Ia menatap langit dari balik kaca jendela pesawat. Perjalanan menuju ke Padang sebetulnya sudah bisa lebih cepat. Karena baru-baru ini pemerintah mendatangkan pesawat yang dapat melaju lebih cepat dibandingkan dengan pesawat biasa. Jadi seharusnya dari Padang ke Jakarta bisa sampai kurang dari satu jam. Tapi Shakeera tak ingin menaiki pesawat itu. Ia tetap menggunakan tipe pesawat lama yang tentunya harga lebih murah meskipun kelas bisnis. Ya, di sampingnya ada papanya. Salah satu petinggi di perusahaan Regan. Dan sebetulnya tiketnya juga gratis. Mereka bisa naik yang lebih mahal tapi Shakeera yang tak mau. Tio tak bisa menolak keinginan puterinya. Ia selalu kalah.
Papanya ini sibuk. Semenjak mereka pindah ke Padang, papanya lebih banyak bekerja di Padang. Tentu ada anak perusahaan yang ia pegang di sana. Meski sesekali tetap ke Jakarta. Toh rumah mereka masih ada di Jakarta.
Keloyalan dan kedekatan Tio dengan keluarga Manggala dan Adhiyaksa memang menjadi salah satu jalan menanjak menuju puncak karirnya. Karena hampir sepuluh tahun belakangan, ia sudah berhasil duduk di kursi direktur anak perusahaan Regan. Di situ lah puncak karir yang masih ia pegang sampai sekarang. Dan baginya, kepercayaan dari Regan yang sudah seperti abang kandung sendiri bagai kunci untuknya.
Tentu banyak teman seperjuangan yang iri padanya. Tak hajya di kantor tapi juga di kalangan anak-anak kampus mereka dulu. Ya mereka tahu bagaimana kapasitas otaknya bukan? Tapi yang mereka tak tahu adalah Tio itu seseorang yang sangat ulet. Ia sangat tekun. Ia tak pernah mau berhenti belajar. Dulu saat awal-awal meniti karir, Regan paling sering mengirimnya untuk mengambil pelatihan keluar negeri. Bisa berbulan-bulan di sana bersama istrinya dan juga anak-anak. Baru saat Shakeera masuk taman kanak-kanak, Regan sudah jarang mengirimnya. Ya karena ia juga merasa kalau kemampuan Tio sudah berkembang puluhan kali lipat dibandingkan saat awal-awal masuk.
Setelah itu, baru Tio melanjutkan kuliah S2 di bidang bisnis untuk mengembangkan karirnya yang agak membelok dari jurusan. Tapi tak masalah. Toh sampai sekarang ia menikmatinya. Berbekal itu pula, ia sampai pada jabatan puncaknya bukan?
Istrinya tak perlu bekerja karena ia memang cukup mapan. Tapi mereka juga memiliki perkebunan di Padang. Ada beberapa hektar perkebunan kelapa sawit hingga buah-buahan. Semua itu dikelola istrinya yang hanya sebagai mandor. Tentu saja kenyataan di lapangan, mereka memperkerjakan saudara sendiri dan warga sekitar.
Istrinya meninggalkan pekerjaan sebagai dokter setelah kehamilan memasuki usia 6 bulan. Ya hamil Shakeera waktu itu. Kemudian mereka berangkat ke Perancis karena Tio ikut pelatihan di sana. Dua minggu sebelum Shakeera lahir, mereka kembali ke Jakarta. Waktu itu sangat tepat.
Lalu yang mengikuti jejak istrinya untuk menjadi dokter adalah Shakeera. Ya meski itu juga menjadi keinginan Tio. Ia hanya berpikir agar anaknya mudah mencari pekerjaan dengan gaji yang cukup layak. Ia tak masalah kalau harus melobi Fadlan. Ya selama ada saja jalannya sekalipun menggunakan orang dalam kan tak masalah. Yang penting, anaknya mampu. Itu saja. Kalau Arga?
Cowok itu lebih suka komputer. Karena melihat hobi itu, Tio sangat mendukungnya. Bahkan di rumah, Arga memiliki perangkat komputer yang dirakit sendiri dan berada di ruangan tersendiri. Berbagai jenis laptop yang dibutuhkan juga dibeli. Walau anak itu sebetulnya sangat mandiri. Tapi yang namanya orangtua pasti ingin membantu. Beberapa bulan terakhir, Arga sering memenangkan kompetisi di luar negeri. Bahkan kini sedang mencoba membuka start up.
Tio mengarahkannya untuk belajar dari Farrel. Karena lelaki itu sudah terjun pada bidang itu secara langsung. Entah sudah dihubungi atau tidak. Tapi sepertinya anaknya canggung kalau harus berhubungan dengan keluarga itu. Ya tahu lah bagaimana sejarah yang pernah terjadi di antara kakaknya dan keluarga itu bukan?
Mereka akhirnya tiba di bandara. Tio menyuruhnya untuk menunggu sementara ia mengurus bagasi. Shakeera yang memang kehilangan keceriaannya hanya mengangguk dan berdiri agak jauh. Gadis itu sedang melihat jam tangannya ketika seseorang menyapanya. Sedari di pesawat sebetulnya sudah melihat. Tapi tak begitu yakin apakah itu benar-benar Shakeera.
"Keera?"
"Oh," ia agak terpaksa tersenyum. "Hai."
Ia tak punya pilihan lain kecuali membalas. Lalu bersalaman. Sungguh tak menyangka kalau dunianya benar-benar begitu sempit. Salah satu teman lama di SMA muncul.
"Lama gak ketemu."
Ia hanya bisa tersenyum tipis. Mencoba untuk tersenyum lebih tepatnya. Papanya menatap dari kejauhan. Berharap anaknya baik-baik saja menghadapi orang-orang yang mengenalnya di sini.
"Lo ngapain ke Jakarta? Liburan?"
"Enggak. Mau koas."
"Oh mau koas?"
Ia tak kaget. Tahu karena memang Shakeera mengambil jurusan kedokteran.
"Kalau gue sih pulang aja. Gue kerja di Padang loh."
Shakeera hanya mengangguk-angguk. Ia tak berharap obrolan ini akan panjang. Dan beruntungnya, papanya muncul dengan koper. Walau....
"Ann sama Nadya apa kabarnya sih?"
"Duh. Sorry ya, gue duluan."
Temannya itu mengangguk dan ia terburu-buru berjalan menuju papanya. Ia sama sekali tak berniat membahas satu orang pun dari sekolahnya dulu. Sekalipun sahabat yang dulu pernah dekat. Nadya masih sering menghubunginya. Gadis itu berkuliah di Bandung dan akan menyelesaikan kuliah di tahun ini. Sementara ia baru mulai koas setelah cukup tertinggal dibandingkan yang lain. Karena teman-temannya sudah memulai lebih dulu. Begitu pula dengan Anne. Mungkin gadis itu juga sama dan ia tak pernah ingin tahu kabarnya. Karena kalau berkomunikasi dengan Anne, ia hanya akan teringat abangnya gadis itu.
Papanya membuka pintu mobil untuknya. Sopir mereka sudah datang. Ia setidaknya bisa duduk tenang. Sedari pagi sebelum berangkat, sebetulnya mamanya sudah khawatir. Bahkan tak berhenti bertanya. Bertanya apa?
"Kamu yakin mau koas di Jakarta? Gak mau di Padang aja?"
Mamanya mungkin takut ia roboh lagi. Dan ia? Ia datang ke sini bukan sekedar ingin koas. Tapi ia punya misi lain. Kalau ia hancur, mereka juga harus hancur.
@@@
Ia hanya bisa berdesis melihat pemberitaan. Bukan tentang Farrel kali ini. Melainkan tentangnya. Sepertinya keberadaannya di bandara kemarin membuat banyak yang memerhatikannya. Lalu tahu-tahu ada yang merekam dan yaaah terlihat semua keberadaannya. Ia sama sekali tak suka.
Oke, awalnya memang begitu. Tapi beberapa hari kemudian, ponselnya berdering. Ada nomor asing yang menghubunginya. Ia awalnya tak ingin mengangkat. Sampai saat ia mendapatkan pesan email dan juga akun media sosialnya. Seseorang berusaha untuk menghubunginya dan mengaku sebagai salah satu produser. Ia mencoba mengecek namanya dan yaah walau mungkin bukan produser yang terkenal tapi ia tertarik untuk menarik Shabrina menjadi salah satu pemain utama dalam series mereka. Akhirnya ia setuju untuk bertemu. Kapan lagi mendapatkan tawaran main film? Padahal ia tak punya dasar sama sekali. Meski banyak memegang iklan sebelum akhirnya skandal terakhir juga turut menghancurkan namanya. Ya tapi tampaknya keadaan yang sekarang sudah baik-baik saja. Karena dengan perlahan memang mulai berbalik. Sebab sejak awal, orang-orang itu memang tidak menyukai perempuan yang menjadi istri Farrel. Memangnya perempuan itu siapa jika dibandingkan dengan Shabrina?
Ia keluar dari apartemennya dan baru saja sampai di lobi, ia bertemu Yessi. Ya teman satu apartemen dan teman satu diskotik. Namun gadis itu hanya melihatnya dengan senyuman lalu melengos. Sama sekali tak menegurnya.
Ya berbeda memang dengan suasana di kalangan atas dan teman-temannya. Mereka tahu bagaimana hubungan Farrel dan istrinya meski tak mengenal sosok istrinya itu. Ucapan Farras, bunda, dan Ferril tentu saja lebih didengar dibandingkan netizen yang tak tahu apa-apa dan hanya bisa berspekulasi. Tanpa pernah mereka tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya.
Dan Shabrina tak mau ambil pusing sekalipun ia tak punya teman lagi di sini. Sejak awal, teman-temannya memang palsu. Hanya berteman dengan kalangan mereka. Ketika satu mengalami kesulitan lalu hidupnya terpuruk maka siap-siap untuk dijauhi. Bukan kah itu yang pernah ia lakukan dulu?
Oke, ia tak mau ambil pusing lagi. Kini ia masuk ke dalam sebuah restoran di lantai lobi apartemennya. Seseorang yang katanya produser telah menunggunya.
"Shabrina."
"Irawan."
Shabrina mengangguk. Lelaki itu juga membawa sang penulis skenario. Mereka tertarik untuk mengajak Shabrina bermain dalam series ini dengan pertimbangan? Namanya masih terus naik meski sudah setahun berlalu. Orang-orang sepertinya belum melupakannya. Yaa kalangan atas mungkin tahu bagaimana yang terjadi pada realita. Tapi kedua orang ini tidak perduli pendapat mereka. Yang mereka perdulikan adalah pendapat netizen yang masih sangat mendukung Shabrina. Kalau mereka berhasil membawa perempuan ini untuk menjadi salah satu pemain utama, bukan kah nama series juga akan melambung?
"Sosok Anastasha di sini adalah seorang artis papan atas. Ia cantik dan memiliki segalanya. Hidupnya terasa sempurna namun kurang cinta."
Begitu kata sang penulis skenario. Shabrina terdiam. Ia menyimak bagaimana sang penulis menceritakan ringkasan cerita di mana ia aebagai sosok Anastasha itu.
"Anastasha kembali bertemu dengan mantan pacarnya yang ternyata telah menikahi perempuan muslimah. Perempuan itu adalah seorang anak kyai sekaligus pemilik pesantren. Ia dijodohkan dengan seorang pemuda kaya yang ternyata mantan pacar Anastasha."
Dalam sekejab ia tentu tahu alur cerita ini. Yang seolah-olah menjadi ceritanya bukan? Cerita kehidupan yang sebetulnya ingin membuatnya tertawa. Sepertinya bualan netizen berhasil membuat sang penulis berhalusinasi tinggi.
"Setelah bertemu dengan Anastasha ada kisah yang belum usai dan hendak dirajut tapi terlambat. Di sini Anastasha tidak akan mau dinikahi oleh sang pria meskipun sang pria terus mengatakan kalau sungguh mencintainya. Walau Anastasha masih mempunyai perasaan yang begitu dalam. Anastaha menggunakan caranya sendiri untuk merebut mantan kekasihnya lagi. Dan kisah ini ditentukan oleh anda sendiri, Shabrina."
Ia terdiam mendengarnya.
"Kami masih bingung membuat ending-nya. Tapi kalau anda ingin bergabung, kita mungkin bisa mendiskusikannya bersam. Akan lebih baik kalau cerita anda dibuat seolah nyata. Tapi dengan versi yang berbeda. Saya yakin kalau fans-fans anda akan sangat senang dengan kabar ini."
"Saya akan coba memikirkannya."
Ia bahkan tak ragu saat mengatakan itu. Kedua orang itu tentu saja mengembangkan senyum. Senang sskali kalau ia bisa bergabung.
"Kalau begitu, jangan lupa hubungi kami. Kami sangat menunggumu Shabrina."
Ia hanya mengangguk lalu kembali ke apartemennya. Jujur saja, ia memang butuh uang. Tapi series itu tidak sekedar menjadi jalan nafkah untuknya. Ia ingin melakukan sesuatu. Melakukan sesuatu untuk membalas mereka. Ya, ia tak suka melihat mereka hidup begitu tenang san bahagia. Sementara ia di sini?
Ia menderita sendirian. Dan menjadi Anastasha mungkin menjadi jawaban? Ia setidaknya bisa memenangkan Farrel melalui series itu kan? Meski tahu tak kan pernah bisa memilikinya lagi. Dan lagi, ia tak berminat lagi kok. Ia tahu kalau Farrel bahkan jijik namun mungkin menahan diri. Ia masih ingat saat ia menantang Farrel dengan tubuh seksinya. Apa yang dilakukan lelaki itu?
Diam lalu pergi begitu saja. Dan ia merasa terhina. Ya memang ada banyak hal yang mungkin tak pernah diketahui oleh istri Farrel tentang apa yang terjadi sebenarnya di rumah bukan? Rumah yang dulu pernah ia tempati. Rumah yang seharusnya tak pernah ia tempati.
Ia menatap ke arah jendela lalu menghela nafas panjang. Ia ternyata masih belum berdamai dengan semua ini ya? Ia ternyata masih belum bisa melupakan segala hal yang terjadi. Walau lubuk jati kecilnya tahu kalau ia sungguh bersalah. Ia benar-benar bersalah.
Sejak awal, orangtuanya yang memaksanya untuk menerima tawaran pernikahan itu. Meski ia sudah mengatakan kalau sepertinya ia tidak mengandung anak dari lelaki itu. Karena ia ingat persis tanggal kejadian hari itu. Bahkan ia belum bisa melupakannya.
Ia juga sempat merasa bersalah pada perempuan itu. Karena kehadirannya di rumah itu hanya membuat dua orang yang saling mencintai itu saling terpisah. Namun entah kenapa. Ia masih tak bisa melihat mereka masih bersama. Ia masih tak bisa menerima betapa hidupnya hancur sekarang.
Kemudian kini beralih ke tempat lain. Ia memutuskan untuk datang ke diskotik di mana ia sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya dulu. Minum-minum dan berjoget ria seakan besok masih terus hidup. Tapi kini?
"Long time no see, Brina."
Ia sudah disambut sang bartender. Masih orang yang sama ditahun-tahun lalu ketika ia datang ke sini sebagai istri Farrel. Ia duduk di kursi di hadapan lelaki itu. Kemudian menatap sekeliling yang tampaknya sudah banyak berubah. Apa saja yang terjadi? Ia juga tak tahu karena ia menghilang setahun.
"Bener ye ternyata beritanya. Elu kembali terbang ke sini. Mau ngapain? Ketemu mantan suami?"
"Gue mau satu."
Ia enggan menanggapi pertanyaan itu dan sang bartender terkekeh. "Gak lagi hamil kan? Itu yey benar-benar keguguran?"
"Gak usah banyak tanya deh."
Ia terkekeh. Shabrina malah mendengus. Ia masih melihat sekitar. Ia tak mengenal satu pun dari mereka.
"Anak-anak ke mana?"
Si bartender terkekeh sambil menuangkan minuman. Ia meracik minuman terbarunya di hadapan Shabrina.
"Ya bubar lah. Pada takut terseret sama kasusnya si Rano. Dia kan distributor obat tuh. Harusnya sih dijejar-kejar. Tapi yaaa gak tahu deh."
Ia benci sekali mendengar nama lelaki itu. Lelaki b******k yang telah membuat kacau hidupnya.
"Deva? Cinthya? Bella?"
Ia bertanya-tanya. Si bartender terkekeh. Ia menaruh satu gelas di hadapan Shabrina.
"Deva kayaknya lanjut kuliah lagi. Dia kan udah keluar tuh dari stafsus. Terus mantan istrinya? Tauk deh. Pada ngilang semua."
"Yang lain juga?"
Si bartender terkekeh. "Semenjak yey menghilang, di sini banyak yang ganti. Orang-orang lama yang berhubungan sama Farrel atau Rano udah gak nongkrong di sini. Kalau gak ke luar negeri atau menghilang yaaa pindah ke diskotik lain. Diskotik di Jakarta kan bukan cuma ini yey! Ada banyak yang baru buka juga. Lagi pulaaaa nih, Briiii," ia mendekatkan wajahnya. Shabrina sibuk meneguk isi dalam gelas yang langsung menyerang kepalanya. Ia sudah lama sekali tak minum karena untuk keluar dari rumah saja susah. Apa yang bisa ia harapkan dari itu?
"Mereka kan tahu gimana skandalnya elo neng. Jadi pada takut. Apalagi si Ferril noh. Disegani beib sama komplotannya Deva dan Rano. Tuh orang kan gak takut apapun keknya."
Shabrina hanya diam. Ia juga sangat menghindari lelaki itu.
"Tapi omong-omong, keknya dia bener-bener serius deh sama itu siapa? Artis itu loh?"
"Nesia maksud lo?"
Ia tentu sudah mendengar kabarnya juga. Bartender banci ini menjentikkan jari. Maksudnya memang itu.
"Menurut yey, kali ini beneran nikah enggak?"
Shabrina mengendikkan bahu. Ia tak benar-benar mengenal sosok Ferril karena yang ia ingat setahun belakangan, cowok itu tampak mengerikan. Sangat-sangat mengerikan sekali.
@@@
Setelah disuntik, baru gadis itu tidur. Mamanya menghela nafas.
"Sepertinya semalaman, dia tidak tidur, dok."
Si dokter berdeham. Sesungguhnya ia tidak suka dengan cara kedua orangtua Nisa memperlakukan anaknya bagai orang gila yang harus dikuring di dalam rumah. Ya ia tahu kalau tak mudah berhadapan dengan anak korban p*********n. Tapi cara memperlakukannya juga harus dengan lebih manusiawi. Lalu ia juga sempat melihat tadi, poster laki-laki yang katanya disukai Nisa. Dan perempuan yang dibenci Nisa. Ia melihat banyak tusukan mengerikan di sana. Itu bisa memperparah. Bahkan lebih gilanya bisa membunuh. Namun ia bisa apa kalau segala sarannya hanya mental? Lalu ia hanya bisa datang ketika mereka butuh begini.
"Saran saya, Nisa harus bertemu psikiater dengan segera. Saya mungkin tak bisa menanganinya. Dia butuh seseorang yang lebih muda dan paham apa yang dialaminya."
Si mama menghela nafas. "Anak saya tidak gila, dok."
Rasanya si dokter itu ingin tertawa. Bukan kah mereka berpendidikan? Psikiater itu bukan mengurus orang gila. Mereka membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan untuk sembuh. Ya seperti Nisa yang pasti terganggu parah dengan kejadian waktu itu.
"Saya yakin, ibu bisa mencari tahu lebih tentang tugas dan fungsi seorang psikiater. Anak ibu butuh itu kalau mau sembuh dan saya hanya bisa menyarankan," ucapnya lugas lantas pamit. Kalau sekali lahi ia diminta datang hanya untuk memberikan suntikan penenang, ia tak akan kau datang. Ini hanya akan mempengaruhi kredibilitasnya sebagai seorang dokter sekaligus psikiater. Ia banyak berhadapan dengan korban-korban p*********n seperti Nisa. Rata-rata takut untuk keluar. Karena mereka mengalami banyak stigma. Meski yaa beberapa berhasil sembuh dan ada juga yang memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Ia menggelengkan kepala begitu masuk ke dalam mobil dan menyetir mobilnya. Ia terkendala birokrasi kalau berhadapan dengan keluarga menteri ini. Sebisa mungkin menjauh dan ia akan mencari apapun untuk tak terlibat lagi.
"Dokter Hana menyarankan agar anak kita dibawa ke psikiater."
Begitu katanya begitu suaminya datang. Tapi suaminya malah terkekeh. "Sok tahu dia."
Malah itu jawaban yang ia dapat. Ia terkendala pada suaminya. Ia tahu apa yang dipikirkan suaminya. Pasti terlalu malu untuk membawa Nisa keluar bukan? Bahkan keberadaannya di rumah pun disembunyikan. Mereka tak ingin ada yang tahu. Sudah cukup malu atas apa yang terjadi.
"Kalau kita--"
"Kamu tahu apa?" tantangnya. Istrinya langsung diam begitu dipelototi. "Ikuti caraku. Anak itu perlu dikerasi. Dia perlu tahu untuk tak berbuat semaunya."
Istrinya menghela nafas dalam.
"Lagi pula sialan sekali video itu. Kalau tidak tersebar, aku bisa tuntut anaknya si Zulfikar untuk bertanggung jawab. Meski aku tak suka dia menjadi menantuku!"
Ia baru saja menaruh gelas di atas meja. Kemudian berjalan menuju kamar untuk membersihkan diri. Kepalanya terasa penuh sekali dengan berbagai masalah yang sedang dihadapi.
@@@
"Nanti sama dokter Latifah ya, Keera."
Ia hanya mengangguk saja kemudian keluar dari ruangan Aisha. Aisha menghela nafas. Tahu betul kalau banyak yang berubah dari gadis ceria nan centil itu. Sudah tak seperti dulu. Ia tampak berbeda. Seperti orang yang berbeda.
Shakeera berjalan dari sana menuju ruangan di mana biasanya menjadi ruang khusus dokter koas. Ya memang ada ruang khusus. Mungkin berbeda dengan ruang mahasiswa magang. Ia berbelok ke sana dan menemukan dokter Latifah yang dimaksud. Perempuan yang bernama dokter Latifah itu tampak masih muda. Ya sepertinya belum lama juga menjadi dokter atau ia yang salah?
"Shakeera?"
Ia mengangguk. Perempuan itu tersenyum. Ia sepertinya sudah mengetahui sedikit tentang kepribadian Shakeera yang tampak pendiam. Jadi hanya berbasa-basi sedikit. Perempuan itu mengenalkan dirinya sebagai dokter residen. Ya ternyata sedang mengambil spesialis dan praktik di sini. Shakeera hanya mengangguk-angguk. Lalu ikut dengan dokter ini berkeliling rumah sakit untuk melihat keseluruhan area.
"Teman-teman kamu yang lain, kebetulan sudah memulai koas di sini sebulan yang lalu. Sekarang mungkin ada yang lagi libur atau sibuk di UGD. Nanti bisa kenalan kalau pada kumpul di ruangan tadi."
Ia hanya mengangguk. Sejak awal, ia memang tak berbicara sedikit pun. Ia tak tahu kalau papanya menatap dari lantai atas bersama Fadlan di sebelah kanannya dan juga Fahri. Yang jelas, mereka juga turut prihatin. Tapi mereka tak begitu tahu permasalahan yang sebenarnya. Karena Tio tak mau itu mempengaruhi hubungan mereka. Jadi Tio hanya mengatakan kalau anaknya mungkin agak di luar batas selama beberapa tahun belakangan karena salah pergaulan. Hanya itu.
"Nanti juga balik. Mungkin butuh waktu aja."
Tio tahu. Ia juga pernah berada pada fase parah di mana ia ingin bunuh diri hanya karena patah hati. Bukan kah itu bodoh? Yaaa. Dan saingannya bahkan ada di sebelahnya ini kan? Tapi sudah sejak lama, ia menerima. Ia juga tak menyangka kalau ia akan ada di fase itu. Dan karena ia pernah mengalami hal itu, ia jadi memahami perasaan anaknya. Kalau sekarang?
Ia tentu sudah baik-baik saja. Kini ia harus menangani anaknya untuk melewati fase ini dengan sangat baik. Karena ia yakin, anaknya juga akan menemukan kebahagiaannya sendiri.
@@@