Dony tak mau menengok ke belakang dan menatap Yunia. Hal itu hanya akan semakin membuat si anak malu di tatap iba oleh orang lain. Seakan pengemis jalanan. Padahal, bukan itu yang mereka inginkan.
Ia menguatkan perasaannya. Alih-alih merasa peduli Dony justru berfikir ini bukanlah urusannya. Cowok itu kembali dengan niatannya menjalankan motornya. Membelah jalan yang di sinari terik matahari.
Dony berhenti di sebuah warung. Ia berniat membeli air putih untuk meredakan tenggorokkannya yang terasa seperti terbakar karena minuman tadi.
Didongakkan kepalanya. Nampak se ekor burung tengah menjaga anak-anaknya yang berada di dalam sangkar.
"Lo beruntung punya orangtua sebaik induk lo. Sementara gue dan Yunia...!" cicitnya. Dony membelalakan matanya.
"Eeh, ngapain gue bawa-bawa Yunia. Yah... Mungkin aja emang tuh anak yang salah jadi di omelin deh sama Ibunya. Tapi.., seharusnya juga jangan di depan umum gitu dong. Emang gak bisa apa menasehati miliknya setelah masuk ke dalam rumah dengan tutur kata yang baik. Dan kenapa juga gue harus denger semua. Aahhkk... Jadi kacau,'kan perasaan gue sekarang.
Ayah.., apa kamu saat ini mencariku. Apa kamu menyesal telah menamparku tadi pagi?!" lirihnya seorang diri.
Setelah ia memutuskan pergi tanpa ijin. Sekarang Dony tidak bisa semudah itu kembali. Ia harus mencari cara hidup di jalanan. Jika tidak ingin dianggap remeh oleh ayahnya. Dony pemuda yang keras kepala. Sangat jarang ia meminta maaf meski sejatinya memang ia yang bersalah.
Sikapnya yang bossy justru melukai dirinya sendiri. Meski rindu pulang tapi langkahnya keluh untuk itu. Egonya menolak untuk menurunkan harga dirinya di depan Roland. Baginya, lebih baik hidup berkalang nista menjadi anak jalanan.
Akhirnya Dony memutuskan untuk tidak pulang. Ia bahkan mengadai ponselnya untuk biaya makan dan rokoknya.
Tampilan cowok tampan itu jadi semberaut. Kalau malam tiba ia merebahkan tubuhnya dimana pun. Asal bisa sekedar melepas penatnya.
Dan jika pagi menjelang, Dony mulai bekerja menjadi buruh angkat di pasar
Ia sama sekali tidak terlihat sebagai seorang anak dari hakim yang paling terkenal di negara ini. Dan ia pun sebenarnya tidak peduli. Tubuh tegapnya selalu di kucuri dengan peluh keringat. Tak sebanding dengan hasil yang ia dapat. Tetapi semua itu tak penting.
Ada kepuasan dalam dirinya setiap mengambil upah kerjanya. Senyum tak lepas dari bibirnya.
"Hari ini dapat tujuh puluh lima ribu!" desisnya sambil menghitung uang di jalan.
"Eeiittssh.., buat kita," sela preman daerah sana. Dengan cepat uang yang Dony hasilkan dengan susah payah berpindah tangan ke mereka.
"Balikin!" pinta Dony malas.
"Gak akan. Ini uang akomodasi lo kalau mau terus bekerja disini," sahut pria itu angkuh.
"Gila gue yang kerja. Lo yang nikmati hasilnya. Lo jompo sampai gue harus amal ke lo?!" hina Dony.
"Apa lo bilang. Gue jompo?!" murka sang preman. Dony menaiki sebelah sudut bibirnya terlihat sangat mengejek. Tangannya membuka kemeja sekolah yang ia lingkarkan di pinggulnya.
Sebelum pria tua tak tahu diri itu meninju wajah tampannya. Dony telah lebih dulu mencekik leher pria itu dengan mengandalkan lengan kemejanya. Dony memutar posisi pria itu dengan mudah. Pemuda itu telah banyak belajar bagian-bagian vital dari tubuh manusia. Jika satu saja di lumpuhkan maka lawan tak akan mampu lagi bergerak.
Meski tubuhnya jauh lebih kecil tetapi kekuatan Dony tak bisa dianggap enteng. Tubuhnya hanya diisi oleh 70% otot. Dengan kadar lemak yang sedikit.
Gerakkannya lincah. Ia adalah singa jantan. Pengusaha yang sebenarnya.
"Aagghh.., aagghh!" Lelaki itu meronta. Tangannya menggapai ke belakang. Ingin mencengkram tubuh Dony. Tapi Dony juga bagaikan belut. Sulit ditangkap para musuh. Saat tangan kirinya menarik lengan kemejanya. Tangan satunya lagi mengambil batu besar.
Bbugghhh... Buughh!!
Dony menghujamkan batu itu di kepala sang lawan. Darah mengucur ke tangannya. Ia hanya melirik tanpa perasaan bersalah. Bahkan sedikit pun reaksi tak jua ia kemukakan.Siapa suruh lelaki itu mengganggu ketenangan hidupnya?
Lelaki itu pingsan dalam sekejap. Dony melirik sekitar ternyata telah banyak orang yang menjadikan ia tontonan gratis. Tanpa berniat melerai ataupun membela salah satu dari mereka.
Bagaimana jika tadi ia hilang kendali dan membunuh pria itu tanpa ampun.
Pastinya ia hanya akan berakhir di dalam jeruji besi. Atau.., gimana kalau dia gak bisa membalas setiap pukulan yang diberikan preman itu. Lalu mati tanpa ada sanak keluarga yang mengenali
Lucu.., semua lucu baginya. Hidup di jalan hanya tentang dua hal. Ditindas atau ia yang menindas. Dan sepertinya Dony lebih menyukai pilihan terakhir.
"Siniin uang gue," kata pemuda itu menarik uangnya dari tangan preman itu. Dikantungnya terdapat satu dompet. Tapi Dony terlalu tak acuh dengan pemilik dompet.
Ia gak mungkin menghabisi waktu kerjanya untuk mencari si pemilik dompet itu. Dony pergi. Dengan masih ditatap nanar oleh semua orang di pasar.
***
"Aahkk.., sialan. Duit gue jadi lepekkan gara-gara darah dia. Kenapa sih tadi gue gak biarin dia dulu taruh di kantung. Langsung aja gue cekik. Sebel deh. Mending kalau gini gue bikin mampus sekalian tuh orang," gerutunya sendiri
Dony merogoh kantongnya. "Shiiitt... Rokok pakai habis lagi." Akhirnya ia menaruh uangnya di sana.
Cowok itu berniat ke mini market terdekat buat beli rokok.
"Mbak.., mbak.., rokok dong!"
"Rokok apa Mas?! Loh.., kamu!" Kaget Yunia, Yah... Yunialah yang menjadi kasir disini. Setelah pulang dan diomeli habis-habisan oleh Martini, Yunia segera bergegas untuk bekerja.
Beruntung ia masih mendapatkan tolerasi kelogaran waktu di hari pertama.
Yunia juga tidak menceritakan pada ibunya kalau kini ia bekerja sampingan di mini market. Gajinya yang kecil cuma bisa membuat Ibunya semakin mengomel tak jelas.
Bisa di katakan bekerja salah. Diam pun salah!
"Kakak gak boleh beli rokok," pekik Yunia. Dony ini,'kan masih kelas 12 jadi gak baik kalau cowok itu merokok.
"Ngatur gue lo?!" sarkas Dony sambil melotot.
"Bukan tapi ada peraturan yang tertulis jika anak dibawah usia 18 tahun tidak boleh membeli produk itu." Jelas Yunia bergetar. Melihat tampilan Dony yang berlumpuran darah... Oh tenang saja ini bukan darahnya.
"Hahhaaa...!" Dony justru tertawa membuat Yunia sesaat heran.
'Apa yang lelaki itu tertawakan?!' pikirnya
"Kalau gitu gue udah bisa. Usia gue sekarang 18 tahun dua hari. Kalau gak percaya lihat KTP gue," sungutnya. Entah dengan mudahnya Dony membeberkan kartu pengenalnya itu ke depan Yunia.
"Jalan E No 36! Loh itukan di deket sini!" pekiknya yang fokus ke alamat rumah Dony.
"Eeehh...!" Dony menarik tanda pengenalnya.
"Kenapa lo jadi lihat alamat gue deh! gak sopan tau," gerutu Dony.
"Maaf. Silahkan pilih mau yang mana?!" sahut Yunia menunjuk rak yang berisikan beberapa jenis cerutu.
"Yang itu aja!" jawab Dony. Sambil menggaruk tengkuknya. Tak berniat menjawab permintaan maaf Yunia.
"Nih!" Dony hampir ingin keluar. Yunia segera berlari mengejarnya sampai pintu mini market.
"Bayar dulu!" tegurnya dengan suara yang mendayu. Manja.
"Gue lupa. Ambil deh di kantong celana gue," suruh Dony. Ia tak mungkin mengambil sendiri, tangannya kirinya masih kotor dan ia tak mau membuat kotak cerutunya ikut kotor kalau ia merogoh kantong.
"Hufft!" Yunia dengan berani mengkroscek kantung Dony. Pemuda itu spontan tertawa, ini pertama kalinya tubuhnya di jamaah seorang wanita.
Kalau soal bertengkar Dony juara. Tetapi jika tentang kekasih. Bahkan tak pernah sedetikpun terlintas di otaknya.
"Iiihh... kotor!" tolak Yunia. Sambil melempar uang pecahan lima puluh ribu ke tubuh Dony. Aaiih, gak tahukah Yunia gara-gara uang itu seorang Dony bisa menjadi narapidana sebab membunuh orang.
"Ganti sama uang lainnya!" pinta Yunia sambil menadahkan telapak tangannya.
"Gak punya!" sahut Dony enteng.
"Kalau gitu ini aku ambil lagi!" Yunia menarik cerutu itu dari tangan Dony. Habis sudah kesabaran cowok itu
Kalau saja Yunia laki-laki. Dony pasti akan memukul gadis itu sama seperti perlakuannya pada preman tadi. Tapi karena Yunia seorang gadis terlebih pipi chubby-nya yang sangat menggemeskan kala ia cemberut. Akhirnya membuat Dony memiliki ide lain yang akan terus Yunia kenang bahkan tak peduli berapa lama waktu berlalu. Dony menarik lengan Yunia. Mengambil kotak cerutunya lagi. Lalu
"Ccuuppp...!"
Bibirnya yang kering dengan cepat menyambut bibir lembab juga kenyal milik Yunia. Tak ada lumatan, namun niatannya menyentuh gadis itu nampaknya sebuah keputusan yang salah. Dony merasa aliran darah ke otaknya berhenti dalam sekejap. Jantungnya bergerumuh perasaan yang sangat aneh. Naluri kelaki-lakiannya jauh lebih bekerja dari yang semestinya
Bahkan adrenalinnya lebih terpacu dibandingkan cuma berkelahi seperti yang sering ia lakukan.
Jika Dony tahu mengusai seorang gadis senikmat ini. Mungkin sejak dulu ia telah memproklamirkan jika dirinya seorang playboy.
Tetapi mengapa gadis pertamanya harus Yunia. Sesaat otaknya tidak terima, gadis ini,'kan yang terus dihina karena fisiknya. Masa sih ia harus menyentuh "barang" yang ditolak oleh orang lain.
Tapi itu artinya memang hanya akan ada dirinya sebagai pemilik utuh tubuh Yunia. Dony tak suka berbagi apa yang sudah ia tentukan jadi miliknya pada orang lain. Memacari gadis cantik hanya akan membuat ia repot. Lagipula cuma Yunia yang bisa membuat perasaannya bergetar tak karuan. Kelembutan dan tatapan polos gadis itu seolah membetot isi hatinya.
Hm.., sepertinya Dony justru terjebak dalam permainannya sendiri.
Yunia masih diam membeku. 'Apa ini, sebuah benda kasar menyentuh bibirku?' Saat matanya melirik justru wajah Dony yang terlintas di selayang pandang. Tangannya ingin mendorong. Tapi ia keluh, seperkian menit membiarkan Dony mencumbui bibirnya.
Yah... Yunia sadar, ini ciuman pertamanya. Ciuman yang tak pernah terlintas di otaknya akan terjadi secepat ini. Terlebih cuma karena berebut kotak rokok sama seorang cowok gila.
Padahal Yunia mendambakan ciuman pertamanya di lakukan di tempat yang begitu romantis dengan sunset sebagai penyertanya. Tetapi ini, saat ini ia jadi korban dari kebodohan lelaki tamak seperti Dony. Yah Dony itu bodoh. Yunia benci laki-laki itu.
Benci!