3. Hungry

1821 Words
Beberapa bulan yang lalu Keana tenggelam di kolam renang milik kakeknya, bukan masalah dia tidak bisa berenang, saat itu dia hanya refleks saja tidak dapat berenang mengakibatkan dia kekurangan pasokan oksigen. Lalu tak lama kemudian, datanglah Bryan dia menyelematkan Kea yang sudah mengambang di kolam renang. Dengan raut wajah khawatir, dia segera menceburkan diri ke dalam kolam dan membawa Kea ke darat untuk diberikan pertolongan pertama berupa nafas buatan. Waktu itu, disana hanya ada mereka berdua. Untung saja Bryan pergi ke kolam renang. Jika tidak, mungkin Kea tidak akan dapat terselamatkan. Bryan menempelakan bibirnya dengan bibir dingin Kea, memberi nafas buatan dan mencoba mengeluarkan air yang tertelan oleh Kea dengan menekan-nekan dadanya secara berkala. Rambut basahnya mengenai wajah Kea, tangannya masih setia di d**a Kea. Dia nampak khawatir dan dia benar-benar khawatir. "Kea, bangunlah!" ujar Bryan, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Bryan beberapa kali memberikan nafas buatan untuk Kea. Namun, Kea tak kunjung bangun. Dia masih berusaha, dia tidak ingin Kea-Nya kenapa-napa. "Uhuk.." Bryan menghela nafas lega, akhirnya Kea mulai sadar. "Kea, bagaimana dengan keadaanmu? Apakah ada yang sakit?" tanya Bryan beruntun. Kea mengangguk, dia duduk dibantu oleh Bryan untuk duduk. Dalam hitungan detik, Kea segera menerjang tubuh Bryan, memeluknya dengan erat. "Tidak! Jangan menangis, Kea. Sekarang kau aman bersamaku, kau tak akan kenapa-napa lagi." ujar Bryan mencoba menenangkan Kea, dia mengusap-usap rambut basah Kea dengan lembut. Kea mengangguk, Bryan segera membawa Kea ke kamar. Dia membaringkan Kea di ranjang, lalu mulai menyelimutinya. "Bryan, jangan pergi." lirih Kea, saat Bryan akan beranjak. Bryan tersenyum lembut, lalu mengangguk pelan. Dia mengusap kepala Kea. Agar wanita itu tertidur. "Aku akan memanggilkan maid, supaya kau dapat berganti baju. Dan meminum s**u hangat." ucap Bryan. Di jawab anggukan kepala oleh Kea. Bryan segera menelepon salah satu maid, dia membawakan s**u hangat untuk Kea dan juga dirinya. "Aku juga akan berganti baju, nanti aku kemari lagi." ucap Bryan, membuat Kea mengangguk. "Kea? Ada apa dengan dirimu? Kenapa akhir-akhir ini kau selalau murung?" Kea segera mengusap kasar air matanya. Dia tidak boleh menangis, dia tidak boleh nampak lemah dihadapan orang lain, termasuk keluarga, sepupu dan para sahabatnya. Seberat apapun yang dihadapi, jangan pernah menjadi rapuh. Itulah prinsip Kea sekarang. Kea memutar badannya. "Kenapa Rora?" "Hmm tidak. Aku hanya khawatir padamu," jawab Rora. Dia segera duduk di sofa panjang yang tersedia diatas rooftop itu. Kea tersenyum, "Aku tidak apa-apa. Tenanglah," jawaban Kea membuat Rora menghela nafas. "Hanya ada aku, ceritakan kepadaku semuanya Kea. Apa gunanya aku sebagai sepupu sekaligus sahabatmu?" Kea menggeleng, "Tidak, bukan itu Rora. Aku tidak apa-apa serius." Rora menghela nafas kasar, lalu mengangguk. "Yasudah kalau belum mau cerita." Kea tersenyum, dia ikut duduk di sofa lainnya sembari memandang kolam renang yang tak jauh dari penglihatannya. Berawal dari kolam renang, semuanya menjadi rumit. Hanya dari kolam renang dan ciuman penyelamatan saja membuat Kea menyimpan perasaan pada Bryan. Apa kalau bukan Bryan yang menolongnya maka Kea akan mencintai siapapun itu yang menolong dan menciumnya? Jawabannya adalah tidak! karena Kea sudah menyukai Bryan sejak mereka masuk SMA dulu. Waktu itu Bryan adalah kakak kelasnya. Kea sering dibuli karena kemana-mana selalu membawa boneka kesayangannya. Namun, Bryan dan Galins selalu membela bahkan tak segan-segan untuk membuli balik bahkan membunuh siapa saja yang telah menyakiti hati adik dan saudarinya. Tak lama kemudian, datanglah Galins yang tengah menggendong Zea, disusul dengan yang lainnya. Mereka selalu menghabiskan waktu di rooftop saat sedang Free. Sekilas tentang mereka, semuanya sedang menjalankan pendidikan di salah satu Universitas ternama disana, mereka melanjutkannya di Universitas yang sama, Universitas itu dibawah kendali Lian dan Zayn. Galins memandang wajah Kea dengan lekat setelah menurunkan Zea dari gendongannya. Galins segera berpindah duduk di samping Kea di ikuti oleh Zea. Jadi posisi Galins kali ini duduk diantara kedua adiknya. Zea menyenderkan kepalanya pada tangan Galins. Sementara Kea masih tak bergeming. Sedari kedatangan mereka, Kea hanya menunduk saja sembari memainkan kuku-kukunya yang panjang dan berwarna merah muda. "Kea?" panggil Galins lembut. "Hmmm." jawab Kea membuat Galins menghela nafasnya. "Ada masalah apa?" tanya Galins. Kea mendongak, menatap mata tajam sang kakak yang begitu mirip dengan daddy nya. Kea menggeleng pelan, "Kenapa semua orang bertanya seperti itu? Aku tidak kenapa-napa hanya sedang sariawan saja dan tidak enak bicara." jawab Kea beralibi, tetapi masih dengan suara lembutnya. Galins menghela nafas lalu membawa kepala sang adik untuk bersandar juga di bahunya. "Kalau ada apa-apa bicara pada kakak. Kau jangan memendamnya sendiri." jawab Galins, dia segera mencium puncak kepala Kea dengan penuh kasih sayang dan lembut. Kea masih waras kalau harus berbicara perihal ini pada kakaknya. Mengingat jika Galins tak segan-segan akan membunuh orang yang telah menyakiti keluarganya meskipun orang itu bagian dari keluarganya. Jika Bryan dibunuh oleh Galins? Mungkin akan menjadi perang dan sejarah menakutkan dikeluarga William. Mengingat jika Bryan adalah putra tunggal dari Reza dan juga Emely. Mereka juga sama-sama mempunyai marga William. *** Malam ini rintik-rintik salju turun, namun itu tak membuat Galins mundur untuk menemui wanitanya. Dia merindukan Alice. Ya, entah dari kapan dia menyukai Alice, rasa itu tiba-tiba saja datang dengan sendirinya. Dengan melewati pepohonan yang rindang dan juga berbekal senter dari handphone-nya. Akhirnya dia sampai juga ke rumah Alice. Tempatnya terpencil, mungkin jika pencarian memakai drone pun tidak akan di temukan. Karena, di atasnya tertutup oleh pepohonan yang sangat rindang. Sesampainya Galins bersamaan dengan turunnya salju, dia beru menyadari kalau ini adalah tanggal dua puluh satu desember, berarti empat hari lagi natal akan berlangsung. Galins memasukkan handphone lalu membuka topi hoodie nya. Dia segera membuka pintu rumah minimalis itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. "Arghhhhhhh!" teriak wanita dari dalam ruangan. Dia hampir saja akan membuka baju atasnya dan mengurungkannya kembali saat ada seseorang yang masuk kedalam rumah kecilnya. Alice menghela nafas saat dia tahu jika yang masuk adalah orang yang sama seperti malam kemarin. "Aku kira kau tidak akan kemari lagi," ujar Alice, dia merebahkan tubhhnya diatas kasur lalu menyelimutinya untuk menutupi pahanya yang terekspos. Kebiasaan jika sedang dirumah maka Alice hanya akan memakai pakaian mini. Menurutnya itu sangatlah nyaman. Walau keadaan di dalam cukup dingin, tetapi tak masalah bagi Alice. Dia tetap mengenakan pakaian mini. "Berarti kau mengharapkan aku untuk datang." jawab Galins, yang sudah duduk di sofa panjang. "Ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu Galins, dan kenapa juga kau kemari lagi?" Galins tersenyum, dia mengeluarkan rokok dan pemantik dari saku hoodie nya. "Apa masalah kalau aku kemari lagi? Bukankah kita sudah menjadi sepasang kekasih?" tanya Galins. Dia menghisap rokok itu dan mengepulkan asapnya ke udara. "Kita bukan sepasang kekasih, aku tidak merasa menjadi milikmu." jawab Alice, dengan nada datar yang terkesan polos. "Lalu, apa aku harus mengambil keperawananmu sekarang juga, agar aku dapat memiliku?" tanya Galins dengan seringai kecilnya. Alice menggeleng pelan, "Aku yakin kau tidak akan setega itu padaku." jawaban Alice, membuat Galins tertawa. Dan Alice, menelan salivanya dengan susah payah. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu, sangat percaya diri sekali. "Aku membawa pisau, kali ini kau mau ku lukai disebelah mana? Sebelum aku mengambil keperawanan mu." jawab Galins, sembari mengeluarkan pisau kecil yang sama seperti kemarin malam ke udara. Seketika tubuh Alice menegang. Lagi, dia menelan salivanya dengan susah payah. Luka kemarin malam saja belum sembuh, apakah dia harus menambah luka kembali? Pekerjaannya juga jadi terganggu akibat tangannya yang tidak bebas bergerak karena merasakan perih. 'Galins benar-benar pshyco!' "Ti-tidak ku mohon, i-iya aku adalah kekasihmu, Galins." jawab Alice, sembari menampilkan puppy eyes nya yang membuat Galins menjadi gemas. Hah, lihat. Bagaimana Galins dapat menyakiti Alice, kalau dia terlalu amat menggemaskan. "Haha, aku hanya becanda. Ngomong-ngomong aku lapar apa kau mempunyai makanan?" ujar Galins, membuat Alice membulatkan matanya. "Ma-maafkan aku. Aku tidak mempunyai makanan sedikitpun, karena harus berhenti kerja. Ini sudah masuk musim salju." jawab Alice sembari menunduk. "Apa masalahnya berhenti kerja dan musim salju?" "Galins, aku harus membuat kerajinan dari kayu untuk mendapatkan uang supaya dapat makan. Bisa saja aku merebuskan kentang dan sayuran lainnya yang ada dibelakang rumah yang sudah ku tanam. Namun sekarang salju, aku cukup sensitif dengan dingin." jawab Alice, membuat Galins mengerutkan keningnya. "Kemana orang tuamu?" "Orang tuaku sudah meninggal." Perkataan Alice membuat Galins mematung, dia menghentikan aktifitasnya dari merokok dan segera mematikannya. "Lalu kau belum makan sedari pagi?" tanya Galins, membuat Alice menggeleng pelan, "Belum." jawabnya. "Astaga Alice, kalau tahu begini aku bisa membawakanmu makanan yang banyak." "Tidak usah repot-repot Galins, aku sudah terbiasa hidup seperti ini dalam beberapa bulan ini." Mendengar pernyataan Alice, membuat hati Galins terenyuh. Hidupnya berbanding balik dengan apa yang menjadi hidupnya. Dia baru tahu ada orang setegar Alice di dunia. Galins berjalan pelan ke arah kasur Alice, "Bangun!" perintah Galins dingin. Tanpa berniat membantah, Alice bangun dari tidurnya dan segera duduk. Galins mulai mengeluarkan sesuatu dari saku hoodie nya. "Makanlah Alice." titah Galins, membuat Alice mengernyit bingung. "Tadi kau meminta makanan, padahal ini ada. Hmm dasar," jawab Alice mencebikkan bibirnya kesal. "Makan saja Galins, kenapa menyuruhku, bukankah kau bilang kau yang lapar?" "Aku tidak lapar sama sekali, tadi maksudku aku ingin minum. Dan aku sengaja membawakan roti ini untukmu, jadi makanlah!" ujar Galins masih menyodorkan roti itu namun Alice tak kunjung menerimanya. Padahal Alice tahu, Galins sedang berbohong. "Terima, atau aku akan menggoreskan luka pada pipi mulusmu." Barulah setelah Galins berbicara seperti itu, Alice segera menerimanya tanpa penolakan lagi. "Makan!" Lagi-lagi Galins memerintah dengan dingin. Alice menghela nafas, dia melihat roti yang ada ditangannya dengan tatapan binar. Sudah lama sekali dia tidak memakan roti seperti ini. Rasa-rasanya dia merindukan suasana kota. Alice membuka bungkus roti itu dan memakannya dengan lahap, membuat Galins tersenyum getir. "Mulai besok, akan ku pastikan kau tidak akan bekerja lagi." batin Galins berbicara. Galins selalu membawa satu roti kemanapun ia pergi, jika saja ada yang menyekapnya selama beberapa hari dan tidak ada yang memberi makan, atau Galins tersasar. Dia masih mempunyai roti untuk mengganjal perutnya dan mengembalikan tenaganya. Itu adalah salah satu ajaran dari Geraldo dan Lian. "Pasti sangat lapar, kau makan dengan lahap." ujar Galins. "Ya, dan kebetulan sekali roti ini adalah rasa kesukaanku." jawab Alice antusias, membuat Galins tanpa sadar mengelus rambut Alice dengan gemas. "Kalau begitu, besok aku akan membawakan banyak untukmu." "Tidak usah Galins. Aku tidak ingin merepotkan siapapun." "Ngomong-ngomong, aku alergi asap rokok. Apa kau akan membiarkannya sampai aku tak bisa bernafas?" tanya Alice, menatap rokok yang berada di jarinya. Galins menghela nafas lalu membuang rokok itu kebawah, menginjaknya dengan kaki tanpa alas. Hal itu membuat mata Alice membulat. "Ah Galins, maafkan aku." ujar Alice lirih. Galins tersenyum kecil. "Tak apa-apa Alice, aku tak suka menyakiti kekasihku." jawabnya, membuat pipi Alice merona. "Hmmm, ini dingin. Tak seharusnya kau kemari." "Ah, harusnya kau menikmati salju ini bersama dengan keluargamu, dulu akupun seperti itu." Galins tidak menjawab lagi melainkan mulai merebahkan tubuhnya di atas kasur. Galins memejamkan matanya dan menutupi matanya dengan tangan kanannya. Seperti bukan Galins, menahan lapar untuk seseorang, selain anggota keluarganya. "Aku tak akan beku, Alice. Berhentilah mengoceh!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD