Pagi harinya, saat Zul ke rumah sakit, hujan masih sangat deras, membuat jalanan tergenang air. Zul merapatkan jaketnya, untuk mengusir rasa dingin yang seakan menusuk sampai ke tulangnya. Pagi tadi ia menelpon Zulfa, menanyakan jam berapa ibu Zulfa pulang dari rumah sakit, agar ia bisa menjemput. Zulfa mengatakan mereka akan pulang sekitar jam sepuluh.
Zul menemui Zulfa.
"Biaya rumah sakit biar aku yang bayar, Fa." Ujar Zul. Zulfa menatap Zul lalu menganggukan kepalanya. Ia tidak ingin sok menolak, karena pada kenyataannya ia memang membutuhkan bantuan.
"Terimakasih, Pak" jawab Zulfa dengan suara tercekat di tenggorokan menahan rasa harunya.
Zul membayar semua biaya rumah sakit ibu Zulfa, lalu mengantarkan mereka pulang ke rumah Zulfa. Tiba di rumah Zulfa, Zul menatap bangunan rumah kecil yang terbuat dari kayu dan berlantai semen itu. Hujan deras disertai angin yang semakin kencang, seakan ingin merubuhkan bangunan rumah Zulfa.
Setelah mereka di dalam.
"Maaf ya Pak, rumahnya jelek. Silahkan duduk, Pak. Bapak ingin minum apa?" Tawar ibu Zulfa setelah mereka masuk ke dalam rumah.
"Tidak apa, Bu. Saya minta teh hangat saja kalau tidak merepotkan," jawab Zul. Zul bersin beberapa kali, tubuhnya memang terasa meriang, kepalanya juga terasa berat, tapi ia mencoba bertahan. Zulfa langsung membuatkan teh hangat untuk Zul.
"Saya pamit ke kamar ya, Pak" pamit ibu Zulfa.
"Silahkan, Bu" Zul menganggukan kepalanya.
Zulfa kembali dari dapur dengan membawa teh hangat untuk Zul.
"Maaf ya Pak, Bapak jadi sakit karena saya."
"Jangan berkata begitu, Fa. Saya sakit karena tidak tahan cuaca seperti ini. Bukan karena kamu," sahut Zul, pandangannya ke luar jendela kaca yang dibiarkan tetap terutup rapat, hanya hordennya saja yang dibuka oleh Zulfa.
"Kalau Bapak tidak mengantar saya ke sini, Bapak tidak akan kehujanan, dan tidak akan sakit."
"Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Setelah anginnya berhenti saya akan pulang. Kamu bisa tetap di sini sampai ibumu benar-benar sehat. Adik-adikmu tadi ke mana, Fa?"
"Mereka ada di kamar dengan ibu, masih mengantuk katanya, jadi tidur lagi. Bapak sebaiknya istirahat di kamar saja, Pak. Sebentar saya rapikan dulu kamarnya" Zulfa bangkit dari duduknya, ia masuk ke kamar yang pintunya berada di ruang tamu. Sesaat kemudian, Zulfa ke luar dari kamar itu.
"Silahkan, Pak. Kamarnya sudah saya rapikan. Bapak istirahat saja, nanti saat makan siang saya bangunkan," tutur Zulfa.
"Terimakasih, Fa." Zul bangkit dari duduknya, lalu masuk ke dalam kamar yang sudah dirapikan Zulfa, setelah lebih dulu meminum habis teh hangatnya.
Di dalam kamar hanya ada satu ranjang kayu dengan kasur yang sudah tipis sekali dan ada satu lemari kayu dua pintu, hanya itu yang ada di sana. Zul membaringkan tubuhnya, diambilnya selimut yang ada di atas ranjang. Ia menggigil kedinginan, karena itu ia perlu selimut untuk menghangatkan tubuhnya.
Zulfa masuk ke dalam kamar ibunya, ia minta ijin pergi ke warung untuk membeli bahan makanan. Tapi, Ikang yang menyanggupi untuk membelinya.
"Kakak masak nasi saja, biar Ikang yang beli ikan asin dan telur ke warung. Kak Eha yang memetik sayur di samping rumah."
"Kalian tidak ada yang boleh ke luar rumah, hujannya berangin. Di dalam lemari dapur masih ada telur dan ikan asin, kemarin ibu baru belanja, coba kamu lihat Fa," pinta ibunya pada Zulfa.
"Baik, Bu. Yuk Eha bantu kakak," Zulfa menggamit lengan adiknya.
"Ya Kak" Eha mengukuti langkah kakaknya ke luar dari kamar untuk menuju dapur. Ternyata ibu mereka benar, di dapur ada ikan asin, telur, mie instant, sawi dan cabe.
Zulfa memasak nasi, Eha mendadar telur dan menggoreng ikan asin. Terakhir baru memasak mie instant dengan sawi dan cabe.
Setelah semuanya selesai, Zulfa menuju kamar tempat Zul beristirahat, Sementara Eha menyiapkan makan siang mereka di atas tikar yang digelar di ruang tengah.
"Pak, Pak Zul, makan siang dulu Pak," Zulfa menggoyangkan lengan Zul yang tertutup jaketnya. Zul membuka matanya dengan perlahan.
"Sudah waktunya dzuhur, Fa?" Tanya Zul dengan suara serak.
"Belum Pak, makan siang dulu, Pak."
Zul bangun dari berbaringnya, ia berdehem untuk menghilangkan rasa tidak nyaman di tenggorokannya.
"Mari Pak."
"Iya," Zul turun dari atas ranjang, diikutinya langkah Zulfa ke luar dari kamar. Di ruang tengah sudah menunggu ibu dan adik-adik Zulfa.
"Silahkan Pak" ucap ibu Zulfa.
"Terimakasih," Zul duduk di antara Ikang dan Zulfa. Zulfa mengambilkan makan untuk bossnya.
"Adanya cuma ini Pak" kata Zulfa sambil meletakan piring yang sudah berisi nasi beserta lauknya.
"Alhamdulillah, begini juga sudah enak, Fa" sahut Zul.
"Silahkan dimakan, Pak" ibu Zulfa mempersilahkan.
"Terimakasih."
Selesai makan mereka sholat dzuhur bersama dengan diimami oleh Zul. Setelah sholat dzuhur, Zul yang merasa tidak sehat, pamit kembali ke kamar, sedang Zulfa dan Eha masuk ke kamar ibunya, sementara Ikang berbaring di ruang tengah.
"Mang Burhan tadi menelpon, Fa. Katanya jalan menuju kota untuk sementara tidak bisa dilalui."
"Kenapa, Bu?"
"Banyak pohon tumbang ke jalan, dan ada sungai yang meluap, sehingga menggenangi jalan. Ibu rasa sebaiknya, kamu dan Pak Zul kembali ke kota menunggu semuanya aman saja." saran ibu Zulfa.
"Iya, Bu. Pak Zul juga sepertinya kurang enak badan, mungkin belum bisa membawa mobil juga."
"Biar beliau tidur di kamarmu, kamu dan Eha tidur di sini sama ibu."
"Iya, Bu."
****
Malam mulai beranjak, listrik padam sejak mereka tiba di rumah tadi siang. Mereka menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. Setelah sholat isya mereka makan dengan menu sama seperti tadi siang. Zulfa mengantarkan teh hangat ke kamar tempat Zul istirahat.
"Punya minyak angin atau minyak kayu putih, Fa?" tanya Zul yang merasakan pusing di kepalanya.
"Sebentar, Pak." Zulfa ke luar dari kamar Zul, lalu masuk ke kamar ibunya. Tidak berapa lama ia kembali lagi. Dilihatnya Zul memijit kepala.
"Mau saya pijitkan, Pak?" tawar Zulfa, Zul tidak menjawab, tapi ia menurunkan jemari dari keningnya. Zul memejamkan matanya yang terasa sangat berat. Zulfa duduk di tepi ranjang yang biasa ia tiduri bersama Eha. Ujung jemarinya menyentuh kening Zul, ia menarik dengan cepat jemarinya, karena merasakan panas.
"Badan Bapak panas," gumam Zulfa. Zul tidak menjawab, Zulfa bangkit dari duduknya.
"Saya ambil air dan kain untuk mengompres dulu ya, Pak."
Zul tetap tidak menjawab.
Zulfa ke luar dari kamar, lalu menuju dapur untuk mengisi baskom dengan air hangat. Lalu ia masuk ke kamar ibunya untuk mengambil handuk kecil.
"Pak Zul demam, Bu. Aku ingin mengompres keningnya."
"Ya Allah, kasihan sekali Pak Zul. Andai ibu tidak ditabrak, kamu tidak perlu pulang, Fa."
"Tidak apa-apa, Bu. Pak Zul mungkin tidak terbiasa kena hujan, jadi demam."
"Kamu jaga Pak Zul ya, mungkin nanti dia terbangun dan butuh sesuatu"
"Iya, Bu"
Zulfa kembali ke kamar Zul, ia tertegun di ambang pintu, melihat Zul yang terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Ia jadi teringat n****+ yang dibacanya kemarin malam, saat dalam perjalanan pulang. Keadaan mereka sekarang, mirip dengan apa yang terjadi pada Adyt dan Adys.
'Ya Allah, jangan sampai aku mengalami seperti Adys, digerebek lalu di kawin paksa. Kalau prianya muda seperti Adyt, aku tidak akan menolak, tapi pak Zul ini boss tua, lebih tua dari ibuku, apa kata dunia kalau aku dikawin paksa dengan beliau. Tolong kabulkan do'aku ya Allah, aamiin.'
BERSAMBUNG