Fajar telah menyingsing, menggantikan tugas rembulan menguasai langit. Udara pagi hari ini terasa lebih sejuk bila dibandingkan dengan biasanya. Hujan lebat disertai badai yang terjadi hampir semalaman menjadi penyebab utamanya.
Netra berbulu mata lentik yang terpejam itu mulai mengernyit lalu mengerjap secara perlahan. Menandai bahwa sebentar lagi netra itu akan sepenuhnya terbuka. Nara sedikit mengalami disorientasi saat hazelnya berpendar pada langit-langit kamar. Sejenak merasa kebingungan saat mendapati diri sendiri sudah terbaring di kamar dengan sprei biru kesayangan. Padahal seingatnya ia belum sempat menapaki lantai rumah—bahkan kamar.
“Kenapa aku bisa ada di sini?" gumam Nara tak mengerti sambil mengusap wajahnya. Bahkan ia juga tidak ingat dengan apa yang telah terjadi padanya semalam.
Sekali lagi, Nara memendarkan fokusnya ke sekeliling kamar. Gadis Kim itu tak dapat menahan keterkejutannya saat melihat sosok familiar baginya yang saat ini sedang terbaring lelap di ranjangnya. Lebih tepatnya, di sampingnya berbaring.
“Aaa! Oh Sehun, apa yang kaulakukan di sini?!”
Nara segera bangun dari posisinya dan mendorong tubuh Sehun menjauh. Sesekali ia memukuli tubuh kekar berbalut kaos hitam itu agar bangun dari tidur lelapnya, khususnya dari ranjangnya.
“Dasar m***m! Bangun kau, p*****l!” Nara kembali berteriak sambil memukuli tubuh Sehun lebih keras dari sebelumnya.
Kali ini, Sehun bereaksi dengan terkesiap pelan lalu mengangkat kedua tangannya sebagai tanda proteksi diri. Sehun membulatkan mata terkejut mendapati Nara memukulinya secara brutal.
“Hei, hei, Kim Nara! Tenanglah sebentar!” Dengan susah payah Sehun berusaha menenangkan Nara yang kini mulai semakin brutal memukulinya. Pemuda itu menangkap kedua tangan Nara agar berhenti memukulinya dan mau mendengarkan penjelasannya.
“Kim Nara, dengarkan aku dulu!” Sehun membentak.
Hal itu membuat Nara menghentikan aksinya seketika. d**a gadis itu naik turun dan napasnya terengah. Tatapan yang ia hujamkan pada Sehun menunjukkan betapa terlukanya ia dengan situasi yang sedang dihadapinya bersama pemuda itu sekarang.
Nara berusaha menghempaskan tangan Sehun dari pergelangan tangannya. Namun Sehun justru semakin mengeratkan cengkeramannya sambil menggeram kesal. “Bisakah kau tenang dan dengarkan dulu penjelasanku?” Sehun mangkel. Tatapan tajam yang belum pernah ia tunjukkan pada Nara kini terpancar jelas dari netranya.
Nara bergeming, tapi tatapan penuh luka dan amarah masih terlihat jelas dari hazelnya.
Sehun menghembuskan napas secara perlahan kemudian berujar, “Kita berdua tidak melakukan apa pun yang kau pikirkan, Nara. Kita hanya tidur di ranjang yang sama. Aku sama sekali tidak menyentuhmu—“
“Bohong!” Nara menukas tajam. Nada suaranya bergetar. Air mata meleleh perlahan dari hazelnya saat ia melanjutkan, “Mana mungkin laki-laki m***m sepertimu tidak melakukan apa pun kepadaku—“
“Tapi aku memang tidak melakukan apa pun! Demi Tuhan, Kim Nara aku tidak menodaimu!” Napas Sehun terdengar tak beraturan. Pemuda itu terbawa emosi dan panik rupanya. Sehun panik mendapat tuduhan dari Nara.
“Lalu kenapa kau tidur di ranjangku? Apa yang tejadi? Kenapa aku bisa ada di kamarku padahal semalam seingatku aku belum sempat sampai rumah? Bukankah seharusnya kau sedang bulan madu dengan Ibu? Kenapa kau justru ada di sini?”
Sehun memejamkan mata dan menghembuskan napas lelahnya. Pertanyaan Nara yang bertubi membuatnya pusing harus menjawab yang mana lebih dulu. Namun sebisa mungkin Sehun mencoba bersabar saat menjelaskan, “Bulan madu kami terpaksa berakhir lebih cepat karena Sora ada urusan mendadak di Tokyo. Alhasil aku harus pulang sendiri. Maaf karena kami tidak sempat memberitahumu karena itu benar-benar mendadak. Semalam saat hendak ke minimarket aku menemukanmu pingsan di jalan. Kau kehujanan dan pakaianmu basah. Aku yang membawamu pulang.”
Nara menanggalkan sebelah alisnya, meminta penjelasan lebih. “Lalu?”
Sehun menghembuskan berat saat melanjutkan, “Kau menggigil kedinginan dan terserang demam. Satu-satunya cara untuk menolongmu adalah dengan menggantikan pakaianmu lalu mengompres dahimu agar panasmu turun sambil memastikan kalau tubuhmu akan tetap terasa hangat. Sejak semalam aku bahkan tidak tidur hanya untuk menjagamu. Tapi pada akhirnya aku ketiduran juga di sebelahmu. Maafkan aku karena telah membuatmu berpikiran macam-macam.”
Nara membulatkan mata terkejut. Dari keseluruhan cerita yang ia dengar dari Sehun, ada satu kalimat yang membuatnya nyaris tak bisa berkata-kata. “K-Kau menggantikan pakaianku?” Gadis Kim itu menelan saliva susah payah. “I-Itu artinya kau sudah ... melihat ... semuanya?”
Sehun mengangguk serius. “Semuanya. Tanpa terkecuali. Tapi aku bersumpah aku tidak melakukan hal kotor padamu.”
Nara semakin syok sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Dengan panik ia berujar, “Kenapa kau tidak minta tolong saja pada Bibi Jung? Dia perempuan, kau laki-laki. Kenapa harus kau yang menggantikan pakaianku? Kau sengaja ingin mengintipku? Jangan-jangan kau hendak menjual foto telanjangku ke situs porno maka dari itu kau berani melakukannya? Atau bahkan kau punya niat ingin memperkosa—“
“Berhentilah menuduhku yang tidak-tidak! Bibi Jung sedang ke rumah sakit untuk menemani anaknya yang melahirkan. Apa kau tidak membaca pesan darinya? Dia mengirimimu pesan singkat sebelum pergi semalam.” Sehun mendengus frutrasi. Pemuda itu semakin pusing mendengar tuduhan Nara.
Nara mengerjap pelan lalu menggeleng lemah. “Aku sama sekali tidak memeriksa ponselku.” Sekarang Nara diam seribu bahasa. Membuat desisan sebal keluar dari mulut Sehun.
“Tapi bisa saja kau juga memiliki niat buruk padaku, bukan? Melihat seorang gadis telanjang tidak mungkin tidak membuatmu tergoda. Bagaimanapun kau itu lelaki dewasa dan otakmu juga m***m. Jadi kau pasti—“
“Tidak bisakah kau berpikiran positif tentangku sekali ini saja?” Sehun menukas sedikit tajam. Nara masih saja menatap Sehun dengan tatapan curiga. Membuat Sehun mendengus cukup kasar sambil menahan umpatan di ujung lidah.
“Kalau aku berbuat macam-macam padamu, maka kita tidak berpakaian lengkap seperti ini, Kim Nara,” Sehun mendesis jengkel. “Katakan, apa bagian ‘itu’mu terasa sakit?”
Untuk sepersekian detik, Nara tampak kebingungan mendengar pertanyaan Sehun. Tatapan curiga yang sejak tadi ia tampilkan menghilang entah kemana. Sungguh, Nara tidak tahu bagian tubuh mana yang dimaksud oleh pemuda itu. Namun, ia merasakan bahwa setiap jengkal tubuhnya baik-baik saja. Tidak ada yang terasa sakit sama sekali.
“Ya Tuhan, Kim Nara! Jangan bilang kau tidak tahu bagian mana yang kumaksud?” Sehun gantian memicing curiga. Lelaki itu tampak frustrasi melihat raut tak mengerti yang sedang ditampilkan oleh Nara.
Sehun menghela napas berat sambil memejamkan kedua matanya erat, berusaha menahan rasa kesal yang mulai menggerogoti hatinya. Pemuda itu menggelengkan kepalanya tak percaya lalu menyugar pelan rambutnya. Ia tekekeh sumbang kemudian kembali memusatkan atensinya pada gadis remaja di hadapannya. “Kau benar-benar polos, ya rupanya? Haruskah aku mengatakannya dengan jelas agar kau mengerti?”
Nara masih saja bertahan dengan wajah polos tak mengertinya. Gadis itu benar-benar bingung. Bahkan, saat Sehun mendekatkan wajahnya, Nara masih bergeming. Ia masih terseret ke dalam rasa bingung sekaligus penasarannya.
Sehun berbicara dengan nada suara rendah, “Yang kumaksud itu adalah ....” Sehun melirik ke bawah sebentar. Membuat Nara ikut menunduk lalu menatap Sehun bertanya-tanya. Pemuda pucat itu menyeringai saat berkata, “... selangkanganmu.”
Pupil Nara sontak melebar. Mulutnya menganga sempurna seiring dengan munculnya rona merah di pipinya. Nara tampak syok. Berbeda dengan Sehun yang saat ini justru terbahak dengan sangat keras melihat reaksi gadis itu.
Beberapa saat kemudian, Nara pun pulih dari syok yang menderanya. Dengan geram gadis itu kembali memukuli Sehun.
“Dasar b******k! Sialan! Berani-beraninya kau mengucapkan hal vulgar seperti itu padaku! Dasar m***m!”
Bukannya merasa kesakitan, Sehun justru semakin asyik tertawa dan semakin gencar menggoda Nara. Membuat Nara kian kesal dan tak segan-segan memukul Sehun dengan bantal, tetapi tidak mengurangi kekuatan yang ia gunakan untuk menyerang pemuda itu. Sungguh, Nara benar-benar merasa malu.
“Kau masih bisa memukuliku seperti itu berarti selangkanganmu baik-baik saja, ‘kan? Itu artinya kau masih suci. Aku sama sekali tidak menidurimu,” Sehun berujar di sela tawanya.
“Masa bodoh dengan s**********n! Aku hanya ingin membunuhmu sekarang juga!”
“Hei, kau tidak mau berangkat ke sekolah?”
Teriakan Sehun yang menyebut kata ‘sekolah’ seketika membuat Nara menghentikan aksinya. Nara membulatkan matanya panik lalu melihat ke arah jam dinding. Kepanikan kian melandanya saat melihat bahwa waktunya hanya tersisa sepuluh menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Namun seketika rautnya mendadak pias. Gadis itu sudah kehilangan harapan.
“Sudah terlambat,” desahnya lesu. Nara mengalihkan pandangannya dari jam dinding. Gadis Kim itu hanya bisa menunduk pasrah. “Percuma saja aku memaksakan diri untuk berangkat. Ujung-ujungnya aku tidak akan diperbolehkan untuk masuk kelas kemudian aku akan dihukum.”
“Kalau begitu tidak usah masuk saja. Kau kan sedang sakit.”
Kata-kata santai yang Sehun muntahkan membuat Nara menoleh cepat padanya. Hazelnya membulat takjub. “Benar juga katamu! Semalam aku demam walaupun sekarang aku sudah tidak apa-apa. Kurasa itu bisa jadi alasan, bukan? Lagi pula, aku juga sedang malas pergi ke sekolah.” Nara tersenyum kecut di akhir kalimatnya. Membuat Sehun menautkan alis penasaran.
“Kenapa kau masih di sini? Sana keluar! Aku mau mandi jadi kau tidak boleh ada di kamarku.” Nara kembali bersikap ketus pada Sehun. Tak hanya itu, raut dingin tak pelak menghiasi wajah cantiknya. Membuat Sehun yang tadinya sibuk melamun kini mulai kembali memusatkan atensinya secara penuh pada gadis berkulit putih itu.
Sehun menyunggingkan senyum miringnya. Ia mengangkat bahu tak acuh. “Mandi saja sana! Toh aku sudah pernah melihat tubuhmu tanpa sehelai benang pun. Dadamu rata dan bentuk tubuhmu juga tidak seksi. Jadi aku tidak mungkin tergoda padamu.” Sehun bisa melihat kalau wajah Nara memerah karena malu dan marah sekarang. Sambil menahan senyum geli ia melanjutkan, “Aku ayah tirimu, jadi aku tidak akan meniduri putriku.”
“Bullshit!” Nara bergerak lagi untuk memukuli Sehun seperti sebelumnya. Kali ini berbagai macam umpatan kembali ia rapalkan demi menyalurkan rasa kesalnya pada pemuda di atas ranjangnya itu. Namun, kali ini Sehun hanya bergeming. Pemuda itu sama sekali tidak berniat untuk mengelak atau bahkan tertawa mengejek seperti yang ia lakukan sebelumnya. Sebaliknya, ia seperti menahan sesuatu yang membuat wajahnya sedikit memucat.
“Aku tidak suka jika kau menyebut dirimu sebagai ayahku. Jadi jangan pernah kau menganggap dirimu sendiri sebagai ayahku sekalipun hanya ayah tiri! Aku benci padamu dan aku tidak sudi punya ayah tiri seperti dirimu!” Nara memuntahkan kata-katanya sambil mendorong tubuh Sehun agar bangkit dari ranjangnya.
“Cepat pergi dari kamarku!”
Sehun masih bergeming. Membuat Nara frustrasi sekaligus jengkel melihatnya. Nara pun berinisiatif bangkit dari ranjang dan menarik tangan Sehun supaya enyah dari keempukan kasurnya. Tetapi Nara langsung terkejut saat mendapati suhu tubuh Sehun yang terasa membakar telapak tangannya. Tak hanya itu, wajah Sehun yang mendadak pucat juga membuat Nara panik.
“Sehun, kau kenapa? Kau sakit?”
Tatapan Sehun terlihat begitu sayu. Sebelum sempat menjawab, Sehun sudah lebih dulu memejamkan mata. Tak lama setelah itu, punggungnya menyapa keempukan ranjang bersprei biru milik Nara dan ia tak sadarkan diri di sana. Membuat Nara berteriak panik sambil memanggil namanya.
*****
“Semalam aku kehujanan lalu demam, tapi sekarang aku sudah baik-baik saja, Jae.”
Nara tersenyum menenangkan pada Jaehyun yang sedang mendengarkan suaranya di ujung sambungan. Saat ini adalah jam makan siang. Jaehyun menghubungi Nara untuk menanyakan perihal ketidak hadirannya ke sekolah hari ini. Dari nada suaranya, Jaehyun terdengar sangat khawatir. Karena itu, Nara berusaha menenangkan sang sahabat agar tidak terlalu mencemaskannya. Well, ia paham betul kenapa Jaehyun bersikap begitu. Semalam pemuda itu membiarkan Nara pulang sendirian. Pantas jika sekarang Jaehyun merasa takut sesuatu yang buruk menimpa Nara, bukan?
“Kalau kau memang baik-baik saja, kenapa kau tidak masuk sekolah?” Lagi-lagi nada khawatir tersemat jelas dalam setiap untaian kata yang Jaehyun lontarkan. Membuat Nara meringis karena merasa tak enak hati pada sahabat tersayang.
“Aku terlambat bangun. Selain itu,” Nara melirik pada objek tampan yang kini sedang terlelap di atas ranjangnya. Pada dahi pemuda itu tertempel sebuah kompres yang sedang bekerja menurunkan demam yang menyerangnya. “aku juga sedang menjaga Sehun. Dia demam. Bibi Jung sedang keluar sejak semalam. Jadi aku—“
“Tunggu sebentar!” Jaehyun menyela cepat. “Bukankah Sehun dan ibumu sedang bulan madu? Kaubilang mereka akan berbulan madu selama empat hari, bukan? Lalu, bagaimana bisa kalian hampir sakit pada waktu yang sama?”
Nara memijat pangkal hidungnya pelan. Sepertinya gadis itu merasa pusing mendengar pertanyaan bertubi yang Jaehyun ajukan pada dirinya. “Ibu ada urusan mendadak di Tokyo, maka dari itu bulan madu mereka harus berakhir cepat. Semalam saat aku kehujanan Sehun-lah yang menolongku. Sepertinya karena merawatku semalaman ia jadi tidak memperhatikan dirinya sendiri. Maka dari itu ia ikut jatuh sakit sekarang.”
Jaehyun menggumam pelan sebagai respon. Namun, setelah beberapa saat pemuda itu tak lagi berkata-kata. Jaehyun terdiam di ujung sambungan. Hal itu membuat Nara kebingungan. Nara menjauhkan ponselnya dari telinga guna memastikan apakah panggilan masih tersambung atau tidak. Rupanya masih tersambung. Nara mengernyit heran lalu kembali menempelkan ponsel ke telinganya. “Jae, kau masih di sana?” tanyanya ragu.
“Eh? Oh, ya. Aku masih di sini, Nara.”
“Kenapa tadi kau mendadak diam? Ada apa?”
Jaehyun terkekeh sumbang. Membuat kerutan tajam di dahi Nara kian bertambah.
“Aku hanya heran saja,” desahnya. “Kenapa setiap aku meninggalkanmu sendirian, pasti kesialan datang menimpamu. Anehnya, setiap itu terjadi pasti Sehun-lah yang datang untuk menyelamatkanmu. Entahlah, tapi aku sedikit merasa takjub akan hal itu.”
Perkataan Jaehyun membuat Nara terkesiap pelan. Gadis itu melirik pada Sehun yang matanya masih setia terpejam serta napasnya masih terlihat beraturan. Kata-kata yang Jaehyun muntahkan rupanya membuat Nara tersadar akan suatu hal. Benar juga, batinnya sedikit takjub.
“Nara?”
Panggilan Jaehyun membuat Nara terhenyak seketika. Dengan sedikit gelagapan Nara menjawab, “Y-Ya?”
“Sudah waktunya masuk kelas. Aku tutup dulu, ya?”
“O-Oh, baiklah.”
“Oh ya, berarti nanti sore kau tidak bisa menonton pertandingan kami, ya? Kau harus menjaga Sehun, bukan?”
Seketika Nara menepuk jidatnya. Matanya membulat sempurna ketika menyadari arti kata-kata Jaehyun barusan. “Hari ini pertandingannya? Astaga, aku hampir saja lupa jika kau tidak mengingatkanku!” Nara menoleh cepat pada Sehun. Tak lama kemudian, hembusan napas lesu lolos begitu saja dari mulutnya. Dengan nada menyesal Nara melanjutkan, “Kau benar. Aku harus menjaga Sehun sampai dia benar-benar sembuh nanti. Padahal aku ingin sekali menonton pertandingan kalian. Bagaimana ini?”
Jaehyun terkekeh. “Tidak apa-apa. Kau rawat saja Sehun. Kasihan dia. Dia juga bagian dari keluargamu sekarang, jadi kau harus peduli juga padanya walaupun faktanya kau membencinya. Kau tenang saja, aku akan meminta Yeri untuk merekam pertandingannya atau kalau perlu menghubungimu lewat video call agar kau tetap bisa menonton. Bagaimana?”
Nara berbinar lalu mengangguk senang. “Call!”
“Call!”
“Ya sudah, kau masuk saja sa—“
“Tunggu sebentar! Kau tidak ingin titip salam pada Mingyu atau mungkin mengatakan sesuatu padanya?”
Deg!
Mendengar nama Mingyu disebut membuat d**a Nara terasa nyeri. Ingatan mengenai kejadian yang tak sengaja ia lihat semalam kembali memenuhi otaknya. Padahal sejak tadi Nara sudah tidak lagi mengingatnya. Kejadian tadi pagi membuat peristiwa itu terkubur dalam-dalam di memorinya. Tanpa sadar Gadis Kim itu mengepalkan tangan di atas pangkuan. Ia sedikit merutuki ketidaksengajaan Jaehyun yang membahas perihal kekasih hatinya.
“Sejak tadi Mingyu bingung mencarimu. Ponselnya ketinggalan jadi ia tidak bisa menghubungimu. Tadi pagi dia ke rumahmu tapi dia bilang rumahmu tampak sepi. Mingyu kira kau sudah pergi ke sekolah sendiri. Maka dari itu dia panik saat tidak melihatmu di sekolah.”
Kepalan tangan Nara menguat tanpa sadar. Hatinya kian terasa sesak, tapi ada perasaan hangat yang ikut menjalari benaknya. Perhatian Mingyu masih sama bahkan setelah adanya kejadian semalam. Apakah itu artinya yang ia lihat tadi malam hanyalah kesalahpahaman semata?
“Eum, sampaikan saja padanya agar tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. Bermainlah dengan baik dan bawalah kemenangan bagi sekolah kita. Kalian harus berjuang sampai akhir, ya!”
“Terima kasih! Aku janji akan membawa kemenangan bagi tim sekolah kita. Akan kusampaikan juga kata-katamu pada Mingyu. Kau jangan sampai sakit lagi, ya! Dah!”
“Dah!”
Nara menghembuskan napas perlahan usai mengakhiri panggilannya dengan Jaehyun. Benaknya kembali dipenuhi oleh kemesraan antara Mingyu dan Haesang. Lagi-lagi Nara merasa tertohok oleh ingatan akan hal itu. Gadis itu memejamkan matanya erat-erat lalu menggeleng keras. Lupakan, Kim Nara! Lupakan! Benar, Nara tidak boleh mengingatnya terus-menerus atau dia akan merasa sakit hati. Belum tentu juga apa yang ia lihat adalah apa yang ia pikirkan, bukan? Bisa saja ia hanya salah paham.
Tapi, bagaimana jika itu semua memang benar bahwa Mingyu telah berselingkuh? Lalu bagaimana dengan perhatian yang masih ditunjukkan oleh pemuda itu pada dirinya? Apakah itu palsu atau sungguh-sungguh?
“Eungh ....”
Lenguhan pelan menyapa gendang telinga Nara saat ia sedang sibuk melamun. Membuatnya seketika itu juga menoleh pada asal suara. Gadis itu terkesiap pelan saat mendapati bahwa mata Sehun sudah tak lagi terpejam. Pemuda itu tampak mengerjap kebingungan.
Dengan sigap Nara mendekat ke ranjang dan bertanya, “Kau sudah baikan?”
Sehun menoleh pada Nara yang menatapnya penuh minat. Ia kebingungan. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara parau khas bangun tidur. Sepertinya pemuda itu tak ingat dengan apa yang menimpa dirinya beberapa saat lalu.
“Kau demam lalu jatuh pingsan,” Nara berucap datar. Kerutan di dahi Sehun semakin terlihat jelas setelah mendengar penjelasan gadis itu. Nara mendengus sedikit kasar lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil kompres di dahi Sehun. Menggantikannya dengan tangan sendiri untuk memeriksa suhu badan pemuda jangkung itu.
Sehun tampak begitu terkejut saat kulit punggung tangan Nara menyapa dahi mulusnya. Dengan sedikit panik pemuda itu sedikit menjauh hanya satu detik setelah kelembutan itu mendarat di dahinya. Membuat Nara giliran merasa heran dengan tingkah lakunya.
“Apa yang kau lakukan?!” tanya Sehun dengan nada panik yang mendominasi. Tak hanya raut wajahnya, nada suara pemuda itu juga menujukkan hal serupa.
Nara menautkan alisnya tak mengerti. “Aku hanya ingin memeriksa suhu tubuhmu. Kenapa kau jadi panik begitu?” Nara hendak menyentuh dahi Sehun lagi, tapi pemuda itu dengan sigap menghindar.
“Tidak, tidak! Jangan menyentuhku!” Sehun menatap Nara waspada seolah-olah gadis itu hendak melukainya.
Nara semakin merasa bingung mendapati reaksi berlebihan yang Sehun tunjukkan. Sungguh, tatapan Sehun pada dirinya membuat Nara merasa seperti seorang penjahat atau seseorang yang sedang mengidap penyakit menular menjijikkan.
“Kau ini kenapa sih?! Aku ‘kan hanya ingin memastikan bahwa apakah kau baik-baik saja atau tidak.”
“Kalau kau menyentuhku justru aku akan merasa tidak baik-baik saja, Kim Nara!” Sehun mengerang frustrasi. “Bahkan kau juga yang menyebabkan aku demam seperti ini. Kau membuatku harus mandi air dingin selama tiga jam padahal—“
“Kenapa juga kau harus mandi air dingin setelah kehujanan seperti itu?!” sembur Nara penuh amarah. Dadanya naik-turun karena emosi. “Setelah kehujanan itu harusnya kau mandi air hangat, bukannya mandi air dingin. Dan apa tadi kau bilang? Kau bahkan mandi selama tiga jam?! Astaga, Oh Sehun di mana akal sehatmu?! Kau mahasiswa jenius di kampus, tapi kenapa kau—“
“Justru karena kau-lah aku mandi air dingin, Kim Nara!” tukas Sehun tak kalah emosi. “Melihatmu dalam keadaan seperti ‘itu’ membuatku mau tidak mau harus mandi air dingin.”
“Melihatku dalam keadaan seperti apa yang kau maksud, hah?! Katakan yang jelas!”
“Melihatmu dalam keadaan te—“ Tiba-tiba saja Sehun mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Membuat kalimat yang tadinya hendak ia muntahkan menjadi rumpang. Matanya membulat sempurna. Sehun berubah gugup. Oh, sepertinya ia hampir saja kelepasan bicara.
“Apa? Ayo lanjutkan!” ujar Nara dengan nada menantang. Gadis itu benar-benar ingin tahu perihal apa yang menjadi alasan di balik kalimat-kalimat yang dilontarkan Sehun kepada dirinya.
“Ah, sudahlah! Itu tidak penting. Yang jelas kau harus merawatku sekarang karena aku masih sakit.” Sehun kembali berbaring di ranjang. Berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran tentang Sora dan Nara yang membuat kepalanya terasa akan pecah. “Buatkan aku makanan agar aku bisa minum obat dan lekas sembuh!”
Nara melongo. Sedetik kemudian gadis itu justru menjadi geram oleh sikap tak tahu malu yang Sehun tampilkan. Beberapa saat lalu Sehun masih sanggup meneriakinya dan kini bisa-bisanya pemuda itu minta dibuatkan makanan agar bisa minum obat? Sebenarnya Sehun masih sakit atau tidak sih?!
“Kau yakin masih sakit? Bahkan setelah kau berteriak seperti tadi?” Nara menggeleng tak percaya lalu mendecih sinis. Tatapan setajam belati ia hunuskan pada objek tampan tak tahu malu yang kini berbaring santai di ranjang empuknya.
Sehun memejamkan kedua matanya sambil mendesah berat. “Bisa tidak kau menuruti keinginanku saja tanpa perlu bertanya macam-macam? Aku sudah lelah berdebat denganmu. Jadi kumohon, jangan membantah sekali ini saja. Bisa?” Sehun kembali memfokuskan netranya pada Nara yang masih menatapnya sebal sambil melipat kedua tangan di depan d**a.
Nara memutar bola matanya malas. “Iya, iya akan aku buatkan. Tapi nanti jika kau sakit perut atau bahkan mati keracunan jangan salahkan aku!” Nara mulai beranjak dari tempatnya berdiri kini.
Namun, belum sampai lima langkah ia berjalan Sehun sudah lebih dulu menginterupsinya dengan sebuah pertanyaan. “Hei, apa maksud kalimat terakhirmu?! Kau berniat meracuniku?” Tatapan Sehun begitu horor. Membuat Nara tersenyum miring melihat raut ketakutan yang tercetak jelas di wajah rupawan nan menyebalkan itu.
“Aku tidak perlu repot-repot meracunimu. Makan masakanku saja pasti sudah bisa membuatmu seperti orang keracunan. Aku sama sekali tidak bisa memasak, asal kau tahu saja. Jadi aku yakin kau pasti bukannya sembuh tapi justu semakin sakit jika makan masakan buatanku.” Nara kembali mendengus sambil bersedekap.
Sehun menghela napas frustrasi. Pemuda itu menatap Nara nanar lalu mengacak surai acak-acakannya menjadi semakin berantakan. “Kau itu sebenarnya perempuan atau bukan? Masak bubur saja kau bahkan tidak bisa?”
Nara mengangkat bahu tak acuh. “Mau bagaimana lagi? Aku memang tidak bisa memasak sama sekali.”
Sehun kembali mendengus frustrasi kemudian bangkit dari ranjang dengan sedikit kepayahan. Nara mengernyit heran saat Sehun mulai melangkahkan tungkai mendekati pintu kamar. Gadis itu beranjak mengekori Sehun.
“Kau mau ke mana?” tanya Nara penasaran. Tangan rampingnya menarik ujung lengan kaos yang Sehun kenakan.
Sehun mendelik melihat tangan Nara di ujung kaosnya. Secepat kilat pemuda itu mengibaskan lengannya agar tangan Nara menyingkir dari sana. “Aku mau membuat bubur untuk diriku sendiri.” Sehun buru-buru enyah dari kamar bernuansa biru itu. Berusaha sebisa mungkin menghindari anak tirinya.
Nara langsung membulatkan mata tak percaya. “Tapi kau kan ....”
Tangan Sehun terhenti di kenop pintu. Tinggal memutar ke bawah, Sehun sudah bisa keluar dari kamar itu. Akan tetapi tangannya tak kunjung bergerak. Kepalanya justru tertoleh pada Nara yang sedang menatapnya tak percaya.
"Kenapa? Aku lapar dan harus minum obat. Karena kau sama sekali tidak bisa membantuku, berarti aku harus berusaha sendiri. Lebih baik menahan rasa sakit daripada menahan rasa lapar. Aku masih terlalu muda untuk mati kelaparan."
Kali ini Sehun benar-benar memutar kenop dan langsung keluar begitu pintu itu terbuka. Meninggalkan Nara yang saat ini merengut sebal mendengar sindiran halus yang dilemparkannya pada gadis itu.
Rupanya, sindiran itu tak lantas membuat Nara merasa tak acuh pada Sehun. Sebaliknya, gadis itu kini mulai melangkahkan kaki keluar dari kamarnya menyusul pemuda berkulit pucat itu. Paling tidak ia harus membantu Sehun di dapur walaupun ia tidak bisa memasak. Anggap saja sebagai bentuk balas budinya sekaligus rasa pedulinya pada pemuda jangkung itu.
*****
Sehun tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Yang jelas, hari sudah gelap dan keadaan begitu sunyi. Pemuda itu melirik pada jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul 03.00 dini hari. Ternyata cukup lama juga ia tertidur. Merasa ingin buang air kecil, Sehun pun bangun dari posisi berbaringnya guna bangkit dari ranjang dan pergi ke kamar mandi.
Sehun baru saja keluar dari kamar mandi saat ia mendengar suara pintu kamarnya digedor dengan cukup keras. Sambil setengah menggerutu dan menyeret tungkainya, Sehun menghampiri pintu lalu membukanya cukup lebar.
"Ada ap—" Namun kata-katanya terhenti saat melihat wajah Nara yang bersimbah air mata. Wajah Sehun menjadi panik. "Kau kenapa?"
Tanpa disangka, Nara menerjang tubuh Sehun dengan sebuah pelukan erat. Membuat Sehun membeku untuk beberapa saat. Jantungnya yang berulah menyebabkannya semakin mati gaya. Nara menangis keras di d**a bidangnya. Bahkan tangisnya terdengar pilu menyayat hati.
Di tengah rasa gugupnya yang mendominasi, rasa panik dan penasaran juga masih dapat ia rasakan. Maka ia pun mengulurkan tangan untuk membalas pelukan Nara pada tubuhnya. Namun belum sempat ia melingkarkan tangannya ke sekeliling tubuh Nara, gadis itu sudah lebih dulu menarik diri.
"Ibu, Sehun. Ibu ...."
Deg!
Mendengar Nara menyebut Sora dalam isak tangisnya membuat Sehun dirundung perasaan cemas. Entah kenapa saat ini ia merasa takut. Perasaanya campur aduk. Firasatnya berkata bahwa ada yang tidak beres terjadi pada Sora.
Sehun hendak bertanya perihal apa yang terjadi pada istrinya saat Nara sudah lebih dulu mengatakan sesuatu yang membuat nyawa Sehun seolah diambil dari raganya.
"Ibu mengalami kecelakaan parah di Tokyo."