p*******a?

1030 Words
Part 3 Deringan pertama, kedua dan ketiga. Semuanya diabaikan oleh Kak Jenny. Aku terus menunggu hingga akhirnya dia mengangkat sambungan telepon dengan suara yang aneh. "Assalamualaikum, Kay," sapanya. "Waalaikumsalam. Kakak lagi ngapain? Kok kayak ngos-ngosan gitu napasnya?" tanyaku. "Baru nyampe rumah ini. Tadi ponselnya nggak dibawa. Kan jam segini kudu bawa anakmu jalan ke taman," jelasnya. Secarik senyuman terukir di wajahku, saat membayangkan dirinya berlari sambil menggendong anaknya yang super montok. "Mana anaknya? Aku mau kiss dari jauh." "Udah tidur dia. Nanti kakak kirimin videonya. Nah, sekarang, kamu mau ngomong apa?" "Ehh, iya. Itu lho, Kak. Bisa datang ke sini nggak, minggu depan?" tanyaku dengan hati berdegup kencang. "Ngapain? Jangan bilang mau minta lamarin anak gadis orang. Ntar kita ditolak lagi kayak tahun lalu." Aduh! Ternyata Kak Jenny masih sakit hati atas penolakan keluarga Nalia satu tahun yang lalu. "Sebetulnya sama sih, Kak. Tapi aku bisa pastikan yang kali ini nggak akan ditolak," pujukku. "Beneran? Siapa emang orangnya? Kakak penasaran." "Lista." "Ha?" Selanjutnya yang terdengar hanyalah suara tawanya yang kencang. Kebiasaan deh! Senang banget kalau sudah menertawakanku. Setelah tawanya berhenti, akhirnya Kak Jenny menyanggupi untuk datang minggu depan. Tentu saja bersama rombongan ondel-ondel, alias keluarga besar Bang Fandi, suaminya yang asli orang Betawi. Setelah kedua orang tua kami wafat dalam kecelakaan mobil lima tahun yang lalu, kami hanya tinggal berdua di sini. Kemudian dia ikut pindah bersama suaminya saat mereka menikah tiga tahun silam. Meninggalkanku sendirian yang tidak bisa bergerak karena terikat kontrak kerja. Semenjak saat itulah aku lebih akrab dengan keluarga Mas Didi. Hal yang selanjutnya semakin mengikatku ke dalam perjanjian, yang sangat sulit untuk diingkari. *** Hari demi hari berlalu dengan sangat cepat. Hari Jum'at malam rombongan keluarga dari Jakarta pun tiba. Rumah mungil dengan tiga kamar ini jadi mendadak penuh. "Jadi, gimana itu ceritanya tiba-tiba mau nikah?" tanya Bang Fandi. Saat itu kami sedang duduk di teras. Aku bermain gitar mengiringi Kak Jenny yang bernyanyi dengan merdu. Sedangkan Bang Fandi bernyanyi menyumbangkan lagu. "Karena janji, Bang. Aku sendiri sudah lupa dengan janji itu. Baru ingat awal bulan ini," jawabku pelan. "Janji apaan? Cerita dong!" pinta Kak Jenny dengan sedikit memaksa. Aku menceritakan semuanya secara detail. Keduanya mendengarkan dengan saksama. "Aih, lucu! Nggak nyangka kalau akhirnya kamu bakal nikah sama anak tetangga sebelah," tukas Kak Jenny dengan senyuman lebar. Aku mengerjapkan mata sambil cengengesan. Geli sendiri mendengar ucapannya. Jangankan Kak Jenny, aku saja bingung kenapa bisa jadi mau menikah dengan bocah yang sejak sepuluh tahun lalu itu sering main ke sini. "Jangan-jangan Kay memang udah naksir sejak lama," seloroh Bang Fandi yang disambut tawa kencang Kak Jenny. "Nggaklah, Bang. Dulu kan waktu mereka pindah ke sini, Lista masih kecil," sahutku. "Hmmm, yakin kamu bukan p*******a?" lanjutnya yang membuat aku terbatuk dan tawa istrinya semakin mirip kuntilanak. Untung saja hari sudah malam, sehingga wajahku tidak terlalu tampak memerah. Malam itu, kembali aku terkena insomnia. Bertambah sulit tidur karena bunyi dengkuran kedua adiknya Bang Fandi, yaitu Rio dan Dika. Kami yang tidak kebagian kamar akhirnya menggelar diri di ruang tengah. Dengkuran mereka yang seperti paduan suara itu akhirnya hilang, setelah aku menyumpalkan kaus kaki ke mulut mereka yang menganga. *** Keesokan harinya. Sejak ayam berkokok dari ponsel, keempat perempuan itu sudah bertempur dengan peralatan masak di dapur. Ibunya Bang Fandi dan ketiga menantunya itu, telah mempersiapkan bahan masakan dari Jakarta. Di sini mereka tinggal mengolahnya untuk menu sarapan. Sedangkan para suami menggendong anak masing-masing, sambil mengobrol di halaman depan. Ayah mertua Kak Jenny, yaitu Abah Ozi, sedang sibuk merapikan aneka bunga dan pepohonan kecil di halaman. Sedangkan aku menghabiskan waktu untuk melakukan olahraga mulut di teras. "Kay, gantian gendong anakmu. Abang mau ngopi," ujar Bang Fandi sambil memberikan Kiyoshi padaku. Bocah berusia satu tahun itu langsung memeluk leherku dengan erat. Seolah takut untuk dilepaskan dan jatuh gelindingan ke lantai. "Enaknya jadi, Kay, ya. Masih bujangan gitu bebas mau ngapain aja," keluh Rio yang diaminkan oleh Dika. "Jangan mengeluh, justru Kay itu iri dengan kalian yang sudah menikah dan punya anak," tukas Abah Ozi yang membuatku tersedak kue bolu. Pria paruh baya itu berdiri dan memutar pergelangan kaki. Mungkin mencoba mengusir semut yang sedang arisan di kakinya. "Iya, kan, Kay?" tanya beliau sambil jalan mendekat. Bang Fandi bergegas turun dari kursi dan duduk bersila di lantai. Memberikan kursinya untuk sang Abah. Sebuah tata krama yang semakin dilupakan generasi muda saat ini. Aku yang tadinya hendak ikut turun dari kursi, dicegah oleh Bang Fandi dengan gelengan kepala. Mungkin beliau tidak mau anaknya gelindingan sampai ke halaman. "Iya apa, Bah?" tanyaku pura-pura lugu. "Kamu pengen cepat menikah dan punya anak kembar," jawab beliau seraya tersenyum lebar. Aku mengangguk malu-malu. Sepertinya beliau sangat memahami isi hatiku. "Jangan kembar, Kay. Satu aja udah repot banget," sela Bang Fandi. "Baru satu aja udah ngeluh. Gimana dengan abah dulu? Tiga anak laki-laki lahir berderet. Cuma beda satu tahun. Mana bandel semua!" omel Abah yang sontak membuat kami berempat tertawa. Kiyoshi menarik telingaku seakan sedang menjewer. Mungkin dia terkejut mendengar tawaku. Curiga sering diajari mamanya untuk menjewer Bang Fandi. Menjelang pukul 10 pagi, kami sudah bersiap untuk berangkat. Mengenakan pakaian seragam, yang sengaja dibeli khusus oleh Kak Jenny. Kemeja batik lengan pendek berwarna hijau kekuningan dengan motif abstrak. Selera kakakku memang sedikit ajaib. Para perempuan juga mengenakan gaun dengan warna yang sama dengan kami, hanya berbeda motif. Abah memimpin pembacaan doa. Kemudian, rombongan yang dikomando oleh Bang Fandi mulai bergerak memasuki dua mobil SUV yang diparkir di depan rumah. "Loh, kok pakai mobil, Bang? Kan tinggal ngesot lima langkah," tanyaku. "Kita muterin komplek dulu. Biar agak jauhan gitu," jawabnya sambil menaik turunkan alisnya menggodaku. "Udah, penumpang nggak boleh protes," tukas Kak Jenny sambil mendorongku masuk ke pintu sebelah pengemudi. Kemudian kakakku yang menawan itu masuk ke kursi tengah, diikuti oleh Kak Yanti dan Kak Maryam, istri dari Rio dan Dika. Sedangkan kedua bersaudara itu beserta orang tua, memasuki mobil yang dikemudikan oleh Rio. Sepuluh menit kemudian kami sudah sampai di depan rumah Lista. Benar-benar pemborosan bensin. Padahal tinggal jalan sedikit. Beberapa wajah yang kukenal sebagai saudara dari Mas Didi dan Mbak Meli, berdiri menyambut kedatangan kami dengan raut wajah bahagia. Senyumanku mendadak hilang saat melihat sosok Nalia di ujung barisan penyambut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD