Bab 3 Sapna

773 Words
Hari pertama bekerja di negara yang sama sekali asing ... okay, aku gugup. Mengenakan setelan rok pinsil dan blazer peach, aku mengikat rambut panjangku yang tersisir rapi menjadi satu. Memoleskan lipstik warna nude tipis-tipis sebagai polesan terakhir pada wajahku. Terakhir mengenakan heels lima centi untuk menutup kakiku. Bel berbunyi ketika aku baru saja meraih tas kerja, membuatku melirik jam tangan kemudian setengah berlari menuju pintu. Begitu membuka pintu, aku mendapati Majeed yang tengah tersenyum. “Oh, Hai!” kataku sedikit gagap. Merasakan pipiku menghangat, kurasa ini efek dari senyuman pria itu. “Kamu sudah siap?” tanyanya. Dia mengenakan kemeja coklat gelap lengan panjang yang terkancing rapi dan bagian bawah yang dimasukkan ke dalam celana kain warna coklat kopi. Di tangannya tertenteng tas kerja yang sedikit lebih besar dari punyaku. Aku mengangguk. Semalam Majeed meneleponku, mengatakan dia akan mengantar jemputku selama aku di sini. “Kamu baru ke India?” tanya Majeed ketika kami berjalan bersisihan meninggalkan unit kami. “Begitulah,” jawabku pendek. Aku heran, sepertinya pria itu tidak pernah berhenti tersenyum. Selanjutnya kami sama-sama terdiam sampai berada di dalam mobil Majeed. Kali ini aku mencari-cari siaran radio tanpa meminta persetujuan Majeed, hampir melonjak kegirangan ketika menemukan saluran yang memutar lagu kemarin. Kebetulan yang aneh, sebelumnya aku tidak terlalu suka musik. Tapi, di dalam mobil klasik merah milik Majeed, rasanya menyenangkan mendengar suara emas John Vesely. “Bagaimana aku harus memanggilmu?” Aku yang semula menatap ke luar jendela sontak menoleh ke arah Majeed. “Kamu bisa memanggilku Binar, atau Bia—teman-temanku di Indonesia biasa memanggilku Bia,” jawabku kembali melihat ke jendela.  “Sapna.” Aku menoleh, merasa dia memanggilku, tapi itu bukan namaku. Aku mengangkat sebelah alis ingin tahu. “Boleh aku memanggilmu Sapna?” Aku mengernyit. “Apa itu Sapna?” “Hmm ... hanya sebutan untuk wanita cantik,” katanya tersenyum. Pipiku menghangat, lagi. “Kamu keberatan?” tanyanya. Aku menggeleng. “Tidak juga,” jawabku. “Okaay.... Nice to meet you, Sapna.”   ****   Aku lelah, kakiku pegal. Aku melepas heels dan menyelonjorkan kaki saat duduk di bangku panjang di salah satu sudut jalan, di depan sebuah kuil. Majeed menghampiriku dengan bungkusan kertas di satu tangannya, sedang tangan yang lain menenteng kantung plastik. Menghempaskan tubuh di sebelahku, Majeed meletakkan kantung plastik, kemudian membuka bungkusan kertas dan meyerahkan sepotong roti padaku. Aku menerimanya dan membuka kertas pelapis sebelum memakannya. Majeed melakukan hal yang sama dengan roti bagiannya kemudian mengeluarkan dua cup kopi dari kantung plastik. Saat ini waktunya istirahat makan siang. Majeed bersikeras mengajakku makan di luar daripada di kantin kantor, dan kami berakhir di bangku pinggir jalan. “Aku tahu kamu pecinta kopi,” katanya menyeringai. “Itu sebabnya kamu sengaja membeli kopi saat pertama kita bertemu? Untuk meledekku?” Majeed tertawa, aku tertegun. Baru kali ini aku melihat dia tertawa, lalu aku tersenyum. Tawanya menular. “Dan kenapa kamu berbicara bahasa Hindi padaku?” tanyaku penasaran. “Apa yang kamu ucapkan? App ko....” aku mengernyit, berpikir keras. “App ko chahihea—Apa kamu mau? Hanya ingin meledekmu,” seringainya. Aku mengerucutkan bibir. Majeed tertawa. “Minumlah,” katanya menyodorkan kopi yang masih mengepul. Aku menerima dan meneguk kopi itu, lalu meletakkan di sampingku. Kembali asyik mengunyah santapanku. “Apa tiap hari pekerjaan kita berkeliling seperti tadi?” tanyaku menggigit potongan terakhir dan mengeluarkan tisu basah dari tas. Majeed mengangguk. “Ya....” Aku meringis, mengingat berjalan naik turun tangga untuk mengunjungi setiap divisi. Aku cinta pekerjaanku di Indonesia. Aku memijat-mijat kaki yang masih berselonjor. “Di Jakarta, aku hanya merekap data. Pekerjaanku duduk manis di depan komputer,” desisku. Majeed kembali tertawa, tangannya terulur mendekat ke bibirku. Agak terkejut, aku memundurkan kepala, tapi ternyata dia hanya ingin membuang remahan roti di daguku. “Terima kasih,” kataku malu. “Tidakkah kamu berpikir, dengan memberimu tugas ini, atasanmu mencoba memberikan ujian untuk kenaikan jabatanmu?” Aku menelengkan kepala mendengar ucapan Majeed, mengangkat sebelah alisku aku berkata, “mungkin.” Majeed tersenyum, aku menghela napas. Kurasa setiap kali dia tersenyum, dia sudah menyedot udara di sekitarku, hingga membuatku sesak napas. “Ayo,” ajaknya berdiri. Aku memakai kembali heels yang tadi kuletakkan begitu saja, meraih tangan Majeed yang terulur dan bangun dari duduk. “Tenang saja, setelah ini kita tidak berkeliling lagi.” Senyumnya menggetarkan. Berjalan bersisian dengannya, di pinggir jalan raya berdebu yang penuh lalu lalang autos[1], aku yang biasanya, tidak akan merasa nyaman, tapi sekarang aku menikmati dan tidak ambil pusing kenapa bisa seperti ini. Angin kasar yang menerpa wajahku, meninggalkan sisa debu. Aneh, aku menyukainya. [1] Kependekan dari autorickshaw, kendaraan di India yang bentuknya seperti bajaj. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD