Anya PoV On.
Tak terasa langit senja telah tergantikan oleh gemerlapnya malam. Gue pun langsung menoleh ke arah jam dinding yang ada di dalam kamar gue. Jam menunjukkan pukul 6 sore. "Berapa jam gue memandang langit senja di luar? Kenapa sekarang gue baru sadar kalau sekarang senja sudah tergantikan oleh malam?" tanya gue.
Gue teringat oleh pesan dari Lili sebelum dia keluar dari kamar gue. Lili ngajak gue makan di luar, tapi gatau dia ngajak makan kemana?
“Gabut kali ya manusia satu itu? Padahal bahan makanan di kulkas masih banyak. Masih aja makan di luar hadehh,” pikir gue.
Gue bergegas berganti pakaian seadanya dan menghampiri Lili yang berada di kamarnya. Pada saat gue keluar kamar di ruang tengah nampak sepi, kamar Lili juga tertutup rapat seperti tidak ada sebuah tanda-tanda kehidupan. Akhirnya gue memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Lili.
Tok! Tok! Tok!
"Gila, ini bocah gue ngetok pintu udah kuat kagak di bukain. Untung temen lo Li, kalo bukan lo udah gua tebas kali geh," gumam gue.
"Li, jadi keluar gak!" teriak gue dari luar kamar dia.
"Astaga ini bocah kemana sih? Udah di teriakin, di ketok pintunya, kagak keluar kamar sama sekali. Semedi kali yak di dalem? Gue coba sekali lagi deh," gumam gue.
Tok! Tok! Tok!
"Woi Li! Jadi, gak ini perginya! Kalo gak jadi, gue mau tidur!" teriak gue dari luar kamar.
"Jadi! Tunggu di ruang tamu gue udah kelar ini sebentar lagi. Tunggu di sana jangan kemana-mana!" teriak Lili dari dalam kamar.
"Emang bocah gemblung! Orang tuh kalo ada yang ngetok pintu seenggaknya di jawab, lah ini mah kagak! Jawabnya kalo orang udah marah, udah kesel, sama udah gak mood, dasar semprul!" umpat gue di depan kamar Lili.
"Yaudah, gua tunggu di ruang tamu! Lewat dari 5 menit gue tidur!" teriak gue kesal.
"Iya," jawab Lili.
"Hadeh punya temen gini amat dah. Perasaan gue make up kagak sampe sejam, ko dia lebih dari sejam ya? Huft kalo nungguin Lili kayak gini terus mah, gua auto gabut parah ini," gerutu gue dalam hati. Gue duduk di ruang tamu sambil buka hp gue. Baru juga mau buka data si Lili dateng dengan tampang wajah yang tidak merasa bersalah.
"Yok lah, kita cabut!" ajak Lili dengan nada santainya.
Orang udah lumutan nungguin dia, dia santai banget kayak gak ada dosa, batin gue dan menatapnya dengan tatapan jengah.
"Mau kemana kita?" tanya gue dengan sebal.
"Yang deket ajalah, ke La Crystal," jawab Lili. Gue langsung membelalakkan mata gue mendengar jawaban dari Lili.
"Huuu! Sangkain gue lo mau ke mana gitukan? Taunya Cuma mau ke La Crystal doang? Hadehhh," ucap gue sambil menghembuskan nafas dengan berat.
"Iyalah, udah malem ini. Cewe gak boleh pulang malem-malem. Kan kalo di situ cuma 1 kilo kita jalan," jawab Lili.
"Ya kan memang dari sini La Crystal gak jauh," ucap gue dengan sedikit ngegas.
"Udah jangan banyak cincong, jalannya cepetan! Ntar kita gak kebagian tempat duduk!" seru Lili.
"Iye," ucap gue dengan datar.
"Sumpah kalo bukan temen, lo udah gua takol dari tadi Li! Ksl banget gue sama lo dari tadi. Rasanya sekarang gue pengen hanyutin lo di sungai sss, kalo kayak gini mulu," gerutu gue.
Lili langsung menoleh ke arah gue dengan pelan dan menatap gue dengan bingung. “Lo ngomong sesuatu gak?” tanya Lili.
“Ah engga ko. Lo salah denger kali orang gue aja diem aja dari tadi.” Lili hanya beroh ria mendengar jawaban dari gue saat ini.
La Crystal.
"Lo cari tempat duduk Li. Gue yang pesen," suruh gue ke Lili.
"Iya, gue pesen losara ya sama minumnya lemon tea," ucap Lili.
"Iya," jawab gue sambil berjalan ke meja pemesanan.
"Que voulez-vous commander, Miss?" tanya pelayan tersebut.
(Anda ingin pesan apa, Mb?)
"Je voudrais commander du homard figue 2 et 2 thé au citron," jawab gue.
(Saya mau pesan lobster sauce ara 2 dan 2 lemon tea.)
"Ok Miss, à quelle table es-tu assis?" tanya pelayan itu.
(Baik Mb, duduk di meja mana?)
"C'est là-bas," ucap gue sambil menunjuk Lili yang tak jauh dari meja pemesanan.
(Itu di sana.)
"Ok," ucap pelayan itu.
Gue berjalan menghampiri Lili yang tak jauh dari meja pemesanan. Seketika gue mengernyitkan dahi dengan bingung ketika melihat seorang laki-laki asing yang sedang berbicara dengan Lili. Kenapa Lili milih bangku sama cowo itu? Ya memang sih bangku nya penuh semua di sini. Apa gak ada bangku lain selain sama cowo itu? batin gue.
"Anya!" teriak Lili sambil melambaikan tangannya ke arah gue. Gue cuma mengangguk pelan dan menghampiri Lili yang sedang bersama laki-laki itu.
"Udah pesennya?" tanya Lili.
"Udah," jawab gue singkat.
"Kita duduk di sini gak papakan? Di tempat lain soalnya gak enak. Kalo di sinikan ada temen gue. Jadinya enak buat ngobrol," jelas Lili.
"Oh," jawab gue dengan dingin.
"Jar kenalin ini temen gue, namanya Anya Putri Vania. Lo bisa panggil dia, Anya!" ucap Lili seraya memperkenalkan gue ke temennya itu.
"Hai, gue Fajar Maulana. Lo bisa panggil gue Fajar, Ajay, atau sayang juga boleh," ucap temen nya si Lili sambil mengulurkan tangan ke gue.
"Anya," ucap gue dingin.
"Buset dah. Atuh ya, jangan dingin-dingin sama Aa teh. Santuy wae lah sama gue mah," ucap Fajar sambil menampilkan cengiran khasnya, mendengar ucapan dari laki-laki yang bernama Fajar itu gue hanya memutar bola mata dengan malas.
"Btw, lo siapanya Ka Anya?" tanya Fajar.
"Gue bukan siapa-siapanya Ka Anya," jawab gue sambil memasang muka datar.
"Oh, ya Jar! Kata lo, lo ramean ke sininya. Temen-temen lo pada kemana? Ko gak ada sama sekali sekarang?" tanya Lili sambil mengalihkan pembicaraan.
"Bentar lagi juga sampe, tunggu aja pastinya heboh kalo kumpul," ucap Fajar enteng.
Gak jauh dari tempat duduk gue, gue gak sengaja melihat segerombolan laki-laki datang mendekat ke arah meja kami bertiga. Seketika langsung heboh meja kami bertiga akibat kedatangan mereka semua, sumpah malu banget gue pas ada mereka kayak image gue sebagai manusia datar jatuh seketika.
"Waduh, si Aa baru sampe Paris dah gandeng ewew cakep, mana ada dua lagi ewewnya," ucap salah satu temannya.
Yang gue tebak itu pasti suara Jojo. Atlet peraih emas di Piala Terbuka cabang bulu tangkis di tahun 2016. Tak lama kemudian gue pun melihat postur badan seseorang yang tak asing datang menghampiri meja gue. Gue berpikir sejenak melihat dua orang itu dan mengingat siapa mereka berdua.
"Ka Oni! Koh Edwin!" panggil gue dengan hati-hati.
"Anya! Gila long time no see, Dek. Kemana aja lo selama ini, Ya Tuhan? Ka Oni kangen banget sama lo!" ucap Ka Oni sambil memeluk gue.
Gue yang gak siap nerima pelukan dia hampir terjengkang ke belakang. Untung saja, dia lebih tinggi kalo gak gue jatuh pasti. Gue hanya tersenyum kikuk dan membalas pelukan itu dengan lembut. Ya, dia adalah Anthony seorang atlet Piala Terbuka peraih medali perak di cabor bulu tangkis.
Sebenarnya sudah lama gue mengenal sosok Anthony sebelum ajang Piala Terbuka. Gue mengenalnya karena tidak sengaja satu tempat seminar bersama pacarnya. Dari situ kami berkenalan dan dekat. Begitu pula dengan Koh Edwin, awalnya kami hanya mengenal sosok istrinya saja karena dia salah satu dokter di rumah sakit yang Sam tempati.
"Hehehe ada Ka. Selama ini gue di sini gak kemana-mana. Cuma ya gitu deh," jawab gue sambil tertawa hambar.
"Hallo anak kecil, apa kabar kamu Dek? Makin dewasa ya sekarang gak kayak 2 tahun lalu pas ketemu Cici sama Kokoh. Sekarang lebih berisi badannya, kalau dulu kamu kurus banget perasaan. Gimana kuliah lancar atau malah udah lulus?" tanya Koh Edwin berentet kayak rel kereta api.
"Alhamdulillah baik Koh. Kokoh dan keluarga gimana baikkan? Refan gimana pasti udah gede ya sekarang?" ucap gue ke Koh Edwin.
"Puji Tuhan, mereka semua baik Dek. Refan makin aktif sekarang. Dia sekarang udah bisa ngomong sama jalan, jadi ya makin cerewet sama kayak kamu. Benar apa yang kamu dan Sam katakan yang di kangenin itu pas kita jauh dari rumah adalah cerewetnya anak. Hahaha," ucap Koh Edwin sambil tertawa.
"Aduh, jadi pengen ketemu sama Refan dan Cines deh. Lo apa kabar Ka? Kapan merid sama Cimit?" ledek gue ke Ka Oni.
"Puji Tuhan gue baik, Mita juga baik. Apakah ada pertanyaan lain selain merid? Gue sama Mita masih ingin berkarir dulu nikmatin masa-masa sekarang. Kalau udah merid nantinya susah buat melakukan apapun. Kapan move on dek? Ahahaha! Apa mau di kenalin sama salah satu dari mereka? Masih ada yang jomblo ko kalo lo mau," ledek Ka Oni. Tanpa gue sadarin banyak orang yang memandang aneh ke arah gue.
“Sebenarnya menikah bukan sebuah batasan untuk kalian berkarir. Asal kalian bisa memahami satu sama lain dan melakukan semuanya bersama-sama, kenapa engga? Kalau di bilang move on sih nanti dulu aja deh buat cari yang barunya. Masih sibuk akhir-akhir ini gue,”jawab gue dengan santai.
"Tunggu, tunggu, tunggu maksudnya gimana ini? Lo kenal sama mereka berdua Nya?" tanya Lili heran.
"Hmm, seperti yang lo liat aja. Gue sama mereka gimana? Itulah jawabannya" jawab gue dengan datar.
"Heh, curut! Lo ngomong sama mereka anget, sama gue sama kayak es! Lo mau gue kunciin pintu biar gak bisa masuk rumah?" ancam Lili.
"Oh gitu, yaudah gua balik asrama," ancam gue balik.
"Kok, lo malah ngancem balik gue sih? Hadeh, susah emang kalo ngomong sama es kayak lo mah! Hancur esnya kalo udah kenal lama dan kalau lo nyaman. Kalo baru ya Kutub Selatannya muncul," gerutu Lili dan cuma gue jawab deheman doang.
"Udah jangan pada berantem. Lebih baik kenalan aja," lerai Ka Oni.
"Hmmm, lo nyuruh kenalan tanpa mau nyuruh yang lain duduk? Mau sampe kapan lo berdiri Ka? Lo mau jadi patung penjaga restoran?" ucap gue ketus.
"Astaga, emang beneran manusia es lo ini ya? Barusan gue bahagia lo kagak es lagi sama gue, eh tau-taunya masih aja ketus. Dah duduk dulu, woi!" ucap Ka Oni kesal.
"Oke, jadi kenalin ini nama nya Anya Putri Vania. Kalian bisa panggil dia, Anya atau Vania. Jika kalian berfikir dia adalah anak atau saudara nya Ka Anya tunggal putri dari Jepang itu bukan. Namanya doang yang mirip," jelas Ka Oni.
"Nya itu nam-----" ucapan Ka Oni langsung gue potong.
"Tanpa lo kenalin, gue tau siapa kalian sebenernya Kak. Gue penyuka badminton. Gak mungkinlah gue gak kenal sama kalian. Di setiap kampus nama kalian sudah terkenal, jadi ya tau muka kalian kayak gimana. Dan fans kalian juga banyak di kampus gue sampe bosen liatnya kalau mereka lagi bucin," ucap gue dengan datar.
"Walah ternyata lo penyuka bulu tangkis. Ngefans sama siapa neng di badminton kelas dunia?" tanya Fajar dengan nada keponya.
"Owi/Butet sama Lee Yong Dae," ucap gue datar.
"Lah sukanya sama oppa-oppa Korea dia guys. Kalau di Indonesia hanya Owi/Butet aja? Sama kembaran gue Jonathan Christie gak suka?" ucap Jojo.
"Bukan gak suka, cuma kurang aja. Tapi ya, tetep tau muka dan prestasinya." Mendengar jawaban gue Jojo hanya mengangguk paham.
Huft alamat ini mah makan tak tenang. Siapa sih yang gak kenal sama orang-orang julid kayak mereka? Yang iseng dan resenya nauzubillah. Ya Allah, tobat deh gue kalo sama mereka terus, bisa sakit kepala melulu gara-gara tingkah absurd mereka semua.
Gue kenal Koh Edwin dan Ka Oni dari 3 tahun lalu. Kami kenal karena gue deket banget sama Ci Agnes dan Ci Mita. Sampe suatu hari kita sempet triple date. Gue sama Sam, Cines sama Koh Edwin, dan yang terakhir ada Cimit sama Ka Oni.