Mencoba kembali percaya dengan harapan, tak lagi menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Angga kembali memberikan kesempatan untuk Sabrina agar mereka bisa kembali berteman. Berteman ya, bukan untuk kembali merajut cinta. Namun sepertinya ada sebuah permainan yang sedang dimainkan oleh Sabrina.
Angga merasa seperti sedang berada di dalam taman bunga yang indah. Ia sedang duduk santai di taman tersebut, lalu fokus pada satu bunga yang menurutnya sangat indah dan berhasil menggugah hatinya untuk selalu di pandang. Sedangkan, bunga yang lainnya seakan tak menarik di matanya. Saat pandangan matanya fokus pada satu bunga tersebut, tiba-tiba muncul bayangan wajah Sabrina di depannya. Bayangan wajah itu terlihat sangat amat jelas sekali, beberapa kali Angga mengucek matanya untuk memastikan bahwa yang dilihat olehnya itu salah.
Tapi, bayangan itu terus maju mendekat ke arahnya. Ternyata, itu bukan bayangan melainkan sosok nyata Sabrina, ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sosok lain yaitu istrinya, Aina. Tapi, mengapa ia tak menemukan sedikitpun bayangan Ai di sekitarnya? Kenapa hanya Sabrina? Ia menggelengkan kepalanya lemah, berusaha membuang jauh-jauh wajah Sabrina.
"Kamu kenapa, Angga?"
"Kenapa kamu ada disini? Mana Aina?" sergahnya.
"Aku tidak tahu dan aku memang sejak tadi sudah ada disini. Malah, aku melihat kamu berada disini sendirian."
"Hah? Bagaimana bisa? Perasaan, aku kesini bersama Aina, istriku."
"Aku tidak tahu, Angga. Yang aku tahu dan lihat hanya ada kamu disini, sendirian. Itu saja."
"Tidak! Tidak mungkin! Aina tidak mungkin meninggalkan aku sendirian."
"Mungkin, memang dia sudah tak ingin hidup bersamamu lagi."
"Tidak mungkin, Sabrina! Aina itu sangat menyayangi dan mencintaiku."
"Tapi, justru aku yang lebih menyayangi dan mencintaimu, Angga."
Mulut Sabrina bergerak seakan menggumamkan sesuatu, lalu meniupkan pada Angga dan lelaki itu mendadak lupa akan semua kejadian. Yang ada dipikirannya hanya ada Sabrina saja. Ia tak melihat keberadaan Ai yang berada tak jauh dari tempatnya.
Ai berteriak sekuat tenaga untuk membuat Angga menoleh, tapi tak berhasil juga. Angga justru sangat menikmati wajah ayu Sabrina, pandangan matanya tak lepas dari memandang wajah Sabrina. Tiba-tiba, Aina berlari dan menarik rambut Angga tepat di ubun-ubun, membuat lelaki itu terseret hingga kembali ke dunia nyata.
"Aina!" teriaknya.
"Pih! Apih!" panggil Ai menepuk-nepuk pipi Angga.
"Astaghfirullah …."
Angga terbangun, membuka matanya dan tersadar bahwa tadi hanyalah mimpi semata. Ia menoleh ke samping, wajah Aina begitu dekat dan membuatnya merasa tak enak karena berani mimpi wanita lain.
"Pih, kamu kenapa?"
"Aku mimpi."
"Mimpi? Mimpi apa?"
"Mimpi kamu pergi meninggalkan aku sendirian."
"Hus! Jangan ngada-ngada! Aku tak akan pernah meninggalkan kamu, Sayang!"
"Janji?"
"Iya, aku janji!"
"Makanya, Pih, kalau tidur itu baca doa dulu agar segala setan yang terkutuk menjauh dan kita tidur ditemani malaikat."
"Iya, maaf, Mih. Ya sudah, kita tidur lagi, ya."
Ai mengangguk dan tersenyum.
"Maaf ya, Apih sudah mengganggu tidurmu."
"Gak pa-pa, Sayang. Sudah ah, jangan dipikirkan."
"Makasih, Mih. Love you," ucapnya mengecup lembut kening Ai.
"Love you too, Apih."
Ai kembali memejamkan mata saat tangan Angga dengan lembut mengusap-ngusap kepalanya. Sedangkan Angga masih diam menatap langit kamarnya, ia memikirkan mimpi yang baru saja dirasakan. Mimpinya terasa aneh, tapi mengapa terlihat indah? Begitu pikirnya.
Ah, lama-lama aku bisa gila ini. Karena rindu akan brownies sampai membawa Sabrina masuk ke dalam mimpi. Ini tidak boleh dibiarkan! Kalau begini, sama saja aku menduakan Ai walaupun hanya mimpi. Ya Allah … maafkan aku, ucapnya dalam hati.
Ia membaca doa terlebih dahulu lalu kembali memejamkan matanya dan terlelap sambil memeluk sang istri tercinta.
***
Dua hari kemudian Sabrina datang kembali menemui Angga. Ia sepertinya sangat hafal sekali dengan jadwal dinas Angga. Ia sudah duduk manis di depan ruangan Angga sambil membawa satu kotak brownies lagi sama seperti sebelumnya. Ia yakin, yang kemarin pasti sudah habis dilahapnya sendiri tanpa dibagi dengan Aina maka dari itu Sabrina membawanya kembali.
Selesai pamitan, ia keluar ruangan dan terkejut melihat Sabrina yang duduk manis dengan senyum cantiknya. Untuk sesaat, Angga seakan terhipnotis oleh senyum cantik itu. Senyum yang sebelumnya pernah menghiasi hati dan hari-harinya, kini ia kembali melihat dan menikmati senyum itu.
Angga kembali mengingat mimpinya malam itu, mimpi dimana ia bisa menikmati wajah Sabrina dalam waktu sesaat namun terasa sangat mengesankan. Ia menggelengkan kepala lalu maju mendekati wanita itu.
"Sabrina, ngapain?"
"Hai, Angga. Apa kabar?" tanyanya tersenyum manis.
"Kamu ngapain kesini? Kok aku perhatikan kayaknya sering banget kesini? Apa kamu kesini untuk kontrol kesehatan?"
"Heh, iya, Angga."
"Memangnya, kamu sakit? Sakit apa, Sabrina?"
"Ah, sudahlah, tak usah dibahas, Angga. Kamu sudah sarapan belum?"
"Belum, aku mau sarapan di rumah, kenapa?"
"Yah … tadinya mau aku ajak sarapan bareng. Tapi yaudah deh kalau kamu buru-buru mau pulang dan sarapan di rumah sama istri."
"Nih, brownies untuk Ai. Kemarin pasti di lahap habis sama kamu, 'kan?" tuding Sabrina. Angga tergelak saat ketahuan menghabiskan browniesnya.
"Hah? Ah, gak, kok. Ai juga makan."
"Terus apa kata Ai?"
"E-enak."
"Bohong! Sudahlah mengaku saja bahwa semua brownies kemarin dihabiskan sama kamu sendirian!"
"Hehe, iya, maaf. Aku masih lapar soalnya waktu itu."
"Huuh, dasar!" ucapnya menoel perut Angga.
"Hehe, maaf ya," jawab Angga reflek menggenggam tangan Sabrina.
Mereka saling memandang satu sama lain dan langsung melepaskan karena malu.
"Maaf, gak sengaja."
"Iya, gak pa-pa. Ya sudah, aku pergi dulu ya. Kamu hati-hati dijalannya."
Sabrina berlalu sambil berhitung, "Satu … dua … tiga …."
"Sabrina!"
Gotcha! Dia pasti manggil, benar 'kan dugaanku. Sabrina, gitu loh, ucapnya bangga dalam hati.
"Iya?"
Angga berlari kecil menghampirinya.
"Kita gak jadi sarapan bersama?"
"Loh? Katanya kamu mau sarapan bersama istri?"
"Hm … gampang deh. Itu sudah sering, ayo."
"Kemana?"
"Sarapan. Kamu pasti belum sarapan. Kita sarapan bubur langganan dulu mau gak?" tawar Angga.
"Boleh, deh."
Mereka berjalan berdampingan keluar dari rumah sakit. Tak sengaja, Angga menggenggam tangan Sabrina hingga parkiran. Wanita itu sama sekali tidak risi, ia bahkan merasa bahagia karena digenggam tapi karena gengsi ia melepaskannya.
"Ngga, jangan gini."
"Eh? Maaf, aku refleks."
"Iya, gak pa-pa. Aku takut ada yang lihat malah jadinya nanti salah paham."
"Iya, maaf ya, Sab."
Mereka menuju tempat sarapan langganan keduanya dengan satu mobil. Tak banyak yang dibicarakan oleh mereka berdua, Angga malah terkesan lebih banyak diam karena bingung juga harus bicara apa. Sedangkan Sabrina sibuk dengan debaran di dadanya tak kunjung sirna. Ia adalah pertama kalinya sejak kejadian dulu, ia bisa merasakan kembali kebersamaannya dengan Angga walaupun dalam keadaan yang berbeda.
Sampai di warung langganan, mereka bergegas turun dan memesan dua porsi bubur. Selama menunggu bubur tersaji, beberapa kali Angga mencuri-curi pandang ke Sabrina. Di hatinya, seakan tak pernah puas memandang wanita itu, Angga sampai merasa bingung ada apa gerangan dengan hatinya itu.
"Kenapa? Kok ngeliatin aku terus? Aku tahu kok kalau cantik."
"Kamu memang cantik, dari dulu tidak berubah," ucap Angga memandang lekat wanita itu.
"Tapi, kamu meninggalkan aku," lirih Sabrina.
"Kamu yang duluan membuat hatiku terluka. Aku paling benci disakiti, Sab."
"Aku khilaf. Dulu, aku merasa kau benar-benar berubah dan tak peduli lagi denganku."
"Dulu, aku sibuk dengan segala macam praktek. Lalu, kenapa kau tak bisa menahan diri sampai melakukan hal seperti itu?"
"Permisi, buburnya. Selamat menikmati."
"Kita sarapan dulu deh, Ngga. Aku lapar sekali. Lagi pula, jika ingin membahas masalah yang lalu, membutuhkan tenaga, jad lebih baik sarapan dulu."
"Ada-ada saja kamu, Sabrina."
Mereka menghentikan obrolan sesaat dan pada fokus sarapan. Menikmati setiap suapan bubur yang masuk ke dalam mulut, Angga iseng menyuapi bubur itu dan ternyata Sabrina menerimanya dengan senang hati. Mereka berdua seakan-akan mengulang masa-masa indah dahulu.
Sabrina melakukan hal yang sama, balik menyuapi Angga dan lelaki itu tersenyum bahagia. Sabrina semakin berani bergelayut manja di pundak Angga seakan sengaja menempelkan aroma tubuhnya pada lelaki itu. Sedangkan di rumah, Ai mondar-mandir menunggu kedatangan suaminya.
Ia merasa cemas dengan keberadaan, Angga. Tak tahu juga harus menghubungi siapa untuk mencari tahu keberadaannya. Sebelumnya, Ai sudah menghubungi asisten Angga tapi katanya Dokter Angga sudah pulang sejak tadi dan itu semakin membuat Ai cemas.
Ini adalah pertama kali suaminya itu pulang telat tanpa ada kabar. Biasanya, ia selalu memberi kabar tapi saat ini mengapa tak memberi kabar dan ponselnya malah dimatikan.
"Nyonya, duduk. Tenang saja, Tuan pasti akan segera pulang."
"Tapi, Mbok, ini sudah telat satu jam dari waktu biasanya pulang. Kemana Angga? Aku cemas sekali, takut terjadi sesuatu padanya."
"Sebentar lagi pasti sampai, Nyonya. Tenang ya."
"Lebih baik, Nyonya sarapan duluan. Kasihan Adik Bayi kalau Amihnya telat sarapan."
"Tapi, Angga gimana, Mbok? Nanti Tuan Angga sarapannya menyusul. Mari, sini, Mbok sudah hidangkan."
Ai menatapnya dan terpaksa mengangguk, ia pun sudah merasa sangat lapar dan tak sanggup lagi untuk menahan rasa lapar tersebut. Angga dan Sabrina segera menyelesaikan sarapan mereka, ia baru tersadar bahwa belum menghubunginya kalau akan pulang telat.
"Bagaimana kalau aku ikut bersamamu? Dan memberi alasan pada Ai kalau tadi kamu tolongin aku di jalan?"
"Jangan! Sudah gak usah, aku masih bisa mengatasinya, kok."
"Baiklah. Kalau begitu, kamu tak usah mengantar, nanti semakin lama sampai di rumah."
"Apa tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, kok."
"Ya sudah, kamu hati-hati ya."
"Iya, kamu juga."
"Aku selalu merindukanmu, setiap waktu," bisik Sabrina lalu melenggang pergi.