Bagian 3
"Mas, tolong angkat teleponku. Aku ingin bicara denganmu. Penting!" Aku mengirim pesan kepada Mas Fahri.
"Ada apa? Mas sedang sibuk. Katakan saja, kita chat saja, gak usah teleponan."
Aku tak menghiraukannya, segera kutelepon Mas Fahri untuk memastikan bahwa kecurigaanku tidak benar.
"Zahra, Mas sudah bilang kalau Mas sedang sibuk. Kita bicara nanti saja. Tolong jangan ganggu Mas dulu."
Ya Allah, Mas … hanya mengangkat teleponku saja kamu enggak ada waktu? Gimana aku enggak berpikiran macam-macam, coba? Sudah dua hari aku diacuhkan seperti ini, tanpa kabar lagi! Hati wanita mana yang tidak sakit dibuat begini?
Padahal aku hanya ingin mendengar suaramu, Mas. Aku rindu padamu, Mas!
Di dalam rahimku ini sudah bersemayam benih dari Mas Fahri, tapi kenapa seolah suamiku tidak peduli padaku?
Mas Fahri, kuharap kamu tidak macam-macam di belakangku. semoga kamu tetap setia dengan janji pernikahan kita.
***
"Zahra, kamu Zahra, kan? Istrinya Fahri?" tanya seorang lelaki saat aku sedang mengantri di depan kasir untuk membayar belanjaanku.
"Iya! Mas kenal saya?"
Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik.
"Saya Hendri, rekan kerja suamimu. Oh ya, saya mau tanya, Fahri kemana, ya? Sudah beberapa hari ini Fahri tidak masuk kantor. Apa Fahri sedang sakit?"
Keningku mengernyit mendengar pertanyaannya. Mas Fahri 'kan diutus dari kantornya, kenapa rekannya tidak mengetahuinya? Rasanya tidak masuk akal.
"Maaf, maksudnya apa, ya? Mas Fahri sedang ke luar kota, diutus oleh perusahaan. Masa Mas tidak tahu?"
"Setahu saya, bukan Fahri yang diutus untuk menangani proyek yang ada di luar kota, tapi orang lain."
Jawaban dari rekan kerja suamiku tersebut sukses membuat pikiranku kacau. Ya, aku takut jika kecurigaanku ternyata benar.
"Jika kamu tidak percaya, silakan tanyakan pada personalia di kantor. Pasti bagian personalia lebih tahu akan hal ini. Yasudah, saya ke sana dulu, ya, mau lihat istri saya, siapa tahu sudah selesai belanjanya. Permisi!"
Aku masih menatap punggung lelaki tersebut hingga tubuhnya menghilang di balik tembok.
Ya Allah … apalagi ini? Apa mungkin Mas Fahri membohongiku?
Rasanya aku sudah tidak sabar ingin menanyakan kebenarannya kepada Mas Fahri. Baiklah, setelah Mas Fahri pulang akan kutanyakan padanya.
***
Aku menyambut kedatangan Mas Fahri di depan pintu. Tak lupa merias wajah dengan make up tipis dan juga mengenakan pakaian yang baru aku beli. Meskipun aku sedang kesal padanya karena Mas Fahri mengabaikanku beberapa hari ini, tapi aku tidak menunjukkannya di hadapannya. Aku tetap bersikap seperti biasa.
"Alhamdulillah kamu sudah pulang, Mas." Kuraih tangannya, lalu mencium punggung tangannya dengan takzim.
"Iya, Zahra. Mas capek bangat. Mas ke kamar dulu, ya!" Mas Fahri segera berlalu dari hadapanku.
Mas Fahri sudah berubah. Biasanya ia akan langsung memelukku begitu pulang dari luar kota, tetapi kali ini berbeda. Ia seperti menjauh dariku.
"Zahra, tidak usah kamu ambil hati, Nak. Biarkan Fahri istirahat dulu. mungkin dia lelah," ucap Ibu
"Baik, Bu. Zahra mau nyusul Mas Fahri dulu ya, Bu."
Ibu pun menganggukkan kepalanya, lalu kembali ke kamarnya.
Sesampainya di kamar, aku tidak mendapati keberadaan Mas Fahri. Kemana ya?
Tiba-tiba terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. Mungkin Mas Fahri sedang mandi.
Sambil menunggu Mas Fahri selesai mandi, aku membongkar kopernya untuk mengeluarkan baju-baju kotornya.
Mataku menyipit saat hendak membuka kopernya. Tidak ada label apa pun baik dari maskapai ataupun petugas bandara yang menandakan bahwa koper tersebut telah melewati pemeriksaan. Aku semakin merasa janggal apalagi setelah teringat akan ucapan Bella malam itu, juga ucapan dari rekan kerja Mas Fahri yang kutemui di supermarket. Lelaki itu mengatakan kalau bukan Mas Fahri yang diutus ke luar kota. Dan kini, aku menemukan kejanggalan lagi.
Apa benar kamu sudah berkhianat, Mas?
Semoga saja kecurigaanku ini tidak benar.
Ah, aku tidak boleh menaruh curiga pada suamiku sendiri. Biar nanti kutanyakan saja jika sudah ada waktu yang tepat.
Untuk menghindari prasangka buruk, aku melanjutkan aktivitasku untuk membongkar kopernya. Saat membuka isinya, aku lebih terkejut lagi karena di dalamnya ada lingerie warna merah.
Lingerie siapa ini? Aku juga punya lingerie seperti ini, tapi aku tahu jelas kalau ini bukan milikku. Lingerie milikku ada di dalam lemari pakaian. Apa Mas Fahri ingin memberiku hadiah lingerie ya? Tapi kok kelihatannya lingerie ini sudah bekas pakai?
Perasaanku mendadak tidak tenang. Hawa panas tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku.
"Dek, kamu sedang apa?" tanya Mas Fahri. Rupanya ia sudah keluar dari kamar mandi. Terlalu fokus dengan isi kopernya, membuatku tidak menyadari kehadirannya.
"Mas, ini apa?" Aku menunjukkan lingerie warna merah tersebut padanya.
"Kenapa ada benda ini di dalam kopermu, Mas?"
"Apa itu? Mas gak tahu, Dek! Mana mungkin ada pakaian seperti itu di koper Mas. Punyamu kali!" kilahnya.
Benar dugaanku, Mas Fahri pasti akan berkilah. Padahal sudah jelas-jelas lingerie ini kutemukan di dalam kopernya. Sepertinya memang aku harus mencari tahu sendiri.
"Mas, kok' enggak ada label apapun di kopermu yang menandakan kalau kamu habis melakukan penebangan?" Aku kembali bertanya.
"Udah Mas buang tadi di jalan. Memangnya kenapa, sih? Kok' kamu jadi curigaan gitu?"
"Aku bukannya curiga, Mas. Aku cuma nanya. Memangnya enggak boleh?" Aku menghampirinya yang sedang duduk di atas tempat tidur, lalu memeluknya tapi Mas Fahri menghindar.
"Dek, Mas istirahat dulu, ya! Capek!" Mas Fahri pun merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Dengan sikapmu seperti itu, aku semakin yakin jika kamu menyembunyikan sesuatu di belakangku, Mas.
Tak lama kemudian, suara dengkuran halus pun terdengar. Ternyata Mas Fahri sudah tertidur pulas.
Tiba-tiba ponsel Mas Fahri yang sedang berada di atas meja rias bergetar. Segera kuraih ponsel tersebut. Dahiku mengernyit ketika membaca pesan masuk dari kontak bernama Maria.
"Sayang, kamu sudah sampai rumah, belum?"
Jantungku berdegup lebih kencang saat membaca pesan tersebut.
Siapa wanita ini? Kenapa ia memanggil suamiku dengan sebutan sayang?
"Ingat ya, Mas, aku mau Mas menepati janji. Sekarang aku udah hamil dan sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ayah. Aku mau kamu bawa aku ke rumah kamu. Akui aku sebagai istri di depan ibumu dan juga wanita mandul itu."
Wanita itu hamil? Dan ia ingin diakui sebagai istri?
Wanita mandul? Siapa yang ia maksud?
Apalagi ini ya Allah?
"Aku harap kamu tidak melupakan janjimu, Mas. Kutunggu secepatnya."
"Jika kamu terus mengulur waktu, aku akan membongkar semuanya di hadapan Ibu dan juga istrimu yang mandul itu!"
Rasanya kedua kaki ini tidak mampu lagi untuk menopang tubuhku. Tubuhku pun langsung luruh ke lantai.
Aku mencengkram luka dalam d**a, menangis dalam diam. Tidak kusangka jika orang yang sangat kucintai ternyata tega mengkhianatiku.
Ternyata Mas Fahri memiliki wanita lain di luar sana dan sekarang wanita itu sedang hamil.
Ya Allah … rasanya aku tidak sanggup menerima cobaan ini. Aku benar-benar tidak sanggup berbagi suami.
Aku meraba perutku yang masih rata sambil mengelusnya pelan. Di dalam sini sudah ada kehidupan. Rencananya aku akan memberi kejutan tentang kehamilanku ini pada Mas Fahri. Namun nyatanya justru Mas Fahri yang memberiku kejutan.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Jujur, aku tidak sanggup jika harus berbagi suami. Lebih baik berpisah daripada harus dimadu.
Apa aku pergi saja dari rumah ini ya? Aku sungguh tidak sanggup menerima semua ini. Rasanya aku ingin pergi sejauh mungkin. Menghilang dari kehidupan Mas Fahri untuk selamanya.
Baiklah, mungkin lebih baik aku pergi saja dari rumah ini.
Segera aku menyeka air mata dengan punggung tangan, lalu berjalan menuju lemari. Mumpung Mas Fahri sedang tidur, aku segera mengambil tas, lalu memasukkan baju-bajuku ke dalamnya.
Tunggu dulu. Rumah ini 'kan peninggalan orang tuaku. Aku yang paling berhak atas rumah ini. jika ada yang harus pergi dari rumah ini, bukan aku, melainkan Mas Fahri.
Lihat saja apa yang akan kulakukan jika kamu berani membawa wanita itu ke rumah ini, Mas!
Bersambung