Untuk kali pertama, Greyzia tidak memimpin ibadah sekolah minggu di gereja. Ia kini sedang berada di halaman utama gereja. Tengah mendengarkan khotbah dari salah satu pendeta yang bertugas di gereja ini.
Entahlah. Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa. Banyak yang ganjil, sebetulnya. Namun, Greyzia mencoba berpikiran positif. Bermula dari beberapa hari yang lalu, ia dikabarkan oleh Christy, rekan sesama guru sekolah minggu. Christy mengirimkan pesan ke ponsel Greyzia, yang intinya itu bahwa perempuan itu absen dulu melayani di sekolah minggu. Untuk sementara, tempatnya diisi oleh para calon guru sekolah minggu.
"Yah, jangan tanya gue, Gre," ujar Christy melalui aplikasi w******p. "Keputusannya kan ada di Pak Sitompul."
Greyzia tak melanjutkan lagi. Ia terima saja. Walau sesudahnya, ia coba mengkroscek ke Pak Ramot Sitompul dan ternyata benar kabarnya. Namun, tak hanya untuk Greyzia. Beberapa guru sekolah minggu yang lama diliburkan untuk hari minggu ini. Bahkan mereka diwajibkan untuk mengikuti ibadah minggu dewasa. Dalam rangka hari ulang tahun gereja, pengurus-pengurus gereja ingin pula memperkenalkan siapa saja yang terlibat aktif di Departemen Sekolah Minggu. Tak sekadar diperkenalkan, nantinya para guru sekolah minggu ini akan mempersembahkan pujian.
Greyzia menatap ke arah belakang. Ia masih kaget karena ternyata Firman yang ia taksir ternyata guru sekolah minggu juga. Firman sebetulnya berat untuk terlibat dalam paduan suara. Firman merasa suaranya tak begitu merdu. Namun laki-laki Batak itu terpaksa mengikuti dengan alasan solidaritas. Oh, iya, Firman sendiri mengajar untuk kelas SMA, yang jadwalnya itu di atas jam satu, yang selepas ibadah minggu orang dewasa.
Kembali Greyzia mengarahkan pandangan ke arah mimbar. Yang berkhotbah kali ini adalah Pak Pendeta Eddy Tjandra.
"Kata Ibrani, haskel, ormah, dan mezimma itu sesungguhnya memiliki arti kebijaksanaan. Atau, terkadang bisa berarti merencanakan kehidupan secara strategis.
Itu seperti seorang pemimpin yang visioner bisa melihat ke mana kita harus pergi. Namun tidak selalu ia mampu mewujudkan langkah-langkah menuju titik tuju tersebut. Yang mana, ia harus menjadi bijaksana dalam menentukan setiap langkahnya. Saudara-saudara, apa kalian tahu bahwa menjadi bijaksana berarti mengantisipasi masalah tanpa jatuh ke dalam bahaya terlalu percaya diri atau lumpuh karena terlalu berhati-hati?
Coba kita bandingkan dengan apa yang tertulis dalam Amsal 27:14 yang berbunyi sebagai berikut, 'Siapa pagi-pagi sekali memberi selamat dengan suara nyaring, hal itu akan dianggap sebagai kutuk baginya.'
Dari beberapa ayat yang kita baca, tampaknya saya bisa menangkap, bahwasanya yang disebut hikmat adalah bagaimana kita tahu cara menjadi sukses. Tetapi bukan berarti hikmat ialah kecanggihan duniawi atau artificial intelligent. Tahu artificial intelligent? Itu sedang marak sekarang-sekarang ini. Tidak hanya dalam bentuk tulisan, namun pula dalam bentuk gambar. Ngeri saya saat membayangkan suatu hari nanti kita malah akan lebih mengandalkan artificial intelligent itu. Padahal manusia itu jauh lebih canggih dan dahsyat daripada artificial intelligent mana pun.
Tapi walau demikian, Saudara-saudara semua, janganlah kita tiru Adam Hawa di dalam Kejadian 3:6, yang mana mereka ingin menjadi seperti Allah. Mereka ingin memiliki hikmat seperti orang yang menciptakan mereka berdua.
Oh iya, Saudara-saudara semua, patut saya sampaikan bahwa hikmat tertinggi adalah dalam Yesus yang keberhasilannya mutlak tetapi tidak diapresiasi oleh orang-orang bijak dalam zamannya? Pernahkah juga kita merenungkan untuk memiliki kebijaksaaan untuk mengetahui apa yang harus dilakukan tetapi tidak tahu bagaimana harus melakukannya? Itulah salah satu hikmat tertinggi tersebut.
Untuk mendapatkan hikmat tertinggi tersebut, kita harus sering berdoa supaya Tuhan mendidik kita melalui banyak kesesakan atau pergumulan. Kadangkala memang harus ada kekecewaan yang merendahkan hidup kita supaya kita lebih peduli untuk menjadi setia kepada perkara Tuhan daripada kesuksesan-kesuksesan duniawi.
Oh, bukan berarti saya bilang sukses itu tidak penting. Penting itu. Apalagi apa-apa itu butuh uang, kan. Walau demikian, perkara Tuhan itu jauh lebih penting lagi. Setialah pada perkara-perkara Kerajaan Sorga. Untuk itu, kita harus berdoa supaya dibebaskan dari kesombongan dan ketakutan yang menghalangi kesuksesan sejati yang kita dapatkan jika kita mendahulukan perkara-perkara Kerajaan Sorga."
Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia. Itu tertulis di dalam Yohanes 1:16."
Greyzia mengangguk-anggukan kepala saat menyimak bagaimana Pak Pendeta Eddie Tjandra menyampaikan firman Tuhan. Mungkin untuk sekarang ini ia kurang begitu memahami apa yang disampaikan oleh pendeta tersebut. Ia tak menyangkal, walau dirinya seorang guru sekolah minggu, pengetahuan Alkitab-nya masih kurang. Ia berani mengakui setiap kekurangannya dan mau belajar untuk menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.
"Bro, bentar, gue mau ke toilet dulu," bisik Firman, yang main berdiri dan hendak menyelinap ke luar ruang ibadah utama.
"Nggak bisa tunggu bentar?" tanya Yehezkiel. "Bentar lagi kita mau tampil, Bro."
"Bentaran doang. Ntar juga gue balik lagi." desak Firman yang sepertinya ada yang ingin dia lakukan.
"Yah, udah, buruan dan langsung balik. Jangan malah ke lapo keluarga lu. Kita bentar lagi mau tampil." desis Yehezkiel terkekeh-kekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Greyzia sempat melirik ke arah belakang. Sekonyong-konyong jantung Greyzia berdebar-debar tak keruan. Sepertinya ia bisa menerka sendiri apa yang akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba saja ia teringat kata-kata Firman kemarin.
"Zia, ada yang aku mau sampaikan ke kamu besok."
"Soal apa?"
"Sepele sih, tapi aku harus ngomongin ke kamu, Zia. Penting banget."
"Yah, sekarang aja kalau emang penting banget."
"Ah, besok aja deh, Zia."
"Kenapa harus besok?"
"Iya, besok aja mending. Oh iya, aku senang banget waktu tahu nggak ada siapa-siapa di hati kamu."
Greyzia hanya tertawa dan mendadak rona wajahnya memerah, yang semerah jambu hatinya setiap bertatapan dengan Firman.
"Semoga kita bisa melihat diri kita masing-masing di hadapan Tuhan. Kita hidup sampai hari ini pun berkat banyaknya kasih karunia dari Tuhan. Itu semua karena dari kepenuhan Tuhan sendiri, yang karena itu juga, kita beroleh damai sejahtera, sukacita, dan hidup berkelimpahan."
Tak hanya melalui suara Pak Pendeta Eddie Tjandra yang mendadak lebih kencang--entah karena apa (yang jelas bukan karena penyuara gereja), Greyzia dibangunkan oleh suara pesan masuk ke dalam ponselnya. Rupanya ia lupa mengarahkan nada ponselnya ke mode senyap. Dengan malu-malu, Greyzia coba mengecek ponsel. Ternyata itu dari Firman.
Obrolan ini terjadi via w******p.
"Zia, bisa keluar sebentar dari ruang ibadah? Ada yang mau sampaikan?"
"Harus sekarang?"
"Iya. Saya tunggu di depan gedung sekolah minggu. Buruan."
Mau tak mau Greyzia keluar dari ruang ibadah. Ini tak biasanya. Ia jarang sekali menyelinap saat khotbah sedang berlangsung.
Seperti ada yang memburunya, Greyzia pun mempercepat langkahnya. Ia bergegas menuju gedung sekolah minggu. Benar saja, di depan ruang kelas TK, berdirilah Firman yang terlihat tegang dan mengumbar senyuman.
"Mau ngomongin apa?" tanya Greyzia dengan jantung berdebar-debar.
Firman menghela nafas dan akhirnya secepat kilat berkata, "Apa kamu mau jadi pacar aku, Zia?"
"Hah?"
"Iya, aku selalu mengkhayal kamu itu pacar aku, t'rus kita nge-date ke mana gitu. Mau nggak jadi pacar aku?"
Greyzia mematung agak lama. Ini untuk kali pertama ada seorang laki-laki yang menyatakan cinta kepada dirinya. Apakah ia harus menerima pinangan si laki-laki?
"Terima dulu aja, Zia. Aku tahu dari Gideon, kalau kamu mendem rasa yang sama juga. Kita jalani aja dulu. Toh, masih tahap pacaran dan belum nikah. Nanti, kalau kita terus menemukan ketidakcocokan, dan kamu makin nggak nyaman sama aku, aku siap kamu putusin kapan aja."
Greyzia belum menjawab. Ia malah menelan saliva saking terperangah.