chapter 8

1292 Words
Sudah hampir satu minggu dari hari Adara mengecek kehamilannya di rumah sakit. sesekali Adara juga mengirim pesan ke tante Tanya jika mengalami sesuatu. Seperti Adara yang sering mengalami mual di malam hari. Dan tante Tanya itu masih wajar. Adara juga belum memberitahukan kehamilannya pada kedua orang tuanya. Karena dia merasa sangat takut. Tapi berada di rumah juga bukan sesuatu yang menyenangkan. Di menjadi semakin stress dengan perkataan mama. Belum lagi ia yang selalu membandingkannya dengan Debby. Sebelumnya Adara memang pernah berpikir untuk mencari tempat kosan. Tapi dia harus memikirkan semua dengan sangat matang. Dia harus memikirkan anak dalam kandungannya. Paling tidak ia harus memiliki pekerjaan. Agar ia bisa membiayai dirinya dan bayinya.             “Adara, cepat turun!” panggil mama. Adara hanya berdecak dan melihat tabungannya. Jika untuk satu tahun ke depan, uang itu akan sangat cukup. Tapi dia harus memikirkan setahun ke depan lagi.             “Adara! Kamu ini lelet banget sih. Lihat tuh adik kamu yang udah rapi dari tadi,” panggil mama lagi. Adara menggerutu dan memasukkan buku tabungannya ke dalam tas. Dia pun mengambil tasnya dan berjalan keluar dari kamar. Dia menuruni tangga dengan perlahan dan langsung berjalan keluar.             “Dara! Mau kemana kamu?! Mama udah buat sarapan!” seru mama saat melihat putrinya yang langsung pergi keluar.             “Urus aja anak mama itu. Aku bisa urus diriku sendiri!” balas Adara.             “Adara! Jaga bicara bicara kamu!” suara papa membuat Adara semakin kesal. Putrinya itu hanya tersenyum kecut.             “Kenapa, pa? Emang benerkan anak kalian cuma Debby? Debby yang langganan juara kelas, juara sains, juara segalanya, sementara aku? Cuma produk gagal kalian!” kata Adara dengan nada ketus. Lalu ia pun beranjak pergi tanpa mendengarkan perkataan siapa pun. Daniela sudah berada di depan gang rumahnya. Adara pun langsung menaiki mobil Daniela dan pergi dari rumah.   Daniela melihat Adara yang selalu terlihat stress setiap kali keluar dari rumah. Pasti karena mama Adara yang membandingkannya lagi dengan Debby. Daniela menjalankan mobilnya dan berhenti di satu kafe, Adara hanya mengikuti temannya itu. Daniela memesan dua s**u coklat dan dua cake.             “Lo pesen banyak banget,” tanya Adara.             “Gue gak mungkin makan sendirian. Bakal kayak orang bego,” jawab sahabatnya itu.             “Gue gak napsu, La,” saut Adara.             “Mual itu wajar, karena kandungan lo emang masih masa trimester. Tapi kan tante Tanya udah bilang, lo gak bisa turutin. Makan aja dikit-dikit, yang penting perut lo ada isinya,” jelas Daniela. Adara pun menghela napas dan kembali mengikuti Daniela yang membawa nampannya ke sofa kosong.             “Gue mau pergi dari rumah, La,” ucap Adara. Daniela meminum s**u hangatnya dan memperhatikan sahabatnya itu yang hanya mengaduk s**u coklatnya. Daniela menaruh gelasnya, lalu melipat tangannya di meja.             “Lo mau pergi kemana? Lo lagi hamil, gue takut kalian kenapa-napa kalo lo pergi tanpa tujuan,” kata Daniela.             “Gue bakal nyari kosan di dekat kampus. Yang penting gue gak di rumah lagi,” balas Adara.             “Biaya hidup lo gimana? Lo mungkin ada duit untuk bayar kontrakan, tapi lo harus punya uang untuk biaya hidup,” saut Daniela lagi. Adara pun menghela napasnya dan meminum s**u coklatnya sedikit demi sedikit.             “Gue juga tau, La. Gue udah cari-cari kerjaan, tapi belum ada panggilan,” jelas Adara. Daniela pun terdiam untuk beberapa saat. Dia memakan cakenya agar ia bisa berpikir dengan tenang. Karena jika dia mendesak Adara, perempuan itu pasti akan marah dan tidak mau mendengarkannya.             “Lo pikir kerja sambil bawa bayi kemana-mana itu gampang?” tanya Daniela. Adara sudah terlihat marah, tapi Daniela sudah lebih dulu memotongnya,” gue gak ngelarang lo untuk pergi dari rumah. Tapi gue khawatir sama keadaan lo dan bayi lo.” Jelas Daniela. Adara pun terlihat tenang, tapi wajahnya masih menunjukkan kekesalannya.             “Gini aja deh, lo tahan dulu untuk beberapa waktu. Gue bakal usahain untuk keluarin penyewa apartemen gue, jadi lo bisa tinggal di sana dan gue juga bisa ngawasin lo. Dan soal kebutuhan lo, biar gue yang nanggung sampe lo lahiran,” ucap Daniela.             “tapi La...”             “Gak ada tapi-tapian, gue harus tetap ngejaga lo. Gue gak mau lo kenapa-napa, apalagi emosi lo yang gak stabil sama sekali,” jelas Daniela. Adara hanya menghela napas dan tidak berkata apa pun lagi. Entah itu pilihan yang baik atau tidak, tapi sepertinya itu satu-satunya. Adara pun kembali meminum s**u coklatnya. Rasanya lumayan dan tidak membuatnya mual. Cakenya pun sangat enak.   ****   Setelah menyelesaikan tiga kelas. Adara mengajak Daniela untuk pulang. Kepalanya sudah terasa sangat berat. Dia sudah meminum vitamin yang tante Tanya berikan, tapi rasanya itu tidak menghilangkan sakit kepalanya. Dan yang ia inginkan sekarang adalah kasur. Dan karena ia sangat malas di rumah, jadi dia memilih untuk beristirahat di rumah Daniela. Adara juga merasa lega, karena Sangga tidak lagi datang ke rumah Daniela. Apa yang dia lakukan kemarin sangat membuatnya marah. Perlakuannya membuat Adara merasa menjadi cewek murahan. Dia tahu mungkin ini akan sangat menyakitnykan untuk anaknya, tapi lebih baik dia tidak mengenal ayahnya. Dari pada ia harus menerima hal yang lebih pahit, kalau ayahnya tidak menerima keberadaannya.   Adara berjalan dari ruang tv ke dapur. Dia sudah memaksakan untuk makan sayuran, atau apa pun. Tapi tubuhnya tidak menerimanya. Tiba-tiba saja kepalanya terasa berputar. Adara mencoba mencari pegangan, tapi sayangnya tidak apa pun di sekitarnya. Tubuhnya terasa kehilangan tenaga. Penglihatan Adara terasa mengabur dan tubuhnya seakan tidak bisa berdiri dengan baik. Dia merasa akan terjatuh dan ia tak mengingat apa pun. Dia mendengar suara Sangga yang berteriak,” Adara!” mungkin itu hanya halusinasinya. Karena dia yakin Sangga tidak ada di sini.   ****   Adara membuka matanya dan mendapati dirinya ada di ruang rumah sakit dengan tangan yang diinfus. Tubuhnya terasa sangat tidak bertenaga, bahkan untuk bangun saja dia tidak bisa. Tidak berapa lama, pintu ruangan Adara terbuka. Daniela masuk bersama dengan tante Tanya dan Sangga. Tante Tanya mendekati Adara dan memeriksanya.             “Aku kenapa?” tanya Adara.             “Kamu pingsan, karena tekanan darah kamu terlalu rendah,” jelas tante Tanya.             “Untung ada Sangga yang nahan tubuh kamu dan langsung bawa kamu ke sini,” kata tante Tanya lagi. Ternyata yang tadi Adara dengar bukan halusinasinya. Sangga memang ada di sana.             “Oh ya,  kamu belum cerita ke tante. Kenapa kamu ada di rumah Daniela? Biasanya kamu ngilang seperti buronan,” tanya tante Tanya. Mereka semua seakan terdiam dan tidak ada satu pun yang bisa membuka mulut. Tante Tanya memperhatikan ketiga anak ini dan tiba-tiba saja dia mendekati Sangga.             “Sangga...” tante Tanya berusaha untuk membuat keponakkan itu membuka mulutnya. Tapi anak lelaki itu tidak juga membuka mulut. Dia hanya terdiam dan mengalihkan tatapan tante Tanya. Dan dengan sangat tiba-tiba saja satu tamparan melayang ke pipi Sangga. Lelaki itu tidak berkata apa pun dan tatapannya dengan sangat cepat berubah. Ada kemarahan yang terlihat dari matanya dan juga kekecewaan.             “Kenapa kamu bisa sebodoh itu?!” bentak tante Tanya.             “Bukan urusan tante!” balas lelaki itu. Matanya menatap tante Tanya dengan tatapan menantang. Seakan dia tidak peduli dengan apa pun yang akan dilakukan tantenya ini. Termasuk jika tantenya mengadukannya pada papa.   Tante Tanya pun mengalihkan perhatiannya pada Adara. Anak lelaki ini tidak akan mendengarkan apa pun dan siapa pun jika dia sedang marah. Tante Tanya kembali memperhatikan Adara dan berkata padanya,” kamu istirahat dulu. Jangan terlalu memikirkan apa pun yang akan membebanimu.” Adara hanya menganggukkan kepalanya. Dan memperhatikan ekspresi wajah Sangga. Dia terlihat sangat mengerikan. Tangannya terkepal dan wajahnya seakan menahan amarahnya.  “Dan kamu anak bodoh! Kamu harus tetap bertanggung jawab!” Suara tante Tanya terdengar berbeda saat berbicara dengan Sangga. Sementara cowok itu benar-benar tidak mempedulikan apa pun yang tante Tanya katakan. Dia hanya keluar dari ruangan dan entah apa yang ia lakukan. Danieal pun keluar untuk mengikuti Sangga, seakan dia khawatir dengan keadaan sepupunya itu.    ****        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD