Bab 18

1393 Words
Manhattan, New York (US) Rangkaian perlombaan yang Aurora ikuti membuatnya jadi sangat sibuk sehingga dia tidak memiliki waktu untuk mengelilingi Manhattan yang sering turun salju belakangan ini. New York sudah mulai mempersiapkan malam Natal yang akan berlangsung dua minggu lagi. Tanpa terasa Aurora sudah berada di Manhattan selama satu pekan. Seluruh rangkaian perlombaan sudah hampir usai, malam ini Aurora hanya tinggal mendengarkan pengumuman juara saja. Bersama dengan Victor yang terus menggenggam tangannya sejak beberapa menit yang lalu, Aurora sesekali memejamkan mata sambil menghembuskan napas dengan gelisah. Ini pertama kalinya Aurora mendengarkan pengumuman perlombaan tanpa ditemani oleh ibunya. Aurora jadi sangat gugup. “Kau melakukan yang terbaik, Aurora. Jangan khawatir..” Victor kembali mencoba untuk menenangkan Aurora. Meteorologi adalah bidang yang sangat digemari oleh ayahnya. Aurora masih ingat saat pertama kali dia mendengar penyelenggaraan lomba ini melalui Miss Anistton, saat itu Aurora sangat senang karena akhirnya dia bisa mengikuti perlombaan yang dia inginkan. Bidang meteorologi yang digeluti oleh ayahnya juga menjadi bidang yang Aurora sukai. Sayangnya selama ini sangat jarang diadakan perlombaan meteorologi. “Aku takut jika aku tidak mendapatkan juara. Persiapanku sangat singkat, aku juga tidak memiliki banyak buku yang berisi materi meteorologi..” Berkali-kali Aurora menghembuskan napasnya dengan gelisah. “Menjadi juara atau tidak, itu sama sekali tidak penting. Semua orang sangat bangga pada pencapaianmu, Aurora” Kata Victor. Tidak, Aurora tidak bisa puas hanya dengan menjadi peserta perlombaan saja, Aurora harus menjadi pemenang karena dia ingin membuktikan pada ibunya bahwa bidang meteorologi juga sangat penting untuk dipelajari. Lagipula sebentar lagi Aurora akan pergi ke Washington, D.C untuk menemui ayahnya, Aurora tidak ingin mengecewakan pria itu seandainya dia datang ke sana tanpa membawa kabar baik mengenai perlombaannya. “Ibuku tidak akan senang jika aku tidak menjadi juara. Dia pasti akan langsung mengatakan jika aku adalah seorang anak yang gagal karena dia tidak mau mengikuti rencananya” “Tidak, Aurora. Kau terlalu terfokus pada kemarahannya sehingga memikirkan hal yang buruk tentang ibumu..” “Kau tidak mengenal ibuku..” “Tapi aku mengenalmu, aku tahu ibumu juga sama baiknya seperti dirimu..” Aurora memilih untuk diam. Ada banyak sekali hal yang mengganggu pikirannya. *** “Aurora, sayang.. maafkan Daddy karena tiba-tiba mengatakan hal ini, tapi ada pertemuan penting yang harus Daddy lakukan..” Aurora menarik napasnya dengan pelan. Ada banyak sekali hal buruk yang terjadi di hari yang sama. Aurora merasa kecewa karena ayahnya baru saja mengabarkan jika dia tidak bisa datang ke Manhattan untuk menjemputnya. “Tidak masalah, aku akan datang ke sana sendiri. Apakah Daddy bisa menjemputku di bandara Washington?” Aurora bertanya sambil mengemas beberapa pakaiannya yang sudah satu minggu berada di lemari hotel. Rencananya besok siang Aurora akan berangkat ke Washington, D.C bersama dengan Alfred, tapi malam ini pria itu mengatakan tidak bisa datang ke Manhattan karena ada pertemuan penting yang harus dihadiri. Aurora tahu jika ayahnya adalah seorang profesor penting yang pasti sangat sering menghadiri pertemuan mendadak dengan beberapa ahli meteorologi. Apalagi belakangan ini Aurora sering mendengar kabar jika musim dingin akan berlangsung lebih singkat karena adanya gelombang angin panas yang berasal dari wilayah Asia. “Tentu saja Daddy akan menjemputmu. Apakah tidak masalah jika kau datang sendiri ke sini?” Tanya Alfred dengan suara menyesal. Aurora melemparkan botol air mineral ke arah tempat sampah, tapi lemparannya meleset sehingg menghantam meja kayu. “Apa yang terjadi?” Victor tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarnya, pria itu terlihat cemas tapi langsung berubah gelisah begitu melihat Aurora yang sedang menelepon. “Maafkan aku..” Victor berbicara tanpa suara. Mau tidak mau Aurora hanya diam sambil menganggukkan kepala. “Aurora? Kau sedang ada di mana, sayang?” Aurora bangkit berdiri dan berjalan mendekati jendela kamar hotelnya yang terbuka sehingga udara dingin langsung masuk dan menyentuh tubuhnya. “Aku sedang ada di hotel. Kenapa?” Tanya Aurora. “Terdengar suara seseorang yang berbicara, apakah ada temanmu atau..” “Aku sedang menonton televisi. Mungkin suara televisi ikut terdengar..” Aurora benar-benar menyesal karena harus mengatakan kebohongan, tapi dia tidak punya pilihan lain. Bukan hanya ibunya, tapi ayahnya juga pasti akan sangat marah jika tahu Aurora berada di kamar hotel bersama dengan kekasihnya. “Apakah kau sudah makan malam, Aurora? Daddy bisa memesankan makanan ke kamar hotelmu jika kau mau” Aurora merasa terharu dengan perhatian yang diberikan oleh ayahnya. Bukan sekali dua kali Alfred mengirimkan makanan kepada Aurora. “Aku sudah makan, Daddy. Tidak perlu mengirimkan makanan kepadaku..” Jawab Aurora dengan pelan. “Sering turun salju di Manhattan, jangan lupa untuk selalu mengenakan mantelmu ketika keluar rumah. Jangan sampai kau kedinginan dan terkena flu atau bahkan demam. Apakah kau membawa vitamin, Aurora?” Meskipun ibunya marah ketika Aurora memutuskan untuk berangkat ke Manhattan, wanita itu tetap memperhatikannya dengan membawakan vitamin dan beberapa suplemen makan untuk Aurora. “Mommy membawakan aku banyak vitamin, jangan khawatir” Jawab Aurora. “Maaf karena Daddy kembali mengingkari janji..” Aurora menganggukkan kepala sambil mengulurkan tangan ke luar jendela. Sekalipun sudah hampir tengah malam, New York seakan menjadi tempat yang tidak pernah mati. Selalu ada orang yang beraktivitas di luar hotel, Aurora bisa melihat dengan jelas jika masih ada banyak pejalan kaki yang melintasi bahu jalan dengan langkah terburu-buru karena takut akan turun salju. Hotel tempat Aurora tinggal selama sepekan ini terletak di bahu jalan utama yang menghubungkan tempat-tempat iconik di New York. Mengingat jika dua minggu lagi mereka akan merayakan malam natal, ada banyak sekali orang yang menyerbu toko perlengkapan natal yang ada di seberang hotel. Beberapa kali Aurora melihat orang yang keluar sambil mengangkat pohon natal besar dari toko tersebut. Mungkin sebelum berangkat ke bandara Aurora akan mampir dan memberi beberapa hiasan natal untuk diberikan kepada Alfred. “Aurora..” “Ya?” “Apakah Dalton adalah orang yang baik?” Aurora cukup terkejut ketika mendengarkan pertanyaan yang diajukan oleh Alfred. “Ya, dia sangat baik padaku. Setidaknya aku jadi memiliki teman bicara ketika Mommy sibuk dengan klinik hewannya..” Aurora menjawab dengan pelan. “Daddy senang karena kamu tidak kesepian di sana. Apakah ibumu juga bahagia?” Aurora semakin mengernyitkan dahinya. “Sepertinya, iya. Mereka sangat jarang bertengkar, Dalton mengerti bagaimana sifat Mommy yang selalu menuntut kesempurnaan. Kurasa selama ini mereka sangat cocok..” Jawab Aurora. Aurora berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyinggung ayahnya lewat jawaban yang ia paparkan. Rasanya sangat sulit ketika dia harus selalu menjaga perasaan ibunya saat sedang merindukan ayahnya dan dia juga harus menjaga perasaan ayahnya saat sedang membicarakan mengenai ibunya. “Daddy senang jika dia bahagia. Dia memulai hidup baru dengan orang yang tepat.” “Kuharap Daddy juga selalu bahagia..” Kata Aurora sambil tersenyum dengan tulus. Ada saat dimana Aurora merasa marah kepada ayahnya. Beberapa tahun lalu Aurora selalu menyudutkan ayahnya atas setiap keadaan dalam hidupnya, itulah yang membuat hubungan mereka meregang. Aurora sering kali mengabaikan panggilan dari Alfred, dia justru berusaha menghindar dari pria itu karena berpikir jika Alfred tidak lagi peduli padanya. Sejak kecil Aurora jauh lebih dekat dengan Alfred karena pria itu sering mengajaknya bermain boneka di malam hari. Aurora jarang berinteraksi dengan ibunya karena wanita itu sibuk dengan kuliahnya. Abigail kembali berkuliah saat Aurora berusia 5 atau 6 tahun. Perceraian kedua orangtuanya membuat Aurora merasa sangat terpukul. Belum lagi dia harus kehilangan bibinya yang menikah satu tahun setelah perceraian orangtuanya. Bibi Alista pindah ke wilayah Seattle karena suaminya memiliki perusahaan di kota tersebut. Aurora benar-benar merasa kehilangan segalanya.. “Daddy akan bahagia jika mendengar kebahagianmu, Aurora.” Aurora selalu ingin tahu bagaimana kehidupan ayahnya di Washington, D.C. Apakah pria itu menjadi seorang profesor yang sangat sibuk dengan penelitiannya hingga dia melupakan kehidupan pribadinya atau justru Alfred menjadi seorang profesor yang kesepian karena tidak memiliki satupun keluarga yang tinggal di wilayah tersebut? “Di seberang hotelku ada sebuah toko yang menjual hiasan natal, apakah ada sesuatu yang Daddy inginkan sebagai hadiah natal?” Tanya Aurora. “Hadiah natal? Kau seharusnya tidak bertanya ketika akan memberikan hadiah, Aurora” Aurora tertawa pelan. “Aku takut membeli sesuatu yang tidak kau sukai, Daddy” Jawab Aurora. “Daddy pasti akan menyukai semua hadiah yang kau berikan” Rasanya tidak sabar untuk kembali bertemu dengan ayahnya. Aurora harap malam berlalu semakin cepat agar dia bisa segera terbang ke Washington, D.C untuk menghabiskan liburan natal di sana. Aurora tersenyum dengan samar. Menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan ayahnya membuat Aurora merasa lebih baik setelah mengalami kegagalan di perlombaan. Aurora hanya menjadi juara tiga, dan itu membuatnya sangat terpukul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD