Bagian 5
Mobil Mas Fahri bergerak mundur, kemudian perlahan meninggalkan pelataran rumah. Lelaki yang sangat kucintai itu kini telah berangkat untuk bekerja, padahal aku belum sempat memberitahunya tentang kehamilanku ini.
"Zahra, jangan sedih, Nak. Kamu masih bisa mengatakannya nanti setelah Fahri pulang dari kantor. Tunggu saja sampai Fahri pulang."
"Iya, Bu, Zahra akan menunggu sampai Mas Fahri pulang."
"Nah, gitu, dong! Wajahnya jelek tuh, cemberut terus. Senyum dong!"
Ah, ibu mertuaku ini, paling bisa membuatku tertawa. Bahagia rasanya memiliki ibu mertua sebaik beliau. Masalahnya sekarang adalah Mas Fahri. Apakah suamiku bisa berubah dan meninggalkan wanita selingkuhannya itu? Semoga saja iya. Pasalnya, aku tidak mungkin sanggup bersamanya lagi jika di hatinya ada nama wanita lain. Aku masih mau memaafkannya jika Mas Fahri meninggalkan wanita itu dan berjanji untuk setia bersamaku.
"Bu, Zahra izin ya, mau keluar sebentar, ada yang mau dibeli soalnya," pamitku pada ibu mertua.
"Kamu mau ke mana, Nak? Kamu ini 'kan sedang hamil muda. Kalau kamu nanti kecapean gimana? Ibu takut kandungan kamu kenapa-kenapa."
"Zahra cuma mau ke minimarket sebentar. Habis itu pulang. Ibu enggak usah khawatir, ya!"
Aku sengaja berbohong pada ibu. Sebenarnya aku ingin membuntuti Mas Fahri, bukan mau ke supermarket.
"Yasudah, kamu hati-hati ya, Nak. Cepat pulang."
"Iya, Bu." Aku kemudian mencium punggung tangan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu dengan takzim.
Kantor Mas Fahri adalah tujuanku. Sengaja aku tidak memberitahu bahwa aku akan berkunjung ke kantornya karena ingin memberi kejutan untuknya.
Aku turun dari mobil setelah memarkirkannya di halaman gedung, kemudian masuk dan menunggu di depan lift. Pintu lift terbuka, aku segera masuk ke dalamnya.
"Mbak ini istrinya Fahri, kan?" tanya seorang lelaki yang bersamaku di dalam lift.
Di dalam lift ini hanya ada kami berdua. Tidak ada orang lain. Aku segera menoleh ke arahnya. Aku ingat sekarang, lelaki yang menyapaku ini adalah rekan kerjanya Mas Fahri, lelaki yang bertemu denganku di supermarket.
"Iya, aku istrinya Fahri, kenapa, Mas?" Aku balik bertanya.
"Kamu ingat, kan? Sebelumnya kita pernah bertemu di supermarket."
"Ingat, dong! Masa sudah lupa. Kan baru beberapa hari yang lalu."
"Ngomong-ngomong, kamu mau ke ruangannya Fahri, ya?"
"Iya, Mas."
"Sayang sekali. Fahri baru aja keluar. Dia keluar dengan seorang wanita."
Apa? Mas Fahri keluar bersama seorang wanita?
Perasaanku mendadak tidak tenang saat mendengar ucapan dari lelaki tersebut. Benarkah yang dikatakannya?
Aku ingin menangis, namun sebisa mungkin aku harus tetap kuat. Tidak boleh lemah di hadapan orang lain. Kuat, Zahra, kuat!
Pintu lift terbuka. Lelaki yang bersamaku tadi keluar lebih dahulu, sedangkan aku masih di dalam. Aku kemudian menekan tombol angka empat pada dinding lift karena ruangan Mas Fahri berada di lantai empat.
"Eh, ada Bu Zahra. Mau menemui Pak Fahri, ya?" sapa Indah begitu aku tiba di depan ruangannya Mas Fahri. Dia adalah sekretarisnya Mas Fahri.
"Iya, Mas Fahri nya ada?"
"Pak Fahri baru saja keluar, Bu, sepertinya akan lama."
"Pergi? Dengan siapa? Kamu tahu Mas Fahri pergi ke mana?"
"Kurang tahu, Bu, coba Ibu telpon saja. Kalau enggak, Bu Zahra menunggu di ruangannya Pak Fahri saja." Indah memberi saran.
"Kamu gimana sih, indah? Masa kamu enggak tahu Mas Fahri pergi ke mana dan dengan siapa? Kamu 'kan sekretarisnya! Pasti semua jadwal Mas Fahri sudah kamu ketahui karena kamu yang mengaturnya. Kamu gimana, sih?"
"Maaf, Bu, saya benar-benar enggak tahu. Permisi!" Indah pun meninggalkanku dengan wajah yang sedikit ketakutan.
Ada apa? Apa indah mengetahui sesuatu tentang Mas Fahri? Entahlah!
Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Seperti yang kurasakan saat ini. Satu jam sudah aku menunggu Mas Fahri, namun belum juga kelihatan batang hidungnya. Ke mana sih, Mas Fahri? Ditelpon tidak diangkat, pesanku juga tidak dibalas.
Ya sudahlah! Aku lelah menunggunya. Lebih baik aku pergi saja. Lagian aku juga mulai merasa lapar karena tadi pagi hanya makan sedikit saja.
***
Aku memarkirkan mobil di depan sebuah restoran seafood yang lumayan terkenal di kota ini. Entah kenapa, aku ingin sekali makan kepiting saus tiram. Padahal selama ini aku tidak menyukainya. Tumben, ya? Apa mungkin ini yang dinamakan ngidam? Lucu juga, ya. Makanan yang biasanya tidak disukai malah sekarang menginginkannya. Ada-ada saja.
"Silakan duduk, Mbak, mau pesan apa?"
Seorang waiters menyapa dengan ramah sambil memberikan buku menu.
"Kepiting saus tiram, minumnya jus alpukat," jawabku setelah membaca daftar menu yang diberikannya tadi.
"Silakan menunggu ya, Mbak, pesanan akan segera diantar."
Aku pun mengangguk pertanda mengiyakan. Sudah terbayang di pelupuk mata bagaimana lezatnya kepiting saus tiram tersebut. Ah, hampir saja air liurku menetes membayangkannya. Ya Allah, ada-ada saja ya keinginan orang yang lagi ngidam.
"Sabar, Sayang, enggak lama lagi kepitingnya akan segera diantar dan kita akan menikmatinya." Aku berucap dengan lirih sambil mengelus perutku. Takut dikatain gila kalau orang-orang mendengar aku berbicara sendiri.
Apa semua wanita hamil mengalami masa-masa ngidam seperti yang aku rasakan, ya?
Lebih baik nanti aku tanyakan saja kepada ibu karena aku belum punya pengalaman soal kehamilan.
Sambil menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tiba-tiba mataku menangkap sosok seorang lelaki yang tidak asing lagi bagiku.
Mas Fahri? Ya, itu Mas Fahri. Apa yang ia lakukan di sini? Tunggu dulu, apa aku tidak salah lihat? Mas Fahri sedang bersama dengan seorang wanita? Siapa wanita itu? Sepertinya aku belum pernah melihatnya sebelumnya.
"Mbak, ini pesanannya."
Seorang waiters meletakkan piring yang berisi kepiting saus tiram dan juga segelas jus alpukat di mejaku.
"Selamat menikmati," ucap sang waiters dengan ramah.
"Terima kasih."
Jika tadi aku merasa sangat lapar dan ingin sekali memakan kepiting saus tiram, sekarang tidak lagi. Selera makanku benar-benar hilang.
Mataku masih fokus memandangi Mas Fahri dan juga wanita itu. Mereka berdua tampak mesra sekali. Seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara. Membuat hati ini bagai terbakar. Ya, aku cemburu melihat suamiku bermesraan dengan wanita lain.
Apa mungkin wanita yang bersama Mas Fahri itu adalah kekasih gelapnya? Wanita yang mengirimkan chat mesra ke ponselnya? Wanita yang mengaku sedang mengandung anaknya Mas Fahri?
Tidak! Aku menggeleng pelan. Berusaha menyangkal meskipun hati mengiyakan.
Menu yang aku pesan tadi, mulai dingin dan aku sama sekali tidak berselera untuk memakannya. Hatiku menangis pilu, menyaksikan pemandangan menyakitkan di depan mata.
Mas Fahri dan wanita itu kini sedang suap-suapan. Mereka tidak malu meskipun dilihat oleh banyak orang. Mereka berdua masih tetap terlihat santai. Bahkan sama sekali tidak menyadari keberadaanku.
Tidak salah lagi. Pasti mereka berdua memiliki hubungan spesial. Jika mereka berdua hanya teman biasa atau hanya rekan kerja, pasti tidak akan bersikap seperti itu. Sekarang aku paham, pasti wanita itu adalah selingkuhannya Mas Fahri.
Ya Allah, kuatkan hamba. Hamba benar-benar tidak kuat untuk menghadapi semua ini ya Allah.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku melabrak mereka detik ini juga?
Baiklah, sepertinya aku memang harus melakukannya.
Sebelum melakukan itu, aku mengirim chat terlebih dahulu ke ponsel Mas Fahri untuk menanyakan keberadaannya. Aku ingin melihat kejujurannya.
Pesanku langsung dibalas dan Mas Fahri mengatakan kalau ia sedang berada di kantor, sedang meeting dengan klien dan ia tidak mau diganggu.
Oke, Mas. Karena kamu membohongiku, maka aku akan melabrakmu detik ini juga.
Aku melambaikan tangan kepada waiters untuk membayar pesananku sekalian menyuruhnya membungkus kepiting saus tiram beserta jus tadi. Sayang kalau tidak dimakan, lebih baik dibawa pulang saja.
Setelah menerima kembalian, aku segera menuju ke meja Mas Fahri yang berada di pojokan.
"Katanya sedang meeting di kantor, kok' malah di sini?"
Kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu langsung melepas genggaman tangannya ketika melihatku.
Bersambung