Pertunangan

1002 Words
Hanya butuh waktu seminggu persiapan pertunangan selesai dirancang. Acara inti diberlangsungkan tepat setelah kedua keluarga sepakat, begitu cepat. Waktu berlalu bagai air yang mengalir, tak terasa. Baru pertunangan namun sudah sangat spektakuler, acara yang terjadi di keluarga Adiwilaga begitu menarik perhatian semua orang. Muncul di portal berita, sempat jadi kabar utama menyatunya dua keluarga terhormat yang diramalkan akan jadi kekuatan baru di dunia bisnis. Sementara di pesta, ribuan orang terlihat bahagia. Hanya Arthur yang menatap ke arah panggung dengan wajah dinginnya. "Selamat untukmu, Nona Lintang," bisiknya, serak. Suara baritonnya tidak terdengar oleh siapapun. Menyedihkan. Harusnya Arthur bukan menjadi seseorang yang memberikan selamat di hari bahagia wanita itu, melainkan sosok yang bersama dengannya bertukar cincin pertunangan. Sungguh takdir yang kejam. Pujaan hati yang sudah benar-benar tidak bisa ia harapkan lagi, telah menjadi milik orang lain, yang bukan untuknya. Sedang ia berusaha menenangkan emosinya, tanpa sengaja pandangannya justru malah bersirobok dengan Lintang. Yang sontak saja membuatnya seolah terkunci dan tak bisa berpaling lagi. Arthur hampir tak mampu berkedip karena tak ingin momen pertautan bathin mereka itu usai, jika saja tidak ada orang yang tanpa sengaja menyenggol bahunya, Arthur mungkin masih betah berlama-lama menatap Sang Putri di sana. Dan selanjutnya ia bertahan agar tidak kembali melayangkan pandangannya ke panggung sana. Karena dari sudut matanya, ia bisa melihat Yasmin yang memicing mengawasinya dari kursinya. Arthur pun memilih untuk memakai kacamata hitamnya dan berpura-pura meraba earpiece di telinganya seolah tengah berbicara dengan penjaga keamanan lainnya di sambungan telepon. *** Pesta pertunangan itu pun akhirnya selesai. Arthur mengantar Lintang untuk pulang terlebih dahulu karena gadis itu terlihat kelelahan setelah seharian tersenyum dan menerima ucapan selamat dari tamu-tamu yang tak terhitung banyaknya. Di mobil, Lintang hanya diam di kursi belakang. Kepalanya bersandar di kursi dengan mata menatap keluar dari jendela. Jelas sekali gadis itu tengah melamun. Arthur memperhatikannya melalui kaca spion. Melihat Lintang seperti itu membuat hatinya memberontak. Betapa ia ingin sekali merengkuh Lintang dan memberikan bahunya agar gadis pujaannya itu bisa bersandar dan menumpahkan semua perasaannya. "Arthur?" panggil Lintang tanpa menoleh. "Ya, Nona?" sahut Arthur melihat dari kaca spion. Lintang memejamkan mata mendengar bagaimana Arthur menjawabnya. "Bisakah kita mampir ke apartemenku saja?" pinta Lintang. Gadis cantik itu lalu mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Arthur di depan sana. "Aku mohon!" ucapnya pelan. Arthur diam tak menjawab, namun kemudian Lintang pun tersenyum saat melihat mobil justru berbelok ketika menemukan persimpangan. Bukan menuju rumahnya, melainkan ke apartemennya. Ia pun merebahkan kepalanya kembali. "Terimakasih," ucapnya. Arthur diam-diam tersenyum. "Sama-sama," ucapnya berbisik hampir tak terdengar. Setengah perjalanan selanjutnya terasa hening. Meski begitu kedua insan berbeda tempat duduk itu tampak saling membentuk senyuman di bibir masing-masing. Hingga akhirnya mobil mereka pun sampai di tujuan akhir. Arthur langsung membawa mobilnya masuk ke parkiran basement. Dan berhenti di salah satu sisi parkiran tersebut. Arthur keluar terlebih dahulu, lalu memutar dan membukakan pintu Lintang. Lelaki itu sedikit menahan nafas saat Lintang keluar dan posisi mereka begitu dekat dan berhadapan, hanya terhalang oleh pintu mobil yang ditahan oleh Arthur. Mata mereka bertemu untuk sedetik sebelum Lintang berpaling dan Arthur pun menutup pintu mobil. Tak lupa dia mengunci mobil tersebut dan memastikan alarm keamanan berfungsi dengan baik sebelum ia tinggalkan. "Silahkan, Nona," ucap Arthur mempersilahkan Lintang untuk berjalan terlebih dahulu. Gadis itu meliriknya sekilas sebelum melangkahkan kakinya, dan Arthur pun lalu mengikutinya. Ketika mereka sampai di lift, Arthur berjalan mendahului, untuk memastikan lift dalam keadaan kosong dan aman. Dan tanpa membuat Lintang menunggu ia mengangguk memberi isyarat jika keadaan aman. Semua itu tak lepas dari perhatian Lintang. Mata gadis itu selalu mengikuti setiap gerak-gerik Arthur dengan bibir tersenyum. Di dalam lift, Lintang berdiri di belakang Arthur. Matanya memperhatikan sosok Arthur di hadapannya. Laki-laki itu terlihat menjulang tinggi jika dalam posisi sedekat ini. Tinggi Lintang hanya sebatas bahunya saja. Punggung lebarnya terlihat kokoh di balik setelan jas hitam yang dipakainya. Membuat Lintang berimajinasi. Denting pelan lift membuatnya mengerjap. Dan ia pun tersadar dan melihat Arthur mempersilahkannya untuk keluar dari lift. *** Mereka langsung menuju unit milik Lintang. Gadis itu pun tak sabar untuk segera mandi membersihkan diri karena tubuhnya terasa lengket. "Tunggulah disini," kata Lintang pada Arthur, "Anggap saja rumah sendiri!" ucapnya tersenyum. Arthur mengangguk seraya mengucapkan terimakasih. Sikapnya masih saja formal, membuat Lintang gemas sendiri. "Jangan terlalu formal, toh kita hanya berdua saja disini!" ucap Lintang mendengus pelan. Arthur tertunduk lalu tersenyum. Sedikit mencairkan suasana yang tadi terasa kaku. Lintang pun tersenyum dibuatnya. Ia lalu segera masuk ke kamarnya. Arthur akhirnya bisa sedikit bernafas lega dan meluruhkan bahunya yang terasa kaku. Dia melangkah menuju dapur, dan menuangkan air putih karena tenggorokannya terasa kering sedari tadi. Berada dekat dengan Lintang terasa sangat menyiksa baginya. Segala tingkah laku dan senyumnya membuatnya ingin sekali memeluk gadis itu. Kerling manisnya bahkan mampu membuat jiwanya berkelana jauh. "Oh, astaga! Apa yang aku pikirkan?!" gumamnya seraya mengusap wajahnya berkali-kali. Sadar jika saat ini situasinya begitu riskan, Arthur memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke balkon apartemen mencari udara segar karena oksigen di dalam sana mendadak terasa menipis. Berpikir jika Lintang mungkin pergi tidur, Arthur pun membuka jasnya. Menyisakan kemeja putih di baliknya. Disingkapnya lengan kemejanya, melonggarkan dasi dan mematikan earpiece. Diletakkannya benda kecil itu di atas meja. Sejenak menikmati udara malam setelah tugasnya selesai untuk hari ini. Sambil merenungi kemalangan yang menimpanya. Melihat gadis pujaan hati dipersunting oleh pria lain di depan mata kepalanya, tanpa bisa ia hindari. Jika saja boleh, ingin sekali ia tak melihat itu semua. Namun apa daya itu sudah bagian dari tugasnya. "Lintang ...." Arthur meremas rambutnya, membisikkan nama itu sehalus angin. Hatinya meronta. Gadis yang ia cintai berada dekat dengannya saat ini tapi ia tak mampu melakukan apa-apa. Bahkan menatap pun ia merasa tak pantas melakukannya. "Arthur ...," Telinga Arthur seketika meruncing mendengar suara halus dari belakangnya. Ia pun berbalik. Dan selanjutnya ia merasa jika oksigen benar-benar habis kali ini. Arthur membuka mulutnya tanpa mampu berkata apa-apa. Di ambang pintu, Lintang berdiri. Dengan pakaian tidur tipis menerawang, angin berhembus seolah memperjelas lekukan tubuhnya. Rambutnya yang selalu terikat kini tergerai indah. Matanya menatap sayu dan bibir itu membuka. "Bisakah kamu memelukku, Arthur?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD