3. Kita tidak saling kenal

2186 Words
Aleta mematut dirinya di cermin. Setelah drama pertemuannya dengan Danu di lobi perusahaan waktu itu, mereka tak bertemu lagi. Bahkan saat Aleta menjalani serangkaian tes masuk dan akhirnya diterima sebagai perusahaan, satu kali pun dia tidak melihat batang hidung Danu. Jadi, apa sebenarnya posisi Danu di perusahaan itu? Apa dia salah satu petinggi? Meskipun Danu memintanya untuk menjauh darinya, Aleta tidak bisa menuruti perintah kekanakkan itu. Dia juga sangat menerima pekerjaan ini karena terpaksa. Sekarang keuangannya sudah menipis dan satu-satunya perusahaan yang menerima dia hanya Perusahaan Hansen Group ini. Hansen Group adalah anak perusahaan sebuah kantor besar asing yang bergerak di banyak bidang, salah satunya properti dan real estate. Hansen sendiri bergerak di bagian pemasaran rumah contoh, hotel dan public place. Hari pertama masuk kerja, Aleta masih gugup karena dia masih awam dengan perusahaan itu. Tapi untungnya, dia dibimbing oleh seseorang yang mengatakan bahwa masih ada masa training untuk karyawan baru. Begitu tiba di lobi dia digiring menuju ke lantai dua puluh delapan, tempat operasional divisi marketing dan pemasaran untuk melakukan perkenalan singkat. Personalia memperkenalkannya sebagai asisten CEO. "Ah, kamu Bagas, 'kan?" Aleta kaget saat dia digiring menuju satu ruangan kecil dan bertemu dengan seorang lelaki yang dikenalnya. Bagas sepertinya sudah tahu akan kedatangannya, karena dia tidak terkejut. Seperti biasa penampilan Bagas sangat rapi dan setiap gerak geriknya nampak pintar. "Aku nggak nyangka kamu masih ingat aku, Aleta." Bagaimana mungkin Aleta lupa sama laki-laki yang tiba-tiba datang dan mengantarnya ke kontrakan atas nama Danu? Kemudian, Bagas menyuruhnya masuk dan duduk. "Kamu udah hafal jalan ke ruangan ini, 'kan?" Bagas berbasa-basi. "Kantor ini punya tiga puluh lantai. Kalau kita langsung naik ke lantai ini, mungkin nggak akan bingung, tapi untuk nyari ruangan kerja kamu, pasti akan banyak lorong." Bagas benar. Saat keluar dari lift, Aleta merasa digiring ke lorong yang punya banyak sekali ruangan pintu dan di masing-masing pintu terdapat meja kubikel, tempat beberapa karyawan. Ada cukup banyak pintu dan semuanya penuh dengan pekerja. "Awalnya agak bingung, tapi aku ingat tempat ini." "Bagus kalau gitu, kamu udah tahu 'kan apa job desk kamu? Bisa aku mulai kasih penjelasan sekarang?" tanya Bagas. "Dan, oh, aku lupa, Ini ruangan kerjaku. Sebentar lagi ruangan ini bakal jadi milik kamu juga." Aleta mengernyitkan dahi. "Tunggu. Aku asisten CEO, 'kan? Bukannya kamu sekretarisnya Danu?" "Asisten plus sekretaris," ralat Bagas. "Itu pada dasarnya sama." Perasaan Aleta tidak enak. Saat Bagas datang membantunya melihat kontrakan yang disewa Danu untuknya, Bagas menjelaskan bahwa dia adalah sekretaris pribadi Danu. Sekarang, dia juga menjelaskan bahwa ini sebelumnya ruangan Bagas dan sekarang menjadi ruangannya. Aleta segera muncul dengan dugaan telak dan dia mulai merasa gugup. "J-Jadi, maksud kamu ..." Kalimat Aleta berhenti, awalnya dia berpikir Bagas hanya membantunya untuk menjelaskan beberapa hal, dia tidak menyangka bahwa dia akan menggantikan Bagas dan itu artinya ... "Iya, Pak Danu adalah CEO di sini. Aku waktu itu bilang bahwa aku sebentar lagi akan mengundurkan diri." Bagas tersenyum. Ya Tuhan, benar juga, Aleta lupa yang ini. Dan apa itu? Ternyata Danu CEO di sini? "Kamu kenalannya Pak Danu, 'kan?" Bagas bertanya sambil mengeluarkan berkas kerja yang sudah dipersiapkannya untuk membantu Aleta belajar. Dia mengambilnya di meja kerja berwarna putih yang nampak bersih dan rapi. Tidak tahu ekspresi apa yang dipasang Aleta saat ini. 'Bukan kenalan lagi, tapi mungkin dia udah anggep aku musuh kali.' Aleta membatin panik. 'Mampus! Mampus aku!' "Aleta?" Bagas memanggilnya dan nampak bingung. Aleta tidak menyembunyikan rasa cemasnya. "Jadi, aku bakal jadi asistennya Da—maksudku, Pak Danu?" "Yes." Oh, Tuhan. Yang benar saja? Jadi dia benar-benar akan kiamat kali ini? Dia memang berencana untuk mendekati Danu dan mencoba meminta maaf. Tapi untuk menjadi asistennya ... mungkin dia tidak akan tenang kerja di kantor ini karena menduga Danu tidak akan membuatnya mudah! "Mampus!" "Apanya yang mampus, Al?" Suara Bagas membuat Aleta terkesiap. "Eh? Mn, itu, mampus, aku masih belum ngerti semuanya tiba-tiba jadi asisten CEO. Aku takut malah buat masalah." Bagas tertawa, dan tawa itu sangat renyah dan enak didengar. "HRD nggak mungmin nerima kamu asal-asalan, Al. Kalau kamu diterima artinya punya potensi. Bukannya kamu melamar untuk posisi ini?" "Sebenernya waktu itu aku melamar untuk semua posisi, bahkan untuk posisi keamanan juga." Aleta tersenyum canggung. Ekspresi Bagas langsung berubah, itu perpaduan antara kaget dan tak percaya, kemudian dia tertawa geli. Aleta menatapnya bingung. "Maaf, maaf. Aku nggak sengaja ketawa. Kamu lucu banget sih, Al. Polos banget." Bagas masih tertawa. Polos? Apanya yang polos? Aleta memang melamar semua posisi karena dia sangat butuh pekerjaan dan uang, jadi diterima di mana, atau posisi apa pun, itu tidak masalah. Hanya saja kalau dia tahu Danu adalah CEO di perusahaan ini, dia mungkin akan menghindari memilih jadi asistennya. "Jadi bisa kita mulai sekarang?" Bagas mengeluarkan agenda yang isinya sudah terisi penuh. "Ini adalah agenda kerja Pak Danu. Kita sebagai asisten akan membuat jadwal kerja dan mengatur hal yang harus dilakukan beliau. Apa kamu paham?" Aleta mengangguk. Kemudian Bagas menjelaskan semua bagian terpenting dari tugas asisten dan sekretaris, bahkan untuk menyiapkan minum saja harus menjadi tugasnya. Untung saja, dari tugas menumpuk itu, Bagas menjelaskannya dengan gaya yang santai namun mudah dipahami. Kalau dipikir-pikir, Aleta jadi ingat dengan asisten pribadinya di Turki dan merasa sedikit bersalah. Apakah pekerjaan mereka memang serumit ini? Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Seorang wanita bertubuh ramping dan rambut pendek, muncul lewat pintu. "Kak Bagas, Pak Danu minta kamu ke ruangannya sambil bawa proposal kerja dari beberapa klien yang mau kerja sama." "Makasih ya, Marwa. Oh, ya, apa kamu udah kenalan sama Aleta?" Bagas menghentikan Marwa yang hampir pergi. Cewek bernama Marwa ini punya wajah yang acuh tak acuh, terlihat sedikit suram dan kesepian. Dia hanya melirik Aleta saat Bagas mengatakan itu. "Halo, aku Aleta." Aleta dan Bagas menghampiri wanita itu. "Al, ini Marwa, asisten manager di divisi pemasaran. Dan Marwa, ini Aleta, yang bakal gantiin posisi saya nanti." Aleta mengulurkan tangannya. "Salam kenal," sapa Marwa dengan suara lemah, dia hanya menunduk tanpa melihat Aleta sama sekali, apalagi menjabat tangannya. Aleta bingung dalam situasi canggung ini. "Tadi Pak Danu nelpon lewat interkom, karena dia tahu Kak Bagas lagi sibuk, jadi dia bilang satu jam lagi aku suruh kasih tahu." Marwa berkata lagi, tanpa benar-benar menggubris Aleta. Di sini, Aleta menarik tangannya dan tidak tahu harus tertawa apa menangis. Setelah Bagas mengajak Aleta pergi, jujur saja, Aleta saat itu ingin sekali memilih untuk tidak ikut ke ruangan Danu. Tapi karena ini hari pertamanya kerja dan dia butuh uang, dia tidak mungkin menunjukkan sikap tidak sopan dan membantah. Jika dia berpikir untuk mencari pekerjaan baru, itu pasti butuh waktu lama lagi. Aleta sudah terlalu lelah. Uang yang diberikan Arumi sebenarnya sudah menipis. Memang dia bisa begitu saja meminjamnya lagi pada Arumi, tapi itu sama saja membebani Arumi. Astaga, benar-benar berat! Sibuk dengan pikirannya sendiri, mereka akhirnya tiba di ruangan Danu yang letaknya hanya berada di sebelah ruangan barunya. Pintu ruangan terbuka dan dia mendengar suara. "Jadi dia mau budget rendah, tapi kualitas yang tinggi? Kamu tahu 'kan perusahaan itu maunya untung, klien juga mau untung. Tapi kalau kita menuruti mereka terus, kita yang merugi. Lebih baik cari solusi tengah dan ..." Pandangan Danu mengarah ke pintu ketika dia mendengar ketukan dan otomatis suaranya berhenti. Ketika Danu berbicara, dia selalu menggunakan nada yang tegas namun lembut, Aleta masih sangat suka dengan nada itu. Diam-diam tersenyum kecil. "Pak Danu manggil saya?" tanya Bagas. Danu mengusir seseorang yang berdiskusi dengannya sebelumnya, beralasan akan mempelajari kontrak lagi dan memanggil Bagas mendekat. Aleta mengekori di belakangnya dengan jantung berdegup, bersembunyi di balik bahu Bagas yang lebar. Dengan terangnya ruangan ini karena cahaya dari jendela, tidak mungkin Danu tidak melihatnya. Tapi Aleta tetap berusaha untuk tidak terlihat secara langsung oleh Danu. Aleta hanya berani mengintip saat lelaki itu fokus melihat berkas. "Kamu copy ini dan bagikan sama peserta rapat. Jam berapa rapat dimulai?" Danu bertanya tanpa menatap ke depan. Bagas sangat hafal jadwal Danu di luar kepala tanpa melihat agenda sama sekali. "Jam sebelas, Pak. Habis itu, Bapak juga ada janji makan siang dengan Pak Hamka untuk membahas pembangunan fasilitas umum yang bermasalah. Kemudian jam dua, ada rapat lagi dengan divisi keuangan. Lalu dilanjutkan dengan pengecekan gudang bahan baku sampai jam lima sore." 'Dasar maniak kerja. Bahkan makan siang masih harus bahas kerjaan,' keluh Aleta dalam hati. "Oke. Saya siap untuk semuanya." "Satu lagi, Pak. Ini sekretaris baru yang akan menggantikan saya bulan depan." Bagas berkata lagi, dan saat itu Aleta mulai gugup. Awalnya dia masih ingin menunduk menyembunyikan wajahnya di mana pun, tapi akhirnya tak tahan untuk melihat ke depan. Pada saat yang sama Danu juga melihat ke arahnya. Pandangan mata Danu lurus dan tegas, tidak ada emosi dan nampak sangat dingin dan suram. Dia juga tidak berkata apa pun. Tiba-tiba Bagas menyenggolnya. Aleta terkesiap. "Ah, iya, selama siang Pak Danu. Perkenalkan nama saya Aleta Felicia Shihab." Danu melihatnya dengan tatapan acuh tak acuh. "Apa begitu sikap kamu di hari pertama bekerja? Melamun dan tidak fokus." Walaupun Aleta tidak suka dengan nada itu, tapi dia sadar ini memang kesalahannya. "Maafkan saya, Pak. Tidak akan saya ulangi di masa depan." Danu tampaknya tidak melanjutkan debat itu dan Aleta berpikir mungkin hanya perasaannya saja bahwa Danu ingin membuatnya tidak betah dengan omongan-omongan tajam. "Pak, kemarin Bu Retno bilang kalau dia mungkin agak terlambat untuk rapat." Bagas mengumpulkan berkas di meja Danu. "Lagi? Ini udah berkali-kali. Kalau saya tolerir lagi, kasihan yang lain, mereka akan pikir saya pilih kasih. Tolong kamu urus itu, dan katakan bahwa ini sudah melanggar dan akan ada sanksi khusus." "Baik, Pak." "Kamu boleh pergi." Bagas memberikan senyum pada Aleta dan menyuruhnya untuk menunggu sebentar sambil memperkenalkan diri. Ditinggalkan sendiri membuat Aleta benar-benar tegang. Meskipun itu Danu yang dia kenal, mantan kekasihnya, orang yang baik dan lembut di masa lalu, tapi mengingat bagaimana hubungan mereka sekarang, ini benar-benar sangat buruk. Aleta tidak tahu harus berkata apa dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Di sisi lain, Danu mengabaikannya dengan sengaja dan sibuk melihat tablet kerjanya. Aleta akhirnya memberanikan diri. "Danu ..." Kepala Danu masih menunduk pada tablet kerja, tidak menggubris. "Danu, aku mau ngomong sesuatu sama kamu." Lagi-lagi Danu diam saja. Aleta tidak putus asa berkata, "Dan, aku tahu kamu marah, tapi karena aku sekarang asisten kamu dan kita bakal sering ketemu, kita nggak bisa—" "Apa saya kenal dengan kamu sebelumnya?" Tubuh Aleta langsung kaku mendengar kalimat itu. Hatinya mendadak sakit. "Kamu sudah tau jelas kalau kamu asisten saya, kenapa kamu nggak sopan? Kita nggak saling kenal. Kita terhubung karena kita bekerja di tempat yang sama. Saya atasan kamu di sini. Kamu seharusnya panggil saya dengan sebutan 'Pak'." Aleta terkejut saat secara bersamaan mendengar suara Danu yang meninggi dan tatapannya yang tajam. "I-Iya, maaf, Pak. Maksud saya, ada yang mau saya bicarakan, dan ini penting." Ini memang bukan tindakan yang baik. Tapi mau ditolak berapa kali pun, Aleta cuma ingin menegaskan permintaan maafnya. Dia sudah ekspektasi soal sikap Danu padanya, seharusnya dia sudah siap, namun nyatanya dia masih merasa tertekan. Sewaktu SMA, Aleta hanya cewek manja yang selalu punya banyak permintaan untuk membuat Danu repot. Sedangkan Danu adalah cowok yang tidak pernah merasa marah tentang apa pun yang dilakukan Aleta. Mengingat hal itu, Aleta hanya berharap ada satu kepingan sikap baik Danu di masa lalu yang bisa dimanfaatkannya. Dia ingin meluluhkan sedikit saja kekerasan di hati Danu. Tapi rupanya ini sia-sia saja. "Penting? Apa itu berhubungan sama perusahaan? Apa itu bikin perusahaan kita untung?" tanya Danu setengah menyindir. Aleta tidak menyangka bahwa Danu bahkan secara terang-terangan menolak mendengarkannya berbicara. Danu seolah-olah telah menegaskan bahwa mereka hanya perlu bicara soal bisnis. "Saya lagi lihat resume kamu karena kamu melakukan perkenalan diri dengan cara yang tidak baik. Sekarang, kamu bahkan menunjukkan sikap yang tidak layak di tempat kerja." Huh? Aleta blank. Tidak baik? Tidak layak? Maksudnya gimana? Apakah dia memperkenalkan diri secara barbar? Apa dia berbicara dengan ngawur? "Seharusnya di usia kamu sekarang ini, kamu pasti punya banyak pengalaman kerja. Tapi saya lihat di sini, kamu tidak pernah punya pengalaman apa pun." Aleta hampir menepuk jidatnya. Bagaimana dia bisa menyebutkan pengalaman kerja kalau dia memang dia punya pengalaman? Dia hanya pernah menjadi direktur di rumah sakitnya sendiri, tapi jika dia mencantumkan itu, perusahaan mungkin tidak percaya dan akan menghambatnya dapat pekerjaan. "Satu bulan ini saya beri kamu waktu untuk improvikasi. Karena pengalaman kamu nol, tolong pelajari tata kerja perusahaan dan jangan buat kekacauan untuk saya." Sudut bibir Aleta berkedut. Sialan! Apa dia benar-benar dianggap wanita barbar yang tidak tahu cara kerja? "Dan satu hal lagi, saya nggak mau kamu membahas masalah pribadi di jam kerja. Apalagi bertindak nggak sopan. Apa kamu mengerti?" 'Jadi, di luar jam kerja boleh?' Aleta ingin menanyakan itu, tapi dia takut Danu kembali marah dan akhirnya dia hanya menjawab, "Mengerti, Pak." Tatapan Danu kembali dalam mode dingin. dia bahkan tidak menatap Aleta saat berkata, "Trus kenapa kamu masih berdiri di sana? Keluar." Aleta buru-buru keluar dengan hati yang panas dan kesal. Di luar pintu, dia mendesah, tangannya mengepal dengan kuat seolah-olah ingin memukul Danu secara gaib. Sayang sekali, bahkan jika diberi kesempatan nyata, Aleta tidak bisa memukul Danu. Bagaimanapun sikap Danu, Aleta masih sangat mencintainya. "Please, Danu, kasih aku kesempatan untuk minta maaf." Tubuh Aleta hanya bisa merosot lelah di depan pintu. tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD