4. Lemon cake

2064 Words
Pada akhirnya, kesempatan itu tidak pernah ada. Danu secara tegas memberi garis pembatas di antara mereka berdua. Jangankan berusaha berbicara, baru berniat untuk menegur saja, Danu sudah membuang muka. Aleta tahu ini tidak mudah, Danu sudah berubah total setelah belasan tahun. Yang tidak bisa diterima Aleta adalah Danu hanya berubah terhadap dirinya. Dia masih baik pada orang lain. "Kamu ngerti caranya, 'kan?" Aleta terkesiap dan menyadari bahwa dia sedang diajari cara memakai mesin fotocopy. Karena Bagas ikut Danu rapat, jadi Marwa yang membantunya belajar. "Eh? Gimana tadi? Pencet yang ini?" Aleta menunjuk tombol dengan bingung. "Itu tombol Reset, itu untuk kembali ke default. Tadi aku ajarin kamu untuk perbanyak kopian kertas, jadi kamu pilih Numeric trus kamu atur berapa jumlah yang dibutuhin." Marwa dengan sabar menjelaskan ulang, penjelasannya begitu detail dan mudah dimengerti. Sepanjang mereka berdua sibuk dengan mesin itu, Aleta merasa sedikit persahabatan dengan Marwa sekarang. Meskipun awalnya dia jutek dan dingin, tapi setelah diajari olehnya, Aleta merasa Marwa sangat bisa diandalkan. "Makasih ya, kamu udah bantuin aku." Aleta memungut beberapa kertas copy hasil latihannya. Marwa bergumam. "Sebenernya kalau udah terbiasa pasti mudah. Kertas-kertas ini cuma kertas kosong, beda lagi kalau ada kop suratnya. Kamu nggak bisa naruh kertasnya terbalik, yang atas harus di sebelah sini." "Oke, paham." "Kertas ini nggak kepake, jadi hancurin aja di paper shredder. Aku bisa bantu kamu untuk belajar pake itu juga." Aleta menjadi bersemangat. "Makasih, Marwa, kamu baik banget sih. Sekalian bantuin untuk pake mesin kopi, oke? Karena aku juga harus bikin kopi buat Pak Danu." Dalam sekilas detik, Aleta melihat bibir Marwa tersungging kecil dan wajahnya agak memerah malu. Melihat ini, Aleta merasa lucu, ternyata Marwa tidak buruk juga. Memang kalimat, don't judge book by its cover itu benar adanya. Setelah selesai mempelajari mesin keperluan kerja kantor, tak terasa sudah masuk waktu istirahat makan siang. Dia berpisah dengan Marwa dan sengaja melewati ruang kerja Danu untuk mengintip. Sebagian kaca ruangan Danu bisa terlihat dari luar, di sana dia melihat Danu masih sibuk dengan seseorang dari divisi lain. "Ngapain kamu?" Bagas melihat Aleta bingung, ikut mengintip. Aleta berdeham canggung. Tidak mungkin dia berkata bahwa dia hanya ingin melihat wajah Danu karena kangen, akhirnya dia menjawab, "Pak Danu masih sibuk, padahal udah masuk jam istirahat." "Kamu juga masih sibuk ngintipin Pak Danu bukannya makan siang." "Aku cuma mikir aja, apa aku harus bikinin kopi atau nggak." Bagas tertawa melihat kepolosan Aleta. Sebelumnya dia menduga bahwa dia dan bosnya adalah teman dekat. Tapu nampaknya beberapa kali Danu yang biasanya ramah pada semua orang, sangat ketus pada Aleta. "Kalau kamu bikinin, pasti bakal diminum kok," kata Bagas. "Tau cara bikinnya, 'kan?" Aleta sangat semangat. "Aku tau, tadi Marwa udah ajarin aku." Lantas Bagas masuk ke ruangan Danu sebelum memperingatkan Aleta supaya bergegas, karena diskusi di dalam sebentar lagi selesai. Biasanya kalau tidak ada pekerjaan yang diurus, Danu akan makan di ruangannya. Di meja kopi, Aleta mulai mempraktikkan apa yang diajarkan Marwa. Dulu, Danu sangat suka manis, ada pilihan gula dan s**u di sana, jadi Aleta menambahkan keduanya. "Masuk," sahut suara di dalam saat Aleta mengetuk pintu sambil membawa kopinya. Bagas ada di sana sedang menjelaskan jadwal baru. "Ini saya buatkan kopi, Pak." Aleta berdiri sambil sesekali melirik Danu yang acuh tak acuh. "Taruh aja di situ." Tanpa menerima perintah dua kali, Aleta menaruh kopinya di meja. Kedua orang itu masih membahas agenda penting untuk besok. Hampir semuanya full time kerja untuk Danu, bahkan sampai di malam hari. Di sebuah perusahaan, sudah terbiasa untuk lembur di awal bulan. Semua rekapan laporan, proyek, kerja sama dan keuangan, dimulai pada lembar baru—jadi semua harus diatur ulang. Sementara kedua orang itu sibuk diskusi. Aleta berdiri diam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin jika dia keluar begitu saja, sangat tidak sopan, jadi dia tetap di sana. Tiba-tiba dia melihat tangan Danu mengangkat cangkirnya, berniat meminum kopi buatan Aleta. Di depannya, Aleta gugup setengah mati, berharap Danu suka, karena dulu lelaki itu suka pada apa pun yang dibuatnya. Tetapi cangkir itu dibanting ke meja. Aleta kaget. "Apa ini? Kenapa manis banget?" Danu melihat Aleta dengan marah. "B-Bukannya Pak Danu suka manis?" tanya Aleta tergagap. Mata Danu menyipit. "Saya suka manis? Siapa yang bilang? Saya biasa minum kopi pahit selama ini." Aleta membuka mulutnya untuk memberikan jawaban, tapi dia menutupnya lagi. Dia hampir mengatakan bahwa dulu Danu sangat suka manis, tapi dia ingat itu sudah lima belas tahun berlalu. "Maaf, Pak, mungkin gulanya nggak sengaja terlalu banyak. Mau saya ganti yang baru?" Bagas menawarkan. Ekspresi Danu masih tidak senang, dia berdecak. "Dan kamu Bagas, saya udah katakan kalau dia jadi tanggung jawab kamu. Kalau dia salah, kamu juga akan saya tegur!" "Ini kesalahan saya, Pak. Saya lupa kasih tahu Aleta kalau Bapak nggak suka manis." Bagas meminta maaf dengan nada yang tenang. "Tapi, saya akan buatkan yang baru untuk Bapak." "Nggak perlu. Ini jam makan siang, kamu boleh pergi." Danu menyandarkan punggungnya, memijat dahi. Aleta menunduk, tidak berani mengangkat kepalanya. Dalam ingatannya, dia seolah-olah kembali ke masa lalu, di mana Danu sangat suka eskrim bahkan gulali. Jika kebetulan mereka memesan kopi di kafe, Danu akan memasukkan banyak gula. Aleta tidak pernah lupa tentang itu. "Pak Danu mau saya pesankan makanan?" tawar Bagas terakhir kali. Sebelum Danu menjawab, Aleta mencoba berkata, "Pak, saya yang sok tau, jadi biar saya bertanggung jawab untuk ini. Saya bisa buatkan yang baru, sama pesankan makanan untuk Bapak." Barulah Danu meliriknya, lalu mendesah. "Nggak perlu. Kalian keluar aja." Dengan berat hati, keduanya keluar setelah berpamitan. Di luar ruangan, mata Aleta berkaca-kaca, dia menahan diri untuk tidak menangis. Bagas merasa sedikit kasihan. "Al, kamu oke?" Bagas menunduk untuk melihat wajah Aleta, dan menemukan pipinya basah. "Kamu nggak terbiasa dibentak begitu, ya?" "Bukan gitu, tapi ..." Aleta berhenti, dia tidak bisa menjelaskan hal yang sebenarnya. "Ini salahku, Al. Aku lupa bilang kalau Pak Danu biasa minum kopi tanpa gula." "It's ok, aku memang sok tau juga, nggak nanya-nanya dulu." Aleta tersenyum lemah. "Tapi bukannya kamu kenalannya Pak Danu, ya? Dia sampai rela cariin kamu apartment waktu itu. Kupikir kalian teman lama," kata Bagas. Kepala Aleta menunduk. "Nggak apa-apa kalau nggak mau cerita. Tapi aku heran aja, Pak Danu nggak biasanya teriak sama bawahan kayak gitu, biasanya dia baik banget." Ya, tentu saja Aleta tahu apa alasannya. Danu sengaja bersikap kasar untuk membuat Aleta mengerti posisinya dan tidak berharap terlalu tinggi. Kesalahan di masa lalu memang salah Aleta, tapi kenapa rasanya sakit sekali? Melihat Aleta masih diam, Bagas berkata, "Kamu makan siang di mana? Mau makan bareng?" "Maaf, Gas, tapi aku mau bikin kopi baru dulu untuk Pak Danu." Bagas terkejut. "Kamu yakin?" Aleta mengangguk. Dia meyakinkan Bagas bahwa dia cuma mau bertanggung jawab atas kesalahannya yang tadi dan ingin meminta maaf pada Danu. Akhirnya setelah dia kembali ke mesin kopi, dia membuat kopi tanpa gula atau s**u. Saat dia kembali ke ruangan Danu, dia mengetuk pintu dan masuk. "Ngapain kamu balik ke sini lagi?" tanya Danu ketus. Aleta meneguk ludahnya, agak takut dan sedih, tapi dia tetap maju. "Saya buatin kopi baru untuk Bapak." Danu, di sisi lain, tidak tahu harus berbuat apa. Dia kesal dan jengkel. Melihat Aleta ada di sekitarnya, hanya mengingatkannya pada rasa kecewa yang besar yang dirasakannya selama ini, dan itu membuatnya ingin memaki Aleta terus menerus. Aleta menaruh kopi baru itu di meja. "Silakan dicoba, Pak. Apa ini sesuai selera Bapak. Saya pikir Pak Danu suka manis karena dulu—" "Aleta, berapa kali saya harus ingatkan kamu? Apa kita pernah saling kenal, sehingga kamu merasa sok tahu apa kesukaan saya?" "B-Bukan gitu—" "Lalu apa? Saya nggak mau ngasih harapan apa pun sama kamu. Kamu atau pegawai saya yang lain itu sama, nggak ada yang boleh melewati batas yang saya buat. Kalau kamu salah, saya berhak marah, 'kan?" Kepala Aleta menunduk, dia hampir menangis lagi. "Sekarang kamu pergi. Bawa kopi itu keluar." "Tapi, Pak—" "Pergi, Aleta." Tangan dan kaki Aleta gemetar, bahkan air matanya tanpa sengaja turun dan dengan cepat dia usap. Dia buru-buru mengambil cangkir kopi itu, tanpa menyadari bahwa setiap gerakannya tidak luput dari pandangan Danu. Dan begitu saja dia keluar ruangan secepat kilat. Sudah jelas bahwa Danu melihat Aleta menangis dan sekarang Danu agak merasa bersalah. Apa dia terlalu keras? Tetapi jika dia membandingkan rasa kecewa yang dia alami belasan tahun lamanya, itu tidak sebanding. Memang benar, mereka berpacaran saat SMA, di mana perasaan anak remaja masih labil dan berubah-ubah. Bahkan jika alasan Aleta yang sebenarnya meninggalkan Danu karena dia membosankan, Danu bisa mengerti. Satu-satunya yang menganggap hubungan itu serius adalah Danu. Yang akan merasakan dampak rasa sakit hanya Danu. "Argh!" Danu mengacak-acak rambutnya, membatin kesal, 'Kenapa cewek harus cengeng sih?' Jam saat ini sudah menunjukkan pukul 12.30, istirahat makan siang sudah terlewati setengah jam. Karena membuat kopi untuknya, Aleta melewatkan istirahat, dan Danu malah memarahinya juga. Wanita itu pasti sedang kesal sekarang. Danu bisa membayangkan wajah Aleta yang kesal sambil mengunyah makanannya. Danu menggelengkan kepala, kenapa dia harus mengingat itu?! Pada akhirnya dia memutuskan untuk ke kantin. Di perusahaan ini, kantin berada di lantai satu, dan dia terbagi menjadi dua tempat yang dipisahkan dengan sekat kaca. Perbedaan dua tempat itu pun sangat signifikan. Dikatakan bahwa ada kantin khusus untuk dompet yang tipis dan dompet yang tebal. Danu masuk ke salah satu kantin khusus yang memiliki ruangan yang agak cukup bagus dari tempat lain, juga ada fasilitas AC dan area rokok, dengan kebersihan yang sangat terjamin. Aleta dulu tidak suka makan di pinggir jalan dengan alasan kesehatan, dia pasti memilih tempat ini. "Pak Danu?" Danu menoleh dan mendapati Bagas dengan nampan yang kosong. "Udah selesai makan kamu?" "Sudah, Pak. Mau ngerokok dulu. Pak Danu mau makan? Mau saya temenin?" tanya Bagas basa-basi. Alih-alih menjawab, pandangan Danu mengembara ke penjuru tempat, terutama di sebelah atau di belakang Bagas, tapi dia tidak melihat orang yang dicari. "Kamu sendirian?" "Sama Kevin tadi, Pak. Cuma dia udah duluan ke area rokok." "Oh, berdua aja?" Kening Bagas mengernyit. Tidak biasanya bosnya yang satu ini peduli apa dan dengan siapa dia makan siang. Tapi Bagas tidak mau menerka-nerka. "Iya, Pak, biasa berdua aja. Pak Danu mau saya temenin makan?" "Nggak usah, saya cuma mau beli camilan." Danu tersenyum, tapi senyum itu agak terasa terpaksa. Setelah Bagas pergi, Danu tidak putus asa untuk melihat-lihat sekitar, tapi dia tetap tidak menemukan yang dicari. Danu agak kecewa. Dia memang sengaja ke kantin untuk mencari Aleta, setidaknya melihat keadaan mantannya itu, setelah dia bentak. Apa Aleta tidak makan karena dia menangis di suatu tempat? Ah, tidak, tidak. Danu duduk di salah satu kursi sambil mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang. *** Orang yang dicari Danu sejak tadi, baru saja kembali dari atap gedung. Sendirian memakan roti melon yang dibawanya dari rumah. Sambil makan siang dia memikirkan pengeluaran dia bulan ini, untuk ongkos kerja dan makan sehari-hari. Dia tak menyangka itu bakal butuh uang banyak. "Kapan gajian, ya?" gumam Aleta. Tapi dia baru ingat kalau dia baru saja kerja selama tiga hari dan itu masih training. Gajinya pasti tidak akan dibayar penuh seperti karyawan tetap. Saat dia kembali ke ruangannya, Bagas sudah ada di sana untuk menyambut wajahnya yang lesu. "Kamu makan di mana, Al?" Aleta terkesiap karena dia masih berada dalam pikirannya sendiri; memikirkan uang, uang, dan uang. "Aku dari atap, aku makan di sana." "Kamu bawa bekal?" Aleta mengangguk. "Cukup?" tanya Bagas lagi. "Cukup, aku udah kenyang sekarang." Aleta menepuk perutnya. Bagas tertawa. Aleta bingung apanya yang lucu dari obrolan basa-basi itu. Begitu dia duduk di meja, dia melihat kotak bingkisan kecil berpita cantik. "Ini?" Bagas melihatnya juga. "Oh, itu dari Pak Danu." Mendengar hal itu, jantung Aleta berdegup kencang dan dia hampir melonjak kegirangan. Dibukanya kotak itu dan isinya adalah mini cake yang memiliki aroma lemon yang kuat. Ini jelas bukan kebetulan! Danu sangat hafal jika Aleta menyukai lemon cake! Danu pasti merasa bersalah dan membelikannya ini sebagai permintaan maaf, 'kan? Bagas melihat ekspresi wajah Aleta berubah senang dan merasa lega. "Pak Danu memang begini, kalau awal bulan suka bagi-bagi camilan." "Huh?" Senyum di wajah Aleta menghilang. Bagas mengangkat kotak yang sama di tangannya. "Aku juga dapet. Biasanya Pak Danu bakal bagi-bagi ini ke seluruh penjuru kantor. Bahkan satpam, mekanik dan cleaning service." Hati Aleta jatuh ke tanah dengan keras. Dia melihat kotak di tangan Bagas dengn tidak senang, seolah-olah kotak itu mengejeknya. Dia hampir tidak percaya dengan ini. Jadi, Danu membelikan kue ini bukan khusus untuk dirinya seorang? Geer banget kamu, Al. Dan akhirnya dia hanya tersenyum pahit. tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD