kan kejutan untuknya," balas Sehun sambil menyeringai menatap Nara. Ia meletakkan bir-bir itu di meja. Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun bersorak sambil bertepuk tangan ria. Nara semakin tidak mengerti dengan keadaan ini.
"Ke-Kejutan apa maksud Oppa? Ak-Aku tidak mengerti," ujar Nara pada Sehun yang sudah mulai membuka kaleng birnya mengikuti ketiga sahabatnya. Sehun meneguk birnya.
"Kita akan berpesta, Nara" ujar Sehun singkat. Ia menyodorkan kaleng bir lain yang sebelumnya sudah dibuka olehnya pada Nara. Nara menggeleng. Sehun berdecak.
"Sudah, ambillah! Tidak apa-apa, cobalah!" Sehun sedikit memaksa. Nara bergeming.
"Nara, tidak apa-apa. Bir itu rasanya sangat enak. Kau harus mencobanya," bujuk Baekhyun.
"Tenang saja, kau tidak akan mabuk jika hanya minum sekali." Chanyeol ikut bicara. Lagi-lagi, Nara hanya bergeming dan menatap mereka takut-takut.
Jongin yang tidak sabar merampas bir di tangan Sehun lalu beranjak duduk di sebelah Nara. "Ini, minumlah!" ujar Jongin yang serupa titah. Nara kali ini berani menggeleng.
"Tidak. Aku masih di bawah umur—"
"Kami juga di bawah umur, tapi kami minum," sergah Jongin. Nara terbungkam.
"Ayolah, Nara! Minum sedikit saja. Aku janji tidak akan terjadi apa-apa padamu. Kau tidak akan mabuk." Sehun kembali membujuk. Ia sampai bangkit dari duduknya untuk berlutut di depan Nara sambil menggenggam erat tangan gadis itu. Nara terkejut dengan tindakan Sehun. Ia sampai tidak bisa berkata apa-apa.
Sehun mengambil kembali bir di tangan Jongin dan mendekatkannya ke bibir Nara. "Minumlah, demi aku," ujarnya. Seperti tersihir, Nara pun membuka mulutnya. Sehun menyeringai dan mendorong pelan kaleng bir tersebut sehingga isinya mengaliri mulut hingga kerongkongan Nara.
Nara mengernyit saat bir tersebut mulai membasahi kerongkongannya. Rasanya seperti terbakar. Namun, rasanya memang enak seperti kata Sehun dan ketiga sahabatnya. Tak hanya kerongkongan, tubuh Nara pun iku terasa terbakar. Ia kepanasan.
"Oppa, kenapa rasanya panas sekali?" tanya Nara.
Sehun tersenyum miring. "Benarkah?" Sehun mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Nara. "Apakah rasanya masih panas?"
Nara mengangguk cepat. Ia kepanasan. Tapi, saat Sehun menciumnya tadi ia justru semakin kepanasan dan menginginkan Sehun untuk menciumnya lagi. Oh, ini gila! pikirnya.
Jongin mulai tertawa. "Obatnya sudah bereaksi," gumamnya pelan. Tangannya dengan jahil meremas pelan bagian atas tubuhnya Nara. Nara terkejut dan refleks menampar Jongin. Jongin justru tertawa semakin jadi. Sehun, Chanyeol, dan Baekhyun juga ikut terkikik geli.
"Oppa! Apa-apaan kau ini?" Nara marah. Ia menatap mereka berempat dengan tatapan terluka. "Kenapa kalian tertawa? Ini tidak lucu!"
Nara pun bangkit dan mulai beranjak pergi. Namun, ia tiba-tiba sempoyongan dan hampir jatuh. Chanyeol dan Baekhyun bangkit dari tempat mereka untuk menangkap Nara. Mereka terkejut karena tubuh Nara sudah dibasahi oleh peluh. Sehun dan Jongin ikut menghampiri mereka.
"Wow, obat perangsangnya cepat sekali bereaksi!" seru Baekhyun. "Sepertinya, kita sudah bisa memulainya."
"Benar. Aku sudah tidak tahan untuk menyicipi tubuhnya," Chanyeol ikut berujar.
Sementara itu, Nara yang kesadarannya hanya tinggal setengah hanya bisa mendengar percakapan tersebut tanpa bisa menimpali. Ia tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Tapi yang pasti ia tahu satu hal; ia dijebak.
Tiba-tiba saja, Chanyeol dan Baekhyun mengangkat tubuh lemas Nara ke kamar Sehun. Sehun dan Jongin juga ikut masuk dan mengunci pintu kamar itu. Selanjutnya, Chanyeol dan Baekhyun melempar tubuh Nara ke ranjang lalu melucuti pakaiannya.
Nara tak bisa melakukan apa-apa saat tiba-tiba Sehun menindihnya dan menciumnya secara kasar dan ganas. Sementara itu, hal tak senonoh dilakukan Chanyeol dan Baekhyun pada bagian atas tubuhnya. Jongin ikut ambil bagian dengan mengeksplorasi tubuh bagian bawahnya. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Nara selain menangis sambil menahan kenikmatan yang ia peroleh dan ia inginkan lebih dan lebih itu.
Sore itu, keperawanannya dihinakan oleh empat orang sekaligus. Ia dijadikan boneka seks oleh empat orang sahabat tersebut selama berjam-jam. Namun, tidak dapat dipungkiri kalau sebetulnya ia ikut merasa nikmat. Obat perangsang yang ia minumlah penyebabnya. Ironisnya, Soyoung, kakaknya berada dibalik ini semua.
Selesai diperkosa, Nara dibiarkan menangis sesenggukan di atas ranjang Sehun yang telah ternoda darah dan bukti kepuasan mereka berempat sampai Soyoung datang sementara para pemuda biadab itu keluar dari sana. Soyoung tertawa puas melihat betapa hancur tubuh Nara yang dipenuhi kissmark dan luka buatan Sehun dan sahabat-sahabatnya.
"Ke-Kenapa Kakak melakukan ini padaku? Apa salahku, Kak?" tanya Nara. Tubuhnya begitu lemas setelah melayani nafsu b***t empat orang sekaligus.
"Salahmu adalah datang ke dalam hidupku dan hidup Ayah," jawab Soyoung penuh kebencian. "Tidak seharusnya kau lahir ke dunia ini, Sialan! Ibumu seharusnya tidak berselingkuh dengan Ayah. Lihat! Sekarang kau dan ibumu sama-sama jalang. Soyoung tertawa di akhir kalimatnya. Tawanya begitu menyeramkan. Nara hanya mampu menangis semakin kencang karena penghinaan itu.
"Karena dirimu, aku kehilangan Ibuku," ujar Soyoung lirih. Suara yang tadinya terdengar lantang kini bergetar hebat. air matanya berjatuhan. "Karena kehadiranmu di rumah kami, Ibu pergi meninggalkanku. Dan di hari yang sama aku juga kehilangan keperawananku di usia 13 tahun. Itu semua karena dirimu!"
Nara berhenti terisak dan menatap Soyoung terkejut. Ia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh Soyoung.
"Kau ingat, hari di mana Ibuku pergi dari rumah? Hari itu aku kabur untuk mencarinya dan baru pulang sehari setelahnya dengan menangis kencang. Kau tahu kenapa aku menangis saat itu? Bukan hanya karena aku tidak menemukan ibuku, melainkan juga karena aku baru saja diperkosa oleh empat orang yang tidak kukenali sama seperti dirimu saat ini!" Soyoung histeris. Ia semakin terisak. Beberapa saat kemudian, ia berhenti.
"Dan sejak itu, aku bersumpah untuk membalas apa yang kualami saat itu pada dirimu. Karena secara tidak langsung, hal itu terjadi karena dirimu. Dan akhirnya, tujuanku tercapai atas bantuan Sehun." Soyoung kembali tertawa.
"Kau pasti bertanya-tanya kenapa Sehun mau membalaskan dendamku padamu, 'kan? Jawabannya, karena Sehun mencintaiku. Sehun bilang dia rela melakukan apa pun untukku asal aku mau menerima cintanya. Dan ia pun menyanggupi keinginanku untuk balas dendam padamu dengan menjebakmu seperti ini. Bahkan, ia juga yang mengajak ketiga sahabatnya untuk memperkosamu secara beramai-ramai seperti tadi."
Nara terkejut bukan main. Jadi, Sehun selama ini mencintai Soyoung dan ia rela melakukan apa pun demi mendapatkan cinta Soyoung termasuk menjebaknya seperti ini? Nara tertipu. Ia tertipu oleh sikap Sehun yang tiba-tiba berubah padanya. Pantas saja, batinnya miris. Hatinya begitu sakit sekarang. Sakit sekali.
"Lantas, apa sekarang Kakak sudah puas? Hidupku sudah hancur, Kak." Nara bersuara setelah sekian lama. Soyoung menyeringai.
"Belum. Aku ingin kau pergi dari hidupku dan hidup Ayah sejauh mungkin"
Nara membelalak. "Tapi, Kak—"
"Aku akan menyerahkan foto ini pada Ayah kalau kau menolak!" Soyoung mengacungkan foto Nara yang sedang meneguk bir, telanjang serta b******a dengan Sehun dan kawan-kawannya yang mana wajah mereka diblur kecuali wajah Nara sendiri. Nara semakin membelalak kaget.
"Nah, sekarang tinggal pilih, mau pergi secara sukarela atau diusir oleh Ayah?"
Dan mau tak mau, Nara pun memilih opsi pertama. Ia pergi meninggalkan Korea dan memantapkan hati tinggal di London dengan uang tabungannya sendiri. Junmyeon baru tahu tentang kaburnya Nara seminggu setelahnya karena saat gadis itu kabur, ia sedang berada di Amerika. Ia mengerahkan semua bawahannya untuk mencari Nara, tapi Soyoung merekayasa kematian adik tirinya itu. Alhasil, Junmyeon pun tidak pernah mencari Nara lagi.
Nara pun baru tahu tentang kehamilannya setelah usia kandungannya berusia lima minggu. Ya, dia hamil di usia belia. Usianya masih 15 belas tahun dan belum lulus SMP. Mau tak mau, Nara harus mengalaminya. Ironisnya, ia tak tahu janin dalam kandungannya itu siapa ayahnya.
Nara pun tak pernah ingin mencari tahu tentang hal itu. Terlepas dari peristiwa buruk yang menimpanya, Nara bertekad untuk merawat janin itu sampai ia tumbuh dewasa. Walaupun ia tahu kalau keputusannya bukanlah keputusan yang mudah untuk dijalani oleh gadis seusianya.
*****
London, Spring 2017
Nara tersadar dari lamunannya mengenai peristiwa enam tahun silam itu dan langsung menarik putrinya agar segera pergi.
"Sayang, ayo kita pulang. Hari sudah semakin sore," ujar Nara tergesa. Yena agak sedikit tertatih mengikuti ibunya yang berjalan begitu terburu-buru.
"Ibu, pelan-pelan. Yena ingin menyapa paman—"
"Tidak, Yena!" tegas Nara. Ia sampai berhenti dan berbalik untuk menatap putrinya itu. "Yena tidak boleh bertemu paman itu lagi. Dia bukan orang baik."
"Tapi dia menolong Yena—"
"Tidak, Sayang. Mungkin saja saat itu dia hanya berpura-pura baik. Siapa tahu saat kalian bertemu lagi, dia akan berbuat jahat padamu."
Yena masih menatap ibunya sangsi. Menyadari hal itu, Nara menghembuskan napasnya pelan dan berusaha menjelaskan pada Yena dengan lebih lembut. "Sayang, kita belum mengenal paman itu dengan baik, jadi kita harus waspada padanya. Ibu hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Yena. Ibu mohon agar Yena mengerti, ya? Yena sayang 'kan pada Ibu?"
Yena mengangguk.
"Kalau begitu, Yena pasti tidak ingin 'kan membuat Ibu menangis dan bersedih?"
Yena lagi-lagi mengangguk.
"Maka dari itu, dengarkanlah perkataan Ibu, ya?"
Yena mengangguk lagi lalu memeluk Nara. Nara yang tadi berkaca-kaca kini menumpahkan air matanya.
"Yena janji tidak akan menemui paman itu lagi, Ibu. Yena akan mendengarkan kata-kata Ibu dan menjadi anak yang baik untuk Ibu," Yena berujar.
"Sungguh? Yena janji?"
Yena mengangguk dalam pelukan Nara. Nara mengeratkan pelukannya pada putrinya itu. "Terima kasih, Sayang. Ibu sangat mencintaimu."
"Yena juga mencintai Ibu. Sangat cinta."
Nara tersenyum haru mendengar perkataan Yena.
Sementara itu, di luar kafe di seberang jalan, seseorang terpaku memperhatikan adegan mengharukan antara ibu dan anak tersebut. Namun, deringan ponsel mendistraksinya.
"Halo, Jong? ... Yeah, I'll be right there." Chanyeol buru-buru memasukkan ponselnya ke saku celananya dan masuk ke Aventador-nya, mencoba untuk tidak melihat ke seberang jalan lagi di mana seseorang yang ia kenal sedang tertawa bersama gadis cilik yang ditolongnya kemarin.
*****
Untuk kesekian kalinya, Sehun menghela napasnya sambil terus memperhatikan indahnya kota London dari penthouse-nya. Sejak tadi, ia tidak bisa menghilangkan ingatan mengenai pertengkarannya dengan Soyoung seminggu lalu saat ia belum berangkat ke London untuk mengurus bisnisnya. Sejak tiga tahun pernikahannya dengan Soyoung, ia dan Soyoung kerap sekali bertengkar hanya karena masalah sepele. Terkadang, Sehun merasa lelah dengan semua yang terjadi. Namun, ia juga mengerti penyebab utama pertengkarannya dengan Soyoungsering terjadi.
Keturunan.
Sehun dan Soyoung menikah di usia muda, yaitu 21 tahun bukan hanya karena mereka saling mencintai, melainkan juga karena Soyoung sudah lebih dulu mengandung buah cinta mereka. Namun, kehamilan itu hanya mampu bertahan selama lima minggu karena Soyoung keguguran. Rahimnya rusak dan ia pun tidak dapat memiliki anak lagi. Hal itu disebabkan oleh aborsi yang pernah ia lakukan di usia muda setelah p*********n yang dialaminya delapan tahun sebelumnya.
Soyoung sangat terluka dengan kenyataan yang harus dialaminya itu. Begitu juga dengan Sehun. Namun, ia juga tidak dapat berbuat apa-apa karena semua itu adalah garis takdir yang harus ia dan Soyoung terima.
"Hun!" Jongin menepuk pelan bahu Sehun. Sehun menoleh dan tersenyum tipis pada pria yang saat ini berprofesi sebagai seorang jaksa di Seoul itu. Ia pergi ke London untuk reuni dengan sahabat-sahabatnya.
"Masih memikirkan Soyoung, huh?" tanya Jongin. Sehun lagi-lagi hanya tersenyum tipis. Jongin menghembuskan napasnya pelan. "Wanita memang seperti itu. Apalagi kalau mengalami musibah seberat yang Soyoung alami—"
"Tapi ini sudah tiga tahun, Jong!" Sehun menyergah. "Soyoung masih belum bisa menerimanya. Bahkan, ia terus-terusan menuduhku bermain dengan wanita lain di belakangnya karena aku tidak bisa menerima ketidaksempurnaannya sebagai seorang wanita. Aku lelah!"
"Kau harus bersabar, Hun!" Baekhyun menimpali. Ia baru keluar dari toilet dan langsung mendengar keluh kesah sahabatnya itu. Ia menghampiri Sehun dan Jongin. "Jiwa istrimu terguncang. Tiga tahun jelas bukan waktu yang cukup untuk memulihkan kondisi psikisnya. Apalagi, kau juga tahu 'kan bagaimana dia mengalami berbagai macam cobaan sebelum ini. Jiwanya itu sangat rentan terguncang."
"Nah, dengarkan itu kata Dokter Byun!" Jongin menepuk-nepuk bahu Baekhyun bangga. "Walaupun kau adalah dokter spesialis anak, tapi kau rupanya paham juga ya tentang psikologis seseorang."
Baekhyun tersenyum. "Memahami psikologis pasien juga bagian dari pengobatan, Jong." Tiba-tiba Baekhyun memeriksa Rolex-nya dan mengernyit. "Sudah jam segini Chanyeol kenapa belum datang?"
"Dia sudah kuhubungi. Mungkin sebentar lagi ia tiba," ujar Jongin menenangkan.
Lima menit kemudian, si pengacara muda, Park Chanyeol pun tiba di penthouse Sehun. Namun, ia tampak memendam sesuatu. Ini terlihat dari sikapnya yang lebih banyak diam. Tidak biasanya seorang Park Chanyeol diam seperti ini. Jelas, hal ini membuat sahabat-sahabatnya merasa aneh.
"Chan, kau kenapa? Sedang ada masalah?" Sehun yang pertama kali bicara.
"Benar. Apa kasus yang kau tangani sekarang begitu menyita pikiranmu?" Baekhyun ikut bertanya.
Chanyeol menggeleng sambil tersenyum menenangkan. "Tidak. Aku sedang tidak ada masalah apa-apa. Kasus yang sedang kutangani juga bukan kasus yang terlalu serius."
"Lalu?" Jongin memancing. Ia menaikkan alisnya, meminta jawaban yang lebih jelas.
Chanyeol menatap Sehun, Baekhyun, dan Jongin dengan tatapan ragu. Sedetik kemudian, ia menghembuskan napasnya perlahan."Aku tadi melihat Nara bersama dengan seorang gadis cilik yang kemarin aku tolong saat ia tersesat."
"Apa?!" Sehun, Jongin, dan Baekhyun melotot kaget. Mereka saling melirik satu sama lain. Chanyeol mengangguk sebagai jawaban.
"Jadi, Nara ada di sini? London?" Gumam Jongin tak mengerti. Ia memicing melirik Baekhyun. "Baek, kau sama sekali tidak tahu kalau dia ada di London? Kau 'kan lama tinggal di sini?"
Baekhyun mendengus kasar. "Kau pikir aku tinggal di sini untuk apa? Aku kuliah dan langsung bekerja di rumah sakit. Kau kira aku punya cukup waktu untuk sekedar bertemu orang-orang? London itu luas, Bung."
"Lalu apa hubungan Nara dengan gadis cilik itu?" Sehun menyuarakan rasa herannya, mengabaikan percekcokan Jongin dan Baekhyun yang menurutnya sangat-sangat tidak penting itu.
Chanyeol mengusap wajahnya gusar. "Entahlah. Gadis cilik itu sepertinya sangat dekat dengan Nara. Aku mulai berpikir kalau mereka adalah ...." Chanyeol menatap satu-persatu ketiga sahabatnya yang mulai menahan napas."... sepasang ibu dan anak."
Hembusan napas berat terdengar setelahnya. Wajah Sehun, Jongin, dan Baekhyun tampak semakin gusar. Mereka kalut sekarang. Kalau benar gadis cilik itu adalah putri Nara, siapa ayahnya?
"Berapa usia gadis cilik itu?" Sehun bertanya.
"Usianya lima tahun. Dia masih TK."
"Apa saja yang kau ketahui tentang dia? Tempat tinggal, sekolah, atau yang lainnya?" desak Jongin. Chanyeol kembali menghembuskan napas pelan.
"Namanya Yena dan dia sekolah St. Antonio Kindergarten. Dia bercerita bahwa sejak kecil, ibunya tidak pernah memberitahunya soal ayahnya."
"Dan kau tidak menanyakan nama ibunya?" tanya Baekhyun. Chanyeol mendengus.
"Mana mungkin aku kepikiran untuk menanyainya soal ibunya? Memangnya sejak awal aku tahu kalau dia mengenal Nara dan mencurigainya sebagai putri Nara? Tidak, Baek."
"Andaikan dia memang putri Nara," Sehun angkat bicara. "Itu artinya Nara melahirkannya saat berusia 16 tahun. Lalu, siapa ayahnya?"
Mereka berempat saling lirik. Tatapan mereka seketika berubah menjadi tatapan menuduh. "Tentu saja bukan aku!" Mereka berempat sama-sama mengelak dengan tegas. Hening pun melanda mereka. Mereka terlarut dalam pikiran masing-masing.
"Begini, lebih baik kita saling jujur." Sehun menengahi. "Siapa di antara kita yang tidak mengeluarkannya di dalam?"
Detik demi detik berlalu, tapi Sehun, Jongin, Chanyeol, dan Baekhyun sama-sama bergeming.
"s**t!" Sehun mengumpat pelan dan menggeleng bar-bar. "Jadi kita semua menumpahkan milik kita di dalam?"
"Tapi kau yang pertama yang melakukannya, Hun!" seru Jongin menunjuk Sehun. Sehun, Chanyeol, dan Baekhyun menatap Jongin bertanya-tanya. "Sehun, kau yang merobek selaput daranya. Kau juga yang pertama kali mengeluarkan milikmu di rahimnya."
Sehun hendak menimpali, tapi Baekhyun lebih dulu berujar. "Itu bukan bukti yang cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa Sehun adalah ayah Yena, Jongin. Kita berempat sama-sama mengeluarkan milik kita di dalam, artinya kita berempat memiliki peluang yang sama sebagai ayah Yena. Itupun kalau Yena memang putri kandung Nara."
"Aku yakin kalau Yena memang benar putri kandung Nara" Chanyeol berujar penuh keyakinan. Ia mengangkat bahunya. "Yena itu sangat mirip dengan Nara. Aku memang tidak mengenal Nara dengan baik, tapi ... entahlah ... aku seperti mengenal Yena jauh sebelum ini."
Selanjutnya, mereka hanya terdiam. Berbagai macam hipotesa berkecamuk di pikiran mereka masing-masing. Namun, mereka juga tidak dapat menyimpulkan apa pun. Semuanya masih abu-abu. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Yang pasti, rasa bersalah yang dulu sempat mereka rasakan, perlahan mulai kembali. Keinginan untuk bertemu dengan Nara dan juga Yena mulai muncul di hati masing-masing. Pertanyaannya, beranikah mereka menemui sepasang ibu dan anak itu? Hanya mereka dan Tuhan yang tahu.
*****
Nara terus-menerus menatap Yena yang sudah tertidur pulas di ranjangnya dengan tatapan khawatir. Perasaannya tidak bisa tenang sejak pulang dari taman tadi. Melihat Chanyeol membuatnya entah kenapa merasa takut kehilangan Yena. Padahal, ia sendiri juga tidak tahu dengan tujuan kedatangan pria itu ke London. Ia hanya takut terjebak seperti dulu. Ia takut Soyoung ingin kembali menghancurkan hidupnya dengan mengirim Chanyeol ke London. Tapi, bukankah tidak ada orang yang tahu kalau ia bersembunyi di London?
Tolonglah, ia sudah cukup bahagia dengan hidupnya yang sekarang bersama putri kecilnya. Ia tidak ingin lagi terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya yang begitu kelam.
"Nara, tenanglah! Tidak akan terjadi apa-apa dengan kalian berdua," ujar Kiara, wanita 24 tahun berdarah Korea-Inggris yang tinggal di sebelah apartemennya. Wanita cantik itu sudah Nara anggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Kiara selalu membantu Nara di kala Nara kesulitan. Terutama saat awal-awal ia tinggal di London dan mengurus kehamilannya di usia muda. Kiara juga tahu tentang kejadian naas yang menimpa Nara.
"Tapi, aku benar-benar takut kalau Chanyeol sampai tahu aku ibunya Yena. Aku takut dia langsung berpikir kalau Yena adalah putrinya lalu dia—"
"Sst, don't think too much!" Kiara meletakkan kedua tangannya di bahu Nara. "Laki-laki itu tidak akan macam-macam padamu dan juga Yena, oke? Kalau dia melakukannya, maka aku akan melindungi kalian berdua. Jadi, please tenangkan dirimu. Sikapmu ini bisa membuat Yena menduga-duga kalau Chanyeol adalah ayahnya—"
"Tidak!" Nara menggeleng keras. "Yena tidak boleh berpikiran seperti itu, Ki. Memang, Chanyeol juga berpeluang menjadi ayah kandung Yena, tapi ... Tidak! Siapa pun ayah kandung Yena, aku tidak akan pernah mau mencari tahu. Mereka semua tidak pantas menjadi ayah dari putriku. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuh putriku."
Bulir-bulir air mata membasahi pipi pualam Nara. Hatinya kembali teriris saat teringat wajah-wajah biadab yang telah merampas kehormatannya hingga akhirnya menghadirkan Yena dalam hidupnya. Kiara yang mengerti akan kesedihan yang menimpa Nara, langsung menarik Nara ke dalam dekapannya.
*****
A week later
Setelah mengantarkan Yena sekolah, Nara bergegas pergi ke tempatnya bekerja, Cleo's Florist. Seperti biasa, sapaan hangat Mrs. Edward menyapa gendang telinganya. Harum kopi Arabica begitu menyeruak di hidung bangirnya. Siapa lagi kalau bukan Shawn si pemilik kedai kopi di samping toko bunga yang membuatkannya untuknya?
"Thanks, Shawn!" ujar Nara sambil menerima secangkir kopi yang disodorkan padanya dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya. Shawn tersenyum miring.
"Anytime," balas pria berdarah Kanada itu. Shawn terkesiap pelan. "Nara, kemarin lelaki itu mencarimu lagi."
Mendengar kata 'lelaki itu', seketika membuat Nara menghentikan pergerakannya yang hampir meminum kopinya. "Untuk apa dia ke sini lagi, Shawn?" tanyanya dingin.
Shawn mengangkat bahunya. "Seperti biasa, dia ingin memohon maaf padamu."
Cukup sudah! Dengan sedikit emosi Nara meninggalkan meja yang ia duduki untuk meminta izin pada Mrs.Edward untuk pergi menemui 'lelaki itu'. Ia tidak bisa tinggal diam sekarang. Semuanya harus selesai saat ini juga.
Setengah jam kemudian, ia sudah berada di lantai 30 Apartemen Zeus, sebuah apartemen mewah di pusat kota London. Lantai di mana penthouse Oh Sehun berada. Sudah hampir seminggu ini Sehun selalu saja datang ke tempatnya bekerja untuk meminta maaf padanya. Sehun mengetahui tempat kerja Nara secara tidak sengaja saat Nara mengantarkan bunga pesanan Sehun ke penthouse-nya. Sejak saat itu, Sehun selalu menyambangi Cleo's Florist.
"Kau tuli atau apa, huh?! Harus kukatakan berapa kali agar kau mengerti? Aku tidak mau menerima permintaan maafmu dan aku juga tidak mau bertemu lagi denganmu, Oh Sehun!" Nada bicara Nara meninggi di akhir kalimatnya. Matanya berkaca-kaca, hampir menangis.
Sehun yang saat itu baru saja bangun tidur, pelan-pelan berjalan mendekati Nara. "Nara—"
"Stop there! Stay away from me!' desis Nara sambil memundurkan langkahnya. Air matanya kini mengalir begitu saja. "Kumohon, menjauhlah dari hidupku! Jangan temui aku lagi. Aku hanya ingin hidup bahagia bersama putriku."
"Honey?" panggilan itu seketika membuat Nara membeku. Panggilan itu bukanlah panggilan yang asing bagi dirinya. Itu adalah panggilan yang berasal dari seseorang yang begitu dicintainya. Seseorang yang ia panggil dengan sebutan 'Ayah' selama 15 tahun eksistensi hidupnya enam tahun yang lalu.
Nara menoleh ke sumber suara. Benar, itu memang ayahnya. Wajah ayahnya tampak lebih renta dari yang usianya seharusnya.
Nara menggeleng sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Isakan yang keluar dari bibirnya makin menjadi. Kaki-kakinya secara tak sadar berjalan ke arah ayahnya dan memeluk pria itu erat.
"Ayah ...." bisik Nara. Ia sangat bahagia bisa bertemu bahkan memeluk ayahnya seperti ini. Tapi di sisi lain ia juga merasa malu pada ayahnya atas kejadian yang menimpanya.
"Ayah sudah tahu semuanya, Nara. Ayah sudah tahu apa yang selama ini menimpa dirimu. Maafkan Ayah karena terlambat mengetahuinya!" Junmyeon terisak. Nara tidak sanggup membalas perkataan pria itu dan hanya terus menangis. Junmyeon menarik diri agar bisa menatap Nara lebih jelas.
"Nara, Ayah tahu apa yang sudah kaualami selama ini sangatlah berat. Tapi, tolong maafkanlah Soyoung, Honey. Soyoung sudah menerima ganjarannya. Dia sudah menerima karma atas perbuatan jahatnya pada dirimu."
Nara mengernyit tak mengerti. Junmyeon mengarahkan Nara agar mau melihat ke belakang tubuhnya, tempat Soyoung kini berdiri si samping Sehun.
Nara sedikit terkejut melihat buliran kristal bening menuruni lekukan wajah sempurna milik sang kakak yang sudah enam tahun ini tak ia lihat.
Soyoung berkata, "Nara, maafkan kami! Kami sangat menyesal atas perbuatan kami padamu enam tahun yang lalu. Kini, aku mendapatkan karmanya. Aku divonis tidak akan pernah memiliki keturunan lagi. Aku sungguh minta maaf, Nara. Atau kalau perlu, aku rela melakukan apa pun agar kau mau memafkanku."
Nara menatap Soyoung cukup lama lalu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia bingung harus bersikap bagaimana. Hatinya jelas masih merasa sakit atas kejadian naas itu. Tidak mudah bagi dirinya untuk memaafkan semua yang pernah terjadi begitu saja.
"Aku butuh waktu," ujar Nara akhirnya setelah sekian lama diam. Ia mendongak menatap kedua pasang mata yang menatapnya secara bergantian. "Beri aku waktu untuk berpikir apakah aku harus memaafkan kalian atau tidak. Bagaimanapun, lukaku di masa lalu tidak akan sembuh secepat itu. Aku hanya tidak ingin mengulang kebodohanku di masa lalu dengan mempercayai perkataan kalian padaku begitu saja."
Perlahan, Nara membalikkan badannya dan berlari pergi meninggalkan penthouse Sehun. Ia bahkan tidak menghiraukan panggilan Junmyeon, Sehun, dan Soyoung di belakangnya. Nara hanya ingin menenangkan diri dan berpikir tentang langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya. Ia berharap, keputusan yang akan ia ambil nanti adalah keputusan yang paling tepat untuknya.
*****
Seoul, few months later
Wajah cantik itu tertunduk lesu. Rautnya menunjukkan emosi yang tak menentu. Sesekali hazelnya ia arahkan pada pemandangan di luar mobil yang ia tumpangi. Mobil yang membawa ia dan sang putri kecil menuju mansion keluarganya.
Nara dan Yena baru saja sampai di Korea Selatan. Mereka datang ke Negeri Ginseng bukan tanpa alasan dan bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena bujukan seseorang.
Dua hari yang lalu Sehun datang ke apartemen Nara dalam keadaan yang sangat kacau. Hari itu Sehun bahkan baru saja tiba di London. Pria itu jauh-jauh datang ke sana hanya demi menemui Nara untuk menyampaikan sebuah kabar yang mengejutkan mengenai Soyoung.
Wanita yang berstatus sebagai kakak tirinya tersebut sedang sekarat akibat penyakit kanker usus yang dideritanya.
Nara begitu terkejut mendengar kabar itu. Ia bahkan sempat merasa tak percaya dengan perkataan Sehun. Namun, Sehun berhasil meyakinkannya dan akhirnya Nara setuju untuk ikut pergi ke Seoul bersama Yena juga.
Nara menghela napas pelan. Tangannya dengan begitu lembut mengusap kepala mungil buah hatinya yang sedang terkulai di atas pangkuan—tidur. Senyum kecil yang terkesan sendu terukir di wajah jelitanya saat menatap Yena. Perasaannya yang sedang kalut sedikit tenang saat melihat wajah damai Yena yang sedang tidur. Ya, sejak kemarin perasaan Nara sempat kacau setelah tahu perihal kondisi kakaknya yang memprihatinkan. Rasa marah dan benci di hatinya masih ada, tapi ia juga tidak setega itu tertawa di atas penderitaan Soyoung. Bagaimanapun, ikatan darah di antara mereka masih kental. Nara masih bisa merasa iba dan prihatin pada kakaknya itu.
Lantas, secara perlahan Nara mengarahkan atensi pada Sehun yang duduk di sampingnya. Pria itu masih tampak kacau. Wajahnya murung. Nara mengerti betul dengan perasaan Sehun saat ini. Lelaki itu pasti merasa terpukul karena kondisi sang istri tercinta. Apalagi kabar mengenai penyakit yang Soyoung derita juga datang mendatang. Kanker yang menggerogoti tubuh wanita itu rupanya sudah sampai pada stadium akhir.
Sehun dan keluarga lainnya pun baru tahu saat Soyoung tiba-tiba tumbang. Rupanya dokter bilang bahwa Soyoung sudah mengidap penyakit ini selama setahun belakangan. Akan tetapi Soyoung menutupi semuanya. Ia bahkan enggan menjalani pengobatan. Sehun mengira itu semua karena rasa bersalah yang dirasakan Soyoung pada Nara.
Kalau sudah begitu, bagaimana Nara harus menyikapinya? Nara sendiri tak tahu jawabannya. Yang pasti ia merasa dilema.
"Ini kamarnya," Sehun bicara untuk pertama kalinya sejak mereka menginjakkan kaki di Korea. Saat ini mereka sudah sampai di rumah sakit tempat Soyoung dirawat.
Sambil menggendong Yena yang masih tertidur pulas, Nara melangkahkan kaki dengan ragu memasuki ruangan bernuansa putih itu. Wanita itu tercekat tatkala melihat tubuh lemah sang kakak yang terbaring di ranjang. Rupanya tak hanya sosok Soyoung yang sedang berada di sana. Ada Junmyeon juga yang sedang menunggui sang putri sulung.
"Akhirnya kau datang, Honey."
Junmyeon tersenyum haru sambil melangkahkan kakinya menuju Nara. Ia memeluk sang putri dan cucu tercinta dengan netra berkaca-kaca. Pun dengan Nara yang kini terisak pelan.
Junmyeon menarik diri dan mengedik pada Soyoung. "Temuilah kakakmu. Dia sudah menunggu lama. Biar Ayah saja yang menggendong Yena."
Nara mengangguk. Ia mengangsurkan tubuh mungil Yena pada Junmyeon.
Pelan-pelan Nara mendekati ranjang Soyoung. Dadanya tiba-tiba saja terasa sesak saat wajah ringkih sang kakak mulai jelas terlihat. Air mata yang menuruni lekuk sempurna wajahnya kian jadi. Sungguh, sedih sekali melihat bagaimana tak berdayanya Soyoung kini. Padahal enam tahun yang lalu sosok itu terlihat sangat kejam di matanya.
"Kakak ...." Akhirnya panggilan itu lolos juga dari bibir Nara yang bergetar. Tangan kurusnya dengan perlahan terjulur demi menjangkau bahu ringkih Soyoung yang saat ini sedang terlelap.
Dahi Soyoung mengernyit pelan. Kelopak matanya perlahan terbuka. Wajahnya tampak tak menyangka saat melihat Nara berada di ruang rawatnya.
"Nara ... Kau kah itu?"
Nara mengangguk menanggapi.
Senyum lebar kini perlahan terbit di wajah Soyoung yang tampak pucat dan tirus. Tangannya terulur ke arah Nara, menginsyaratkan bahwa ia ingin memeluk wanita itu.
Awalnya Nara sempat terkejut dan ragu, tapi ia segera mengesampingkan perasaan itu dan menyambut pelukan sang kakak.
Tak lama kemudian tangis mereka pecah. Sehun dan Junmyeon yang melihatnya ikut merasa terharu. Bahkan mereka tak segan menangis karenanya.
"Maafkan aku, Nara. Aku—"
"Sudah, Kak! Kakak tidak perlu meminta maaf lagi. Aku sudah memaafkanmu. Jangan pikirkan soal itu lagi, kumohon! Kakak hanya perlu memikirkan soal kesehatan Kakak." Nara menarik diri. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat menatap wajah sendu sang kakak. "Jujur, aku memang masih merasa marah pada masa lalu. Luka yang kurasakan masih belum sembuh betul bahkan hingga selama ini. Tapi kemudian aku merasa bahwa pasti hidupku akan lebih mudah jika aku benar-benar melupakan masa-masa kelam dalam hidupku. Maka dari itu, perlahan aku mulai belajar menyembuhkan rasa sakitku dengan mencoba melupakannya sedikit demi sedikit. Jadi sekarang Kakak tidak perlu lagi merasa bersalah padaku, ya? Aku sudah bertekad untuk melupakannya walaupun secara perlahan."
Mendengar perkataan Nara, tangis Soyoung pun menjadi. Nara langsung menarik tubuh sang kakak ke dekapannya lagi, berniat menangkan.
"Terima kasih, Nara. Aku tak tahu lagi harus bicara apa padamu. Tapi yang pasti aku bersyukur karena kau masih sudi menerimaku dengan tangan terbuka."
Nara mengangguk. Mereka sama-sama tersenyum haru. Pun dengan Sehun dan Junmyeon yang hanya menjadi penonton.
Namun, tak lama setelah itu Soyoung berteriak kesakitan. Hal ini langsung membuat panik seisi ruangan tersebut. Di tengah kepanikan yang melanda, Sehun langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Soyoung.
Nara, Sehun, dan Junmyeon—yang masih setia menggendong Yena— menunggu di luar ruang rawat Soyoung dengan harap-harap cemas.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya dokter keluar dari ruangan tersebut dengan raut wajah yang tak dapat dideskripsikan.
"Maafkan saya. Nyonya Soyoung sudah meninggal dunia."
Dan perkataan dokter sukses membuat Nara, Sehun, dan Junmyeon lemas seketika.
*****
Seminggu telah berlalu. Suasana di mansion Kim masih dalam nuansa berkabung. Setelah pemakaman Soyoung berakhir, Nara langsung memutuskan untuk kembali tinggal di kediaman sang ayah dan meninggalkan London. Nara ingin mencoba membangun kembali hidupnya bersama dengan sang ayah dan putri tercinta di kediaman lamanya.
Namun, ada satu hal yang membuatnya terasa terusik sesaat setelah pemakaman selesai. Rupanya Soyoung berwasiat agar Nara mau melakukan tes DNA untuk mengetahui siapa ayah kandung Yena. Tak hanya itu, Soyoung juga berpesan agar Nara mau menikah dengan Sehun jika memang pria itulah ayah Yena sebenarnya.
Nara sempat merasa bingung saat itu. Ia tidak tahu harus bagaimana menyikapi wasiat sang kakak. Ia tidak masalah melakukan tes DNA karena secara pribadi ia ingin Yena merasa bahagia mengetahui perihal ayah kandungnya. Tapi untuk menikahi Sehun ia tidak bisa. Padahal hasil lab memang menunjukkan bahwa Sehun memang ayah kandung Yena.
"Aku tidak bisa menikah denganmu," jawab Nara atas pertanyaan yang Sehun lontarkan soal wasiat Soyoung. "Lagi pula aku tidak ingin kita menikah tanpa adanya rasa cinta. Aku tahu kau pasti masih mencintai kakakku. Aku pun tak memiliki rasa cinta padamu. Jadi kurasa kita tidak perlu menikah. Cukup kau dan Yena tahu soal status satu sama lain saja."
Sehun menghela napas lesu mendengar jawaban tegas yang Nara berikan. Tak lama setelah itu, senyum miris ia tampilkan. "Baiklah kalau itu maumu. Aku tidak akan memaksa."
Lantas keheningan pun tercipta setelahnya. Membuat suasana canggung menyelimuti dua insan yang saat ini tengah berada di sebuah kafe.
"Kalau begitu, aku pergi." Nara bangkit dari kursi yang ia duduki. Sehun hanya mengangguk sebagai respons.
Sepeninggal Nara, Sehun lagi-lagi menghela napas lesunya. Tatapan sendunya ia arahkan pada luar kafe di mana rinai hujan sedang menuruni bumi.
Andai saja kau tahu kalau aku pernah mencintaimu, Nara. Menolak mengakui rasa cintaku padamu adalah kebodohan terbesarku.
FIN