SWFA-Ajakan

1307 Words
“Kenapa lama banget sih?” kata Aira kesal. “Siapa yang lama?” Tanya Sinta bingung. Bagaimana tidak, baru tiba di apartemen sudah di todong dengan ucapan Aira yang membuat dia berpikir. “Eh ... Mama, sama siapa Ma?” tanya Aira, kikuk. Ia tak mengira jika yang datang adalah ibu mertuanya. Malu. Jelas saja, dia merasa malu. Karena salah mengira, jika yang datang adalah Andri. Entah kemana suaminya pergi dari tadi, bahkan tak memberi tahunya akan ke mana? Sinta menerobos masuk, melewati Aira. Ia berjalan menuju dapur. “Sama Jo tadi, tapi sudah pergi. Oh iya mana Andri?” tanya Sinta, karena dirinya tak melihat Andri. Sementara itu, Aira mengekori ibu mertuanya. Mengikuti kemanapun Sinta pergi. “Em ... Tadi dia tiba-tiba pergi Ma, nggak tau deh ke mana?” jawab Aira ragu. “Dia nggak pamit sama kamu?” Aira menggeleng seraya menunduk lesu. Entah, dirinya juga bingung, kenapa Andri pergi tanpa pamit. “Ish, dasar anak itu. Padahal sudah punya istri, tapi kelakuannya masih di samakan ketika masuh bujang. Oh iya kamu sudah makan?” tanya Sinta. “Hehe, belom Ma.” Aira nyengir, menjawab pertanyaan Sinta dengan polos. “Ya udah sini makan, Mama bawa makanan banyak buat kamu.” Sinta segera menyiapkan makanan yang dia bawa di meja makan. “Biar Aira aja Ma,” kata Aira cepat. Ingin meraih rantang yang di bawa Sinta. Ya kali masak ibu mertuanya yang menyiapkan. Meskipun Aira tidak bisa masak, setidaknya dia masih bisa melakukan hal lainnya. “Sudah. Kamu duduk aja di situ, biar Mama yang siapin.” Sinta menolah bantuan Aira. Yah meskipun Aira merasa tidak enak, namun dia tetap menuruti perkataan Sinta. Aira segera duduk dengan patuh, seperti seorang anak kecil yang hendak menunggu di beri makan oleh Ibunya. . Di rumah Andri, saat ini sudah ada Ezra. Sahabatnya ketika sekolah dulu. “Lo yakin nggak sih, sebenarnya?” tanya Ezra penasaran dengan hubungan pernikahan Andri. “Entahlah, aku juga bingung. Bahkan aku tak tahu, bagaimana perasaanku saat ini terhadapnya. Aku takut jika dia hanya menjadi pelarianku saja,” lirih Andri. “Elo sih, lagian baru juga putus dari Silvia. Udah main langsung nikah aja, sama perempuan lain. Gue nggak yakin lo cinta sama bini lo itu,” sahut Ezra sembari menyandarkan punggungnya di sofa. “Berhenti, mengingatkanku pada perempuan itu, Zra!” Andri beranjak dari tempat duduknya menatap ke arah jendela yang langsung tertuju pada danau di belakang rumahnya. Sejujurnya, dia tak membawa Aira pulang ke rumahnya. Karena rumah itu dia siapkan untuk Silvia, mantan kekasih yang meninggalkan dirinya demi kariernya di luar negri. Kecewa. Jelas saja Andri saat ini begitu kecewa, di saat dirinya memutuskan siap untuk menikah. Karena desakan dari orang tuanya. Malah Silvia menolak dan memutuskan hubungan mereka. Dia lebih memilih menitih karier di Itali daripada harus menikah dengan Andri, yang sudah pacaran selama tujuh tahun. Dari situ Andri bisa mengambil kesimpulan, bahwa pacaran lama, tak menjamin akan berakhir di pelaminan. Ezra berjalan mendekati Andri, menepuk pundak sebelah kiri sahabatnya. “Berhenti berharap. Dia bukan jodoh lo lagi. Mending lo fokus dengan istri lo, dan mulai membuka lembaran baru bersama dia. Karna sesuatu yang nggak bisa lo gapai, hanya akan membuat lo semakin sakit.” Ezra berjalan meninggalkan Andri yang masih menatap lurus ke depan. Suara nada dering ponsel Andri, membuyarkan lamunannya. Ia segera menggeser tombol berwarna hijau di layar ponselnya. “Halo Ma,” sapa Andri. “Kamu di mana?” “Andri lagi ada urusan pekerjaan Ma, mungkin malam ini nggak bisa pulang.” “Kamu nggak kasihan Aira, di rumah sendirian!” bentak Sinta. “Kalo begitu, Mama saja yang menemaninya,” kata Andri sebelum memutuskan panggilannya secara sepihak. Sinta nampak semakin kesal dengan tingkah putranya, “dasar anak Kurang ajar!” Sinta memijit pelipisnya. Kepalanya kini terasa begitu pening. Memikirkan kelakuan putranya saat ini. Tak seharusnya Andri memperlakukan Aira seperti ini. Sinta juga yakin, jika Andri tidak sedang bekerja. Karena Jonathan yang beberapa menggantikan perkerjaannya. Jadi bohong, jika dia sedang bekerja. “Bagaimana, Ma?” tanya Aira. Sebenarnya dia sama sekali tidak peduli, Jika Andri tak pulang sama sekali. “Aduh, gimana ya Aira. Andri malam ini nggak bisa pulang, gimana kalo kamu nginap di rumah Mama lagi aja. Kamu mau?” Sinta nampak berharap. “Akh, begitu ya Ma. Nggak usah deh Ma. Lagian ‘kan Aira bukan anak kecil, yang harus di temani sepanjang hari. Aira berani kok, di rumah sendiri,” kata Aira. Dia bahkan menolak ajakkan ibu mertuanya untuk menginap di rumahnya. Yah, selain dirinya tidak nyaman. Dia juga type manusia malah berpindah-pindah tempat tinggal. “Nanti kalo kamu lapar tengah malam bagaimana? Kamu kan nggak bisa masak. Mama nanti malah semakin khawatir. Kamu pulang ke rumah Mama aja deh ya,” bujuk Sinta. Namun, usahanya kali ini memang akan gagal. “Aira di rumah saja deh Ma, nggak mungkin juga kan ada orang jahat di sini. Di sini tiap malam ada yang jaga kok Ma. Lagian nggak sembarang orang bisa keluar masuk apartemen sembarangan.” Aira nampak menyunggingkan senyumannya di akhir kalimatnya. “Iya deh, Mama percaya sama kamu. Oh iya, mama mau nanya sebelumnya. Tapi Mama takut menyakiti perasaanmu,” kata Sinta ragu. “Bilang aja deh Ma, Aira bakal dengerin kok.” “Beneran? Kamu yakin nggak apa-apa?” tanya Sinta. Aira meraih tangan Sinta lalu menggenggamnya. “Iya Ma, lagian Mama sudah menganggap Aira seperti Mama kandung,” kata Aira. Sinta dengan cepat memeluk Aira dengan penuh haru. Seolah dirinya mendapatkan anak perempuan, yang sudah lama dia damba. Karena suatu keadaan, dirinya harus mengubur dalam-dalam impiannya untuk menambah anak kala itu. “Mama hanya berharap, kamu dan Andri tidak menunda untuk memiliki momongan.” “Uhuk!” Aira tersedak, setelah mendengar ucapan Sinta. Karena dirinya saat ini sedang minum susunya. “Pelan-pelan dong sayang, kan jadi tersedak begini,” kata Sinta sambil menepuk punggung Aira. “Ehem, maaf Ma.” Aira terlihat menetralkan napasnya, setelah mendengar ucapan Sinta. “Mama yang seharusnya minta maaf. Mama berharap kamu tidak menunda memiliki momongan, takut jika akan sulit mendapatkan nanti di belakang,” kata Sinta ragu. “Ma,” lirih Aira, mengusap pundak Sinta. “anak, rezeki dan maut itu sudah ditentukan oleh Allah. Jadi kita serahkan semua kepada Allah saja Ma. Maaf sebelumnya, karena hubungan saya dengan Kak Andri masih belum sejauh itu. Kami masih dalam proses saling mengenal,” ujar Aira. ‘Ya kali, siapa yang mau punya anak dari manusia aneh seperti Andri,’ kata Aira di dalam hatinya. “Maafkan Mama sayang, mama terlalu memaksakan kehendak Mama. Sampai-sampai tidak memikirkan hal itu. Meskipun kalian sudah saling mengenal dari kecil, bukan berarti kalian cocok juga. Yah kalian memang berpisah cukup lama. Dan sekarang tiba-tiba disatukan dengan pernikahan yang tiba-tiba dsn mendadak seperti ini. Pasti tak mudah bagimu.” “Jangan berkata seperti itu Ma, Aira akan berusaha deh, mencoba dengan Kak Andri. Tapi jangan terlalu berharap banyak dulu. Karna kami butuh waktu untuk saling mengenal dan mencocokkan diri satu sama lain.” potong Aira. “Makasih sayang, Mama jadi terharu,” jata Sinta dengan mata mengembun. “Sudah dong Ma, jangan menangis. Entar kalo ada yang lihat, dikira Aira berbuat hal jahat lagi,” kata Aira sembari terkekeh. “Mama akan memberikan nasehat juga untuk, Andri,” kata Sinta. Ia tak ingin jika putranya tak bertanggung jawab terhadap Aira. . . Setelah mendapatkan siraman rohani dari Mamanya, Andri kali ini memutuskan untuk mengirim chat untuk Aira. Meskipun dengan begitu banyak pertimbangan. Dirinya nekad mengirim pesan yang sudsh dia tulis dari setengah jam yang lalu. ‘Bersiaplah, besok aku akan mengajakmu berkencan!’ Beberapa kata yabg terlihat simple itu membuat Aira mampu membulatkan kedua bola matanya dengan sempurna. “Pufft, kencan?” kata Aira menyemburkan minum, karena dia kini berada di depan kulkas menemui sebotol air mineral. “Kamu nggak lagi sakit kan?” gumam Aira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD