Hans menatap ke arah jam tangan bermerk yang ia kenakan. 'Siaaal! Baru beberapa menit, tapi kenapa lama sekali?' Tanya Hans di dalam hati dengan tatapan membunuh. Apalagi ketika tangan Frans menyentuh kulit punggung mulus milik Aurora.
'Agh, sebaiknya aku ke toilet saja!' Kata Hans sekali lagi, sambil meneguk minuman yang sudah disajikan di dalam gelas kristal tinggi yang tampil mewah.
"Siapa kamu sebenernya? Liuk tubuhmu sangat sesuai dengan musiknya. Apa kamu seorang penari dari kayangan?" puji Frans yang terdengar begitu pandai bermain kata.
"Sa-saya hanya. Saya hanya seorang ... ."
Frans menarik punggung Aurora, hingga dadda gadis tersebut menyentuh tubuh bagian depan tuan muda kaya tersebut.
"Sorry, kamu nggak apa-apa? Hampir saja." Frans memotong percakapan karena ada seorang pelayanan yang hampir menabrak tubuh indah Aurora dari belakang.
"Iya, terima kasih."
"Apa yang kamu lakukan?" bentak Frans dengan mata yang memburu. Tangannya pun langsung naik ke atas, tampak ingin memukul.
"Tidak, Tuan. Jangan pukul dia!" pinta Aurora dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tapi dia hampir mencelakai kamu."
"Tapi saya baik-baik saja, kan?" Luna tetap mempertahankan ucapannya.
"Pelayan seperti ini, tidak perlu dibela!" tukas Frans yang memperlihatkan keangkuhan sama seperti Hans.
"Mungkin dia hanya lelah saja, Tuan," sahut Aurora dengan suara lirih. "Tolong maafkan dia, untuk saya!" Aurora menunduk seraya meminta.
"Hah, baiklah. Apa pun yang kamu mau." Frans mengalihkan pandangannya dari pelayan yang sudah terlihat ketakutan.
'Hatinya begitu lembut. Biasanya, para wanita lah yang meminta saya menghukum orang lain jika mereka mencari masalah, apalagi hampir mencelakai.' Frans berkata tanpa suara.
"A ... a," ucap pelayan yang ternyata memiliki kekurangan tersebut. Ia melipat tangan di depan dadaa dan matanya tampak berair.
"Pergilah!" perintah Frans yang sudah menurun emosinya.
"Ternyata dia bisu?" kata Aurora terdengar iba. "Untung Anda tidak menyakitinya." Aurora semakin terpukul dengan kenyataan pahit itu.
Baru saja pelayan tersebut berniat untuk melangkahkan kakinya, "Ada apa ini?" tanya Hans yang langsung mendekat.
"Pelayan ini hampir saja menjatuhkan gelas di atas kepala Nona muda," sahut Frans yang mengatakan apa adanya.
"Apa?" Hans tampak berang. Lalu ia berniat untuk memukul, namun Aurora kembali menahannya.
"Jangan, Tuan. Saya mohon." Hans sangat marah akan sikap Aurora dan ia langsung meninggalkan gadis tersebut dengan wajah yang bengis.
"Tuan, sebentar!" Aurora memanggil, sambil bergerak cepat untuk mengejar.
"Tidak ada satu pun orang yang bisa dan berani menahan keinginan saya," ucap Hans dengan mata yang terbuka lebar. Bahkan tubuhnya gemetaran, ketika tiba di lahan parkiran.
"Kalau begitu, pukul saja saya agar Anda puas!" Aurora mencela gumaman laki-laki sombong itu.
Hans yang sangat kesal, menghentikan langkahnya dan menatap gadis tersebut dengan mata melotot. Namun, ia hanya mampu berlagak ingin memukul, tetapi tidak bisa melakukannya. Demi menahan diri, ia pun langsung masuk ke dalam mobil untuk pulang.
Aurora bingung dan ketakutan. Ia pun hanya berdiri sambil menatap ke arah mobil mewah milik Hans. Ia tidak berani mendekat dan tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi Hans sama sekali tidak mengajaknya untuk pulang bersama.
"Nona, bagaimana kalau saya saja yang mengantarkan Anda pulang?" tanya Frans yang sudah menyusul dan terlihat begitu ingin dekat dengan Aurora.
"Tidak, terima kasih. Saya hanya ingin sendiri saja saat ini." Aurora menunduk seraya menggenggam tangannya sendiri.
Pintu mobil dibuka, "Maaf, Nona. Sudah waktunya untuk pulang," kata sopir pribadi Hans yang berdiri di sisi pintu kemudi.
"I-iya. Baiklah." Aurora meninggalkan Frans. Lalu kembali melihat ke belakang setelah hampir tiba di dekat mobil, "Terima kasih atas sikap baik Anda, Tuan Frans." Aurora menundukkan kepalanya untuk memberikan penghormatan.
Frans tersenyum seraya menyembunyikan kedua tangan di dalam saku celana, "Silakan."
Aurora masuk ke dalam mobil dan saat itu, Hans sama sekali tidak berminat untuk melihat ke arah Aurora. Sebenarnya gadis itu tidak membuat kesalahan apa pun, tapi entah mengapa hati Hans terasa begitu sakit.
Sepanjang perjalanan pulang, Aurora terus menggenggam kedua tangannya sambil menunduk dan sesekali melirik ke arah Hans. Ia ingin menyapa, tapi ragu untuk berkata.
"Antar saya ke cafe di bundaran elit lifeless!" perintah tuan muda kepada sopirnya.
"Baik, Tuan."
Pedal gas diinjak sangat cepat, tampaknya sang sopir sangat tahu tentang keinginan dan isi hati tuan muda garang tersebut.
Setibanya di depan gedung mewah yang menjulang tinggi, Hans keluar dari mobilnya dan berdiri di sisi pintu kendaraan berwarna hitam mengkilat tersebut.
Aurora hanya berani melirik ke arah laki-laki itu, tanpa bergerak sedikit pun. Sadar akan sikap Aurora, Hans membuka pintu mobil dan menundukkan tubuhnya yang kekar.
"Mau tetap di sini atau menemaniku?!" pintanya bersama suara bentakan yang kuat.
"Menemani?" Aurora terdengar gugup. Semua itu karena tiba-tiba saja, jantungnya bergemuruh. "Ba-baik, Tuan."
Hans dan Aurora kembali berjalan berdampingan dan memasuki gedung yang terlihat gemerlap. Ini adalah pengalaman pertama bagi Aurora dan ekspresi wajahnya tampak tegang.
"Tuan, silakan-silakan," sambut pemilik tempat hiburan malam yang terlihat mewah tersebut. "Kali ini, Anda datang bersama gadis cantik," sanjungnya sambil menatap Aurora yang takut dan memilih untuk bersembunyi di balik lengan berotot milik Hans.
"Saya ingin sebuah ruangan khusus dan ada lantai dansanya!" perintah Hans dan itu terdengar aneh bagi si pemilik tempat hiburan tersebut.
"Tapi, Tuan."
Hans berhenti melangkah, "Apa?" tatapnya kejam.
"Tidak-tidak, Tuan. Saya akan segera mempersiapkan segalanya."
"Kamu punya waktu 20 menit!" Hans menatap jam tangannya. "Dimulai dari sekarang!"
"Ya ampun, Tuan. Kenapa malam ini Anda menyiksa saya?" tanya laki-laki gempal tersebut yang langsung berlari terbirit-b***t karena sadar bahwa permintaan Hans tersebut sangat berlebihan.
Setelah 20 menit mengajak Aurora memutari gedung, "Tuan, ruangannya sudah siap. Semoga Anda suka."
"Oke."
"Di sini, Tuan."
"Tinggalkan kami!"
"Baik, Tuan."
Aurora menatap ruangan yang cukup besar. Di sini sudah disiapkan beberapa jenis minuman mahal dan ruangannya dihiasi lampu serta lantai dansa mini yang terlihat elegan.
"Ini?" tanya Aurora sembari memperhatikan sekeliling.
"Aku tidak bisa berdansa, tapi sepertinya ... sangat menyenangkan," ujar Hans yang ternyata sudah sangat iri sejak tadi.
Aurora tersenyum, "Kemarilah, Tuan! Itu sama sekali tidak sulit," ajak Aurora yang wajahnya langsung berubah menjadi bahagia.
Hans yang angkuh, tiba-tiba saja menjadi penurut. Ia pun langsung mengikuti langkah gadis bermata safir tersebut, tanpa senyum.
"Pertama, beri penghormatan kepada pasangan menari Anda! Cukup tersenyum dan menundukkan kepala saja." Kemudian Aurora memberikan contoh bak seorang guru terhadap muridnya. "Mudahkan?" tanyanya yang tampak riang, sesuai dengan usianya.
"Apa? Tersenyum?" Hans menatap kaku.
Aurora mengangguk kecil, "Iya, seperti ini!" Aurora memperlihatkan caranya tersenyum yang manis.
"Hilangkan saja bagian pembukaannya!" tolak Hans yang sama sekali tidak suka tersenyum.
"Apa?" Aurora terkejut kali ini, tapi ia tidak merasakan takut sedikit pun.
"Hilangkan saja bagian pembukaannya!" Hans mengulangi permintaannya.
"Ba-baiklah, Tuan." Aurora menghela napas panjang dan menunduk.
"Yang kedua, Anda harus mengatur jarak dengan pasangan Anda! Tapi, tidak boleh terlalu jauh!"
"Sedekat apa?" tanya Hans yang langsung menembak ucapan Aurora.
Aurora mendekat, "Segini. Lalu letakkan tangan kiri Anda pada pinggang atau punggung bagian bawah pasangan Anda!" Aurora menatap Hans dan laki-laki itu langsung tersengat.
"Kemudian, tangan kanan Anda memegang erat tangan pasangan Anda atau bisa juga menyatukannya dengan tangan kiri yang berada di belakang tadi!"
"Seperti ini?" tanya Hans mulai bergetar.
Aurora mengangguk, "Iya. Benar sekali. Ternyata Anda berbakat," puji Aurora. "Sekarang, gerakkan kaki Anda ke kiri dan kanan sesuai dengan ritme dan alunan nadanya!"
Hans melakukannya, "Jangan mengejekku!" pintanya sambil mengernyitkan dahi.
Aurora mengulum senyum, "Satu lagi, jangan lupa menatap pasangan Anda dengan tatapan lembut!"
Hans kembali melakukan semua yang Aurora ucapkan. Saat ini, jarak antara wajah keduanya begitu dekat. Bahkan, mereka dapat merasakan napas satu dengan yang lainnya.
Sepertinya, inilah yang sebenarnya Hans inginkan sejak tadi. Tapi, ia tidak bersedia untuk mengatakannya. Keangkuhan itu sudah mempersulit hidupnya.
Aurora mulai tidak enak hati, ketika mata Hans tidak pernah lepas dari wajahnya. Ia pun merasa gelisah dengan napas yang mulai terasa hangat.
Sementara Hans, ia semakin sulit menelan air liurnya. Rasanya ia begitu ingin menjamah wajah dan tubuh molek milik Aurora.
'Gadis ini, dia benar-benar mendebarkan. Apa yang aku rasakan bersamanya, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan Moza.' Kata Hans tanpa suara.
'Ya ampun ... !" Pekik Aurora di dalam hatinya. "Oh my God, dia begitu tampan. Sangat tampaaan!' Puji Aurora tanpa suara.
Keduanya saling memuji dan lunglai di dalam tatapan mata penuh cinta. Sayangnya, mereka sama-sama menahan asa agar terus tersimpan.
Bersambung.
Jangan lupa tab love, tinggalkan komentar manis, dan follow aku ya, makasih.