Bab 23

1387 Words
Colombus, Ohio (US) Abigail berpikir jika hidupnya akan berakhir ketika dia merasakan getaran gempa saat ia tengah menonton televisi di rumah sakit. Semua orang panik, begitu juga dengan Abigail dan Dalton. Tidak ada satupun orang yang berani keluar dari ruangan mereka ketika gempa terjadi, semua orang harus tetap diam sambil mencari benda kuat yang dapat digunakan sebagai tempat berlindung. Dalton mengangkat Abigail untuk bersembunyi di balik ranjang tidur, pria itu dengan sigap meletakkan lengannya di atas kepala Abigail seakan berusaha untuk tetap menjaganya. Selama hampir 5 menit bertahan di tengah gempa, Abigail dan Dalton akhirnya dievakuasi dari ruangan rumah sakit. Dalton berlari sambil menggendong Abigail karena mereka tidak bisa menggunakan kursi roda di saat seperti ini. Dalton berlari bersama dengan puluhan orang berbondong-bondong keluar dari rumah sakit begitu gempa sudah mulai usai. Abigail menyembunyikan wajahnya di bali bahu Dalton, dia terlalu takut untuk melihat keadaan di sekitarnya. Masih teringat jelas jika beberapa detik sebelum getaran gempa terasa, ada sebuah ledakan yang terdengar cukup keras. Abigail rasa ada sebuah gunung vulkanik yang meletus dan menimbulkan gempa bumi. Begitu sampai di luar rumah sakit, sesuatu yang mengerikan terjadi, langit tampak gelap, menutupi cahaya matahari yang sebenarnya tidak terlalu bersinar terang di musim dingin. Angin berhembus dengan perlahan, membawa rasa tidak nyaman yang membuat semua orang tampak panik dan ketakutan karena mereka masih belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa orang mengeluarkan ponsel mereka, mencoba untuk menghubungi keluarga atau mungkin mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun tidak ada satupun ponsel yang menyala. Seluruh perangkat seluler seakan rusak di waktu yang bersamaan. “Apa yang terjadi?” Tanya Abigail dengan raut ketakutan. Bukan hanya memikirkan tentang keadaannya di Colombus, Abigail juga khawatir pada Aurora yang sedang berada di Manhattan. “Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk..” Dalton menjawab dengan tidak yakin. Dalton menurunkan Abigail dan membiarkan wanita itu duduk di kursi yang diberikan oleh petugas rumah sakit. Selama beberapa menit ke depan mereka tidak diizinkan untuk masuk ke dalam gedung karena khawatir akan datangnya gempa susulan. Lagipula saat ini masih belum dipastikan apa yang sebenarnya terjadi hingga membuat seluruh perangkan seluler mati secara bersamaan dengan terjadinya gempa. “Duduklah di sini, aku akan mencarikan air mineral untukmu..” Abigail menganggukkan kepalanya, dia membiarkan pria itu berjalan di tengah kerumunan manusia yang juga sedang tampak cemas karena kebingungan. Tidak sampai lima menit kemudian Dalton kembali sambil membawa dua buah minuman kemasan yang entah dia dapatkan dari mana. “Beberapa orang mengatakan jika kita harus masuk ke dalam rumah sakit jika setelah ini terjadi hujan...” Dalton berbicara sambil membuka kemasan air mineral lalu membantu Abigail untuk memegang botol kemasan tersebut ketika dia akan minum. Tatapan Abigail kembali mengarah pada sekelilingnya, beberapa pasien yang beruntung sudah berhasil keluar bersama dengan keluarga dan bantuan perawat, tapi masih ada beberapa pasien yang terjebak di dalam rumah sakit karena mereka tidak bisa bergerak dengan bebas. “Apakah ponselmu juga tidak berfungsi?” Tanya Abigail sambil menatap Dalton. Dalton menggelengkan kepalanya dengan pelan. Entah karena apa semua ponsel yang ada mati seketika. “Kita harus menghubungi Aurora..” Kata Abigail dengan khawatir. Tidak ada hal yang lebih penting dari keselamatan Aurora. Abigail tidak akan bisa tenang jika dia belum mendengar langsung bagaimana kabar putrinya yang sekarang sedang berada di negara bagian lain. New York sangat jauh dari Ohio, Abigail tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Aurora saat ini. “Colombus sangat jauh dari Manhattan, dia pasti baik-baik saja..” Abigail tidak pernah membiarkan Aurora pergi sendirian. Kemanapun putrinya pergi, maka dia juga akan pergi. Entah kenapa kali ini kejadian buruk terjadi di waktu yang sangat tidak tepat. Bahkan Abigail dan Aurora bertengkar sebelum putrinya itu berangkat ke Manhattan. Mencoba untuk tetap menenangkan diri, Abigail mengikuti segala instruksi dari penjaga rumah sakit bersama dengan Dalton. Pria itu kembali menggendongnya untuk masuk ke dalam gedung karena langit semakin gelap dan tampaknya akan segera turun badai. Beberapa orang mulai ketakutan karena melihat gelapnya langit layaknya malam hari. Cahaya matahari terhalang oleh awan hitam yang bergerak dengan cukup mengerikan. Abigail melihat sendiri bagaimana gerakan tidak wajar pada awan tersebut. Ada satu hal yang secara tiba-tiba melintasi pikirannya.. Tentang masa lalunya bersama dengan seseorang yang selalu tertarik pada fenomena alam yang berhubungan dengan iklim dan cuaca. Abigail memejamkan matanya dengan perlahan. Dia mencoba menghapus segala ingatan tidak masuk akal dari pikirannya. Sesuatu yang telah berakhir tidak layak untuk kembali dipikirkan. “Beberapa orang mengatakan jika sebaiknya kita tetap berjaga-jaga di sini untuk mengantisipasi terjadinya gempa susulan..” Dalton duduk di samping Abigail yang sejak tadi mengamati langit dari balik kaca besar yang menjadi penghubung ruangan rumah sakit dengan wilayah halaman. Hampir semua orang melakukan hal yang sama, mereka menatap ke luar dengan pandangan khawatir akan terjadinya badai. “Aku mendengar suara ledakan saat terjadi gempa. Apa mungkin terjadi ledakan gunung berapi?” Tanya Abigail. “Entahlah, tapi kurasa ini jauh lebih buruk dari ledakan gunung berapi..” Dalton ikut menatap ke luar. Mereka semua melihat dengan jelas jika keadaan di luar sangat gelap karena tidak ada cahaya matahari yang mampu menembus awan hitam yang bergerak menutupi langit. “Kita harus menghubungi Aurora, Dalton..” Abigail meraih tangan Dalton dengan pandangan ketakutan. *** Abigail pikir, kekacauan akibat gempa yang terjadi pada siang ini akan segera membaik di malam hari, tapi dia salah. Sampai tengah malam masih belum ada satupun ponsel yang dapat menyala. Beberapa kali Abigail mencoba untuk menyalakan ponselnya, tapi benda itu tidak merespon sama sekali. Entah apa yang sedang terjadi, tapi beberapa orang mengatakan jika ini adalah salah satu dampak dari ledakan gelombang elektromagnetik. Abigail mencoba untuk melawan kesimpulan yang terbentuk di dalam kepalanya, tapi semakin dia melawan maka semakin jelas juga hasil pemikirannya. Gelombang elektromagnetik tidak timbul tanpa alasan yang jelas, pasti ada sesuatu yang menjadi penyebab dari semua yang terjadi siang ini. Satu-satunya alasan masuk akal dari suara ledakan dan getaran gempa bumi siang ini adalah nuklir. Masalahnya tidak ada nuklir di wilayah Colombus. “Tidurlah, Abigail. Kita tidak akan menemukan jawaban apapun meski kau tidak tidur semalaman..” Beberapa jam yang lalu listrik yang padam mulai berhasil diperbaiki, namun masih belum ada berita maupun siaran pengumuman resmi dari pemerintah mengenai kejadian siang ini. Abigail masih terus terjaga karena dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Aku tidak mungkin bisa tidur di keadaan seperti ini..” Abigail berulang kali menegaskan kepada Dalton jika perasaannya sangat tidak nyaman. Dia khawatir dan ketakutan di saat yang bersamaan. “Apa yang kau pikirkan? Aurora?” Tanya Dalton sambil menatapnya. Abigail mencoba untuk menyangkal tapi tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Dalton mengenalnya dengan baik, pria itu bisa membaca pikirannya hanya dengan menatap kekhawatiran yang tergambar jelas di dalam matanya. “Kau seharusnya pergi bersamanya..” Abigail mengusap air matanya yang tiba-tiba mengalir. “Hei.. It’s okay.. Aurora pasti baik-baik saja sekarang. dia berada jauh dari Ohio..” Dalton langsung memeluknya lalu mengusap punggungnya dengan pelan. Aurora adalah satu-satunya hal berharga yang Abigail miliki. Putrinya itu.. dia menjadi alasan di balik kekuatan yang Abigail miliki setelah banyaknya kekacauan yang ia hadapi karena mengambil keputusan salah di masa mudanya. Di tengah kesalahan yang dia buat, hanya Aurora saja yang tidak pernah Abigail sesali. Abigail menyayangi Aurora, sangat menyayanginya. Sering kali dia sibuk dengan kehidupannya, dengan pekerjaan dan urusan pribadinya, mungkin Aurora pernah berpikir jika Abigail mengabaikannya. Tidak, tidak demikian.. Abigail melakukan segalanya demi kebaikan Aurora. Segala usaha dan kesibukan yang ia miliki setiap hari.. semua itu untuk masa depan Aurora. Abigail pernah salah dalam mengambil langkah, dia tidak ingin Aurora melakukan hal yang sama. Putrinya terlalu berharga untuk mendapatkan kehidupan mengerikan seperti yang pernah Abigail jalani. Tapi mungkin Aurora hanya seorang gadis muda yang dengan segudang kelabilannya, putrinya jadi sering salah paham belakangan ini. Abigail mencoba mengerti bagaimana perasaan Aurora, tapi kadang dia sendiri masih sulit untuk mengatur emosinya, apalagi saat Aurora tidak bisa diatur. “Dia seharusnya sudah dalam perjalanan pulang, bukan? Apakah masih belum ada informasi apapun mengenai penerbangan dari New York?” Tanya Abigail. Dalton menatapnya sejenak lalu tampak ragu ketika dia akan berbicara. “Sebenarnya.. Aurora tidak akan langsung pulang ke Ohio karena dia ingin menghabiskan hari libur di Washington, D.C bersama dengan ayahnya..” Abigail terdiam sejenak. Beberapa detik kemudian dia sadar jika gempa yang terjadi beberapa jam lalu jauh lebih baik dari pada berita mengenai Washington, D.C yang baru saja disampaikan oleh Dalton. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD