Bab 1 Berangkat

999 Words
Aku duduk bersandar—memutar-mutar kursi perlahan—sementara kedua tanganku sibuk memainkan stylus pen dan mataku menatap lurus ke depan, di mana Bos tengah menjelaskan tentang pegawai yang akan dikirim ke kantor pusat Chennai selama 3 bulan. Di sebelahku, Diva terlihat antusias, well, aku tahu dia berharap yang ditugaskan ke Chennai. Bertolak belakang denganku. “Jadi, pada akhirnya perusahaan memilih Binar Bianglala untuk mewakili kantor kita ke Chennai.” Pak Randu menutup ucapannya dengan senyum. Aku menegakkan tubuh, tidak nyaman dengan keputusan yang baru saja kudengar. Saat yang lain bertepuk tangan, aku berbisik pada Diva, “aku tidak suka ini.” “Terima saja.” Diva balas berbisik. Satu persatu, orang-orang meninggalkan ruangan meeting setelah Pak Randu keluar. Aku dan Diva keluar paling akhir, berjalan bersisian di lorong kantor. “Aku tidak ingin ke Chennai, Va,” kataku memutar bola mata saat mengucapkan Chennai, “itu bukan impianku. Aku lebih suka ditugaskan ke London atau Manhattan,” cengirku. “Bekerja saja di perusahaan milik orang London atau Manhattan,” sahut Diva enteng. Aku cemberut, sementara Diva terkikik geli.  “Kamu ingat film India yang pernah kita tonton?” tanyaku. “Kamu tahu pasti jawabannya,” cengir Diva. Yah ... tentu dia tidak akan lupa, siapa pun tahu kalau diberi kesempatan, Diva akan mengejar impiannya menjadi artis Bolywood. “Sepertinya aku bakal mabok ‘geleng-geleng kepala’ selama berada di Chennai,” kataku tersenyum. “Kok bisa?” Aku tidak menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepala menirukan gerakan orang India yang kulihat di film setiap mereka berbicara. “Acha ... acha!” kataku kemudian tergelak bersama Diva. “Beraninya kamu....” Diva melotot ke arahku, tapi tidak bisa membuang cengiran di bibirnya. “Kamu tahu?” dia melanjutkan sambil menudingkan telunjuk. “PT. ZZE Motor Company Indonesia, hanya membutuhkan pegawai solid seperti Diva Rarely Valecya,” katanya membusungkan d**a, “yang—semua orang tahu—sangat loyal terhadap negara asal perusahaan ini, India.” Diva sedikit membungkukkan badan pada akhir percakapannya. Gayanya yang berlebihan membuatku melotot dan melirik kanan kiri, meneliti apa ada yang memperhatikan tingkahnya yang sedikit memalukan. Kadang Diva tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. “Va.” Aku menyenggol bahu Diva, memberi tahu dia dengan isyarat mata bahwa ada kerumunan pegawai lain yang sedang berjalan ke arah kami. Diva memperbaiki posisi berdiri yang semula terlalu membusung, bersikap kembali wajar dan berjalan di sisiku. Aku menahan senyum di sebelahnya. “Jika waktunya tiba, kamu akan ikut mengantarku ke bandara, kan?” “Pasti, andai bisa aku akan mengantarmu sampai Chennai.” Aku tertawa. “Aku heran, kenapa Pak Randu tidak memilihmu,” lirikku padanya, sempat melihat bibirnya yang mengerucut kesal. “Tentu karena dia tahu, aku tidak akan banyak berada di kantor jika ke Chennai,” sungutnya. “Haha ... ya, aku melupakan itu,” godaku. Kami berbelok kiri pada akhir lorong. Ruanganku dan Diva berada di bangunan kiri kantor, di sebuah ruangan besar yang dibatasi dengan sekat-sekat setinggi d**a dari papan. Aku berjalan ke mejaku, yang bersebelahan persis dengan meja Diva. “Aku harus mempersiapkan semuanya dari sekarang. Semoga saja pasporku masih berlaku,” gumamku sambil membereskan meja. Diva duduk di ujung mejaku, melipat tangan di depan d**a. “Kamu tidak perlu khawatir, aku akan membantumu berbenah.” “Ya, terima kasih,” sahutku tanpa menoleh, “dan kuharap, kamu sering mengunjungi apartemenku selama aku pergi.” “Enggak masalah,” gumamnya mengangkat bahu. “Aku akan membawakanmu hadiah sepulang dari sana,” senyumku padanya setelah mejaku rapi. Diva melirik mejaku. “Aku harap itu kain sari kualitas terbaik.” “Persis seperti yang kamu inginkan,” kataku mengedipkan mata. “Ayo pulang.” Diva mengangguk, meraih tas yang tergeletak di atas mejanya sebelum melompat turun dari meja kemudian berdiri di sampingku. “Ayo.” Aku menggeleng-geleng, mendekati meja Diva yang masih berantakan dan dengan cekatan merapikannya. “Kebiasaan! Ini yang membuatmu selalu ribut tiap pagi, selalu kehilangan ini itu.” “Aku curiga kamu menderita gangguan Obsesif-kompulsif,” gumam Diva memicingkan mata sementara aku hanya memutar bola mata, tidak hanya sekali Diva menuduhku sebagai penderita OCD (Obsesif-kompulsif Disorder). Heal yeah! Aku masih merasa sangat normal. ****   “T-shirt, celana jeans, piyama, gaun, handuk....” Aku meneliti kembali isi koper, mengangkat satu persatu barang yang aku sebutkan. Sementara Diva berdiri di belakangku, aku tahu dia sedang menatapku sebal. “Ini sudah kesepuluh kalinya kamu memeriksa kopermu Bia,” keluh Diva, “kita sudah hampir berangkat.” Aku menghela napas, meyakinkan diriku sendiri bahwa semua yang kubutuhkan selama di Chennai sudah terbawa. “Lagi pula, jika memang benar ada yang tertinggal, kamu bisa beli di sana, kan?” “Iya ... iya,” sahutku tak ingin membuatnya lebih sebal. Aku menutup kembali koper dan menyeretnya. “Ayo berangkat!” Diva mengikutiku keluar dari apartemen. “Apa aku sudah mematikan microwave?” tanyaku ragu saat berada di lift. “Kamu sudah memeriksanya lebih dari lima kali.” “Air shower? Atau kran wastafel?” Pintu lift terbuka. “Sudah semua,” sahut Diva keluar lift. “Kamu sudah mengunci pintu apartemen, Diva?” tanyaku menguntitnya. “Sudah, dan sudah kuperiksa berkali-kali.” Diva meyakinkanku. “Kamu tidak akan lupa pasword apartemenku, kan?” “Tidak akan, Miss OCD....” Diva berbalik dan menarik tanganku, menuju mobilnya yang terparkir di depan gedung. Aku cemberut mendengar julukan yang diberikan Diva. Tapi, sepertinya gadis itu tidak memedulikanku. Rambutnya yang dikucir ekor kuda tampak bergerak-gerak ketika ia setengah berlari menghampiri petugas valet untuk mengambil kunci mobilnya. Satu jam kemudian, kami sudah berada di bandara. Diva mengantarku sampai di area keberangkatan internasional, melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaiannya sebelum menuju check in counter. Setelah melalui pemeriksaan panjang dan menunggu beberapa lama, berada di dalam pesawat, tidak cukup untuk membuatku merasa tenang. Memikirkan perjalanan hampir lima belas jam yang harus ditempuh membuatku merasa jetlag duluan. Meski aku wanita yang penuh rasa percaya diri dengan karier gemilang di perusahaan, aku tetap gemetar memikirkan apa yang sudah menungguku di Chennai. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD