Nara dan Yeri pergi ke rumah Mingyu guna menjenguknya. Nara mengetuk pelan pintu rumah Mingyu. Di sampingnya, Yeri membawa buah-buahan yang tadi mereka beli dalam perjalanan menuju kediaman kekasih Nara itu. Sambutan hangat dari Bibi Song—asisten rumah tangga Mingyu— adalah hal yang pertama mereka dapatkan ketika pintu berpelitur cokelat itu terbuka. Dengan sopan Nara dan Yeri menjelaskan keperluan mereka datang ke sana.
"Oh, mari saya antar ke kamar Tuan Muda, Nona!" Bibi Song berujar. Wanita paruh baya bertubuh mungil itu mempersilakan Nara dan Yeri masuk lalu menggiring mereka ke kamar Mingyu. Nara dan Yeri menurut.
Ini adalah pertama kalinya bagi Nara berkunjung ke rumah Mingyu. Sudah hampir sebulan mereka berpacaran, tapi baru kali ini Nara menginjakkan kaki di rumah bergaya minimalis itu sekaligus masuk ke kamar kekasihnya. Tiba-tiba saja pipi Nara merona. Selain Jaehyun, Nara sama sekali belum pernah masuk ke dalam kamar anak laki-laki. Oh, pantaskah jika Nara merasa gugup saat ini?
"Kebetulan Nona Haesang juga masih berada di kamar Tuan Muda," Bibi Song melanjutkan ketika mereka sudah menapaki anak tangga.
Perkataan Bibi Song seketika mengundang kerutan dalam di dahi Nara. Haesang? Siapa itu? Apakah dia kakak Mingyu? Tapi bukankah Mingyu tidak memiliki kakak apalagi kakak perempuan?
"Haesang ... Shin Haesang?!" Yeri bertanya pada Bibi Song. Raut dan nada suaranya menunjukkan keterkejutan luar biasa. Membuat Nara semakin penasaran melihatnya.
Bibi Song mengangguk. "Benar, Nona. Nona Shin Haesang juga datang untuk menjenguk Tuan Muda."
Yeri tampak syok. Tanpa sadar, gadis itu memelankan langkah. Ia melirik Nara tak enak. Bingung, Nara pun ikut mengurangi kecepatannya dalam melangkah. Tangannya menyentuh bahu Yeri khawatir.
"Ada apa, Yeri? Kau kenal dengan gadis bernama Haesang itu?" Nara bertanya penasaran. Tiba-tiba perasaannya menjadi tak enak ketika melihat raut tak terbaca yang ditunjukkan oleh sang sahabat.
"Kamarnya di sebelah sini, Nona." Bibi Song berujar sambil menunjuk salah satu pintu kamar di mana ia sedang berdiri di depannya.
Dengan sedikit terpaksa, Nara mengalihkan fokusnya pada Bibi Song. Gadis itu menarik salah satu sudut bibirnya seraya membalas, "Ah, baiklah. Terima kasih telah mengantar kami, Bibi."
Bibi Song mengangguk. "Kalau begitu saya tinggal dulu, Nona."
Nara mengangguk. Bibi Song pun melenggang pergi dari hadapan Nara dan Yeri yang saat ini masih saja terdiam di depan kamar Mingyu. Sekali lagi, Nara mencoba bertanya pada Yeri perihal keterkejutannya terhadap sosok Haesang. Ia mengguncang bahu Yeri pelan.
"Yeri, kau kenapa sebenarnya? Siapa Haesang? Kenapa kau sampai terkejut seperti itu?"
Yeri menatap Nara lama dalam diam. Gadis Kim itu menelan salivanya susah payah kemudian berujar, "Nara, Haesang itu—"
"Kim Yeri, kau di sini?"
Sebuah suara feminin mengalun lembut menyapa rungu Nara dan Yeri. Membuat kedua gadis bermarga Kim itu menoleh. Nara mengernyit heran saat mendapati seorang gadis cantik sebayanya sedang berdiri di depan pintu kamar Mingyu. Rupanya gadis itu baru saja keluar dari sana, tapi Nara dan Yeri terlambat menyadarinya.
"Eh, h-hai Shin Haesang!" Yeri membalas dengan canggung. Membuat Nara akhirnya paham sepenuhnya bahwa gadis bersurai hitam dan bermata bulat yang ada di hadapannya itu adalah seseorang yang sejak tadi menjadi sumber rasa penasarannya.
Haesang tersenyum. Sekilas senyumnya tampak manis dan tulus. Namun Nara merasa ada kesan dingin dan angkuh di dalamnya. Entahlah, tiba-tiba saja Nara merasa begitu. Ia juga tidak tahu apa penyebabnya.
"Dia siapa?" Haesang bertanya sambil menggerakkan manik matanya mengamati penampilan Nara dari ujung rambut sampai ujung kaki. Membuat Nara risih dan membuang muka.
Yeri terkesiap. Ia tampak tergagap saat menjelaskan, "Di-Dia adalah Kim Nara. Kekasih barunya Mingyu. Kami satu sekolah."
"Oh, kekasih barunya Mingyu?" Haesang bicara dengan nada yang seolah meremehkan. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Lantas dengan lancang gadis cantik itu kembali menelanjangi Nara dengan tatapan tajamnya kemudian tersenyum. Haesang mengulurkan tangannya pada Nara.
Nara memusatkan atensinya pada wajah dan tangan Haesang secara bergantian. Walaupun merasa sedikit ragu dan canggung, ia membalas uluran tangan ramping itu sambil mengembangkan senyum terbaiknya. "Kim Nara," ucapnya pelan.
Haesang tersenyum semakin lebar. "Aku Shin Haesang, teman satu SMP Yeri dan Mingyu."
Nara menggumam pelan sebagai respon. Pantas saja Yeri mengenal gadis ini, batinnya. Ia sudah tahu sejak awal kalau Yeri dan Mingyu adalah teman satu sekolah saat SMP. Walaupun Yeri dan Mingyu tidak dekat, hubungan di antara keduanya sangat baik. Bahkan karena Yeri juga lah Nara dan Mingyu bisa saling mengenal. Apalagi sejak Mingyu dekat dengan Jaehyun yang notabenenya adalah sahabatnya, peluang Nara dan Mingyu dekat menjadi lebih besar hingga akhirnya mereka bisa menjalin hubungan seperti sekarang.
Nara hendak menarik tangannya saat tiba-tiba Haesang kembali berujar, "Aku juga mantan kekasih dan cinta pertama Mingyu."
Tubuh Nara mendadak kaku saat mendengar penuturan Haesang. Nara menatap Haesang dengan raut terkejut yang sedikit ia samarkan. Tanpa sadar gadis itu meremas tangan Haesang lebih kencang dari sebelumnya.
Reaksi Nara rupanya membuat Haesang menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Sekilas senyumnya tampak seperti seringaian. Gadis itu lantas menarik tangannya yang masih digenggam oleh Nara dengan sedikit paksa. Membuat Nara terkesiap lalu menggumamkan permintaan maaf.
"Tidak apa, Nara." Haesang mengibaskan tangannya sambil sesekali tertawa kecil. Sedetik kemudian gadis itu terkesiap. "Hm, kalian pasti ingin menjenguk Mingyu, bukan? Kalau begitu masuklah! Aku sudah selesai dan baru akan pulang. Jadi ... sampai jumpa!"
Nara masih tenggelam dalam keterkejutannya, jadi pada akhirnya hanya Yeri lah yang merespon perkataan Haesang. "Oh, kalau begitu kami masuk dulu. Hati-hati dan sampai jumpa, Haesang!" Yeri menyikut lengan Nara, membuat Nara tersadar dari lamunannya dan tampak linglung. Beruntungnya, ia langsung paham saat Yeri mengarahkan pandanganya kepada Haesang.
"Ah, ya. Sampai jumpa, Haesang!" gumam Nara sedikit gugup. Haesang terkekeh pelan lalu mengangguk.
"Senang bertemu denganmu, Nara."
Nara mengulum senyum. "Senang bertemu denganmu juga, Haesang."
Haesang tersenyum lalu melangkahkan flat shoes-nya me jauhi kamar Mingyu. Meninggalkan Nara dan Yeri yang masih terdiam sambil memperhatikan punggungnya yang menjauh.
Yeri adalah orang pertama menarik diri dari punggung Haesang. Gadis itu menghembuskan napas pelan lalu menoleh pada Nara. Disentuhnya pelan bahu sang sahabat. "Nara, kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
Nara terkesiap dan menatap Yeri, bertanya. Namun sedetik kemudian ia tersadar sepenuhnya dan tersenyum cukup lebar. "Aku tidak apa-apa. Hm, ayo kita masuk!"
Sambil berusaha tersenyum Nara menarik tangan Yeri untuk masuk ke kamar Mingyu. Membuat sahabatnya itu hanya mampu menghembuskan napas prihatin melihat sikap berusaha tegar yang sedang ia tampilkan.
*****
“Kalau kau memang menyukainya, maka kau harus percaya padanya.” Begitulah komentar Jaehyun pada masalah yang sedang dihadapi oleh Nara yang merasa curiga kalau Mingyu masih ada perasaan terhadap Haesang.
Hari masih pagi dan kegiatan belajar mengajar baru akan dimulai sepuluh menit lagi. Tiba-tiba Nara langsung mencurahkan kegundahannya sejak semalam pada Jaehyun begitu ia menginjakkan kaki di kelas. Nara merasa kalau ia harus berbagi pikiran dengan orang lain dan orang tepat adalah Jaehyun, sahabatnya sendiri. Sosok dan pemikiran Jaehyun sudah jauh lebih dewasa daripada Nara dan biasanya saran ataupun pendapat pemuda itu sangat membantu. Maka dari itu, Nara suka sekali mencurahkan semuanya pada sang sahabat sedari kecil.
Jaehyun menutup buku Sejarah yang sedang ia pelajari kemudian memfokuskan netranya pada Nara. Gadis itu rautnya tampak pias. Jaehyun menghela napas pelan seraya menepuk pelan bahu Nara yang melorot lesu. “Percayalah, pada Mingyu! Aku yakin dia akan tetap berada di sisimu. Kalaupun tidak, maka aku akan bersiap untuk menghajarnya sampai tulang-tulangnya remuk.”
Nara menoleh cepat pada Jaehyun sambil merengut kesal. Dengan cukup keras gadis itu melayangkan tinjunya pada lengan Jaehyun. Membuat pemuda tampan itu justru terkekeh karenanya.
“Astaga, Jaehyun kau kejam sekali! Jangan lukai dia! Aku tidak bisa melihatnya terluka,” protes Nara sambil menatap Jaehyun kesal.
“Ya ampun, Kim Nara! Aku tidak akan menyakiti seseorang yang kau sayangi. Aku hanya akan melakukannya kalau dia menyakiti hatimu.” Jaehyun menggeleng tak habis pikir. Beberapa saat kemudian, Jaehyun menghembuskan napas panjang. Kali ini ia menatap Nara serius. “Tapi, aku serius akan menghajarnya jika dia benar-benar menyakiti hatimu. Aku tidak bisa melihatmu terluka. Apalagi ini pertama kalinya kau jatuh cinta. Hatimu masih terlalu rapuh untuk merasakan patah hati.”
Nara tersenyum tipis sebagai balasan. Ia mengusap pelan bahu Jaehyun. “Kau tenang saja, aku janji tidak akan terluka.” Nara menghela napas cukup panjang. “Kalaupun nantinya aku harus terluka, aku harap akan bisa mengatasinya. Bukankah aku gadis yang kuat?” Nara mengakhiri perkataannya dengan kekehan pelan.
Jaehyun mendengus kemudian menjitak kepala Nara pelan. Membuat gadis itu mengaduh lalu merengut sebal.
“Sekuat-kuatnya seorang gadis, pasti mereka akan merasakan yang namanya sakit. Jika saat itu tiba, maka salah satu cara untuk melampiaskannya adalah dengan menangis. Kaupikir mudah menahan rasa sakit itu sendiri? Tentu tidak, Nara.” Jaehyun mendengus. “Pokoknya kalau kau merasa sakit, jangan ragu untuk membaginya dengan orang lain. Terutama padaku. Aku ini sahabatmu. Kau bisa ceritakan apa pun padaku. Mengerti?”
Kalimat panjang lebar yang Jaehyun lontarkan padanya membuat Nara terdiam. Ia menatap Jaehyun dengan tatapan takjub. Sungguh, ia begitu tersentuh dengan kalimat manis yang dimuntahkan sang sahabat. Jaehyun memang sering bicara seperti itu pada dirinya, tapi baru kali ini Nara benar-benar merasa terharu dengan perhatian yang pemuda itu curahkan pada dirinya.
Nara menarik napas dalam, berusaha untuk menahan air matanya agar tidak mengumpul. Ia mengangguk cepat. “Aku mengerti. Terima kasih, Jae. Kau yang terbaik.”
Jaehyun tidak mengatakan apa pun dan hanya mengacak surai Nara gemas.
“Nara!”
Nara dan Jaehyun langsung menoleh pada Yeri yang tiba-tiba datang sambil berlari menghampiri meja mereka. Gadis itu tampak ngos-ngosan, seperti habis lari maraton atau bahkan yang lebih parah seperti dikejar hantu. Nara dan Jaehyun kompak melirik pada satu sama lain, saling bertanya. Namun dari tatapan keduanya hanya ketidak tahuan yang tersirat. Yang mereka tahu hanyalah tadi Yeri berpamitan ke toilet. Entah apa yang terjadi pada gadis itu sehingga ia berlarian ke kelas.
“Ada apa denganmu? Apakah SHINee datang sekolah kita maka dari itu kau berlarian seperti ini?” tanya Jaehyun diselingi nada jenaka pada setiap silabel yang ia lontarkan. Mengundang tawa Nara pecah saat itu juga.
Yang ditanya justru merengut sebal. “Jangan mengolokku! Kalau Shinee yang datang, untuk apa aku berlarian kemari? Lebih baik aku memotret Minho Oppa dari dekat.” Yeri mendengus sebentar kemudian tersenyum begitu lebar sambil menangkupkan kedua tangannya di pipi. Matanya berbinar saat membayangkan idola kesayangannya itu.
Nara dan Jaehyun memutar bola mata malas menanggapi perkataan fangirl garis keras seperti Yeri. Kalau sudah menyangkut idolanya, Yeri pasti akan bersikap berlebihan. Mereka berdua sudah hafal betul dengan kelakuan sahabat mereka itu.
“Lalu ada apa sebenarnya?” Giliran Nara yang bertanya. Rautnya tampak penasaran. Tadi Yeri menyebut namanya, jadi ini pasti ada hubungannya dengan dirinya.
Yeri terkesiap sambil menepuk dahinya pelan. “Aku hampir saja lupa! Nara, ada kabar buruk untukmu.”
Dahi Nara berkerut tajam. Pun dengan Jaehyun yang duduk di sampingnya.
Nara sudah hampir membuka mulutnya untuk bertanya, tapi Yeri sudah dulu melanjutkan, “Haesang pindah ke sekolah ini dan dia sekelas dengan Mingyu.”
Kata-kata Yeri sukses membuat Nara membelalak terkejut dan merasa bahwa jantungnya mulai jatuh ke perutnya.
*****
Tawa lebar tak henti-hentinya menghiasi isi percakapan Nara dengan Jaehyun sejak keluar dari bioskop. Mereka tampak puas dengan film yang baru saja mereka tonton. Sepertinya film yang Jaehyun pilih sangat manjur untuk memperbaiki mood Nara yang tadinya jelek. Terbukti dari antusiasme Nara saat kembali membicarakan soal isi film tadi. Senyum dan tawa lebar tak absen mengiri setiap kata yang terlontar dari bibir gadis itu. Binar bahagia terlukis jelas di wajah cantiknya.
“Kau senang?” tanya Jaehyun setelah menandaskan Ice Americano-nya. Ia dan Nara sedang duduk di salah satu meja sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari gedung bioskop tempat mereka menonton tadi.
“Tentu saja! Filmnya tadi benar-benar mengocok perut. Aku sampai tidak bisa berhenti tertawa jika mengingat adegan demi adegan yang muncul dalam film.” Nara tertawa lagi. Lantas ia berhenti untuk menyeruput minumannya sendiri.
Senyum puas pun menghiasi wajah Jaehyun. Pemuda itu benar-benar gembira bisa melihat Nara tertawa lepas lagi. Namun tiba-tiba Jaehyun terkesiap pelan. Ia menilik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya.
“Astaga, sudah jam segini!" Jaehyun berubah panik.
Alis Nara menukik tajam melihat tingkah laku Jaehyun. “Ada apa?”
“Aku harus rapat anggota tim basket. Harusnya sejak lima menit yang lalu aku sudah berada di sana.” Jaehyun kembali menatap jam tangannya panik.
Nara membulatkan matanya terkejut. “Ya sudah, apa lagi yang kau tunggu? Cepat ke sana! Belum terlalu terlambat jika kau berangkat sekarang.”
“Eh? Tapi kau ....”
Nara tersenyum menenangkan. “Tidak apa-apa, aku bisa pulang sendiri. Bukankah aku gadis yang kuat dan pemberani?”
“Sungguh tidak apa-apa?” Jaehyun sedikit sangsi. Pasalnya terakhir kali ia meninggalkan Nara untuk pulang sendiri, kecelakaan maut hampir saja merenggut nyawanya. Jaehyun benar-benar tidak hal itu terjadi lagi pada sahabatnya.
Seakan mengerti, Nara berusaha meyakinkan Jaehyun untuk tidak terlalu mencemaskannya. “Kali ini aku tidak akan kenapa-napa, Jaehyun. Sudah sana pergi! Aku janji akan baik-baik saja.”
“Janji? Kau serius dengan hal itu?” Jaehyun masih tampak ragu.
Nara memutar bola mata malas. “Iya. Aku janji. I promise you, Jung Jaehyun.”
Dengan berat hati Jaehyun mengangguk. Pemuda itu bangkit dari kursinya untuk mengacak pelan surai Nara. “Keep your promise, okay?”
Nara mengangguk sambil tersenyum lebar. “Hati-hati di jalan!”
Jaehyun hanya mengangguk lalu berlalu dari meja yang mereka tempati. Nara mengikuti setiap pergerakan Jaehyun dengan netranya. Setelah Jaehyun tidak kelihatan lagi dari jangkauan matanya, barulah Nara memfokuskan netranya pada Ice Americano miliknya yang tinggal seperempat gelas. Gadis itu mendesah lesu kemudian bangkit dari kursinya dan berniat pulang.
Nara asyik berjalan kaki sambil asyik menyeruput sisa minumannya. Netranya kini sibuk melihat-lihat isi setiap toko yang ia lewati selama di perjalanan. Tadinya Nara berpikir untuk naik bus saja, tapi rupanya ia tidak ingin pulang cepat-cepat ke rumah. Sudah lama Nara tidak berjalan-jalan sambil window shopping seperti ini. Siapa tahu dengan begini mood-nya akan semakin baik, bukan?
Saat sedang sibuk dengan kegiatannya, tiba-tiba saja tatapan Nara kini terantuk pada sebuah kafe yang terletak di seberang jalan yang ia lewati. Kakinya secara refleks berhenti melangkah. Netranya membulat sempurna saat melihat satu momen yang benar-benar membuatnya syok setengah mati bahkan nyaris tak percaya bahwa apa yang ia lihat itu merupakan sebuah kenyataan.
Di dalam kafe itu, Mingyu dan Haesang sedang berpelukan dengan begitu mesra.
*****
Malam kian gulita. Nara masih enggan pulang ke rumahnya. Sebaliknya, saat ini ia sedang duduk di ayunan taman bermain di dekat komplek perumahan tempatnya tinggal. Setelah melihat kejadian di kafe tadi, Nara mendadak linglung. Ia seperti orang yang tidak menapakkan kakinya di bumi. Tubuhnya seolah terasa berat sekali untuk digerakkan. Kaku. Mood-nya yang tadi sudah membaik mendadak kembali buruk. Bahkan rasanya jauh lebih buruk dari sebelumnya. Ia tak ingin percaya begitu saja pada apa yang barusan ia lihat. Tetapi ia juga tidak bisa mengingkarinya sekalipun ia ingin. Semuanya terasa nyata karena itu memang sebuah kenyataan.
Kenyataan itu begitu menohoknya.
Mungkinkah praduganya sejak kemarin itu benar? Mingyu masih memiliki rasa pada Haesang?
Nara menghela napasnya dengan sangat berat. Sekarang ia sangat ingin menangis. Tapi entah kenapa air mata tak kunjung keluar dari netranya. Padahal saat ini ia sedang merasa sedih dan kecewa. Nara berpikir bahwa dengan menangis pasti seluruh bebannya akan terangkat. Itulah yang ingin Nara lakukan sekarang; menangis sekeras-kerasnya agar ia merasa lega. Namun kenapa tidak bisa juga?
“Sial!” umpat Nara pada diri sendiri. Ya Tuhan, kenapa Nara tidak menangis juga?! Apakah itu artinya air mata Nara sudah kering? Bahkan saat ia sudah berusaha mengingat semua momen sedih yang pernah ia lewati selama tujuh belas tahun eksistensi hidupnya, Nara tak kunjung menangis juga. Sialan sekali, bukan?
“Persetan dengan air mata!” Dengan marah Nara bangkit dari ayunan dan beranjak pulang. Masa bodohlah dengan perasaannya! Mungkin jika Nara tidur barulah ia akan melupakan semua yang telah terjadi hari ini. Ya, daripada terus mengingatnya akan lebih baik jika Nara melupakannya. Dengan atau tanpa air mata Nara harus tetap tegar menerima semua ini.
Nara masih melangkahkan kakinya dengan amarah yang menggebu sampai pada akhirnya ia merasa ada sesuatu yang janggal di sekitarnya. Nara menghentikan langkahnya secara tiba-tiba lalu mengusap tengkuknya. Bulu kuduknya meremang entah karena apa. Tepat di belakang punggungnya, Nara merasa bahwa ada seseorang yang sedang mengikutinya.
Jantung Nara tiba-tiba berdetak cepat. Ia mengatur napasnya agar terlihat lebih rileks. Kalau benar ia diikuti dan orang itu adalah orang jahat, maka Nara tidak boleh menunjukkan ketakutannya. Rasa takut hanya akan membuat penjahat senang. Nara tidak suka menunjukkan kelemahannya pada orang lain.
Tenanglah, Kim Nara! Kau gadis yang kuat dan pemberani, ingat?
Nara menarik napas kemudian membuangnya secara perlahan. Menekan rasa panik dan gugupnya jauh-jauh. Gadis Kim itu menelan saliva gugup lantas pelan-pelan menoleh ke belakang. Dahinya berkerut heran saat tak mendapati siapa pun di belakangnya. Dengan cepat Nara memutar kepalanya kembali. Kerutan di dahinya masih belum hilang juga. Aneh, batinnya sedikit ngeri.
Duarr!
“Aaa!”
Nara terlonjak kaget saat petir tiba-tiba menyambar. Gadis itu refleks menutup telinga sambil berteriak keras. Bersamaan dengan itu, tubuhnya jatuh berjongkok. Ia gemetaran. Petir yang kini kian menyambar membuatnya tak kuasa menahan rasa takut. Nara menangis dan berteriak sejadi-jadinya. Gadis itu histeris.
Derai air mata Nara tersamarkan oleh hujan deras yang kini turun tiba-tiba. Namun Nara masih saja bergeming di tempatnya berjongkok saat ini. Ia benar-benar sedang ketakutan sekarang. Fobia petir yang ia idap selama tujuh tahun ini sedang kambuh. Nara sama sekali tidak dapat mengandalkan dirinya sendiri. Hanya pertolongan orang lain yang ia butuhkan saat ini.
“Hei!”
“Aaa!”
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahu Nara. Membuat gadis itu tersentak kaget kemudian menyingkirkan tangan yang bertengger di bahunya dengan panik. Sebelum sempat melihat siapa gerangan sosok yang telah menyentuhnya, Nara sudah lebih dulu mengumpulkan kekuatannya untuk bangkit dan meninggalkan tempat itu. Ia berlari kencang menerobos hujan.
“Kau ingin kemana? Hei!”
Derap langkah dan vokal berat itu mengikuti Nara berlari. Menyebabkan ia semakin panik dan semakin cepat menggerakkan tungkai guna menghindari sosok misterius yang ada di belakangnya. Sosok yang ia yakini telah membuntutinya sejak tadi. Sosok jahat yang sepertinya ingin mencelakainya.
Duarr!
“Aaa!”
Petir kembali menyambar dan terdengar lebih keras dari sebelumnya. Nara kembali berteriak keras. Namun kali ini ia tak hanya berhenti dan berjongkok seperti tadi. Gadis itu limbung dan hampir jatuh ke atas kerasnya aspal. Pingsan. Beruntung, sebuah lengan berhasil menangkap tubuhnya yang lemas tak berdaya itu sebelum benar-benar jatuh kemudian dengan sigap membawanya ke dalam sebuah gendongan.