7. The Tragedy

1589 Words
“Ella, seriously kita jalan-jalan ngajakin Kinan juga? Kenapa gak kita berdua aja sih? Harus banget Kinan ya?” Arfi mengeluh karena Ella mengacaukan rencana jalan-jalan berdua yang dia buat. “Kita kan belum menikah sayang, mama papa mengijinkan kita jalan-jalan ke Pulau Rinca dengan syarat kita tidak hanya pergi berdua. Kan kamu tadi dengar sendiri syarat dari mama pas minta ijin. Mama bilang, boleh asal ajak Kinan.” Jawab Ella, mengusap rambut Arfi perlahan. “Ya sudah gak papa, tapi nanti Kinan tidur di cottage sendiri yaa. Kita satu cottage berdua.” Mata Arfi memohon pada Ella yang tentu saja dijawab dengan gelengan kepala Ella. “Kok jadi nakal gini sih? Nanti yaa tunggu kita resmi menikah. Toh sebentar lagi, setelah itu kita bisa puas menikmati apa yang sudah halal dan malah mendapat pahala kan?” Ella mencium kilat bibir Arfi, membuat Arfi mengerang. “Gak bisa lama-lama, tuh ponselmu sudah menjerit minta perhatian.” Wajah cantik dan mata berbinar Ella menggoda Arfi. Sayangnya Arfi hanya bisa menikmati kecantikan Ella hanya sampai hari ini saja. Sudah tertulis bahwa Ella bukanlah jodohnya, tapi gadis lain. Entah siapa. “Dari sales pesawat yang aku sewa nih, lusa kita berangkat ya sayang, dari Halim PK. Kujemput jam enam.” Andai Arfi tahu apa yang akan terjadi di acara yang sudah dia rencanakan itu, dia mungkin akan berpikir ulang. *** Kinan dipaksa menginap di kos mewah Ella. Sengaja dipaksa untuk mempermudah keberangkatan mereka besok pagi. Kinan sudah memberikan beribu alasan agar dia tidak usah ikut ke Pulau Rinca, tapi tidak berhasil, saat mama Ella memintanya secara langsung untuk mau menemani Ella dan Arfi. Semua dilakukan untuk menjaga nama baik keluarga. “La, harus banget aku ikutan ya? Kamu kan tahu sendiri kalau Mas Arfi gak suka kalau aku jadi obat nyamuk, gangguin kencan kalian.” Masih saja Kinan coba nego pada Ella agar dia tidak usah ikut. Ada suatu perasaan tidak enak mendera. Kinan tahu, Arfi tidak menyukai kehadirannya yang bak obat nyamuk bagi Arfi dan Ella. “Hmm Kinan, kamu kan tahu sendiri mama kasih ijin dengan syarat kamu juga ikut ke Pulau Rinca. Kalau kamu gak ikut, ya gak jadi pergi deh. Tapi Arfi kan sudah bayar semua Kinan, sewa pesawat, sewa cottage, sewa yang lain-lain juga. Pleaaseee ya Kinan, ikut. Nanti aku sedih loh.” Sekarang gantian Ella yang menatap ke Kinan penuh permohonan. Kinan melihat ke arah Ella dengan bingung. Ragu. Seketika Kinan menyadari seperti ada sesuatu yang berbeda pada Ella saat ini. “La, kamu sakit? Kenapa wajahmu pucat banget sih?” Punggung tangan Kinan hinggap di kening Ella, tapi tidak terasa panas. Normal seperti dirinya. “Enggak kok, biasa aja. Iya teman-teman di kantor juga bilang wajahku pucat beberapa hari terakhir ini. Dan anehnya kalau setelah ashar, kakiku malah sering banget terasa dingin, makanya kalau mau tidur harus pakai kaos kaki. Mungkin kecapaian mengurus persiapan nikah. Excited banget aku.” Kinan mendengar cerita Ella dengan baik. Tapi sedetik matanya menangkap seperti ada kedutan tepat di kening Ella. Telunjuknya menunjuk tepat ke kening itu. “Keningmu kedutan La. Beneran kamu gak papa?” “Iya Kinan, aku lagi sering kedutan nih. Minggu lalu sih jarang kedutan eeh sekarang sering banget kedutan di kening. Mau lihat yang cakep-cakep kali ya di Pulau Rinca.” Ella coba bercanda pada Kinan. Sayang, keduanya masih teramat muda, masih hijau dalam pengalaman hidup. Andai saja mereka tahu apa arti dari tanda kedutan yang dirasakan Ella di keningnya, pastinya mereka akan menghabiskan waktu dengan hanya ibadah saja. “Cakep gimana? Isinya komodo semua, Ellaaaa. Kamu nih iseng deh. Emang Mas Arfi mau saingan ama komodo?” Keduanya tertawa bersama dengan kompak. Tanpa pernah tahu bahwa itu adalah tawa terakhir mereka secara bersamaan. Umur orang, tidak ada yang tahu sampai kapan. Jika rizki yang sudah ditetapkan oleh-Nya bagi sang hamba sudah habis, berarti habis juga masa berlakunya di kehidupan fana ini. *** “Sayang, yakin nih kita berangkat di cuaca gini? Kok aku jadi khawatir?” Tanya Ella pada Arfi. Pagi ini mereka sudah ada di Bandara Halim P.K. Tapi langit terlihat gelap, mendung tebal tampak menggantung. Menimbulkan kekhawatiran bagi yang akan melakukan perjalanan udara. “Gak papa sih. Jangan khawatir. Yuk kita berangkat sekarang. Nanti aku coba tanya ke pilot ya. Btw kamu cantik sekali pakai baju merah ini.” Arfi memeluk Ella untuk sedikit menghilangkan rasa khawatir kekasihnya. Kinan yang berjalan di belakang mereka, sekali lagi coba tersenyum palsu. “Selamat siang… Selamat datang.” Sapa ramah seorang flight attendant yang cantik dan ramah. Pesawat sewaan itu terasa nyaman dan lega karena hanya berisi mereka bertiga ditambah satu pramugari senior memakai name tag Lenny,  yang dengan sigap membantu Kinan dan Ella. Ella duduk di sebelah Arfi, sementara Kinan memilih duduk agak di belakang. Demi kebaikan hatinya, dia tidak mau melihat kemesraan pasangan itu. Arfi menuju kokpit dan mengobrol sebentar dengan sang pilot. Entahlah mungkin karena ini sewaan jadi lebih mudah bagi penumpang untuk berkomunikasi dengan pilot. Tak butuh waktu lama, Arfi segera kembali ke seat sebelah Ella. Wajahnya sempat berubah tapi dia tutupi. Dia tidak ingin kekasihnya merasa semakin khawatir. Arfi sendiri juga tidak mau rencananya gagal karena hujan ini. Dia sudah meminta pemilik cottage di Pulau Rinca yang dia sewa untuk memberikan kejutan. Dia sudah merancang dari jauh hari. Dimintanya pemilik cottage untuk membuat sebuah tanda hati dari bunga mawar merah berukuran besar, agar bisa terlihat dari udara. Dia juga sudah meminta pilot pesawat agar fokus di koordinat yang sudah diberikan oleh pemilik cottage. Tanda love besar itu dibuat di atas jembatan kayu dengan tulisan Arfi - Ella. Simpel tapi pasti Ella akan tersentuh. Terus kekasihnya itu akan menangis karena merasa bahagia teramat sangat dan akan memeluknya. Well, semua itu sudah dia persiapkan dari jauh hari, Arfi tidak ingin rencananya gagal. Walau tadi hatinya sempat ragu dan khawatir saat pilot menginformasikan bahwa cuaca nantiya tidak mendukung saat berada di atas Propinsi Jawa Timur. Mungkin akan ada hujan petir, tapi mereka bisa sedikit memutar dengan bantuan ATC. Usai pramugari memberikan instruksi keselamatan standar seperti layaknya penerbangan di pesawat komersial, akhirnya pesawat itu take off setelah mendapatkan ijin ATC. Sempat bergetar sebentar karena menembus awan mendung untuk mencapai ketinggian yang aman. “Sayang, kenapa ya perasaanku tidak enak?” Tanya Ella dengan nada penuh kekhawatiran pada Arfi. “Baca doa dong jadi biar lega.” Arfi menggenggam jemari Ella erat. Entahlah, dia tidak punya perasaan apapun selain kebahagiaan. Tiba-tiba Arfi teringat pada kabar yang dia dapatkan, bahwa Kinan dan hujan adalah satu paket. “Ella, kenapa sih Kinan tetep ikut kita? Kabar yang aku dengar, Kinan dan hujan itu sepaket.” Masih saja Arfi tidak suka pada kehadiran Kinan. “Hei… tidak boleh berkata seperti itu. Hujan itu kan berkah, kamu jangan lupakan itu loh. Kalaupun hujan dan Kinan sepaket, berarti Kinan adalah berkah. Jangan sampai dia mendengar kamu berkata jelek seperti itu, kasihan dia.” Ella membela Kinan. Sungguh dia memang gadis berhati baik dan tulus. “Iyaa sayangku, aku bersyukur banget dapat calon istri sebaik kamu. Di saat banyak orang lain menjauhi gadis aneh itu, kamu tetap saja membelanya.” “Kinan tidak aneh Arfi, dia cuma lebih pendiam dibanding gadis-gadis lain.” “Iya deh. Kamu memang berhati baik.” Arfi menatap Ella dengan intens, sungguh bersyukur pilihannya tepat. Tapi keningnya berkerut saat melihat kedutan di kening Ella. “Keningmu berkedut ya? Wajahmu juga pucat.” Tanyanya. Jemarinya menyentuh kening Ella dengan lembut. Terasa sedikit dingin. Mungkinkah Ella sakit? “Iyaa, ini dari dua minggu ini kedutan terus.” Ella menyingkirkan tangan Arfi dari keningnya. “Kamu baik-baik aja kan sayang? Ini keningmu dingin, tanganmu juga terasa lebih dingin. Pakai jaketku ya.” Arfi melepas jaket yang dia pakai, segera dipaikaikan ke tubuh Ella dengan harapan akan bisa memberi sedikit kehangatan pada gadis cantik itu. “Terima kasih. Sayang, aku merem dulu sebentar ya. Ngantuk banget ini.” Pinta Ella, tapi Arfi masih menggenggam tangannya yang memang terasa dingin. Dingin tapi dia tidak menggigil. “Iya, tidurlah. Nanti kubangunkan, karena ada kejutan untukmu. I love you.” Arfi mencium kening Ella yang masih saja berkedut. Bahkan sekarang ada beberapa bulir keringat di kening itu. Arfi memanggil pramugari dan meminta selimut untuk bisa menyelimuti tubuh Ella, mungkin dengan selimut itu, tubuh kekasihnya akan menghangat. Tangan dan kening Ella terasa dingin, tapi kenapa ada bulir keringat di keningnya? Arfi membatin. Arfi coba menghilangkan rasa khawatirnya dengan ikut memejamkan mata setelah menyelimuti Ella. Tapi hanya beberapa detik kemudian, pesawat terasa terguncang hebat. Tampak kilat terlihat di kaca kecil jendela pesawat. Arfi yang kaget segera membuka mata dan membangunkan Ella yang jadi panik. “Sayang…” Bisik Ella penuh takut. “Tenang dan berdoa ya, semoga pilot bisa menguasai pesawat ini. Sebentar lagi sampai kok.” Padahal dirinya sendiri juga khawatir. Arfi tahu ada sesuatu yang salah. Tapi dia juga tidak bisa ke ruang kokpit untuk bertanya ada apa. Hingga kemudian terlihat kilat yang sangat terang dan mendadak pesawat kehilangan daya. Mungkin salah satu mesin pesawat itu mati. Arfi berusaha membuka seat belt tapi dilarang oleh Ella dan pramugari menyuruhnya untuk tetap duduk. Dua menit itu terasa sungguh mencekam. Sudah terdengar isak tangis Ella dan Kinan. Semuanya sudah ucap istighfar, mohon ampunan dan keselamatan. Hingga kemudian, entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja pesawat itu jatuh, menukik, menghujam bumi. Suara buuum bunyi benda besar yang menabrak bumi terdengar memekakkan telinga. Asap hitam membubung tinggi ke angkasa. Gelap, bau avtur tercium, panas terasa menyengat kulit.  *** Adakah yang tahu bahwa tanda-tanda kematian itu bisa terlihat pada seseorang? Bahkan mulai dari seratus hari sebelumnya?   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD