Angin dingin dari Selandia Baru seolah datang tiba-tiba bersama cahaya mata biru cemerlang milik Aurora. Pancaran sinar di langit itu terbayang kembali tanpa henti, ketika Hans menikmati mata safir milik gadis tawanan kebenciannya.
Sekitar 18 tahun yang lalu, dalam pelukan cinta dan hangatnya kasih sayang seorang ibu.
"Mama, sinar apa itu?" tanya Hans muda, ketika menginap di rumah kaca yang semua dinding serta atapnya tembus pandang. Seolah tidak ada batasan antara tubuhnya dengan alam sekitar.
"Itu?" tunjuk sang mama yang balik bertanya. "Namanya Aurora atau cahaya kutub."
"Aurora?"
"Aurora adalah fenomena alam yang menyerupai pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer, dari sebuah planet sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetik yang dimiliki planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Matahari (angin surya)," jelas sang mama yang memang seorang dosen di salah satu universitas terbaik di kota.
'Mama ... .' Rengek Hans tanpa suara.
"Ara sudah siap, Tuan." Ratih menundukkan kepala dan meminta Aurora untuk berjalan lambat mendekati tuan muda. Sebab, Ratih melihat Hans seakan kosong pandangannya.
Saat itu, mata Hans menatap penuh makna. Ia selalu terbayang almarhum mamanya jika tengah melihat Aurora. Sesuatu yang membuat jiwanya bingung. Antara benci dan juga simpati.
'Dari mana ia mendapatkan keteduhan itu?' Hans kembali bercakap di dalam hati.
Tanpa menjawab perkataan dari Ratih, ia berjalan ke arah luar untuk segera masuk ke dalam mobil mewah seorang diri.
Sementara Aurora yang merasa tidak dianggap sedikit pun, berusaha untuk membuang perasaan tidak enak di dalam hati.
'Ayo, maju Ara!' Kata Aurora di dalam hatinya.
Setibanya di dalam mobil bernuansa hitam tersebut, "Jangan menyusahkanku! Setibanya di sana, kamu silahkan cari tempat duduk sendiri!" perintah Hans yang terus saja menatap lurus ke depan.
"Baik, Tuan." Aurora menjawab dengan suara lembut dan menunduk.
Pada waktu yang hampir sama, Hans memundurkan tubuhnya. Ternyata ia ingin menikmati pemandangan yang indah, yaitu sisi luar buah dadaa Aurora yang tampak menyembul sempurna.
Bukan itu saja, laki-laki kaku itu juga sangat berminat untuk melihat punggung, serta sudut atas bokoong Aurora yang indah.
Selama diperjalanan, tidak ada perbincangan, tak ada lelucon, semua terasa asing, dan Aurora merasa seorang diri. Tapi, tingkah laku Hans tersebut, terbaca dengan baik oleh sopir pribadinya.
"Kita tiba, Tuan." Sopir menatap dari kaca tengah.
"Oke."
Hans turun lebih dulu. Ia memutari kendaraan mewah miliknya dan langsung membuka pintu di sisi Aurora.
"Silakan," ujarnya seraya mengulurkan tangan dan menatap dengan sinar yang teduh.
"Terima kasih, Tuan muda." Aurora menyambut tangan Hans dengan senyum yang merekah.
Sebenarnya Aurora sadar bahwa semua ini hanya akan terjadi dalam beberapa menit ke depan di dalam kepura-puraan. Namun ia tetap menjaga rona bahagia di wajahnya dan berusaha menjadi b***k sesuai keinginan Hans Prawira.
Kaki kiri Aurora keluar dari dalam mobil mewah yang menjadi pusat tatapan banyak mata. Tapi Hans malah fokus pada belahan dress yang Aurora kenakan, hingga memperlihatkan kaki jenjang gadis molek tersebut.
"Mari dan perlihatkan kebahagiaanmu bersamaku!"
Aurora mengangguk, "Saya paham, Tuan."
Tangan kanan Aurora mengait tangan kiri Hans. Sembari melangkah, Aurora mengangkat dagunya hingga orang-orang dapat melihat leher dan wajahnya yang memesona.
"Cantik," puji seorang laki-laki muda dan tampan, ketika Aurora melangkahi anak tangga yang tidak terlalu banyak jumlahnya.
Pada saat yang bersamaan, Hans menolehkan wajah ke sumber suara dan ia menatap tajam tanda tidak suka.
Saat ini, Hans yang semula memerintahkan Aurora untuk menjaga jarak dengan dirinya, malam semakin kuat menjepit tangan kanan gadisnya yang terjalin hangat pada lengan kirinya.
"Ikuti aku kemana pun pergi!" perintah Hans tanpa senyum.
"Apa, Tuan?" tanya Ara yang bingung karena semula, ia diminta untuk duduk menjauh.
"Ikuti, kemanapun aku pergi!" ulangnya agak kesal kali ini.
"Bukan di meja yang berbeda?" tanya Aurora yang memang bingung karena dua perintah yang keluar dari bibir Hans sama sekali tidak sama.
Hans menatap dengan mata yang terbuka lebar, "Apa aku harus mengumumkannya?"
"Tidak, Tuan. Maaf." Aurora memilih untuk segera menunduk sebelum Hans menerkam dan menelannya hidup-hidup.
"Selamat datang, Tuan muda," sambut pemilik acara sambil tersenyum lebar. "Kehadiran Anda adalah kebanggan bagi saya."
"Sama-sama, terima kasih juga atas bantuan Anda siang ini."
"Anda bersama ... ?" tanya laki-laki berumur sekitar 30 tahun dan merupakan donatur yang memberikan suntikan dana untuk perusahaan Hans.
"Perkenalkan, Aurora," kata Hans tegas.
Aurora mengulurkan tangan kanannya, tanpa suara.
"Sempurna," puji laki-laki mapan, yang terus menatap Aurora karena memiliki mata berbeda dari wanita yang ia temui pada umumnya. "Apa itu asli?"
"Maaf, maksudnya?" tanya Aurora yang tidak paham akan pertanyaan tersebut.
"Mata safir itu?"
"Iya." Aurora tersenyum. "Ini adalah warisan dari mama saya, Tuan."
"Saya Frans, Nona. Senang sekali bisa berkenalan, dengan wanita sempurna seperti Anda." Frans mencium tangan Aurora dengan kepala yang tertunduk.
"Maaf, kami ingin duduk. Namanya Aurora." Hans mematahkan perbincangan singkat itu karena tiba-tiba saja ia merasakan, ada duri tajam yang muncul dan menancap jantungnya berulang kali.
"Oh, iya. Sorry, silakan."
Hans menghela napas panjang demi menenangkan diri. Lalu, ia mencengkram erat tangan Aurora dan menariknya.
"Aku punya peraturan," kata Hans sambil mengencangkan rahangnya.
"Apa, Tuan?" tanya Aurora yang hanya mengikuti setiap perintah dari Hans.
"Kamu hanya boleh tersenyum kepadaku!"
Aurora menoleh ke arah wajah Hans (kanan atas) dan ia tampaknya sangat bingung dengan sikap laki-laki yang terus menguasai dirinya.
"Duduk!" perintahnya lagi.
"Iya, Tuan." Aurora duduk di kursi yang Hans inginkan.
Tak lama, musik lembut nan mewah terdengar memenuhi ruangan. Saat ini, Hans menatap lurus ke depan, tapi bola matanya jelas mengejar Aurora.
'Kenapa Tuhan menjebakku dengan gadis ini? Bagaimana semua ini bisa terjadi? Harusnya aku tidak bisa merasakan apa pun terhadap dia.' Kata Hans tanpa suara.
Tak lama, seseorang mendekati keduanya. "Tuan, boleh saya mengajak Nona muda untuk berdansa? Cahaya hangat di bawah lampu itu, pasti bisa membuatnya semakin berkilau dan tersenyum."
"A," kata Hans. Ia ingin menolak permintaan tersebut, tapi ucapannya langsung dipangkas oleh Frans.
"Bisakah ... ?" kejarnya tampak sangat ingin. "Anggap saja ini bentuk ucapan terima kasih Anda, atas kerja sama diantara kita."
Frans memotong rencana Hans dengan kalimat memaksa karena tahu, bahwa semua ini hanya akan berakhir dengan penolakan dari koleganya tersebut.
"Baik. Tapi hanya lima belas menit saja!" Hans berbicara, tanpa melihat Aurora.
"Mari, Nona." Frans menundukkan tubuhnya. Ia terlihat begitu menghargai Aurora.
Aurora diajak ke lantai dansa. Saat itu, semua perhiasan yang ia kenakan tampak berkilauan. Binar dari cahaya lampu kristal raksasa yang terletak di atas langit-langit ruangan, semakin menyempurnakan sinar Aurora.
"Nama yang indah, mata yang memesona," puji Frans sambil memegang pinggang mungil milik Aurora yang disempurnakan dengan bokongg bulat miliknya yang indah.
Kedua tangan mereka menempel dan saling erat mengait. Saat melihat pemandangan itu, Hans menggenggam kedua tangannya karena sangat marah.
Masih di lantai dansa, Aurora tampak sangat menguasai gerakan-gerakan gemulai yang lunak tersebut. Semua itu membuat Frans semakin penasaran terhadap gadis yang berada di hadapannya.
Sementara di kursi VIP, Hans selalu saja menatap tajam ke arah Aurora dan koleganya yang terlihat begitu serasi dengan gerakan lembut nan membuai.
Baru menit ke tujuh, jantung Hans sudah terbakar. Wajahnya juga memerah dan bibirnya ingin mengumpat kasar.
Sadar bahwa lokasi ini bukanlah tempatnya, Hans menggigit tangan dengan giginya yang rapi. Semakin dekat Aurora dengan Frans, semakin dalam luka di tangannya.
'Dari mana asal rasa sakit ini? Kenapa begitu perih. Seperti luka menganga yang diteteskan air jeruk nipis nan panas. Bahkan, aku sulit untuk bernapas.' Ujar Hans tanpa suara, bersama tatapan membunuh ke arah gadisnya.
Bersambung.