Prolog
Aku berlari menerobos kerumunan orang, derap langkah yang bergegas, tidak menghilangkan kepanikan bercampur rasa cemas dalam diriku.
Jangan pergi, kumohon....
Di belakang seorang pria, aku melongokkan kepala di depan pintu ruang tunggu, sementara dari speaker terdengar pengumuman bahwa pesawat yang menuju Chennai akan segera tinggal landas. Aku berlari menuju dinding kaca dengan panik, menempelkan kedua telapak tangan menyusuri panjangnya. Mataku menangkap sosok yang kucari.
“Majeeeddd....” Aku berteriak dengan suara yang tidak pernah kukira bisa kukeluarkan.
Entah mendengar suaraku entah tidak, pria itu menoleh. Sekali lagi, aku masih bisa melihat wajahnya—dan entah kapan aku bisa melihatnya lagi. Pandangannya menemukanku.
“Jangan pergi, Majeed....” Aku berusaha mencegahnya masih dengan teriakan.
Majeed menggeleng lemah, aku menangkap kesedihan di matanya, hanya sekilas, karena kemudian dia berpaling, aku masih bisa melihat dia mengenakan kaca mata hitam sebelum kembali melangkah, meninggalkanku.
Aku tidak tahu apa yang kurasakan sekarang, di sini ... di dalam d**a ... rasanya kosong sudah....
****
“Bia!”
Aku berhenti, menoleh dan melihat Diva, sahabatku berlari mengejar. Aku kembali melangkah gontai.
“Tunggu, Bia!” Diva menyentuh bahuku, memaksa untuk berhenti.
“Apa?” tanyaku malas.
Diva memandangku prihatin. “Kurasa kamu butuh cuti,” katanya.
Aku melengos, kembali berjalan. Diva mengikuti, berusaha mensejajarkan langkahnya.
“Lihat dirimu, kamu kacau! Setelah kemarin aku menemukanmu menangis di bandara, duduk meringkuk seolah tidak tahu alasan berada di sana.... Bia, aku mengerti perasaanmu.”
Aku tertawa sumbang, terdengar aneh di telinga. “Entahlah, Va. Aku seperti tidak mengenal diriku.”
“Ya,” sahut Diva, “jika saja Majeed Somesh masih ada di sini, akan kubunuh dia!”
Mulutku terasa kering begitu mendengar nama pria itu disebut, pria yang sudah membalikkan duniaku.
“Kurasa kamu benar, Diva. Aku butuh cuti....” Aku memutuskan sebelum air mata kembali turun seperti yang sudah-sudah.
Diva berhenti berjalan, meraihku hingga aku berada dalam pelukannya. “Besok, diamlah di rumah. Aku yang akan mengurus semuanya.”
Sialan! Aku tidak ingin menangis sekarang, di basement tempat mobilku terparkir, di mana banyak bawahanku yang sedang memperhatikan. Aku melepas pelukan Diva, menahan sekuat mungkin agar tangisku tidak pecah.
“Aku harus pulang sekarang,” kataku parau. Kemudian melangkah cepat menuju mobil tanpa menunggu Diva.
Di dalam mobil, aku tidak bisa menahan diri lagi. Saat menyalakan mesin, pipiku sudah sangat basah. Aku tahu Diva sedang memperhatikan, tapi aku menghargai keputusannya untuk tidak menyusul seperti yang biasa dia lakukan. Mobilku melaju di tengah lalu lintas ibu kota ditemani gerimis yang masih tersisa setelah seharian Jakarta diguyur hujan lebat, meninggalkan jejak-jejak debu yang bercampur dengan air hujan.
Ah, aku rindu menghirup aroma petrichor di halaman belakang panti....