"Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku." ujar Pak Rey, ayahnya Greyzia, yang hanya membacakan satu ayat dari kitab suci.
Itu diambil dari kitab Injil Yohanes pasal 10 ayat 14 dan ayat 15. Ke sanalah pula, kedua mata Greyzia tertumbuk. Ia membacakan kembali kedua ayat itu dalam hati. Lalu, setelah membaca kedua ayat tersebut, Greyzia menatap foto neneknya--atau, yang biasa disebut sebagai Popo. Tampak terlihat di dalam foto, neneknya mengumbar senyuman, yang Greyzia kira itu senyuman paling indah. Foto itu sendiri merupakan foto yang diambil oleh Pak Rey saat ulang tahun neneknya yang ke tujuh puluh tahun. Saat itu, Greyzia sedang sibuk mempersiapkan ujian nasional tingkat SMP.
Stanley, adik pertama Greyzia, menyikut Greyzia. Bisik Stanley, yang hari ini mengenakan kaus berwarna ungu berpadu dengan warna kuning, yang disertai dengan tulisan LA LAKERS. Adik pertamanya itu amat menyukai segala hal yang berhubungan dengan bola basket dan NBA.
"Apa?" balas Greyzia sembari berbisik juga.
"Nggak ada apa yang mau disampaikan ke makam Popo?" tanya Stanley yang masih sambil berbisik. "Bukannya Cici baru aja jadian?"
Adik bungsunya Greyzia ikut campur. Jason berkomat-kamit mengucapkan, "Popo, ada yang baru jadian, nih. Cici baru aja punya pacar."
Karena berdiri yang tak jauh dari Jason, ibu kandung Greyzia langsung menyambar, "Siapa yang baru jadian, Jason?"
Stanley yang menjawab, "Ci Greyzia, Ma. Cici baru aja jadian."
Pak Rey ikut menimpali, "Benar itu, Zia? Kok Papa sama Mama nggak dikabarin?"
"Kayak apa orangnya, Zia? Cerita dong ke Mama." desak Ibu Zia, yang tampaknya benar-benar ingin tahu.
"Satu gereja sama kita, Ma." Jason yang menjawab. "Cowok Batak yah, Ci. Lebih tua beberapa tahun dari Cici."
"Apa pun pilihan Zia, akan selalu Papa dukung. Kalau Zia nyaman sama laki-laki itu, jalani. Kalau sudah siap, coba kenalkan ke Papa sama Mama." ucap Pak Rey yang menyalami Greyzia. "Selamat, Zia. Makin dewasa anak sulung kebanggaan Papa."
"Mama sama kayak Papa kamu. Yang penting kamu bahagia sama pilihan kamu." timpal Ibu Kezia yang langsung merangkul anak perempuan satu-satunya. "Nanti rumah jadi sepi, deh."
Sepertinya Greyzia--yang dahinya berkerut--memahami kata-kata Ibu Kezia tadi. Greyzia cukup syok dan malah berucap, "Maksudnya?"
Stanley yang merespon, "Eh, cie, Cici yang bentar lagi jadi istri orang."
Greyzia menelan saliva. "Istri orang? Hah? Yah, masih lama-lah. Mama sama Stanley apaan, sih? Aku juga belum mau buru-buru nikah. Selain itu, aku belum terlalu kenal sama dia juga."
"Kenapa kamu mau jadi pacarnya dia?" tanya Pak Rey setelah menaburkan bunga tabur ke pusara ibu kandungnya tersebut. "Oh iya, siapa nama cowok itu?"
Lagi-lagi Stanley yang menjawab, "Firman Tambunan namanya, Pa. Iya, kan, Ci?"
Greyzia hanya mengangguk. Tampak sekali wajah Greyzia memerah.
"Anak yang punya lapo dekat gereja itu, bukan, Ten?" tanya Pak Rey yang malah bertanya ke anak laki-laki nomor duanya.
Stanley mengangguk dan berkata, "Iya, Pa, yang itu."
"Setahu Papa, dia orangnya baik. Banyak kemiripannya sama kamu, Zia. Mungkin jodohnya kamu, Zia." ujar Pak Rey tersenyum, lalu menyiramkan kepalanya dengan air dari botol minuman mineral yang diisi dengan air mentah.
Rona wajah Greyzia makin memerah saja. Dalam pikiran perempuan ini (yang baru saja memotong rambut menjadi pendek), baik Papa dan Mama, kedua orangtuanya kenapa menjadi seserius ini. Astaga, sampai bawa-bawa pernikahan. Padahal Greyzia ingin menikmati saja terlebih dahulu indahnya menjalin hubungan romansa dengan seorang laki-laki. Belum tebersit di otak Greyzia, sebuah ide tentang pernikahan. Bukan berarti Greyzia tidak serius. Hanya saja ide pernikahan masih terlalu jauh. Greyzia belum ingin memikirkannya terlebih dahulu. Greyzia ingin lebih dulu menikmati indahnya berpacaran dengan lawan jenis.
"Jangan lama-lama pacaran, Zia. Ujung-ujungnya putus." saran Ibu Kezia yang ikut membasuh kepala dengan air dari botol yang berbeda. Untuk kepentingan ziarah di hari setelah Imlek ini, keluarga Gunawan membawa lima botol air mentah.
"Duh, santai aja, lah, Ma, Pa," ujar Greyzia menyampaikan keberatannya. "Yang penting, jalani aja dulu. Aku belum mau mikirin nikah dulu, kok. Aku yakin dia juga sama kayak aku."
Greyzia lalu menatap batu nisan neneknya dan berkata, "Xīnnián kuàilè kuai le, Popo. Yuàn nǐ de línghún zài nàlǐ zhǎodào píngjìng."
Jason ikut terbawa suasana dan berkata, "Selamat Imlek, Po. Gong xi fa cai."
"Gong xi, gong xi," timpal Stanley yang memberikan penghormatan kepada neneknya yang sudah lama meninggal. Beliau meninggal saat Stanley baru saja lulus dari sekolah menengah pertama.
Setelah itu, keluarga Gunawan berdoa bersama di depan makam ibu kandung dari Pak Rey Gunawan. Selanjutnya, mereka berlima berduyun-duyun menuju mobil minibus berwarna keperakan tersebut. Untuk hari minggu kali ini, ibadah minggu yang biasanya dilakukan di gereja, digantikan dengan kunjungan ke makam nenek dari Greyzia, Stanley, dan Jason. Lima hari sebelum berziarah, Greyzia memutuskan untuk memotong rambut panjangnya menjadi pendek sebahu. Greyzia beralasan ingin tampil beda saja di perayaan Imlek tahun ini. Ingin mengejutkan arwah neneknya juga. Biar bagaimanapun, banyak hal sudah terjadi dalam hidup Greyzia.
Tulisan rohaninya akan dimuat di buku renungan harian edisi bulan Maret. Ia baru saja mengakhiri masa lajang. Di kantor, ia sering menuai pujian (yang beberapa hari kemudian, ia harus ikut rombongan tim kantor ke Singapura). Greyzia tersenyum lebar di depan makam neneknya dan berucap sekali lagi, "Happy Chinese New Year, Popo!"
"Nanti kita ke klenteng sebentar, yah," ucap Bu Kezia mengingatkan. "Jangan lupa, kita nanti ke klenteng. Penghormatan ke keluarga besar ayahku, Pa."
***
"Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.“ seru Pak Pendeta Eddie Tjandra dari atas mimbar. Pendeta berkacamata itu membacakan ayat-ayat dari Efesus pasal 2 ayat 19 hingga ayat 22.
Sekonyong-konyong Firman bersin. Ada tiga kali ia bersin. Tergesa-gesa ia mengambil selembar tisu dan mengelap ingus yang keluar dari lubang hidungnya.
Untuk khotbah di kebaktian Imlek kali ini, Firman tak berkonsentrasi menyimak apa yang coba disuguhkan oleh Pak Pendeta Eddie Tjandra. Pikiran Firman sedang mengembara ke pikiran seorang perempuan yang baru saja menjadi pacarnya. Baru kali ini Firman merasakan rindu yang luar biasa.
Firman harus menerima keputusan Greyzia yang sedang berhalangan untuk beribadah di dalam gedung gereja. Keluarga Greyzia memiliki agenda mereka tersendiri. Jika ingin lebih diterima di dalam keluarga Gunawan, mau tak mau Firman harus menghormati kebiasaan-kebiasaan keluarga pacarnya tersebut.