Kemarahan

2999 Words
Gagal menjadi calon gubernur bukan berarti tak bisa mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR ditahun ini. Peluang selalu terbuka lebar. Meski banyak yang menghalau. Ia menghela nafas melihat banyaknya pendemo di depan rumah. Ia yakin kalau ini ulah saingannya tapi ia juga yakin kalau ini semua gara-agar anaknya. Shabrina. Yaaa efek domino dari berkasus dengan keluarga konglomerat paati berbuntut panjang. Meski masih banyak yang membela Shabrina di media sosial. Bahkan bisa dikatakan sebanyak 80 persen masih mendukung Shabrina. Karena ya bagi mereka, yang berhak bersama Farrel memang hanya Shabrina. Perempuan itu dinilai pantas. Karena ia cantik dan juga mantan pemenang salah satu kontes kecantikan bergengsi di negara ini. Ditambah lagi, berasal dari kalangan yang juga berada. Sementara perempuan yang katanya istri Farrel itu? Alaaaah sok-sok alim. Kayaknya cadarnya cuma buat topeng aja. Kelakuan gak kalah sama p*****r! Paling juga hamil duluan tuh makanya dinikahin sama Farrel. Bukannya Shabrina! Terus si Farrel dipelet, makanya Shabrina yang diceraikan! Sialan lu cewek! Cantik aja kagak, jelek iya banget. Ditambah gak bermoral! Wuuuuu! Farrel buta kali ya, yang dipilih malah cewek kayak gitu! Dasar tukang peleeet. Tampilan aja sok syar'i, malu-maluin luuu! Jual diri aja sana! Dari pada jadi istri Farrel! Bikin malu keluarganya aja! Ia paling senang membaca berbagai makian yang tertuju pada akun-akun hatters istrinya Farrel. Tentu saja semua orang masih mencari-cari wajahnya. Tapi yang tahu betul wajahnya seperti apa bukan kah Shabrina? Meski sebenarnya ia tak bahagia-bahagia amat. Semenjak bercerai, meski ia juga yabg meminta, nyatanya ia semakin tak bahagia. Oke urusan kehamilan sudah beres karena keguguran waktu itu. Ia juga tak sudi mengandung anak Rano. Lelaki sialan itu pantas di penjara tapi lihatlah. Polisi mana berani menyentuhnya? Lalu kini mendengar berbagai kabar bahagia Farrel yang mengatakan kalau istrinya memang sednag hamil, semakin membuatnya murka. Benar-benar murka. Kemarahan itu muncul lagi setelah sempat legowo. Tapi kemarahan itu muncul juga bukan karena tanpa alasan. Itu karena..... "Lihat kelakuan kamu. Banyak pendemo di depan rumah kita!" Karena papanya selalu menyalahkannya atas segala kegagalannya. Mulai dari pemilihan gubernur yang gagal total. Lalu ketika papanya sedang berusaha untuk mengikuti pemilu DPR RI, banyak pendemo yang bermunculan. Shabrina menengus. Ia akhir-akhir ini mulai kehilangan respek pada kedua orangtuanya. Menurutnya, ini juga kesalahan mereka. Bukan kah pada malam itu, ia juga sudah mengatakan untuk tak perlu menikah? Karena ia sadar ada yang ganjil saat itu? Tapi demi menyelamatkan muka dan tergiur harta konglomerat, juga relasi-relasi mantan keluarga suaminya, mata hati ditutup. Dan kini segala keserakahan itu malah dikembalikan padanya. Segala kesalahan dibuat atas namanya. Bagaimana ia tak merasa marah? "Salahin aja Brina terus. Sampai papa mati juga salahin Brina!" Ia balik membentak tapi yang didapatkan justru sebuah tamparan. Mamanya menghela nafas dari lantai bawah. Sudah bosan melihatnya. Setiap minggu, minimal satu kali anaknya ditampar. "Papa!" "Urus saja suamimu tuh!" maki Shabrina yang kini kemarahan dilempar pada ibunya. Ia membalik badan dan berjalan menuju ke kamar. Papanya masih mengomel. Ia tahu kalau kemarahan itu tak akan pernah selesai dan rumah ini tak akan pernah damai lagi. Ia membanting pintu kamar lalu dengan cepat mengelurkan koper dan mengambil semua baju di dalam lemari. Memindahkan seadanya ke dalam koper. Lalu bergerak mandi dan mengganti bajunya dengan cepat. Ia tidak ingin di sini lagi. Ia tidak ingin sembunyi lagi. Terserah nanti bagaimana hidupnya, ia tak mau di sini lagi. Satu-satunya yang terpikir olehnya hanya kembali ke Jakarta. Apartemennya masih ada. Meski ia tak tahu bagaimana menghidupi diri. Tapi pasti akan ada pekerjaan yang bisa ia ambil. Meski tak akan mau mengemis pada mantan suaminya. Walau yaaa sebetulnya Farrel masih baik padanya. Karena masih mau menanggung hidupnya. Diam-diam lelaki itu memang mengirim uang bulanan. Lelaki itu setidaknya masih memiliki tanggung jawab. Ya setidaknya selama beberapa bulan setelah perceraian mereka. Setelah itu? Tentu saja tidak. Farrel hanya menunaikan sesuatu yang ia takut nanti ditagih di akhirat. Hanya itu saja. Jadi begitu selesai masa iddah itu, maka selesai pula urusan Farrel dengan Shabrina. Yang tentu saja sudah berlalu setahun. Ya, bukan kah ia sudah cukup lama melarikan diri? Bersembunyi? "Brina! Mau ke mana kamu?" Mamanya tentu kaget karena begitu ia membuka pintu kamar, anaknya itu sudah membawa koper. Sudah berdandan dan benar-benar bersiap untuk pergi. "Brina gak mau mati dipukul di rumah ini," tukasnya tajam lantas menarik kopernya. Ia tak perduli sekalipun mamanya mencoba menahannya. Sementara papanya berkacak pinggang dari depan pintu kamar. "Biar kan saja anak itu. Terserah kaoau mau pergi. Bagus sekali. Jadi papa tak perlu menanggung hidupmu!" Lalu lelaki itu malah masuk ke dalam kamar. "Dengar itu, ma?" ucapnya tajam. Ia jelas sakit hati mendengar itu. Ia terus berjalan hingga keluar. Membiarkan mamanya menangis sambil mencoba menahan pergerakannya. Perempuan itu sampai tersikut-sikut karena tenaganya lebih besar untuk menyeret koper dan berjalan cepat menuju pintu. Tak lama, taksi sudah datang dan membawanya pergi dari sana. Setidaknya mamanya sempat memeluknya. "Jangan lama-lama." Oke, mamanya mengizinkannya untuk pergi sambil menangis. Tapi tak boleh terlalu lama. Sementara Shabrina tak berniat untuk kembali lagi. Ia memilih masuk ke dalam taksi dan tak ada tangis sama sekali. Yang ada hanya lah kemarahan. Benar-benar sebuah kemarahan. Kalau sudah sampai, jangan lupa hubungi mama. Bagaimana pun, mamanya pasti sangat khawatir padanya. Tapi ia sudah tak perduli. Hidup di sini membuatnya benar-benar muak. Menyembunyikan diri benar-benar tak menyelesaikan masalah. Ia ingin pergi. Ia ingin bebas. Entah untuk apa ia pergi juga ia tak tahu. Yang jelas, kalau Farrel bahagia, ia tak mau membiarkan itu terjadi. @@@ "Papa sudah menelepon om Fadlan, kamu bisa koas di rumah sakitnya. Gak harus yang di Depok. Ada yang di Tangerang atau Jakarta, kamu bisa pilih." Shakeera hanya menghela nafas. Ia sebetulnya sudah menghubungi beberapa teman sekampusnya yang juga koass di Jakarta. Ia berniat untuk ikut dengan mereka alih-alih masuk ke rumah sakit itu. Tapi ia tak mengatakan apapun pada papanya. Setidaknya sikap ini sudah jauh lebih baik dibandingkan sbeelum-sebelumnya. Papa dan mamanya menatap dari pintu kamar. Tahu kalau sebetulnya anaknya belum kunjung membaik. Mereka sebetulnya tak begitu tahu apa yang dialami Shakeera. Ya mereka tahu kalau Shakeera mungkin masih patah hati saat ditinggal menikah. Tapi menurut mamanya, usia Shakeera terlalu muda dan seharusnya perasaannya tak terlalu dalam. Karena dianggap masih sangat kecil untuk merasakan hal-hal semacam itu. Tapi perasaan Shakeera dan rasa ditinggal itu bukan kah sangat menyakitkan? Ia bahkan sampai sekarang belum bisa memaafkan apa yang terjadi. Dan ia masih marah sekali pada perempuan itu karena telah merebut segalanya darinya. Ia juga sangat membenci lelaki itu namun sialnya masih belum bisa melupakan hingga sekarang. "Setelah beres-beres, jangan lupa tidur, Keera. Besok kamu harus berangkat." Mamanya mengingatkan sebelum menutup pintu kamarnya. Lantas bersama suaminya sama-sama berjalan menuju kamar. Beberapa tahun belakangan, mereka hanya fokus pada Shakeera. Benar-benar hanya mengurus Shakeera. Kepribadiannya berubah banyak. Banyak berulah. Bahkan Tio kerap masuk kantor kepolisian. Anaknya banyak terlibat hal-hal yang sungguh mengerikan. Kalau begini terus, ia bisa di-blacklist dari dunia pekerjaan. Masa depan akan semakin suram. Dengan bantuan Regan, ia melobi agar catatan kriminal anaknya tidak tertulis. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk anaknya. Dan rasnaya masih tak percaya atas segala hal yang anaknya pernah lakukan. Saking fokusnya pada Shakeera mereka terkadang lupa pada Arga yang sebetulnya juga butuh perhatian. Tapi karena anak itu sungguh mengerti bagaimana situasinya, ia tumbuh begitu dewasa. Kini bahkan terasa begitu lancar berkuliah. Ia melakukan banyak hal sendirian tanpa pernah merasa kalau kedua orangtuanya kurang perhatian padanya. Setidaknya Jihan dan Tio sama-sama bersyukur akan hal itu. "Udah lah." Dan istrinya tak pernah absen menangis satu malam pun sejak empat tahun terakhir. Semakin parah dalam dua tahun terakhir. Tio memeluknya. Ia tahu kalau mereka benar-benar menghadapi masalah hidup yang berat. Karena keduanya sama-sama ingin memperjuangkan hidup dan masa depan Shakeera. Agar tak hancur. Mereka tahu kalau masa depan anak mereka masih panjang. "Aku akan jaga Shakeera di Jakarta." Begitu janji suaminya. Tadinya mereka hendak tinggal bersama di Jakarta. Arga akan sendirian di Padang. Tapi Jihan tak tega. Setelah banyak pertimbangan, ia akan tinggal di Padang untuk menemani anak bungsunya berkuliah. Walaupun ada keluarganya di sini dan Arga bisa saja tinggal bersama mereka, ia tak tega. Apalagi mereka memang kurang waktu untuknya karena hahya terfokus pada Arga. Jadi ia akan tinggal di sini. Meski Arga juga tak keberatan kalau kedua orangtuanya mau menemani kakaknya di Jakarta sana. Karena menurutnya, kakaknya lebih butuh. Lalu kini anak bungsunya mengetuk pintu kamar. Keduanya melepas pelukan. Dengan cepat Jihan menghapus air matanya dan Tio bergerak membuka pintu. Arga muncul. Anak lelaki yang lebih muda dua tahun dibandingkan Shakeera ini nyatanya semakin terlihat lebih dewasa. Ya tubuhnya memang sudah menjulang. Disaat wajah Shakeera masih tampak seperti bayi karena tak menua, ia justru sebaliknya. Tak heran kalau banyak yang mengira ia adalah kakaknya Shakeera. "Arga bisa tinggal di rumah nenek. Mendingan mama berangkat dan temani kak Keera saja di Jakarta." Kedua orangtuanya tersenyum kecil. Ia malah dipeluk. Ya ia tahu kalau kedua orangtuanya merasa bersalah karena kurang memberikan perhatian padanya. Tapi ia tak mempermasalahkan itu. Ia tahu bagaimana kondisi kakaknya jadi hal-hal sekecil ini seharusnya tak perlu menjadi masalah. Tapi yang namanya orangtua ya tetap saja tak bisa seperti itu. Arga hanya berpikir kalau kakaknya itu butuh dijaga oleh mamanya. Karena papanya pasti sibuk bekerja. Tak mungkin menjaga kakaknya setiap waktu. "Gak apa-apa, mama di sini temanin kamu. Insya Allah gak terjadi apa-apa. Bantu mama dan papa doa untuk itu." Ia hanya bisa mengangguk pasrah kalau begini dan senang karena dipeluk kedua orangtuanya. Baginya, kedua orangtuanya sungguh keren. Se-kriminal apapun kakaknya dimata orang lain, mereka masih sangat yakin kalau anak perempuan mereka tidak seperti itu. Sejahat apapun perkataan orang lain, mereka masih sangat percaya kalau anak perempuan mereka masih gadis yang baik. Hanya mungkin sekarang sedang salah arah. Mungkin hatinya belum terketuk lagi untuk sebuah kebaikan. Mungkin memang begitu untuk sekarang. @@@ Farrel duduk di depan layar laptopnya. Ia tentu saja menyaksikan apa yang terputar dari ipad-nya yang ada di sisi kiri tangannya. Di atas meja. Ia sedang sibuk di kantor hari ini. Kehidupannya sudah tampak membaik. Sekarang yang sedang heboh adalah kedekatan adiknya dan seorang artis muda, cantik, dan berbakat. Kabar itu baru muncul hari ini. Farrel juga agak kaget. Karena ia tahu kalau seharusnya tidak bersama perempuan ini. Jadi fokusnya agak teralihkan hanya untuk mengecek pemberitaan yang memang terputar secara otomatis dan begitu acak. Ia tak memilih berita mana yang ingin ia dengar. Ia membiarkannya agar tahu bagaimana perkembangan dunia akhir-akhir ini. Ia menatap foto di mana Ferril bersama Nesia di sebuah acara. Tangan adiknya yang menggenggam tangan Nesia. Sebelah alisnya terangkat. Ini tidak salah? Pasalnya, Ferril bahkan tak bercerita apapun soal kedekatannya dengan artis yang satu ini. Hingga..... "Bang! Ferril ada cerita soal Nesia ke abang?" Si adeknya yang kepo ini langsung menelepon. Lupa pula mengucap salam. Begitu ia angkat langsung bertanya tanpa mengerem. Mungkin saking penasarannya dan ia yakin kalau Farras juga sedang melihat pemberitaan itu. Karena tampaknya baru muncul hari ini. "Waalaikumsalam......" Ia malah menyindir. Farras terkekeh lantas mengucap salam dan Farrel kembali menjawab salamnya. "Dia gak ada cerita ke abang. Dia gak cerita ke kamu?" "Gak lah. Kalau gak cerita ke Ras kan minimal cerita ke abang." "Ya mungkin belum mau cerita." "Aneh!" Farrel terkekeh. Gaya Farras kalau sedang mencurigai sesuatu memang mirip dengan bunda mereka. Belum akan berhenti kalau belum tahu bagaimana fakta yang sesungguhnya. "Aneh kenapa?" "Ya tahu kan, bang, Ferril tuh sebelum deketin cewek minimal nanya pendapat dulu. Itu kalo ceweknya yang kita kenal. Lah ke Nesia? Kita kan kenal." Ya Farrel tahu. Tapi barangkali karena mereka sudah menikah, Ferril tak mau menganggu dengan hal seremeh ini. Meski bisa saja menelepon tapi kan suasananya sudah berbeda. Adiknya juga sudah lebih dewasa. "Emangnya sama kak Echa gak lanjut? Perasaan belum lama dibawa ke rumah deh." Belum lama tapi menurut Farrel, kejadian itu sudah berlalu beberapa bulan. Ia juga lupa. Yang jelas belum lama istrinya hamil kala itu. Kalau sekarang, perut istrinya sudah mulai terlihat membuncit. Padahal baru trimester kedua. "Dia gak ada cerita." Ya Farras tahu. Akhirnya ia menutup telepon karena tak mendapatkan informasi apapun. Sementara Farrel memilih untuk melanjutkan berita yang ingin ia dengar. Ia putar lagi berita-berita itu hingga sampai pada pemberitaan di mana rumah mantan mertuanya itu didemo oleh masyarakat. Katanya mereka menolak pencalonannya. Kalau menurut Farrel ya, itu hanya persoalan politik saja. Bisa jadi saingannya yang mengirimkan pendemo. Karena kalau demonya dengan alasan Shabrina rasanya tak perlu dibesar-besarkan seperti itu. Ia geleng-geleng kepala, tak ambil pusing. Menjelang sore, ia akhirnya beranjak. Tak lupa mengirimkan pesan pada istrinya kalau ia akan segera pulang. Kemudian memakai jasnya dan memberesi beberapa barangnya. Lalu keluar dari ruangan. Aswin mengikutinya dari belakang. Farrel menoleh. "Saya boleh nebeng, pak?" tanyanya yang membuat Farrel terkekeh. Tentu saja ia mengangguk. Ia memang satu-satunya sekretaris yang paling berani menebeng dengan bos. Keduanya tiba di parkiran. Kemudian masuk ke dalam mobil. Farrel mengantarnya ke apartemen. Aswin bukannya tak punya mobil. Tapi sedang di bengkel. Sekretarisnya itu berterima kasih begitu ia mengantarnya. Kemudian Farrel melanjutkan perjalanan menuju ke rumah. "Lagi ngapain love?" "Astagfirullah, ayang!" Suaranya tampak kaget. Farrel terkekeh. Ia memang memasang sesuatu di televisi. Ketika ia berada di dalam mobil, ia bisa langsung menghubungkan dengan televisi di rumah. Tentu akan terhubung kalau kabelnya tak dicabut istrinya. Ya kan kadang Fara begitu. Alasannya listrik mahal. Hahaha. Padahal ia bisa jantungan karena suaminya suka begini. Tahu-tahu televisi menyala dan wajah suaminya yang sedang menyetir muncul. Padahal tadi rasanya masih acara apa gitu. Kini Farrel bisa melihat jelas keberadaan istrinya di dapur dengan rambut basah. Sepertinya baru selesai mandi. Ia hapal jadwal mandi istrinya. Selalu mandi sebelum ia pulang bekerja. "Tadi Lala abis dari sini," ungkapnya. Biasa lah, sepupunya bosan di rumah om mereka. Jadi pasti ke sini kalau rindu padanya juga. "Ooh." Hanya begitu responnya. Yeah apa yang ia harapkan dari suaminya? Hahaha. "Tadi gak ke mana-mana kan?" "Cuma ngambil lauk ke rumah bunda," tukasnya. Saat ia membalik badan, suaminya tertawa. Karena apa? Fara menggunakan penjepit jemuran untuk menjepit hidungnya. Ia tahu kalau istrinya sedang sensitif dengan bau. Padahal sudah masuk trimester kedua. Mual-mual sudah jauh berkurang. Tapi ya begini lah. Mood yang semakin parah. Itu yang dirasakan Farrel. Tapi Farrel sungguh sabar menghadapinya. Ia tenru saja banyak membaca buku, mengobrol dengan papa dan juga bundanya. Juga bertanya-tanya pada Farras dan Ando. Dan sudah beberapa bulan ini, istrinya tidak berniat masak sama sekali. Saking malasnya bergerak. Kalau pagi-pagi harus ditarik dulu oleh Farrel biar bisa jalan-jalan pagi di taman komplek. Ia juga tak tahu kenapa bisa semalas ini. Biasanya kan lincah. "Baunya udah berkurang, love?" "Heum. Mendingan." Ia setidaknya sudah melepas penjepit jemuran di hidungnya. Farrel tersenyum tipis. Ia tentu tahu bagaimana rasanya menjadi ibu hamil tapi rasanya pasti berat bukan? "Ayang mampir ke resto Padang deh. Tiba-tiba pengen ayam gulai." Ia baru kepikiran. Farrel mengiyakan. Tentu saja senang karena istrinya sudah makan banyak. Yaa dengan kehamilan yang begitu membahagiakan dan anak-anak yang ada di dalamnya. "Ada lagi?" "Yang lain terserah, ayang." "Oke, love." Ia tersenyum kecil. Masih belum ingin mematikan panggilan video itu. Tapi ia ingin naik ke atas agar lebih cepat sampai. "Aku masuk jalur udara dulu, love." Fara mengiyakan lantas suaminya menghilang dari layar lalu berganti dengan acara di televisi. Sebuah acara gosip muncul. Ia awalnya tak begitu mendengar sampai..... "Kabar terbaru kini datang dari mantan istrinya seorang lelaki muda.....yang siapapun pasti tahu. Kali ini Shabrina dikabarkan baru saja mendarat di Jakarta. Wooow setelah sekian lama persembunyiannya di...." Fara sudah tak mendengar lagi. Ia justru tercenung. Ya apapun yang terjadi, ia sudah tak ada urusan sebetulnya. Tak mau ambil perduli juga. Meski kenyataan itu masih mengusiknya. Apalagi setiap kata-kata yang menyebut perempuan itu sebagai....mantan istri dari suaminya. Rasa sakit itu menerpa hatinya begitu saja. Walau sudah lama memaafkan. Yaa melupakan juga. Namun kalau pemberitaan atau penyebutan nama Shabrina, mau tak mau hatinya akan tersentil bukan? Ia tak takut kalau suaminya akan direbut kali ini. Karena Fara sudah berdamai. Sudah berdamai pada diri sendiri karena ia tahu kalau tak ada yang menjadi miliknya karena ia sendiri pun adalah milik Allah. Benar bukan? @@@ Video asusila yang tersebar itu jelas membuatnya malu. Hingga tak heran kalau gedung Kementerian Kesehatan dipenuhi ratusan pendemo. Ia hanya bisa berkacak pinggang. Menyesal sudah karena datang hari ini. Harusnya tak perlu datang karena akan membuat pusing kepala. Kemudian ia menelepon seseorang. "Urus semua pendemo itu. Mau bagaimana pun caranya, buat mereka pergi sebelum jam makan siang." Ia sudah kehilangan mood-nya. Ayah Hamas yang sedang makan pagi di penjara tentu teralihkan dengan pemberitaan yang muncul di televisi, yang ada di atas pojok ruangan itu. Ia menatapnya lalu menghela nafas. Akhirnya Bakrie merasakan karmanya juga, pikirnya. Meski ia tak yakin akan berubah. Lelaki seperti itu kalau belum jatuh, belum akan berubah. Eeh atau harus menunggu mati? Aah menunggu mati pun, ia tak yakin. Apalagi orangnya seperti Bakrie. Ia sangat mengenal penjilat yang satu itu. Kini giliran anaknya yang hancur. Sementara ia? Setidaknya ia masih berhasil menyelamatkan masa depan anak laki-lakinya. Ya anak yang selalu ia banggakan karena dibandingkan yang lain, anak lelakinya memang paling menonjol. Meski ia tak bermaksud untuk pilih kasih. Tapi baginya, membesarkan Hamas tidak akan rugi karena Hamas pasti akan bertanggung jawab pada adik dan kakaknya. Ia yakin itu. Sementara itu, seseorang di sana baru saja berteriak histeris. Bayangan hari yang menyedihkan itu muncul. Ia hampir gila dengan segala bayangan itu. Mamanya ingin sekali masuk ke dalam kamar tapi tak berani. Takut anaknya mendadak menyerangnya seperti yang akhir-akhir ini terjadi. Ia bahkan baru berani masuk di jam enam pagi atau sebelas malam. Karena biasanya anaknya tidur. Kalau di luar itu? Anaknya hahya terus berteriak histeris. Bantal dicabik-cabik dan entah apalagi yang dilakukan. Yang jelas, di dalam kamar itu sekarang hanya ada tempat tidur. Mereka tak mengikat anak karena takut terjadi sesuatu seperti tempo hari di mana anaknya malah menggigit dan memakan tali yang mengikatnya. Kejadian buruk itu terus terbayang di dalam benaknya. Satu-satunya cara untuk melampiaskan kemarahannya adalah melempari dua poster yang sengaja dipasang papanya. Ada dua wajah di sana. Ya, satu poster Hamas dan satu lagi adalah.....poster Anne. Mereka menemukan cara ini menjadi satu-satunya obat agar anaknya hanya melampiaskan kemarahannya ke sana. Setidaknya, itu lah yang masih berhasil hingga sekarang. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD