Manhattan, New York (US)
Aurora menggigil kedinginan ketika dia berjalan di lorong hotel.
Siang ini hujan salju turun semakin deras, beberapa butiran es juga ikut turun bersama dengan salju. Angin kencang turut memperburuk keadaan. Kota mereka gelap dan sangat dingin. Aurora tidak bisa menghitung berapa banyak selimut yang dia bawa untuk pergi ke gudang atas. Sudah lebih dari 10 jam sejak Alfred menghubunginya, Aurora harus memastikan keberadaan ayahnya karena sekitar 2 jam yang lalu pihak hotel memberikan pengumuman mengenai evakuasi yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk warga Manhattan. Mereka semua diminta untuk pergi ke perbatasan menggunakan kendaraan pribadi. Jika ada yang tidak memiliki kendaraan, maka akan dikirimkan transportasi khusus agar mereka bisa keluar dari Manhattan.
Aurora dengar wilayah Philadelphia direndam banjir sehingga banyak jalan di sana yang ditutup. Satu-satunya akses terdekat yang bisa ditempuh dari Washington, D.C menuju ke New York adalah dengan melewati Philadelphia. Jika jalan utama ditutup, maka kemungkinan besar Alfred tidak akan bisa datang ke New York.
“Nona, Anda tidak memiliki kendaraan pribadi bukan? Pihak hotel sudah menyediakan kendaraan khusus agar pengunjung bisa segera dievakuasi ke tempat yang lebih aman. Menurut berita, dalam 3 atau 4 jam lagi akan terjadi badai besar di kota ini. Kita mungkin akan benar-benar melihat langsung bagaimana gelombang dingin membekukan kota ini” Seorang pelayan hotel menghentikan Aurora yang sedang naik ke tangga atas.
“Aku harus menghubungi ayahku, aku ingin tahu apa yang sedang terjadi..” Aurora berusaha untuk menghindari pelayan tersebut.
“Nona, tolong jangan meninggalkan ruangan Anda karena itu akan mempersulit proses evakuasi. Tidak ada jaringan telepon yang berfungsi saat ini, Anda harus kembali ke ruangan Anda”
Aurora menatap pelayan tersebut dengan kesal. Dia tidak bisa pergi tanpa memberi kabar kepada ayahnya. Aurora harus tahu apa yang sedang terjadi. Pergi menggunakan kendaraan umum di suhu rendah berpotensi membuat mereka terkena masalah. Bisa saja mesin berhenti bekerja karena suhu udara terlalu dingin. Aurora tidak bisa mempertaruhkan hidupnya untuk mengikuti aturan evakuasi yang masih belum pasti kebenarannya tersebut.
“Kau pernah dengar nama Alfred Bernadius?” Tanya Aurora.
Pelayan tersebut tampak berpikir sejenak tapi tidak lama kemudian ia menganggukkan kepalanya.
“Dia adalah ayahku. Namaku Aurora Bernadius, sekarang aku harus menghubunginya untuk menanyakan apa yang harus dilakukan. Evakuasi di suhu rendah seperti sekarang dapat meningkatkan risiko hiportermia. Apakah pemerintah akan bertanggung jawab atas kematian kami?” Tanya Aurora.
Kedua tangan Aurora semakin mengeratkan mantel dinginnya. Suhu udara yang semakin menurun membuat udara di sekitar mereka terasa seperti menyentuh es yang membeku. Entah sampai kapan mereka akan bertahan di kondisi seperti ini, tapi Aurora rasa badai dingin tersebut akan segera datang.
“Kami diperintahkan untuk mengevakuasi pengunjung ke lantai dasar. Jika Anda tidak mau menunggu di lantai satu, Anda diizinkan untuk menunggu di ruangan Anda sendiri. Tapi tidak ada yang boleh meninggalkan kamar hotelnya, Nona..”
Aurora menarik napasnya dengan kesal. Apa yang harus dia lakukan untuk bisa menghubungi Alfred? Ponselnya masih belum berfungsi, satu-satunya hal yang bisa Aurora gunakan adalah telepon tua yang ada di lantai atas.
“Apa kau juga akan bertanggung jawab jika aku mati kedinginan di sini?” Tanya Aurora dengan suara kesal.
“Saya bekerja untuk mengikuti perintah atasan, Nona. Anda bisa melihat bahwa saya masih tetap bekerja sekalipun saat ini kita akan mengalami kiamat..”
“Hei!” Aurora menatap pelayan itu dengan pandangan tidak percaya.
“Ini bukan badai yang sering terjadi di negara kita. Badai es yang membekukan samudra atlantik, apakah Anda pernah mendengar mengenai hal itu?”
“Hentikan omong kosong ini dan biarkan aku naik ke atas!” Aurora segera mendorong pelayan itu dan memaksa untuk naik ke lantai atas.
“Kami tidak akan bertanggung jawab jika ada sesuatu yang tidak diinginkan. Anda bersikeras naik ke lantai atas..’ Kata pelayan hotel tersebut.
Aurora tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
“Maaf karena aku sempat mendorongmu. Tapi tenang saja, aku akan bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan saat ini”
Begitu sampai di gudang, Aurora kembali mengeratkan mantelnya karena udara di ruangan ini terasa jauh lebih dingin dari udara di lorong hotel. Pintu penghubung ke balkon masih tetap terbuka sekalipun sudah ditutup dengan sebuah lemari besar. Udara masuk lewat sela-sela kecil dan membuat ruangan ini terasa sangat dingin.
Beberapa kali Aurora mencoba menghubungi ponsel Alfred, tapi tidak ada jawaban apapun dari Alfred.
Aurora mulai menggigil kedinginan, tapi dia tidak menyerah begitu saja. Aurora sadar jika ayahnya sedang sangat sibut saat ini, tapi dia harus mendapatkan jawaban pria itu sebelum ikut naik ke kendaraan umum menuju ke perbatasan kota Manhattaan.
Tangan Aurora bergerak untuk kembali menekan tombol telepon, udara dingin membuat gerakan tangannya semakin pelan. Hembusan napasnya juga melambat karena tubuhnya benar-benar menggigil saat ini.
Begitu Aurora selesai menekan nomor telepon Alfred, tiba-tiba saja telepon tersebut berdering dengan suara yang begitu nyaring.
Aurora mengangkatnya dengan tangan yang bergetar karena kedinginan. Dalam hatinya Aurora terus berharap jika orang yang ada di sambungan telepon ini adalah Alfred.
“Aurora?!”
Hembusan napas lega langsung terdengar dari bibir Aurora. Dia merasa sangat senang karena akhirnya mendengar suara ayahnya.
“Daddy..” Aurora berbicara dengan pelan.
“Oh Tuhan, akhirnya kau berhasil dihubungi! Aurora, apakah kau masih berada di hotel?”
Aurora segera menghapus air matanya. Ini bukan waktu yang tepat untuk menangis, Aurora harus kuat karena saat ini dia tidak memiliki siapapun selain dirinya sendiri.
“Mereka.. mereka memberikan tawaran untuk melakukan evakuasi. Ada sebuah mobil yang sudah berangkat dari hotel untuk pergi ke perbatasan kota. Udara di sini sangat dingin..” Aurora berbicara dengan pelan.
Dia mengulurkan tangannya dan menggerakkan jarinya yang terasa kaku. Oh tidak, apakah badai itu akan datang sekarang?
“Jangan pergi menggunakan mobil itu, Aurora! Dengarkan Daddy, sekarang kau harus tetap berada di kamar hotelmu. Gunakan apapun untuk bisa meningkatkan suhu tubuhmu, kau bisa menggunakan selimut dan jaket. Jangan membuka jendela atau pintu kamarmu karena mungkin badai itu akan datang lebih cepat dari yang Daddy prediksi..”
Aurora menutup mulutnya. Sejak kemarin dia berharap ayahnya segera datang dan membawanya pergi dari tempat ini sebelum badai datang. Tapi kenapa kenyataannya sangat berbeda?
“Daddy ada di mana? Aku sangat takut..” Aurora mulai menangis karena ketakutan.
“Hei, jangan menangis sayang. Ada sebuah masalah sehingga Daddy tidak bisa sampai di Manhattan tepat waktu.. Tapi Daddy akan segera menanganinya. Jangan khawatir, kau akan selamat..”
Aurora menggelengkan kepalanya. Apa yang harus dia lakukan untuk tetap selamat? Ada banyak berita mengenai badai udara dingin yang telah Aurora dengar. Sejak pagi ini semua orang terus membicarakan tentang beberapa kota di berbagai negara belahan dunia yang membeku setelah tersapu badai. Apa mungkin Aurora bisa tetap selamat jika dia berada di pusat kebekuan tersebut? Bangunan hotel akan berubah menjadi es yang membeku, Aurora tidak akan pernah selamat.
“Aku sangat takut.. apakah aku akan mati?”
“Tidak! Kau akan selamat. Dengarkan Daddy, sekarang Daddy berada di New York, tapi tiba-tiba mobil yang Daddy tumpangi berhenti bergerak karena suhu udara yang rendah telah membekukan mesin mobil. Daddy mungkin tidak akan bisa datang ke tempatmu saat ini, tapi tetaplah berada di dalam hotel..”
Aurora semakin ketakutan. Mobil ayahnya berhenti bergerak karena bensin dan mesinnya membeku, lalu apa yang akan terjadi pada kendaraan umum hotel ini? Mereka pasti akan mengalami hal yang sama.
“Apakah ada bak mandi di kamar hotelmu?” Tanya Alfred.
Aurora menganggukkan kepalanya sambil mengusap air matanya.
“Ada bak mandi di sana, apa yang harus aku lalukan dengan bak mandi tersebut?” Tanya Aurora.
“Benda itu tidak akan terbakar jika kamu menyalakan api di dalamnya. Apakah di gudang itu ada benda tidak terpakai yang bisa kau bakar? Untuk menghangatkan tubuhmu, kau perlu membuat api di kamar hotelmu..”
Aurora terdiam sesaat. Apa yang harus dia lakukan? Dia akan terkena masalah jika pihak hotel mengetahui apa yang ia lakukan.
“Ada.. ada sebuah lemari yang kurasa pasti berisi pakaian pegawai hotel ini. Aku akan mencoba untuk melihatnya..” Kata Aurora dengan sedikit ragu.
Lemari yang Aurora bicarakan adalah lemari yang saat ini sedang menjadi penghalang pintu balkon. Aurora tidak yakin apakah ada pakaian di dalam lemari itu, tapi dia akan mencoba untuk melihatnya nanti.
“Bakar apapun yang bisa menghasilkan api untukmu. Tunggulah di sana, jangan pernah keluar dari kamar hotelmu. Daddy akan mencarimu ketika situasi mulai membaik..”
Aurora menganggukkan kepalanya dengan pelan. Dia mengerti sesulit apa keadaan ayahnya saat ini. Pria itu meninggalkan Washington, D.C untuk datang mencari Aurora di tempat yang paling dihindari oleh semua orang di benua Amerika.
“Tidak ada yang tahu kapan badai ini akan berakhir, tapi tetaplah tenang. Jaga suhu tubuhmu agar tidak menurun dengan drastis. Hipotermia akan semakin memperburuk keadaan..”
Aurora kembali menganggukkan kepalanya.
“Daddy, apakah aku harus menghentikan orang-orang yang akan berangkat ke perbatasan? Mobil mereka mungkin juga akan mengalami hal yang sama dengan mobil, Daddy..” Aurora berbicara dengan suara pelan.
Cukup lama Aurora menunggu jawaban dari ayahnya, sampai pria itu akhirnya mengatakan sebuah jawaban yang membuat Aurora terdiam.
“Hentikan mereka jika kau memang ingin melakukannya. Tapi jangan merasa bersalah kalau mereka tidak mendengarkanmu. Pemerintah hanya suka membuat perintah tanpa mau mengamati keadaan yang sebenarnya..” Alfred tertawa pelan.
Aurora mendapat kesimpulan jika kebijakan tentang evakuasi bukanlah hasil pengamatan Alfred. Ayahnya membuat prediksi mengenai apa yang terjadi di New York, tapi bukan pria itu yang memberikan usulan mengenai evakuasi.
“Angin mulai berhembus dengan sangat kencang, Aurora. Segera lakukan apa yang Daddy katakan padamu. Kita tidak memiliki banyak waktu..”
“Baik.. baiklah, Daddy. Jaga dirimu baik-baik..” Kata Aurora dengan pelan.
“Aurora, apa yang kau lakukan di sini?! Aku mencarimu sejak tadi!”
Aurora langsung menolehkan kepalanya begitu dia mendengar suara Victor di ujung tangga.
“Aurora?”
Beberapa detik kemudian Aurora mendengar suara ayahnya.
Tatapan mata Aurora mulai gelisah. Dia menatap Victor dengan kesal karena pria itu bersuara dengan tiba-tiba.
Marah kepada Victor tidak akan mengubah apapun. Alfred pasti sudah mendengar suara Victor..
“Ak—aku akan segera melakukan apa yang Daddy katakan..” Kataa Aurora.
Terdengar suara hembusan napas sebelum ayahnya menjawab.
“Jaga dirimu baik-baik, Aurora. Siapapun yang sedang bersamamu saat ini, tolong katakan padanya untuk menjagamu baik-baik..”
Aurora tidak bisa memberikan jawaban apapun hingga telepon tersebut terputus begitu saja.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa bersuara ketika aku sedang menggunakan telepon?” Aurora langsung menatap Victor dengan tatapan gelisah.
Ayahnya jelas tahu jika orang yang berbicara kepada Aurora adalah seorang pria. Entah apa yang akan terjadi setelah ini..
“Aku benar-benar minta maaf.. kau membuatku sangat khawatir hingga aku kehilangan kendali.. maafkan aku, Aurora..”
Tidak ada yang bisa mengubah sesuatu yang telah terjadi. Sekarang Aurora tidak memiliki waktu, dia harus segera melakukan apa yang diminta oleh Alfred.
“Kita harus membuat perapian. Ayahku mengatakan jika badai dingin tersebut akan datang lebih cepat dari yang dia perkirakan sebelumnya..” Kata Aurora dengan pelan. Tangannya bergetar, tubuhnya juga menggigil karena merasa sangat kedinginan. Gelombang udara dingin belum datang, tapi Aurora sudah merasa kepayahan untuk menghadapi suhu udara yang semakin turun.
“Perapian?” Tanya Victor dengan wajah kebingungan.
“Ya, kita harus membuat perapian di kamar mandi hotel. Ambil barang yang bisa kita bakar di sana, itu akan membuat suhu udara lebih hangat..”
Victor menatapnya dengan khawatir, pria itu mendekatinya lalu memberikan mantel dinginnya kepada Aurora.
“Tubuhmu menggigil, jangan menolak mantel ini..” Victor memeluk Aurora lalu tersenyum sejenak.
Ya, setidaknya mereka masih saling memiliki satu sama lain. Aurora tidak sendiri, begitu juga dengan Victor.