mimpi buruk Evan

1160 Words
Evan hampir saja melajukan mobilnya untuk segera pulang ke rumah. Rania sudah naik di atas pesawat dan pesawat sudah terbang 10 menit yang lalu menuju benua putih bersama dengan Dimas yang merupakan tetangga Rania, teman sekampus Rania, bahkan teman sefakultas bahkan sekelas Rania dan seangkatan Rania. Tapi, niatan Evan yang ingin melajukan mobilnya menuju rumah, urung. Di saat ponsel yang Evan simpan di saku celananya berbunyi. Sudah Evan abaaikan satu kali panggilan dari entah siapa yang menelponnya. Tapi, kembali ponsel Evan berbunyi membuat Evan mau tidak mau mengambil ponsel dari saku celananya untuk melihat siapa yang menelponnya. Tidak mungkin orang kantor atau sekertarisnya. Sudah Evan peringati agar jangan ganggu Evan hari ini, Evan baru ke kantor besok. Dan ternyata yang menelpon barusan adalah mamanya. Melihatnya, membuat tubuh Evan menegang kaku. Mendapat telpon dari mamanya, pikiran Evan tiba-tiva tertuju pada--- Icha. "s**t! Ngapain takut, Evan. Tenang. Tenanglah..."Ucap Evan kesal. Dan untuk mengendalikan debaran jantungnya yang tidak normal di dalam sana, Evan terlihat menarik nafas panjang lalu di hembuskan dengan perlahan oleh laki-laki itu, da sedetik kemudian, panggilan mamanya untuk ke tiga kalinya sudah Evan angkat. "Hallo, Van....? Kamu baik-baik saja kan, Nak?"Tanya Mama Evan, Sita di seberang sana cemas. "Tidak, Ma. Evan baik-baik saja. Maaf, sudah buat mama cemas..."Ucap Evan merasa bersalah. Evan juga memperlihatkan tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki pada mamanya. Agar mamanya percaya kalau ia baik-baik saja bahkan Evan sangat bahagia saat ini. "Kamu di mobil? Mau kemana?" "Antar Rania, Ma. Evan masih di bandara, mau pulang...." "Kenapa cepat sekali Rania balik ke sana. Kenapa enggak tunggu mama..."Rajuk Sita dengan tatapan tajam pada anaknya Evan yang tersenyum-senyum saat ini. Sempurna. Mamanya sangat suka Rania. Bagaimana tidak. Rania adalah calon dokter hebat. Menantu idaman pokoknya. "Mama pulang saja dulu, ada kabar bahagia yang akan Evan sampaikan nanti..." "Eh, Icha mana, Van? Kamu sama Icha kan antar Rania?" Kontan, tubuh Evan menegang kaku di saat mamanya menanyakan soal Icha. Tapi, untung saja, Evan bisa menguasai dirinya dengan cepat. Evan melempar senyum masamnya. Pura-pura di buat masam lebih tepatnya. "Sudah Evan suruh tunggu mama pulang dulu, tapi katanya, enggak bisa, Ma. Dia ada pekerjaan dadakan. Katanya, surat ijin untuk melakukan riset di meseum barang antik, sudah di setujui, tapi lusa Icha harus langsung turun ke sana. Dan jadi lah Icha pulang, Ma. Lebih tepatnya, Icha balik Bima kemarin, dan minta tolong sama Evan buat bilangin sama mama...." "Oh begitu, Van. Mama mau telpon Icha dulu kalau gitu. Sudah dulu ya, Nak. Hati-hati di jalan..." "Mama... Jangan dulu..." Klik Evan mengacak rambutnya kasar. Bisa mati Evan apabila Icha mengatakan hal atau alasan yang berbeda dengan yang barusan Evan ucapkan pada mamanya. f**k! "Sialan kamu, Cha. Kamu benar-benar buat hidup kakak berantakan dalam waktu 3 hari. Kamu pembawa sial, Cha....!" *** Sial! Sial! Sial! Apa yang sedang perempuan i***t itu lakukan!? Kenapa tidak angkat panggilannya? "Aissssh! Angkat, Icha! Angkat t***l!" "Mama bisa curiga kalau alasan yang kamu dan aku berikan beda!"Ucap Evan nyaris teriak. Dan karena kepalanya terasa sangat sakit. Evan menjambak kasar rambutnya dengan wajah memerah menahan amarah, kesal dan was-was. "Berpikir, Van. Berpikir lah..." "s**t! Ada nomor paman, Tamar..."Ucap Evan dengan senyum bagai orang gila. Evan melupakan kalau di ponselnya ada nomor Paman Tamar, yaitu bapak kandung Icha. Tanpa membuaang waktu, Evan menelpon paman Tamar. Dan 4 detik kemudian, panggilan Evan langsung di angkat di seberang sana. "Assalamuallaikum, Paman..."Ucap Evan hangat sekali mendapat balasan salam tak kalah hangat dari Paman Tamar. Paman Tamar yang merasa sedikit heran. Tumben Evan menelponnya. Bahkan selama saling simpan nomor. Ini baru kali pertama Evan lebih dulu menelpon pamannya. Dan Evan langsung tho the poin.... "Evan mau bicara sama, Icha, Om. Evan mau minta tolong sama, Icha. Bisa om, kasih ponsel Om ke Icha sebentar Om?" Yes... Evan tersenyum lebar. Om Tamar mengiyakan dan bahkan--- dapat evan dengar Icha yang sedang ngobrol dengan papanya di seberang sana. Dan senyum Evan semakin lebar di saat paman Tamar... "Sudah, Van. Itu Icha sudah pegang ponsel Om. Om pamit keluar yah, ngobrol lah apa yang kamu ingin obrolkan dengan anak Om..."Ucap Om Tamar hangat.... Evan mengucap teriimah kasih. Dan 10 detik kemudian. Senyum Evan lenyap di gantikan dengan wajah yang teramat dingin dan datar... "Aku barusan telponan sama mama atau Ua mu. Katakan alasan bohong ini, kalau kamu pulang karena akan melakukan riset....." Klik Ucapan Evan terpotong di saat sambungan telepon di putus begitu saja oleh Icha. Evan sontak mengumpat. "f**k!" Dan tak menyerah. Evan akan panggil balik. Tapi, urung di saat ada 2 pesan masuk bertubi-tubi dari nomor Icha. Aku sudah ngobrol dengan, Ua. Hanya tanya kabarku... kamu tenang aja, Kak... Bisa, nggak usah parnoan dan tolong, jangan pernah ungkit kejadian yang terjadi 3 hari yang lalu.... Tubuh Evan menegang kaku membaca 2 pesan Icha di atas. Dan tubuh Evan semakin menegang kaku di saat nomor Evan. Sudah Icha blokir. Nomor anda sudah di blokir. *** Evan lelah. Evan membanting kasar tubuhnya di atas ranjang. Tubuhnya pegal setengah mati dan kedua matanya terasa berat. Evan ngantuk. Evan butuh tidur. Dan peduli setan, Icha memblokir nomornya tadi. Nggak ngaruh. Nggak ada masalah. Siapa Icha? Hanya seorang sepupu yang tak Evan harapkan. Karena jelek dan dekil. "Sombong, seharusnya aku yang blokir nomormu, Cha. Tapi, tak apa. Artinya kamu benar-benar sedang haid saat ini. Aaah, Terimah kasih ya Allah...."Ucap Evan lirih Dan sial! Evan nggak tahan lagi. Evan ngantuk. Sehingga dalam waktu tak sampai semenit, Evan sudah terbang ke alam mimpi.... dan satu jam sudah berlalu... Evan mengeernyitkan keningnya bingung. Sedang ada dimana ia saat ini. Kenapa sepi? Tidak ada seorangpun di taman bunga yang di kelilingi air terjun yang indah dan besar. Membuat Evan merasa sejuk dan nyaman. Tapi, Evan tidak suka dengan kesunyian. Tidak suka tidak ada seorang pun di sini bersamanya. Sehingga Evan berinisiatif untuk mencari penduduk yang lain di sini. Tapi, baru 3 langkah Evan melangkah. Evan reflek menghentikan langkahnya di saat .... "Papa..."ada suara jernih anak kecil yang memanggil papa. Pada siapa? Pada Evan kah? Enggak mungkin.tolak batin Evan. Dan karena penasaran sekaligus senang ternyata ada orang lain di tempat ini, Evan segera menoleh keasal suara. Dan... deg... jantung Evan rasanya ingin meledak. Kedua mata Evan melotot lebar tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. "Enggak mungkin. Kenapa.... kenapa anak laki-laki itu wajahnya bagai pinang di belah dua dengan wajahku..."Ucap Evan dengan wajah pucatnya. "Papaaaa..."Panggil anak laki-laki itu sekali lagi, kali ini dengan kedua tangan yang mengulur minta di gendong Evan... dan deg.... Evan reflek melangkah mundur di saat Evan baru sadar... kalau anak kecil yang manggil dirinya papa...cacat. tangannya tidak ada satu atau buntung. "Papa Evan... Angga mau di gendong Papa...." "TIDAK!"teriak Evan dengan wajah penuh keringat. Evan yang saat ini tubuhnya bermandikan keringat. Basah. Dan bahkan tubuh Evan terjatuh dari atas ranjang. Dan dua detik kemudian baru Evan merasa sakit dan dua detik kemudian, Evan menyadari.. kalau...kalau apa yang terjadi barusan adalah mimpi... mimpu buruk lebih tepatnya. "Sialan! Hanya mimpi buruk!" "Tapi, kenapa aku mimpi hal tadi dan apa artinya?" tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD