Galins berjalan dengan santai, melewati pepohonan yang sangat rindang, meskipun waktu baru menunjukkan pukul enam pagi, tapi dia sudah harus menyusuri jalanan tengah hutan.
Takut? Dia tidak pernah takut dengan kegelapan, dia tidak pernah takut dengan ketinggian, dia juga tidak pernah takut dengan apapun yang ada di dunia ini. Yang dia takutkan hanyalah kehilangan keluarganya atau mereka dalam bahaya, ia tak ingin ditinggalkan oleh mereka semua.
Galins memutuskan untuk pulang sebelum Alice bangun dari tidur nyenyaknya. Dia berjalan ke arah mobil yang masih terparkir diantara mobil-mobil lain milik teman sekaligus saudaranya. Galins kira mereka semua akan pergi meninggalkan dirinya begitu saja, tetapi faktanya tidak. Teman sekaligus sepupunya malah memilih tidur didalam mobil semalaman, dan menunggu dirinya kembali. Inilah salah satu bentuk kekeluargaan mereka.
Galins mengetuk kaca mobil milik Sean, dia yakin jika mereka tidur disana, karena mobil Sean lah yang paling besar dari mobil lainnya, cukup untuk dijadikan tidur. Benar saja beberapa menit kemudian pintu terbuka menampilkan sosok pria tinggi dan tegap, dia menguap sambil mengernyitkan dahi bingung menatap Galins.
"Masih hidup? Ku kira kau sudah mati! Mati ditangan orang bodoh itu." Sean berbicara dengan ketus.
Galins mendelik dan memutar bola matanya malas, pantang untung dirinya meninggal ditangan musuh, karena itu adalah sebuah penghinaan nyata untuknya.
"Pulang!" Galins malah mengajak pulang tanpa berniat menjawab pertanyaan dari Sean, sepupunya.
Sean mengangguk, dia kembali ke dalam mobil lalu membangunkan teman sekaligus sepupu lainnya untuk bangun dan segera pulang ke mansion masing-masing, orang tua mereka pasti sangat khawatir karena mereka tak memberi kabar sedikitpun, handphone nya sengaja dimatikan.
***
Alice terbangun dalam keadaan ceria seperti biasanya, dia tersenyum senang entah apa yang membuatnya sebahagia ini. Alice beranjak dari kasur berjalan ke arah meja, mengambil air minum karena tenggorokannya terasa sangat kering. Alice meneguk air minum didalam gelas sampai tersisa setengah. Saat akan menaruh gelas kembali, tiba-tiba saja dirinya teringat dengan kejadian semalam yang telah menimpanya. Kejadian yang tak pernah Alice pikirkan sebelumnya. Seorang Pria masuk kedalam rumahnya, berniat untuk menginap dan setelah itu mereka hampir melakukan hal yang... Alice segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, dia menoleh ke arah sofa yang semalam di tiduri oleh orang yang bernama Galins. Sudah telanjur malu karena semalam dia tidak melakukan penolakan yang ekstra, lagi pula siapa yang akan menolak seorang berjiwa psikopat itu.
Alice mengernyit kala tidak mendapati keberadaan Galins diruangan ini. "Kemana dia?" tanya Alice pada dirinya sendiri, tetapi tak lama kemudian dia mengedikkan bahu acuh dan segera meraih handuk untuk segera mandi diruangan belakang rumahnya.
Hari ini Alice harus segera berangkat bekerja, sebagai pengrajin tangan, dia harus bertahan hidup di Negara besar ini, bertahan tanpa adanya orang tua memang sangat sulit, tetapi Alice mencoba bersyukur karena Tuhan masih mengizinkan dirinya hidup, selamat dalam kecelakaan maut waktu itu.
Orang tuanya sudah meninggal sejak satu bulan yang lalu dan rumah ini lah yang menjadi satu-satunya rumah untuk dirinya. Dulunya, ini adalah sebuah villa khusus jika keluarga Alice sedang ingin berlibur jauh dari padatnya ibukota, hanya keluarga Alice, orang lain tidak ada yang mengetahui rumah ini, karena ini benar-benar terpencil.
Alice tidak bisa pergi ke kota karena jarak yang cukup jauh dan tidak mempunyai kendaraan. Rumah di kota mungkin sudah terbengkalai, tidak berpenghuni atau mungkin sudah ada yang menjualnya. Jadi dia memutuskan untuk tinggal di tepi hutan yang pemandangannya cukup indah dan asri, Alice harus meninggalkan pendidikannya di kota dan harus menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja sebagai pembuat gantungan atau kerajinan lain, yang terbuat dari kayu. Untung saja tidak jauh dari tempatnya tinggal ada sebuah desa kecil yang menyediakan kebutuhan hariannya seperti makana, tentu saja semuanya harus dibeli dengan uang. Jika Alice tidak bekerja dia hanya akan makan sayur dan buah-buahan saja yang sengaja ditanam di belakang rumahnya.
Meskipun begitu, Alice tidak pernah mengeluh dengan hidupnya yang penuh dengan kesendirian. Dia tidak pernah berpikiran untuk mencoba mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, Alice yakin kebahagiaan akan datang setelah badai menerjang.
"Awshhhh..." Alice meringis, kala tangannya terkena air. Dia baru ingat jika semalam Galins menorehkan luka di tangan kirinya cukup panjang, dalam ringisannya Alice menggeleng pelan, mencoba menguatkan.
"Hanya luka kecil, dan kedepannya tidak akan ada lagi luka. Karena pria aneh itu sudah pergi." sambungnya sembari tersenyum, lalu segera menyelesaikan mandinya.
***
Sejatinya, sedih adalah bahagia yang tersembunyi. Bahagia yang tertutup oleh keterpurukan sikap, dan jika larut dalam kesedihan itu, maka bahagia semakin akan menjauh.
"Angkat kedua tanganmu, mulailah menciptakan keindahan dengan lukisan yang kamu torehkan." ujar seorang gadis cantik, dia mulai mengangkat tangannya lalu memegang kuas siap untuk membuat keindahan dalam sebuah kanvas.
Bibirnya menggurat senyuman menyembunyikan kesedihannya, air mata tak akan ia tampakkan untuk kali ini. Semua orang tahu jika Kea adalah wanita cengeng tetapi Kea akan merubah tanggapan semua orang itu, dia bukanlah gadis cengeng lagi, sekarang dia adalah gadis yang kuat. Kuat dari kisah percintaannya dengan Bryan, yang bermula dari sebuah ciuman yang tidak sengaja.
Hubungan dengan sepupunya-Bryan, tidak ada kepastian yang membuat hati Kea tenang. Bryan tidak pernah merespon banyak percakapan dirinya, berbeda halnya jika Bryan sedang berbicara dengan Zea, kakak kembarnya maka Bryan akan bersikap asyik dan juga... menyenangkan.
Di sela melukis pemandangan, Kea tersenyum. Senyum miris yang menyiratkan kesedihan dalam kisah asmaranya. Mencintai dalam diam? Kea sedang merasakan hal itu akhir-akhir ini.
Keana juga berpikir bingung, kenapa harus secinta itu pada Bryan, Kea tahu hubungan ini terlarang mengingat jika Bryan adalah sepupu kandungnya. Tapi, Kea tidak bisa menghindari rasa itu. Rasa cinta dan nyaman yang menjadi satu, andai saja dia dan Bryan tidak satu marga yang sama mungkin ia akan meminta agar daddy nya menikahkan mereka berdua secepatnya.
Kea terkekeh kecil, "Terdengar mengerikan."
Tanpa Kea sadari, ada Lian di belakangnya yang sedari tadi memperhatikan Kea. Lian mengetahui jika Kea menyukai Bryan, akan tetapi hubungan ini tidak bisa dilanjutkan. Kalaupun memang mereka berdua berjodoh akan sangat sulit untuk Lian terima. Untuk saat ini Lian hanya bisa diam dan pura-pura tidak tahu tentang semua persoalan anaknya. Biarlah dia memperhatikan mereka dari jauh, mereka juga perlu pengalaman untuk mendewasakan dirinya sendiri, mereka tidak boleh hidup monoton mengingat jika merekalah nantinya adalah pewaris William yang sesungguhnya setelah dirinya dan juga Reza.
Lian tersenyum, dengan sepatu mahalnya dia melangkahkan kakinya perlahan, sehabis pulang dari kerja di siang hari. Kata istrinya-Lisha, Kea sedari pagi tidak keluar dari kamar. Jadilah Lian memutuskan untuk pergi ke kamar anaknya.
"Little girl," panggil Lian, dia mengecup kepala sang anak dengan sayang dan mengelus lembut kepala Kea dengan tangan kokohnya.
"Daddy, kau sudah pulang? Tumben sekali ini masih siang?" jawab Kea, tanpa mengalihkan atensinya sedikitpun dari kegiatan melukisnya.
"Ya daddy ingin makan masakan mommy siang ini, ada apa denganmu? Apa ada masalah, dear?" ujar dan tanya Lian.
Kea mengernyit, lalu mulai menghentikan kegiatannya, dia memutar kursinya dan berhadapan langsung dengan Lian.
"Kenapa apanya, Dad?" tanya Kea.
Lian berlutut di hadapan Kea, "Kenapa murung? Apa kau mempunyai masalah?"
Kea tersenyum dan segera menggeleng, Kea memutar matanya, telunjuknya ia tempatkan di atas dagu seperti tengah berpikir, "Tidak dad, aku hanya sedang... Hmm malas keluar saja. Dan lebih baik menyelesaikan lukisan ku dengan segera, aku tidak ingin kalah dari kak Zea." jawab Kea dengan melas, membuat Lian terkekeh pelan.
Lian mengangguk, meskipun jauh dalam lubuk hatinya dia sangat tahu tentang hati Kea yang diam-dam mencintai Bryan. Bukan maksud ingin memisahkan Kea dari Bryan, mengingat jika Bryan juga tidak bersahabat dengan Kea membuat Lian enggan untuk ikut campur tentang hubungan anak dan juga ponakannya.
"Ayo kita makan ke bawah, sudah banyak orang yang menantimu." ajak Lian, membuat Kea menggeleng.
"Tidak ada penolakan!" ucapan Lian yang selanjutnya membuat Kea menghela nafas kasar. Ia tidak akan mungkin menang melawan daddy nya. Nada tegas itu, membuatnya tak bisa melakukan perlawanan.
Kea segera berdiri di susul oleh Lian, mereka berjalan bersama untuk sampai ke ruang makan, Lian memeluk pinggang anaknya posesif sesekali bercanda. Meskipun sudah memasuki kepala empat, tapi mommy dan daddy nya masih terlihat tampan dan cantik. Hal itulah membuat Kea seperti seorang teman dengan mommy nya.
"Akhirnya kau keluar juga Kea, mommy begitu khawatir." ujar Lisha, dia sudah duduk di kursinya. Lian segera menarik kursi untuk anak bungsunya dan di balas cengiran khas oleh Kea.
"Tidak usah khawatir mom, aku hanya sedang menyelesaikan lukisanku." balas Kea santai, jauh dalam lubuk hatinya dia tengah merasa gundah. Ternyata Bryan pun ada disini bersama kakak-kakak dan saudara-saudaranya.
"Padahal aku sudah bilang mom pada Kea untuk ikut bermain bersamaku." jawab Zea.
Kea memutar bola matanya malas, "Aku tidak menyukai darah Kea, urus saja mangsa-mangsa mu sendiri." jawaban Kea membuat Zea mengerucutkan bibirnya kesal.
"Hei! Apa maksudmu Kea!" teriak Zea, tak terima. Namun, Kea hanya mengedikkan bahunya acuh, seolah-olah tak ingin memperpanjang urusan ini.
Mereka segera mengambil lauk pauk di atas meja makan. Tentu, setelah Lisha mengambilkannya untuk dirinya dan juga suaminya.
"Kea, apa kau tidak merindukan kakak? Kita tidak bertemu sudah tiga hari." ujar Galins.
Kea yang sedang makan sembari menundukkan kepala pun segera mendongak, dia menatap Galins lalu mengangguk cepat, "Rindu." jawabnya begitu singkat, membuat mereka semua membulatkan matanya tak percaya. Biasanya Kea akan sangat antusias dan paling manja kepada Galins tapi kali ini Kea bersikap biasa saja. Hanya jawaban kecil yang tidak memuaskan di pendengaran Lian dan Kea segera memakan-makanannya kembali tanpa ada nafsu makan di dalamnya.
"Kea apa ini kau? Adikku? Kembaranku? " tanya Zea beruntun, namun lagi-lagi hanya di angguki kepala saja oleh Kea. Membuat Zea mendengus kesal, adiknya tidak seperti biasanya.
**
Setelah selesai dari makan cepatnya Kea segera meninggalkan ruangan makan dan segera bergegas ke lantai atas, membuat semua orang bingung dengan kepergian Kea.
"Aunty Lisha, apa ada masalah pada Kea?" tanya Rora, membuat Lisha mengedikkan bahunya ,"Sepertinya memang ada, tapi aunty tidak mengetahuinya. "
"Hmm, sudah lah mungkin saja Kea kesal dengan Zea karena telah kalah dalam perlombaan itu." lerai Lian, dia tidak ingin mereka curiga dan malah menyudutkan Bryan, Lian yakin mereka tidak mengetahui tentang Bryan dan juga Kea. Akan tetapi tingkah Bryan selama ini, mencurigakan.
"Tidak, kurasa bukan itu dad. Biasanya Kea tidak pernah marah tentang hal seperti ini." jawab Zea, namun hanya ditanggapi dengan gelengan saja oleh Lian. Dia juga bingung harus menjawab seperti apa dan bagaimana.
"Daddy, kembali ke kantor lagi ya." ujar Lian, dia segera mengecup kening sang istri. Zea yang masih asyik menikmati makannya pun segera menaruh sendok dengan kasar di atas piring membuat semua orang terlonjak.
"Tidak!" Ujar Zea, menatap Lian. Membuat Lian mengernyitkan keningnya bingung, padahal dia sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Zea, dia pasti melarangnya untuk pergi bekerja kembali.
"Daddy harus kerja lagi, dear. Akan ada meeting penting sebentar lagi."
"Daddy sudah kaya kenapa harus bekerja. Pokoknya kalau daddy gak duduk lagi Zea mogok makan seminggu." ujar Zea, dia melipat tangan di depan dadanya. "Zea merindukan daddy. Dua hari ini tidak bertemu," ujar Zea lirih.
"Lalu kemana saja dua hari ini, hmm?"
"Aku kan sedang menikmati masa galau ku di mansion opah." jawab Zea
Galins yang berada di sampingnya, segera menepuk kening Zea dengan agak keras, membuat Zea meringis.
"Biarkan daddy pergi bekerja, masih ada kakak. Lihat saja aku lebih tampan dari daddy, bukan?" jawab Galins menaik turunkan alis tebalnya membuat Zea memutar bola matanya jengah.
"Berkaca dengan benar, wajahmu sangatlah buruk, pantas saja kau tidak memiliki pacar kak." jawab Zea, membuat Galins mendelik. Ia berusaha untuk menggelitik perut Zea, namun Zea segera berlari menghindari klitikan dari sang kakak.
Lian menghela nafas lega, setidaknya anak pertamanya dapat membantunya. Kalau tidak ada meeting penting, sungguh Lian tidak akan berangkat bekerja.
"Dear, aku ada meeting penting dengan klien dari Jepang, tolong bilang pada anak-anak ya. Mungkin akan pulang jam malam." ujar Lian, sembari berdiri dari duduknya dan mengecup kembali kening sang istri. "Kalau aku pulang larut, jangan menunggu. Tidur saja," sambung nya.
"Iya dad, tidak apa-apa. Hati-hati ya." jawab Lisha, dia segera tersenyum membenarkan dasi Lian membuat yang ada di sana berdehem keras.
Lian tersenyum, "Lanjutkan makanmu, aku bisa ke depan sendiri." Jawab Lian yang di angguki oleh Lisha.
Lian berjalan, setelah berada di belakang meja Bryan, Lian segera menepuk pelan bahu Bryan, membuat tubuh Bryan menegang.
Hanya sebuah tepukan, kenapa bisa membuat Bryan menegang sampai menaruh sendoknya dengan refleks. Tentu saja, dia sangat yakin jika uncle nya mengetahui sesuatu tentang dirinya dan juga ... Keana!