Part 12. Pria Tua yang Malang

1046 Words
Part 12. Pria Tua yang Malang Kondisi Daniel perlahan membaik. Sesuai perkataannya, Rachel benar-benar merawatnya sepenuh hati hingga ia kembali pulih seperti sedia kala. Rachel memang dokter yang hebat. Dia sangat berkompeten. Daniel melihat kemampuannya saat merawat pasien lainnya di bangsal yang sama dengannya. Sudah hampir tiga hari, Daniel berada di sana di bawah pengawasan dokter wanita yang ia ketahui bernama Rachel. Wanita itu merawat semua pasiennya dengan sepenuh hati. Tak peduli apa status mereka dan seberapa banyak uang yang mereka miliki, Rachel tetap menjalankan tugasnya seprofesional mungkin. “Kau sudah siap?” Kali ini Rachel datang membawa tas besar di tangannya. Wanita itu sudah mengganti setelan kerjanya yang monoton, pakaian yang membuatnya terlihat lusuh karena harus berhadapan dengan darah, luka, dan kondisi pasien gawat darurat yang harus ia tangani. “Apa kali ini kau akan mengizinkanku pulang?” Daniel sudah terbiasa menghabiskan harinya di bangsal rumah sakit miliknya. Bercengkerama dengan seorang kakek tua kesepian yang terbaring lemah di sebelah kamarnya yang hanya dibatasi sehelai tirai. Terkadang, Daniel bisa mendengar ocehan sang kakek saat sang perawat mencoba mengobati luka akibat diabetes yang ia derita. Sang kakek bersikukuh kalau dia baik-baik saja, sehingga tak perlu dirawat di rumah sakit. Padahal kondisi kakinya sudah sangat memprihatinkan. Lukanya telah terinfeksi, kau bahkan bisa melihat jaringan kulit terbuka, memperlihatkan serat daging yang dipenuhi nanah. Keluarga sang kakek jarang berkunjung. Hanya sesekali mereka datang, itupun cuma sekadar mengantarkan pakaian milik sang kakek. Dari percakapan mereka, Daniel tahu, anak-anak sang kakek terlalu sibuk mengurus kehidupan mereka sendiri. Padahal sang kakek sudah memberi mereka harta yang cukup, tapi sayangnya mereka lupa membalas budi ayahnya yang telah bekerja keras untuk mereka. Daniel merasa iba dengan nasibnya yang harus terbaring lemah di ranjang rumah sakit kelas bawah, padahal sang kakek memiliki banyak harta, tapi anak-anaknya terlalu pelit menempatkan orang tuanya di kelas elit rumah sakit. “Apa kau akan pergi?” Obrolan Rachel dan Daniel terdengar hingga ke telinga sang kakek. Dari sorot matanya yang berbinar lemah, Daniel tahu ia merasa kehilangan. “Hallo, Tuan Karl. Bagaimana kondisi Anda hari ini?” “Dokter Rachel?” Karl terkejut karena yang sedang bersama Daniel adalah dokter mereka. “Dokter, sedang bertugas?” Ia merasa aneh, karena sore ini bukan waktunya Rachel bertugas. Dia sangat menyukai Rachel sebagai seorang dokter. Rachel selalu merawat dirinya, mengobati lukanya tanpa memandang Karl dengan perasaan jijik atau apapun yang membuat Karl merasa benci pada penyakitnya. “Tidak, Tuan. Saya ingin mengajak pria ini pulang,” sahut Rachel sambil tersenyum ramah. “Apa Anda butuh bantuan?” Karl melengkungkan alisnya, dalam. Merasa bingung dengan ucapan sang dokter barusan. “Ah, tidak!” Ia menampik pemikirannya yang liar. Rachel mengerti jalan pikiran Karl. “Ah, itu ... perkenalkan Tuan, dia suamiku. Maksudku, dia tunanganku. Sebentar lagi kami akan menikah.” Entah apa alasan Rachel memperkenalkan Daniel sebagai calon suaminya, seharusnya dia tidak peru sesumbar itu karena toh Daniel hanua akan menjadi suami di atas kertas saja. Mengapa dia memperlakukannya seolah, mereka berdua akan benar-benar menikah dan hidup bersama? Rachel mengutuki kebodohannya sendiri. “Wah, aku tidak pernah tahu kalau kalian sudah bertunangan.” Daniel terkekeh mengikuti permainan Rachel yang menganggapnya calon suaminya. Toh dia sudah menyetujui permintaan Rachel, sekarang saatnya dia menunjukkan kemampuannya dalam berakting sebagai calon suami yang sempurna. “Dia berusaha bersikap profesional, Tuan.” Daniel menimpali. “Wah, selamat kalau begitu. Aku senang mendengar kalian akan hidup bersama. Jika kalian tidak keberatan, aku ingin kalian mengundangku di acara pernikahan kalian nanti!” “Dengan senang hati, Tuan. Kami pasti akan mengundangmu di hari bahagia kami, iya ‘kan Sayang?” Daniel merengkuh Rachel ke dalam pelukannya, memamerkannya kemampuannya menunjukkan kemesraan di hadapan lelaki malang itu. Sekujur tubuh Rachel menegang mendengar betapa lembutnya Daniel saat memanggilnya ‘Sayang’. Seolah-olah lelaki itu tergila-gila padanya. “Sekarang, saya dan calon istri saya pamit dulu. Semoga Anda lekas sembuh dari bisa beristirahat di rumah Anda dengan tenang.” Karl hanya tersenyum getir, tatapannya dipenuhi kehampaan yang terlihat jelas. “Meski di sini berisik, aku lebih suka tinggal di bangsal ini. Mereka menyemarakkan hidupku.” Karl berkata sambil tertawa pahit. “Aku akan sering berkunjung,” kata Daniel mengukir janji sekaligus memberi semangat padanya. Rachel tersentuh melihat ketulusan Daniel pada lelaki tua itu. “Apa kau janji?” Karl merengek seperti bocah kecil yang akan ditinggalkan kedua orang tuanya sementara waktu. Daniel memamerkan senyumnya yang menawan, sedikit membuat jantung Rachel seperti mendapatkan sengatan listrik statis yang membuat debarannya berpacu lebih cepat. “Tentu saja. Kau juga harus janji agar lebih mendengarkan ucapan dokter dan perawat di sini. Aku berjanji jika kau sembuh dan keluar dari rumah sakit. Aku orang pertama yang akan menjemputmu.” Karl tersenyum lebar, dari kelopak matanya butiran air bening mengalis setitik. Ia merasa terenyuh mendengar janji manis yang diucapkan Daniel. “Tentu saja. Jangan lupakan janjimu, hai anak muda!” “Tentu saja Pak Tua. Laki-laki sejati takkan mengingkari janji mereka.” Daniel bersikap layaknya mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Karl terkekeh mendengarnya. “Sudah sana kalian pergi! Atau aku akan melemparkan sendal ke arah kalian supaya kalian pergi!” Karl berpura-pura galak. “Tenang saja, kami akan pergi sebelum kau sempat mengambil sendalmu yang butut itu!” ledek Daniel yang membuat Karl merasa geram dan nyaris melemparkan bantal miliknya. Daniel berlari ke ujung ruangan, membukakan pintu dengan cepat sebelum bantal itu tepat mengenai dirinya. “Sepertinya kau akrab dengannya?” tanya Rachel saat mereka berjalan beriringan menuju lobi rumah sakit. “Aku cukup mengenalnya. Beberapa pasien di bangsal itu aku juga mengenal mereka dengan baik. Tapi sayangnya, aku tidak begitu mengenal dokter yang merawatku yang mengaku sebagai calon istriku.” Daniel berkata dengan lugas sehingga membuat wajah Rachel seketika memerah karena tersipu. Sialan, belum apa-apa, Daniel sudah berhasil menggodanya. “Lalu?” Rachel menghentikan langkahnya hanya untuk menghadap ke arah lelaki yang membuat jantungnya berdebar kencang. Perasaan aneh apa ini? Ia bertanya-tanya sendiri dan tak menemukan jawabannya. “Kau tak mengenalku, Rachel dan aku juga tak mengenalmu. Apa kau yakin akan tetap menikah denganku demi menghindari pernikahan yang telah direncakana ayahmu itu?” Sepasang bola mata yang indah itu menatapnya ke dalam dirinya, menenggelamkan pikirannya. Rachel tak mampu menjawabnya. Tak peduli siapa pun Daniel, Rachel tetap akan memilihnya menjadi suami kontraknya. Bahkan jika ia harus mempertaruhkan hatinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD