pertemuan mengejutkan
Jam dinding berdetak nyaring, seolah menghitung waktu mundur bagi diriku untuk mengambil keputusan yang begitu berat. Air mata ini berderai tanpa henti membuat bola mata makin pedih dan memanas.
Aku masih duduk di kursi tunggu ruang klinik sambil menggenggam beberapa resep dokter dan jadwal pertemuanku minggu depan, duduk di sini dengan segala perasaan luka serta kebimbangan yang menyiksa.
Secangkir minuman yang kubeli di kantin sudah dingin dan tertinggal di atas meja begitu saja, tak tersentuh sedikitpun. Lalu lalang orang-orang dan suara pengumuman dari pengeras suara seperti tak terdengar olehku, selain hanya seperti keheningan dan bunyi desau angin. Ya, jelas aku bisa merasakan sebuah kehampaan yang menganga antara diriku dan harapanku, kehancuran hati dan kepercayaan pada seorang pria yang telah 15 tahun bersamaku.
"Mas, berangkat ke klinik ya?"sekelebat bayangan pagi tadi masih tergambar di pelupuk mata.
"Hati-hati di jalan sayang, kalau hujan telepon saja, nanti Mas jemput," jawab lelaki itu saat aku berpamitan tadi, kucium tangannya dan dia membalas mencium keningku.
Selalu begitu setiap hari, selalu tentang keromantisan cinta dan senyum hangat.
Tak ada yang kurang dari dirinya, cinta perhatian, juga tanggung jawabnya secara ekonomi, dia luar biasa! Dia Mas Husein Ali suamiku, suami yang amat kusayangi. Andai aku terlahir untuk kehidupan berikutnya aku tetap ingin dia sebagai suamiku.
"Sayang ...maaf ya kalau sampai hari ini kita masih berdua saja." Teringat kembali percakapan beberapa minggu yang lalu saat aku dan dia saling memeluk di atas tempat tidur kami, entah kenapa mengingat itu membuat air mata ini kembali berderai dan jatuh di atas kertas-kertas yang kugenggam dengan erat.
"Nggak apa-apa sayang, bahkan aku rasa ini bukan ujian untuk kita. Dengan tidak memiliki anak, Tuhan seperti memintaku untuk mencintaimu paripurna. Tidak ada hal lain yang lebih ingin kuprioritaskan selain kebahagiaanmu," jawab lelaki itu sampai memelukku dengan erat.
"Tapi pertanyaan keluarga dan ibu mertua kadang membuatku merasa sangat bersalah."
"Hei..." Pria itu membalikkan badanku agar tatapan kami bertemu, senyum di bibir dan helaan nafasnya yang tepat jatuh ke wajahku, membuatku merasakan kenyamanan.
"Jangan pedulikan perkataan siapapun, yang penting kamu dan aku bahagia," jawabnya. Sebuah kecupan mendarat di bibirku, dilanjutkan dengan... sesi mereguk asmara penuh kebahagiaan.
Kupikir itu tidak akan pernah hilang, kupikir mas husain benar-benar mencintaiku, kupikir hanya dia satu-satunya pusat duniaku, di mana aku memilikinya dan dia hanya mencintaiku. Hanya aku saja! Tapi tidak.
*
Peristiwa pagi tadi mengguncang hatiku, mengambil seluruh fokus dan pikiranku dan membuatku tidak henti-hentinya meneteskan air mata dan mengabaikan beberapa orang yang terus menetapku.
Sebenarnya, sebelum ke klinik, aku mampir ke rumah ibu, bercengkrama dan sarapan dengannya, bercerita tentang progres pengobatan dan betapa aku tidak pernah putus asa untuk mendapatkan seorang anak. Ibu mendengarkan ceritaku dengan penuh perhatian serta mendukung apapun yang kulakukan. Tepat pukul 08.00 aku naik taksi dan melanjutkan perjalanan ke klinik.
Di lampu merah mobil berhenti, aku memeriksa ponsel untuk mengirim pesan bahwa aku baru saja mau ke klinik dan cuacanya cerah, suamiku tidak perlu menjemputku. Tapi saat menoleh ke kiri jalan, aku melihat mobil Mas Husein, dan terkejut luar biasa.
Bukan mobilnya yang membuatku terbelalak, tapi dia dan wanita yang ada di sisinya.
Seorang wanita cantik dengan rambut tergerai dan anak perempuan lucu yang sedang berada dalam pangkuannya. Bocah itu berceloteh dan minta jendela kaca dibuka, dia nampak riang gembira dan yang paling membuatku terluka adalah... Mengapa bocah itu sangat mirip dengan Mas husain, garis wajah, hidung mancung, senyum dan tatapan matanya yang benar-benar fotocopy dari suamiku.
Tadinya aku kira dia adalah sepupunya, wajar saja jika satu keluarga memiliki kemiripan karena faktor genetik satu sama lain, tapi, saat bocah itu memanggil Mas Husein dengan kata ayah... di situlah ponselku terjatuh, seluruh tubuhku lemas seakan tulang-tulang yang menopang badan berubah menjadi lembut seperti s**u yang difermentasi menjadi yogurt.
"Ayah ... Ayah."
"Iya sayang." Mas Husein menjawab lembut sambil memandang anaknya dengan dalam.
"Jalan...jalan, Yah?"
"Iya sayang, kita jalan jalan sore nanti, tapi sebelum itu Ayah akan bekerja dan kalian ke rumah nenek Fatimah dulu." Suamiku membelai bocah itu sementara wanita yang ada di sisinya menatap suamiku dengan keromantisan yang tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Seperti dua sejoli yang sedang dimabuk asmara dan anak itu adalah anak buah cinta mereka.
Dan ya, dia menyebut nama mertuaku, artinya Ibu Fatimah kenal dengan wanita yang ada di sisi suamiku. Artinya secara sadar mertuaku telah menjadikan wanita itu sebagai menantunya.
"Makasih ya Mas udah anterin."
Wanita dengan bibir tipis itu memandang mas Husain dengan lekat.
"Nggak papa kok. Aku lagi sendirian, kebetulan hari ini Alya mau ke rumah sakit."
"Oh gitu ya Mas? Emang Mbak Alya belum membaik?"
"Belum, tumor yang ada di rahimnya memaksa dia untuk operasi dalam beberapa bulan ke depan. Luar biasa segera sembuh karena situasi memprihatinkan."
"Ah ya Tuhan, kamu harus selalu support dan ada untuk dia Mas."
What? Mengapa wanita itu harus pura-pura peduli padaku padahal sebenarnya Mungkin dia menginginkan kepergianku.
"Selalu Rania, insya Allah." Mas Husein membelai rambut wanita itu sekali lagi. Dilihat dari gesturnya, sepertinya mereka sudah menikah dengan resmi karena tidak mungkin secara terang-terangan jalan bersama lalu punya anak yang jelas-jelas memanggil suamiku dengan kata ayah.
Dan ya, kenapa aku harus terima kejutan ini dalam keadaan sakit, Ya Tuhan. Tumor yang telah lama tumbuh di rahimku semakin menyiksa makin hari, menyakiti dan membuat tubuhku lemah. Sebagian rambut ini mulai rontok, tadinya aku bangga memperlihatkan rambutku yang terurai panjang tapi sekarang hijab mulai menutupinya dan membuatku nyaman.
Kulihat kembali suamiku dan anaknya tertawa dengan riang, sementara aku meneteskan air mata berderai-derai.
Andai tidak dalam keadaan ramai lalu lintas, perutku sakit dan tubuhku lemas aku ingin sekali turun dan melakukan sesuatu yang tidak terduga. Seperti mengamuk atau melempar wanita itu dengan tas tanganku, tapi aku terlalu syok, seluruh badanku gemetar dan aku bisa merasakan sensasi dingin yang menjalari badan.
Aku gemetar benar-benar di posisi seakan seluruh tubuhku disengat aliran listrik hingga supir taksiku mulai khawatir dengan keadaan ini.
"Nyonya Anda baik-baik saja?"
"I-iya Pak."
"Kenapa Nyonya seperti melihat hantu!"
"Bu-bukan..." Saat aku ingin sekali turun sembari mengumpulkan energiku tiba-tiba lampu berubah menjadi hijau dan suamiku melaju dengan cepat lalu menghilang di ujung simpangan. Aku terhenyak seiring dengan taksi yang membawaku juga ikut melaju.
*
"Mbak kliniknya sudah mau tutup, Mbak belum mau pulang?" Seorang suster mendekat dan menyentuh bahuku membuatku tersadar, bahwa situasi sudah sangat sepi menyisakan hanya aku dan dia saja.
"Oh i-ya."aku gelanggapan sambil mengusap air mata dan pura-pura tersenyum.
"Sudah ada yang jemput Mbak?"
"Saya pesan grab saja."
"Biasanya suaminya yang jemput..."wanita yang telah lama aku kenal sebagai petugas front office itu tersenyum ke arahku sementara aku merasa terhujam sendiri dengan kebiasaan antar jemput suamiku.
"Hari ini dia sibuk," jawabku sambil meraih tasku lalu buru-buru berdiri dan melangkah meninggalkan klinik itu.
*
Setibanya di rumah hari telah menjelang ashar, ntar berapa lama aku duduk tercenung sembari terus membayangkan suamiku dan wanita itu, hingga tak sadar bahwa kliniknya tutup.
Aku duduk di meja ruang ta mu dengan tatapan menerawang sembari menunggu Mas Husein pulang ke rumah.
Lirik jam dinding yang seolah detakan yang makin menyiksa, makin lamban saja setiap detiknya. Tak lama aku dengar mobil suamiku tiba, lalu dia turun dari sana dan melangkah menuju pintu utama.
"Hei sayang. Assalamualaikum." Senyumnya selalu lebar tatapannya lembut dan seperti biasa dia akan melepas sepatu lalu meletakkan kunci mobil di dalam nampan yang tersedia.
Aku tidak menjawabnya, aku sedang mempertimbangkan haruskah aku berdiri dan langsung menamparnya ataukah aku bicara baik-baik dan bertanya dengan santun.
"Hei, apa denganmu sayang, Kenapa matamu sembab. Apa dokter mengatakan sesuatu yang membuatmu sedih."
"Tidak ada yang lebih membuatku sedih selain kamu!"
"Apa maksudmu?!"
"Jangan berpura-pura Mas!" Aku berteriak memecah kesunyian, lalu sebuah ornamen yang ada di sisiku kulemparkan hingga pecah berkeping-keping di lantai. Mas Husen terkejut, tapi aku memandangnya dengan semua kemarahanku, seakan-akan hubungan kami retak seperti seperti pecahan kaca yang jatuh ke lantai.
Dia terlihat heran tapi aku memandangnya dengan pandangan tajam yang menusuk.
"Sudah berapa tahun kau menipuku? Katakan Sudah berapa tahun kau menipuku?!"