Andin lebih mempercepat langkah kakinya lantaran ini berita penting yang harus diketahui oleh Bu Rere dan teman-temannya yang lain. Dan sempurna! Pintu ruangan persnya terbuka yang artinya ada orang di dalam sana.
“Pagi!” sapa Andin yang melepas sepatu dan kaos kakinya.
“Pagi, Din! I wanna dance, the music's got me going, ain't nothing that can stop how we move, yeah. Let's break our plans and live just like we're golden,” sahut Tisya yang sudah stand by di depan ponselnya dengan tayangan video Bangtan Boys idolanya.
“Halo, Din. Udah selesai jam kuliahnya? Tumben,” timpal Bu Rere yang sedang mengaduk teh hangat.
“Ada yang mau aku omongin sama kalian berdua,” Andin masuk ke dalam ruangan sambil mendesis.
Andin mengambil duduk tepat di depan Tisya. Sementara itu Bu Rere ikut duduk di samping Andin. “Apa yang mau kamu bicarakan, Din?” tanya Bu Rere yang menyeruput teh hangat buatannya.
“Soal Bu Ulfa yang ini benar-benar tidak bisa dibiarkan,” jawab Andin kesal.
“Haduh, Bu Ulfa lagi Bu Ulfa lagi. Sudah ketebak kalau ia sudah mengancam anggota kita yang lainnya,” sahut Tisya yang masih menatap layar ponselnya dengan asyik.
Andin mengambil ponsel dari tangan Tisya, “Eh Din! Jangan Din! Gue—“
“Sssttt! Kalau orang lagi ngomong, tolong dengerin dulu ya, Tis. Aku di sini bukan tembok, tapi mau memberi informasi penting,” Andin tiba-tiba menjadi keras nadanya.
Bu Rere ikut meletakan teh hangat yang masih berasap itu di atas karpet, Bu Rere telah melihat raut wajah Andin yang dirudung emosi berlebih, enggan membuat Andin makin panas. “Iya, Andin. Kami akan mendengarkan apa yang kamu katakan.”
“Oke, jadi begini. Barusan saja Bu Ulfa masuk ke kelas aku. Awalnya sih hari ini ada kuis untuk penambahan nilai ujian tengah semester a.k.a UTS. Akan tetapi hari ini Bu Ulfa masuk ke kelas dengan caranya yang aneh, tidak membawa buku dan tas sama sekali, tidak seperti biasanya. Lalu, Bu Ulfa tetap mengadakan kuis dong …” jelas Andin dari awal.
Tisya dan Bu Rere hanya mendengarkan Andin berbicara tanpa memotong sedikitpun. Karena dua orang tersebut paham kalau Andin sedang serius, jangan sekali-kali diganggu. Nanti Andin bisa berubah menjadi macan tutul yang sedang mencari daging. Rakus dan penuh emosi. Jadi, Bu Rere dan Tisya pun diam dan memandang kedua mata Andin yang sedang berbicara itu.
Andin terhenti sesaat omongannya, membuat Bu Rere dan Tisya saling pandang. “Lalu, bagaimana, Din?” tanya Bu Rere dengan nada pelan.
“Iya, lantas Bu Ulfa mengadakan kuis seperti biasa di kelasku. Bu Ulfa hanya memberikan satu soal yang mana ketika mahasiswa berhasil menjawab soal itu, nilainya A,” lanjut Andin. “Dan yang lebih mengagetkan lagi, soal yang diberikan Bu Ulfa adalah …” seketika di benak Andin timbul rasa kesal karena ingatannya ketika di kelas itu muncul.
Bu Rere dan Tisya terus memfokuskan pandangan dan pendengarannya hanya ke Andin. Andin cukup menghabiskan waktu selama dua menit sebelum akhirnya ia menjelaskan semuanya. “Hmm, Andin kebiasaan banget kalau ada berita, dia ceritanya potong-potong, kayak di sinetron aja to be continue …” batin Tisya yang ikutan gelisah menanti lanjutan dari Andin.
“Bu Ulfa menugaskan seluruh mahasiswi dan mahasiswa yang ada di kelasku untuk mencari siapa saja orang yang masih tergabung di pers mahasiswa kampus. Bu Ulfa meminta dicarikan nama sedetail mungkin orang-orang di kampus ini yang masih memiliki hubungan dengan pers mahasiswa kampus,” terang Andin sejelas-jelasnya dan membuat Tisya serta Bu Rere geleng-geleng kepala.
“Apa Bu Ulfa gak puas dengan mencatat nama mahasiswa satu fakultas? Dan sekarang satu kampus, loh!” pekik Tisya. Walaupun kecintaan Tisya pada Bangtan Boys begitu besar, namun kecintaannya terhadap pers terutama jiwa-jiwa pahlawannya itu kian besar jua.
“Serius? Dan siapa orang-orang yang masih tersisa, Din? Bukannya sudah sebagian besar anggota kita diancam, ya …” balas Bu Rere.
“Masih ada, Bu …” Andin melirik ke Tisya yang ada di depannya. Rupanya pandangan dari Andin itu membuat Tisya paham bahwa diri mereka berdua sedang dalam pencarian mahasiswa dan mahasiswi yang ditugaskan oleh Bu Ulfa.
“Saya, Bu,” sahut Andin dengan nada pelan.
“Iya, saya pun masih, Bu,” timpal Tisya kemudian.
“Dan saya juga, Bu!” suara laki-laki hadir tepat di depan pintu organisasi pers. Seketika saja Andin dan Tisya terbelalak kaget dengan kedatangan laki-laki itu.
“Aku kira Rezvan …” sahut Tisya yang tebakannya salah.
“Sama … tapi kan kamu—“ Andin membingung. Hayoloh Din, jangan ngang ngong ngang ngong aja.
“Iya, aku pun masih ada di sini. Dan mulai sekarang aku siap membantu tim pers mahasiswa kampus untuk melakukan penyelidikan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen,” tutur Prabu kemudian sambil mengatur napasnya karena kecapekan habis ngejar Andin. Biarpun Andin adalah perempuan, tapi kalau sudah jalan atau berlari, laki-laki pasti kalah, apalagi laki-laki kayak Prabu gini.
Andin beranjak dari duduknya dan pelan-pelan melangkahkan kakinya menghampiri Prabu yang masih di depan pintu. “Kamu lagi, Prab. Aku kan sudah bilang kalau—“
“Kalau aku ingin membantu kamu, dan juga teman-teman kamu di sini, Din. Sesuai dengan keinginanku ketika kita bertemu di koridor kampus, dan kamu menyueki aku,” balas Prabu yang masih mengingat kejadian empat puluh lima menit yang lalu.
“Andin, apa benar kamu menyueki lak-laki ini, yang ingin membantu kita untuk menyelesaikan kasus pelecehan seksual?” tanya Bu Rere lagi yang berada di belakang Andin.
“Bu … bu … bukan seperti itu, Bu. Aku tahu kalau Prabu ini orang yang tidak suka bekerja terlalu ribet dan menghabiskan banyak waktu. Aku sangat sangsi untuk mengajaknya menyelesaikan kasus kita. Kan misi kita ini membutuhkan banyak waktu, pikiran, dan tenaga pastinya,” Andin memberi penjelasan lebih soal prilaku Prabu yang tidak sesuai dengan kriteria anggota pers mahasiswa kampus, apalagi Prabu orang yang gampang ilang-ilangan tanpa alasan.
“Iya, Bu Re. Selain malas dan gak mau repot, Prabu juga suka banget berusaha ngegodain Andin. Jadinya Andin risih, deh,” timpal Tisya yang sepakat dengan pernyataan Andin itu.
“Hmm, benarkah begitu, Nak?” tanya Bu Rere pada Prabu yang masih mematung di depan pintu.
Prabu menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Buktinya saja ketika jadwal praktikum tiba, kamu tidur di paling pojok lab dan bangun ketika praktikum selesai, kan? Praktikum yang kerjaannya hanya tiga jam setengah saja kamu tidur, apalagi ngerjain misi seperti ini? Bisa-bisa mati suri kali kamunya,” tegas Andin yang intinya menolak Prabu untuk bergabung membantunya.
“Din … tidak ada salahnya orang mau membantu kita. Kita justru harus bersenang diri karena dibalik ancaman Bu Ulfa kepada anggota kita yang lain, malah ada laki-laki ini yang tidak takut dan mau membantu kita. Tidak apa-apa Din, kita semua akan saling bekerja sama menuntaskan segala kekesalan kita,” Bu Rere terus merayu Andin. Bu Rere berharap, Andin bisa memahami apa yang ada di dalam kepala Bu Rere.
“Iya sih, kita memang harus senang ketika ada orang yang bersedia membantu. Tapi Bu—“
“Sssst, kata-kata tapinya itu dihilangkan dulu, ya. Sekarang kita harus menerima laki-laki ini untuk bergabung di organisasi kita. Nak, nama kamu siapa?” tanya Bu Ulfa ke Prabu.
Dengan antusiasnya Prabu menjawab, “Prabu Raja Kusuma Wahyu,” sembari Prabu menjulurkan tangannya ke Bu Rere.