Episode 27

2047 Words
Caranya berbicara kepadaku, caranya mencoba untuk memujiku saat ini entah kenapa benar-benar terasa familiar baik di kepala, maupun juga otakku sekarang. Aku tak tahu, apa yang sedang terjadi di sini, namun aku merasa pernah benar-benar mengenal orang ini sekarang. Hanya saja, aku tidak tahu kapan aku pernah menemuinya ataupun dimana tempatnya. Ingatanku menjadi tak bisa diandalkan sekarang. Dan juga meskipun aku tahu kalau ucapannya saat memujiku hanyalah sebuah ucapan yang penuh dengan basa-basi, atau bahkan penuh dengan tipu muslihat buaya pada umumnya, aku merasa kalau kata-kata itu benar-benar tulus keluar dari hatinya sekarang ini. Memujiku dengan sedemikian rupanya. Hatiku benar-benar serasa ingin meleyot rasanya mendengar suaranya itu tadi. Apalagi, dia merupakan pria setengah bule yang terlihat sangat tampan. Mendapatkan pujian dari pria yang tidak dikenal benar-benar membuatku sedikit menjadi lebih percaya diri sekarang. Walau memang, hanya sedikit. Hanya saja aku tak bisa tahu apa yang menjadi penyebab aku berusaha untuk seperti ini sekarang. Aku tak tahu, apa maksudnya mengatakan itu kepadaku. Aku pun hanya bisa membalas, “Ah tidak kok. Penampilanku biasa-biasa saja. Tapi, kenapa kau berkata seperti itu kepadaku?” tanyaku kepadanya. Darrel, nama dari pria itu malah terlihat bingung sekarang. Tak tahu kenapa dia merasa benar-benar menjadi kebingungan seperti sekarang ini, apakah pertanyaanku benar-benar salah saat menanyakan apa maksud sekaligus penyebab pujiannya kepadaku? “Ah maaf. Aku mengatakannya hanya karena spontan, aku tak tahu jika kau malah akan tersinggung jika aku mengucapkan kata seperti itu kepadamu.” Darrel malah meminta maaf kepadaku, walaupun dia memang jelas-jelas tidak salah akan apa pun. “Di dalam keluargaku, kami diajarkan untuk mengatakan apa pun yang kami rasakan meskipun itu mungkin membuat hati seseorang tidak nyaman. Dan aku tidak tahu, jika memang pujianku tadi malah membuatmu merasa tidak nyaman sekarang.” Dari perkataannya, dia mungkin dibesarkan di dalam keluarga yang jelas-jelas sangat berada, mirip seperti keluarga bangsawan. Mungkin juga, dia berada di sini hanya mencoba untuk melarikan diri, dari belenggu keluarganya yang benar-benar mengikatnya. Aku pernah mendengar soal itu, para anak-anak bangsawan yang diajarkan etika dan juga tata krama sangat tinggi di keluarga mereka sejak dini. Dan mereka, adalah salah satu orang yang menjadi tujuan utama dari ajaran tersebut. Mereka telah membuat orang-orang di sekitar mereka merasa nyaman akan diri mereka sendiri sekarang, tak tahu apakah yang mereka telah perbuat adalah hal yang masih relevan untuk dilakukan di dalam masyarakat atau tidak. Yang jelas, mereka percaya kalau cara mereka adalah cara yang benar. “Ah tidak, kok bukan begitu maksudku.” Balasku kepada Darrel. Aku tidak enak jika dia merasa bersalah seperti itu meskipun sebenarnya dia memang tidak salah apa-apa padaku saat ini sekarang. “Aku, sepertinya hanya kaget, karena kau tiba-tiba memujiku. Kau tahu, aku tidak sering mendapatkan pujian seperti tadi, apalagi dari orang asing sepertimu.” Ucapku pada Darrel, mencoba menjelaskan dengan jelas. Darrel sepertinya paham, dia mengangguk dengan pelan dan juga menghembuskan nafasnya dengan sangat besar sampai aku bisa mendengarnya. Dia bersandar di belakang meja sekarang, seperti mencoba untuk melihat diriku dalam gambaran yang lebih besar. Aku, merasa seperti sedang dimata-matai sekarang. “Aku masih tak tahu kenapa orang-orang berperilaku seperti itu”. “Maksudku, apakah mereka sangat sulit untuk mengucapkan apa yang ada di dalam isi hati mereka? Untuk orang lain? Apakah mereka sangat takut jika ucapan yang dia berikan akan mengubah persepsi dari orang tersebut kepada mereka? Aku tahu banyak orang yang seperti itu, dan aku tidak mengerti kenapa mereka melakukannya.” Ucap Darrel kepadaku, sebuah pemikiran yang benar-benar aneh dan unik. “Aku juga tak mengeri apa dengan maksudmu. Karena, bagi orang-orang sepertiku, pendapat orang lain sangatlah penting untuk kami dengarkan. Pendapat yang beragam mulai dari makian, cacian, atau bahkan pujian benar-benar kami butuhkan agar bisa mendapatkan progress yang lebih baik ke depannya. Bukankah begitu yang kau maksud dan ingin ucapkan sekarang bukan?” Jelasku padanya. Darrel pun menggeleng-gelengkan kepalanya padaku, karena sepertinya aku memang telah salah mencoba untuk memahaminya. “Tidak, itu berbeda dari apa yang sangat kubingungkan. Memang benar, seseorang sangat butuh kritikan dari orang lain agar seseorang itu bisa bertumbuh dan berubah menjadi lebih baik. Namun, bagaimana mereka melakukannya jika mereka sungkan untuk mengatakannya?” Aku mulai mengerti apa yang ingin dimaksud oleh Darrel sekarang, dia membenci orang-orang yang tidak ingin berkata hanya sekadar karena tidak ingin menyakiti hati orang yang dia ajak bicara itu. Dia benci karena orang-orang itu tidak berani mengatakan kenyataan dan juga kebenaran yang benar-benar ada di depan mata kepala mereka saat itu sekarang ini. Dan aku, sepertinya berbagi pemahaman yang sama dengan dirinya saat ini. “Halo Mbak. Mas. Maaf ya, pesanannya lama untuk sampai karena memang sedang antri, namun, saya telah mengantarkannya sekarang, Semoga kalian bisa menikmatinya ya.” Seorang pelayan wanita datang dengan membawa kedua menu kami sekarang ini. Sebuah pancake dan juga teh hitam panas yang sudah tak terasa panas ataupun hangat lagi. Hanya rasa manis yang bisa kurasakan di sana. Tapi di sisi lain, Darrel benar-benar terlihat seperti seorang maniak pancake! Dia hanya memesan pancake di kafe ini. Dan tak memesan menu lainnya yang lebih berharga ataupun membeli minuman untuk dirinya sendiri. “Baiklah, sepertinya kita harus menghentikan pembicaraan berat itu. Kita harus mencoba untuk menikmati pancake ini sekarang juga, oke!” Darrel memakan makanannya mendahuluiku, dengan sangat cepat, dia seperti sedang terburu-buru untuk melakukan sesuatu. Melihatnya makan dengan lahap saja membuatku semakin ingin memakannya dengan lahap juga sekarang ini. “Eh Darrel, apa kamu gak keseretan gak pesen minuman itu?” sahutku kepadanya. Dan dari punggungnya, dia membawa tumblr berisi air untuk dia minum sendiri sekarang. “Aku datang kemari bukan untuk meminum, tapi untuk makan Pancake. Ayo! Cepat icipi pancake itu! Apa lagi yang kau tunggu? Antriannya sudah selesai kok hehe.” Aku bisa merasakan kalau dibalik wajah tampannya itu, ada sosok aneh yang tersembunyi di balik kepala Darrel. Sesuatu yang sepertinya tak ingin kujamah ataupun kusentuh sekarang ini. Aku mengiris pancake itu, membaginya menjadi dua menggunakan pisau dan garpu. Topping selain apel yang ada di atasnya sangat banyak sampai membuat semua makanannya menjadi lumer-lumer. Aku menusuknya dengan menggunakan garpu, merasakan pancake itu sekarang. Masuk ke dalam mulutku, mengunyahnya dengan empuk dan sangat menggugah selera. Aku bahkan mendesah saat memakannya. “Bagaimana? Enak bukan? Kau memang tak salah mencoba untuk datang kemari!” Sahut Darrel kepadaku. Aku juga lupa siapa yang merekomendasikanku untuk datang ke sini, aku hanya sangat bersyukur kalau aku tahu sesuatu yang berada di sini dengan sangat lezat dan juga mengenakkan. Rasa pancake yang manis dan juga lembut tidak membuang waktuku menjadi sia-sia. *** Siang itu, Aku makan berdua dengan Darrel, menikmatinya bersama-sama sampai mencoba untuk menghabiskan pancake itu tak bersisa. Hanya saja, setelah pancake itu habis, Darrel berpamitan untuk pulang terlebih dahulu kepadaku. Dia berkata kalau dia memiliki urusan yang harus dia selesaikan sekarang, dan tak sempat memiliki waktu untuk menjelaskannya di sini. Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri sekarang, apakah mungkin aku akan bertemu dengan Darrel lagi suatu saat nanti? Keberadaannya sendiri benar-benar membuatku penasaran dan bertanya-tanya, tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Aku tak tahu, apakah dia merupakan orang asing yang hanya tak sengaja berpapasan padaku ataupun juga orang yang akan berpengaruh kepadaku. Sendirian di sana, aku tersadar kalau kondisi kafe semakin lama semakin ramai padat oleh pengunjung. Aku, yang sudah menghabiskan pancakeku dilirik terus oleh sang Pelayan, karena memang banyak pelanggan lain yang ingin duduk dan mengantri mendapatkan makanan mereka. Mungkin, aku hanya dipandang sebagai seseorang yang memenuhi tempat ini saja tanpa berkontribusi banyak. Sadar akan isyarat itu, aku pun mencoba untuk kembali ke kantor, berada dalam ruang yang sempit dan juga menyelesaikan apa yang seharusnya kuselesaikan saat itu juga. Dan benar saja, saat berada di dalam kafe bukannya semakin produktif, kinerjaku malah semakin memburuk dan juga bantu dengan tidak menghasilkan sesuatu apa-apa yang benar berguna. Aku merasa, aku hanya membuang-buang waktu. Di kantor, ternyata semuanya sudah pulang, hanya tinggal aku dan Wulan saja, yang ternyata disuruh oleh Pak Bos mencoba untuk membantuku. Mungkin, Pak Bos tahu akan kedekatan kami sebelumnya, dan dia memutuskan untuk memasangkan kami bersama sekarang. Hanya saja, aku tidak bisa protes kepada Pak Bos kalau keputusan yang dia ambil kepada kami sekarang adalah keputusan yang benar-benar salah. Sepanjang jam dan waktu berlalu, aku mencoba untuk membagi fokusku untuk bekerja dan juga mengobrol bersama Wulan, tentang hari yang telah kujalani tak lama tadi. Aku menjelaskan tentang kafe itu, pancake yang membuatnya spesial, dan juga sosok Darrel yang benar-benar misterius. Aku bisa merasakan kalau Wulan sedikit kesal dan juga marah karena aku tidak mencoba mengajaknya. Wulan mengatakan, kalau semenjak dia dipindahkan untuk bekerja bersamaku dalam satu divisi, dia memiliki beban kerja yang bertambah-tambah dan bertumpuk-tumpuk dibandingkan sebelumnya. Tumpukan pekerjaan itu benar-benar terasa tak wajar karena memang perusahaan yang ada sekarang ini membuat kami harus bekerja dengan sangat keras. Sedangkan saat Wulan mendengarkanku tentang apa yang kulakukan, siapa yang tidak kesal saat dia bekerja dari pagi sampai malam sedangkan aku sedang berleha-leha di kafe sambil mengobrol dengan pria tampan di sana. Aku juga merasa sedikit tak enak dengan Wulan sekarang ini. “Apa kau tidak lelah Wulan? Jika kau lelah, maka pulanglah saja. Maka biar aku yang akan mengurus pekerjaan sisanya sekarang ini.” Ucapku pada Wulan. Sebagai ucapan permintaan maaf merepotkannya. “Ah tidak usah, kita kan bestie sabrina, kita tidak mungkin bisa dipisahkan meskipun maut telah menghadang! Percayalah! Aku akan selalu berada di sini untuk mencoba bersamamu selamanya!” Ucap Wulan kepadaku, entah aku tak tahu apakah dia mengucapkannya dengan tulus atau mencoba untuk sedikit menyindirku sekarang ini karena sering dan hampir selalu merepotkannya. Aku menjadi cukup bersyukur karena Wulan masih menganggapku sebagai seorang sahabatnya. Aku tahu, kalau aku masih belum bisa menjadi seorang sahabat yang baik baginya, tapi aku akan terus selalu berusaha untuk memperbaiki diriku sendiri dan juga sesekali membantu Wulan jika memang dia akan membutuhkan bantuanku nantinya. Kami pun lanjut bekerja, untuk waktu yang lama, kira-kira beberapa jam, sampai-sampai sebagian lampu di ruangan ini dimatikan, dan juga orang-orang di gedung ini sudah keluar dan pulang semua. Aku tak tahu, jam berapa sekarang ini, aku tak ingin melihat ke arah jarum jam karena sedikit membuatku ketakutan dan juga trauma sekarang ini karenanya. Yang jelas, sekarang adalah jam yang gelap. Dan tiba-tiba, ponsel milik Wulan berbunyi. Aku mengira, kalau itu adalah alarm pulang waktunya dia untuk pulang. Namun ternyata, itu adalah nada dering telepon masuk. Aku tidak bisa membedakannya, karena bunyi mereka benar-benar sama tidak ada perbedaannya sama sekali. Wulan pun mengangkatnya, mencoba untuk menjawab telepon itu sekarang. Dengan nada berbisik-bisik, dan juga bahasa daerah Wulan yang aku tidak bisa pahami, Wulan sepertinya sedang mengatakan dan juga membahas sesuatu yang serius. Raut mukanya benar-benar terlihat panik sekaligus ketakutan saat ini. Aku juga menjadi sedikit khawatir dengan apa yang terjadi kepada Wulan, apakah sesuatu yang buruk telah terjadi kepada dirinya ataupun keluarganya sekarang ini? “Ada apa Wulan?” Tanyaku padanya khawatir. “Aduh, maaf banget ini Sabrina, kayaknya aku harus buru-buru pulang deh sekarang.” Ucapnya dengan nada panik dan juga sedikit sedih. Mungkin, sesuatu yang buruk terjadi dengan keluarganya di rumah. “Aku mendapatkan berita dari keluargaku. Kalau nenekku telah meninggal sekarang ini. Dia baru saja berpulang 15 menit yang lalu.” Ucap Wulan kepadaku sekarang ini. Aku tak tahu, seberapa dekat Wulan dengan neneknya, namun yang kutahu kalau dia memiliki keluarga yang tidak sama seperti keluarga pada umumnya. Aku hanya bisa berbela sungkawa dengan apa yang terjadi kepada Wulan sekarang ini. “Ya ampun. Innalillahi wa’innaailahi rojiuun. Semoga dia tenang disana ya lan”. Dari raut mukanya, aku tahu kalau Wulan benar-benar kaget dan merasa terpukul. Aku merasa benar-benar kasihan kepadanya. “Ya sudah Lan. Kamu cepat pulang saja sekarang ini. Mumpung kamu bisa menghadiri pemakamannya, dia meninggal di kota ini kan?” tanyaku kepada Wulan tentang neneknya. “Tapi Sabrina, bagaimana dengan pekerjaannya? Deadlinenya besok kan? Bagaimana kamu akan mengerjakan semua ini? Sendirian?” Tanyanya padaku. Aku cukup salut kepada Wulan, meskipun dia tengah bersedih seperti sekarang masih peduli denganku dan juga pekerjaan yang telah kami berdua lakukan. Aku juga memiliki hati nurani tidak bisa membiarkan sahabatku terbebani sekarang. “Ya sudah, tidak apa-apa. Aku akan bisa membereskan semua pekerjaan ini, meskipun entah mungkin akan menginap di dalam kantor sekarang hehe. Yang jelas, kamu dih pergi sekarang ya Wulan. Keluargamu mungkin tengah menunggumu sekarang ini.” Ucapku kepadanya. Wulan pun memelukku, sambil terisak tipis dan juga menangis di sana. “Maaf ya Sabrina”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD