Kau Pikir Aku akan Menyiksamu?

813 Words
Vania membuka kedua matanya, ia langsung terbangun cepat dan menatap sang Mama dengan tatapan yang sangat panik saat ini. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar membentuk bayangan samar di wajahnya yang cantik namun cemas. "Ma, ada apa?" tanya Vania dengan suara bergetar, masih setengah terlelap namun mulai merasa ada sesuatu yang tak beres. "Keluarga Michael menjemputmu, mereka ingin kalian segera menikah," kata Livia dengan suara berbisik namun tegas, seolah takut menyakiti putrinya dengan kenyataan pahit yang baru saja diungkapkan. "Hah?!" Kedua mata Vania melebar seketika, tangannya perlahan meremas selimut tebal merah muda yang kini menutupi kakinya. Bagai disambar petir di siang hari, ia menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, mencoba menolak realitas yang datang begitu tiba-tiba. Belum sempat Vania mengatakan apapun, di depan pintu nampak seorang wanita yang kini menatap ke arah mereka dan tersenyum manis. Seorang wanita dengan kecantikan klasik yang memancarkan aura kekuasaan dan ketenangan. "Hai cantik," sapa wanita itu langsung saja masuk ke dalam kamar Vania. Langkahnya begitu elegan dan anggun, mengingatkan pada sosok ratu yang datang untuk menjemput seorang putri. Vania takut, namun wanita itu menganggukkan kepalanya pada Vania saat ini. "Ya, kau memang sangat cantik, sayang," pujinya mengusap pipi Vania sebelum ia menatap Livia dengan mata tajam. "Nyonya Livia, aku bawa Vania sekarang dan kau boleh datang malam ini di acara pernikahannya, tapi ...." Vanya menatap lekat-lekat pada Livia. "Jangan menemuinya lagi, nanti dia tidak betah di rumahku," ujar Vanya yang begitu mengejutkan. "Tapi ...." Livia mencoba membantah, suaranya bergetar dengan kekhawatiran seorang ibu yang tak ingin kehilangan putrinya. "Tidak ada tapi-tapian, Nyonya Livia. Sekarang juga aku bawa Vania," tegas Vanya sambil menyibakkan selimut Vania dan menarik lengan gadis itu pelan namun pasti. "Tapi Tante, saya belum ...." Vania mencoba protes, suaranya hampir tak terdengar. "Tidak masalah, sekarang kau mandi, ganti baju yang bagus dan cepat turun, kita pergi dari sini, sayang," ujar Vanya dengan nada yang lembut namun tidak bisa ditolak. Vania menganggukkan kepalanya pelan, ia salah tanggap dengan perlakuan wanita itu yang ia kira akan galak dan ternyata dia wanita yang sangat sabar dan perhatian. Beberapa menit berlalu, Vania turun ke lantai satu bersama Vanya. Di lantai satu kini banyak orang yang menunggu mereka. Mata-mata penuh harapan dan kekhawatiran tertuju pada Vania yang tampak begitu muda dan rapuh. "Vania sudah siap, dan aku bawa putri kalian dari sini." Vanya menatap ke arah Steven, ayah Vania. Laki-laki itu terlihat seperti tidak terima dan ingin marah-marah saat ini, belum lagi kini Sherina, adik Vania, yang berdiri di sampingnya dan terlihat kesal pada Vania. "Ayo sayang, Michael sudah menunggumu," ajak Vanya merangkul Vania dengan lembut. Mereka keluar dari sana, Vania menatap mamanya yang kini menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah wanita itu enggan untuk ditinggalkan olehnya. Namun begitu Vania menatap papanya, ada hal lain yang membuatnya yakin kalau ia harus pergi. Ada sesuatu dalam pandangan ayahnya yang seolah mengatakan bahwa ini adalah jalan yang harus ditempuh, tak peduli seberapa berat dan tak masuk akal. Mobil putih yang Vania tumpangi itu sampai di depan sebuah gedung besar. Sebuah plazzo mewah yang luar biasa indahnya. Ukiran-ukiran indah menunjukkan keaslian arsitektur bangunan itu, memancarkan kemewahan dan keanggunan yang begitu memukau. Melihat Vania yang bereaksi begitu, membuat Vanya tersenyum manis. "Ayo sayang," ajak Vanya saat itu juga. Vania langsung berjalan masuk ke dalam tempat itu, tempat itu terlihat sangat ramai dengan banyak orang yang kini menyiapkan pesta. Pandangan Vania tertuju pada seorang laki-laki yang kini berdiri di lantai atas, ia menatap ke arahnya dengan pandangan yang tidak bersahabat. Sosok yang tampan dan tegas, dengan aura yang memancarkan kekuatan dan d******i. "Oh, itu dia Michael. Sekarang Vania ke sana saja, Mama ingin menyiapkan keperluan yang lainnya untuk malam ini," ujar Vanya sebelum ia meninggalkan satu kecupan manis di pipi Vania. Vania berdiri sendirian, ia menelan salivanya susah payah. Jam masih belum genap pukul setengah enam pagi dan ia sudah berada di tempat asing, di tengah-tengah orang-orang yang tidak ia kenal. "Apa yang kau lakukan? Kenapa diam saja?!" Tubuh Vania tersentak saat mendengar suara itu. Ia menoleh pada Michael yang kini mendekatinya, langkahnya mantap dan penuh keyakinan. "Kau ...." Vania mencoba mengumpulkan kekuatannya untuk berbicara, namun suaranya tercekat. "Kenapa? Reaksimu saat ini, tidak terlihat seperti kau memakiku malam itu. Aku masih ingat wajahmu jelas," lirih Michael saat ini, suaranya penuh dengan kekecewaan yang terpendam. Vania membuang muka, mencoba menghindari tatapan tajam Michael. Ia hendak berlalu dan keluar dari dalam tempat itu, namun langkahnya terhenti saat Michael menarik lengannya dengan paksa. Cengkeraman kasar itu membuat rasa sakit yang nyata menjalar di lengannya. "Sakit, lepas! Michael lepas!" pekik Vania mencoba melepaskan tangannya, tetapi Michael enggan. Seolah tuli, Michael tetap saja menarik lengan Vania hingga mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Vania mengerjapkan kedua matanya, melangkahkan kakinya mundur perlahan-lahan, takut sekali dengan tatapan penuh amarah itu. "Kenapa? Kenapa kau menjauh? Kau pikir aku akan mendekatimu dan ... Menyiksamu?" Michael mendekat dengan pandangan yang intens, membuat detak jantung Vania berpacu semakin cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD