pertanyaan untuk suamiku.

1421 Words
Mas Husein membeku, dia memandangku dengan tatapan heran tapi dia tahu maksudku. Suara jam dinding kembali bergema seperti Setiap detik menjadi palu yang menghantam jantungku. Duniaku runtuh bukan karena gemuruh dahsyat atau gelombang melainkan oleh penghianatan. Harapan yang selama ini Kurawat seperti taman bunga kini layu seketika diracuni oleh pahitnya kebohongan. "Tenangkan dirimu, apa yang terjadi?" Lelaki itu mendekat sambil meraih tanganku tapi aku segera menepis dan mendorongnya mundur. Demi Allah, aku seolah bisa mencium bau parfum wanita yang tersamar di kemeja suamiku, bau yang menusuk hidung lebih tajam dari cuka. Pengalaman luka pagi tadi bukan sekedar luka saja, tapi sayatan yang merobek jiwaku. Aku seperti layang yang dipermainkan lalu tali-talinya putus kemudian terhempas ke jurang terburuk. Cinta yang dulu kujaga seperti harta paling berharga, kini hancur berkeping-keping, hatiku berdarah, dan aku sudah tak mampu menggambarkannya. "Alya, apa yang terjadi?" "Jawab saja pertanyaanku, sejak kapan kau membohongiku, sejak kapan kau menikah dan punya anak?" "Apa?" Pria bertubuh tinggi itu mengernyitkan alisnya. "Aku melihatmu... aku melihat kau dan keluarga kecilmu di lampu merah." Mas Husen terhuyung mundur, dia shock dan langsung pucat, tatapan matanya redup seketika seiring dengan tenggorokannya yang terlihat naik turun, susah payah menelan ludah. "Ta-tapi...." "Tapi apa Mas? Mau kasih alasan apa lagi?!" Aku juga ikut kehilangan keseimbangan dan jatuh di atas sofa, air mata ini berderai-derai, tubuhku lemas dan aku hanya bisa menangis sambil menyentuh d**a, mencoba menenangkan lebaran jantungku yang berpacu kencang. Nafasku tersengal membayangkan betapa selama ini dia telah menipuku, mungkin pagi dia memelukku, lalu siang dia memeluk wanita itu. Mungkin setiap malam izin pergi olahraga atau ada pertemuan, itu merupakan alasan saja demi bertemu dengan wanita idamannya. Ah, hatiku makin tercabik-cabik saja rasanya. "Aku bisa jelaskan semuanya Alia!" "Cukup!" Aku mulai merasakan mataku berkunang-kunang nafasku menjadi sesak karena udara terasa tipis di paru-paru. Aku mulai menyadari kepalaku berdenyut dengan keras kulitku terasa dingin seperti keringat dingin yang menetes perlahan dan menguasai punggungku. Rasanya ingin pingsan Tapi aku berusaha menahan dan tidak ingin terlihat lemah di hadapan Mas husain. "Kau terlihat tidak baik-baik saja sayang, mari kita bicarakan itu nanti!" Pakai itu sigap mengeluarkan tangan untuk membantuku berdiri tapi aku menepisnya dengan keras. "Tidak, jangan sentuh aku sebelum kau ceritakan yang sebenarnya. Kapan kau menikahinya, berapa usia anakmu dan kenapa pandai sekali kalian sekeluarga menyimpannya dariku."aku mencecarnya sementara lelaki itu menundukkan kepalanya. "Teganya mertua dan adik iparku tidak menceritakan apapun padaku! kalian benar-benar komplotan penjahat yang telah menipu diri ini!" Aku berteriak sambil menangis, tak peduli betapa suaraku bergema ke seluruh sudut rumah atau mungkin bisa saja terdengar ke rumah tetangga. Aku tidak peduli, aku hanya ingin melampiaskan kekecewaan dan kemarahan yang kini menggelegak di hatiku. "Kita bahas itu!" "Mau menunggu sampai kapan! Kenapa nanti apa aku harus mati dulu sampai kau jujur?" "Astagfirullah bicara apa kamu Alyah?" "Tega ya kalian... kenapa tidak ada satu orang pun yang memberitahuku agar aku segera menyadarinya." "Sebenarnya aku sih ingin segera jujur padamu tapi ...." "Karena aku sakit lalu kau takut menyakitiku... sebenarnya kebohonganmu lebih menyakitkan daripada kejujuran meski itu serupa duri!" "Lalu aku bagaimana Alya?" "Aku yang harus bertanya aku harus bagaimana, ke mana aku pergi dan bagaimana nasib keluarga kita." Aku mendongak sambil memandangnya sementara dia menatapku dengan iba. Aku benci saat lelaki itu melihatku dengan kasihan bukan dengan cinta, aku tidak selemah itu sampai harus dikasihani dengan cara yang begitu menyedihkan. "Dan yaa, ini bukan lagi keluarga, ini hanya harapan palsu yang kau ciptakan untukku agar aku bisa mati dengan damai," balasku sambil tertawa getir lelaki itu menggelengkan kepala seakan menolak argumenku. "Tidak Alya, aku tidak pernah berharap kau meninggal. Aku bahkan ingin kau sembuh dan menjalani hidupmu seperti semula. Kita pasti bisa bahagia!" Dia berlutut sambil menggenggam tanganku tapi aku sudah benar-benar muak, aku mendorongnya hingga tersungkur ke lantai. "Kebahagiaan macam apa? Kau sudah menikah punya istri yang cantik dan anak yang tak kalah lucunya. Apa yang kau harapkan dari wanita yang punya tumor di rahimnya! Apa?!" "Sakitmu bukan salahmu jadi jangan berkata seperti itu!" "Kau bilang kau akan mencintaiku dengan paripurna, sakitku Bukan halangan untuk mencintaiku tapi kau laki-laki yang munafik!" jawabku sambil memandangnya dengan jijik. Lelaki itu menundukkan kepala sambil menghela nafasnya. Kalau tak lama ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. Dia menjauh padaku dan seperti sedang menghubungi ibunya. "Umi, Aku ingin umi datang ke rumah." "Kenapa?"suara wanita paruh baya itu terdengar ke telingaku. "Alia sudah tahu semuanya dan aku butuh seseorang untuk membantuku menjelaskannya, Aku tidak mau Alya merasa terluka dan hancur, Umi." Cih! Dia tidak perlu mengerahkan keluarganya untuk membujukku karena hak aku sudah benar-benar murka. Untuk apa kedatangan ibu mertua, paling, dia hanya akan membujukku dan bilang kalau keikhlasanku akan membawaku ke surga, istri yang mau dipoligami bisa masuk pintu surga dari manapun. Cih! Aku muak dengan bayang-bayang yang akan terjadi kedepannya, karena sudah pasti itu terjadi. Begitu dia selesai bicara pria itu mengembalikan ponselnya ke saku lalu kembali mendatangi dan duduk di sisiku. "Aku sudah meminta umi untuk datang Jadi kita bisa bicara sebagai satu keluarga." "Untuk apa masih menganggapku sebagai keluarga, padahal kalian tidak melibatkanku saat pernikahanmu.. kenapa harus merepotkan dirimu," jawabku sambil tertawa mengejeknya. "Alya, kau itu sedang shock dan sakit!" "Meski demikian aku masih waras Mas? Logika dan akal sehatku masih berjalan! Baik apapun kau mencari pembelaan dan membenarkan tindakanmu aku tetap melihatmu sebagai orang yang bersalah. Bagaimanapun.... Kau menipuku," jawabku sambil menunjuk dadaku sendiri. "Aku akan minta Rania datang ke sini dan bicara padamu!" "Oh jadi wanita itu bernama Rania?!" tanyaku sambil tertawa. "Dia sepupumu kan, anak Tante Anggi yang ada di Semarang." "Iya betul," balas Mas Husain pelan. "Wanita jalang!" Desisku sambil tertawa sinis. Masih hujan terbelalak sambil menggelengkan kepalanya, tentu saja dia menolak argumenku dan tidak terima kalau istri keduanya adalah wanita yang kusebut diatas. "Jangan berkata begitu tentang Rania, yang meyakinkannya untuk menikahiku adalah keluarga kami!" "Lalu kenapa kau mau?! Kalau kau menghargaiku kau tidak akan mengkhianatiku!" "Aku hanya mengikuti permintaan keluarga dan...." "Egomu sendiri untuk memiliki anak kan?!" lanjutku dengan sinis. Lelaki itu menghela napasnya, lalu perlahan beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air dan membawanya untukku. "Minum dulu!" "Tidak!" "Tolong minumlah!" "Aku tidak mau!" bentakku "Kamu tidak boleh kurang minum, dalam keadaan seperti ini kamu harus menenangkan dirimu!" "Aku tidak butuh perhatianmu!" balasku dengan bola mata yang terasa sangat perih dan panas. Bayangkan aku telah menangis selama kurang lebih 7 jam, jadi, aku tidak bisa membayangkan seperti apa bentukku dalam pantulan kaca. Lama aku dan dia membeku dalam keheningan masing masing, hanya detak jam dinding, sesekali gorden jendela yang disibak oleh angin atau suara Isakan tangisku yang terdengar sengau. Aku tidak ingin menangis tapi luka ini benar-benar membuatku kehilangan kata-kata. Duniaku hancur, harapan serta kepercayaanku, punah begitu saja. Sekitar 10 menit kemudian mertua dan adik iparku datang, melihat keadaan rumah yang kacau pecahan ornamen di lantai wanita itu terkesiap tapi dia mencoba bersikap tenang. "Arimbi tolong sapu lantainya," ucap ibunya Mas Husain pada adiknya. "Iya umi." Gadis muda yang masih berkuliah itu mengangguk lalu beranjak ke belakang untuk mengambil sapu dan serokan, dia menyapu lantai sambil melirik diriku yang membeku. Tatapan mataku lurus ke depan tapi air mata tak pernah henti-hentinya menetes. "Mbak...." Gadis itu hanya memanggil lalu Aku menoleh dan dia tidak mengatakan apapun lagi, sepertinya rasa sungkan dan rasa bersalah itu memenuhi pikirannya. Mas Husein dan ibunya terlihat berbincang di dapur tapi mereka berbisik dan terus melirik ke arahku, aku mulai merasa tidak nyaman seolah-olah aku anak tiri yang tidak boleh diberitahu apapun, aku seperti tidak dianggap sebagai anggota keluarga karena tidak diikutsertakan dalam keputusan penting, terlebih masuk Husein adalah suamiku dan mereka telah menikahkannya dengan wanita lain. "Uhm, Alya... Umi ingin bicara padamu!" "Katakan saja umi aku mendengarkannya!" Wanita keturunan Arab yang juga mewarisi paras arabik kepada anaknya terlihat menarik nafas dalam sambil menatapku. "Kami sudah lama mempertimbangkan hal ini tapi kami terlalu ragu untuk segera menyampaikannya padamu. Maaf yaa!" Mendengar ucapannya yang seolah ringan tak terbebani, aku hanya kembali meneteskan air mata. "Rania adalah sepupunya Husain, memilih dia sebagai istri anakku Karena dia sudah tahu seluk beluk keluarga kita dan umi rasa tidak akan terjadi konflik antara kamu dan dia. Sebagai istri kedua dan keponakan kami Aku yakin dia akan lebih pengertian padamu dan mengalah." "Oh ya?" tanyaku dengan sinis. "Dari kemarin umi ingin sekali segera mempertemukan kamu dengan Rania agar kalian bisa saling mengenal dan bicara. Karena kau sudah tahu lebih awal jadi sebaiknya tidak perlu ada yang ditutup-tutupi lagi." Ya Tuhan, bagai palu godam yang menghantam tubuhku aku bahkan kesulitan untuk mengais udara, hatiku hancur melihat betapa kejam dan betapa tidak berprasaannya mereka semua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD