Rain

1735 Words
Satu bulan berlalu, tapi sedetikpun Apia tak pernah bisa melupakan malam panas yang dilaluinya bersama sang mantan. Sesekali saat bekerja pun, Apia masih terbayang-bayang indahnya malam itu meski berakhir tragis, berpisah karena Hanafi meninggalkannya. “Apa kabar dia? Cih..pasti bahagia karena sudah melangsungkan acara pertunangan atau malah sedang sibuk mempersiapkan pernikahan? Berengsek.” Terhitung sudah satu minggu ini Apia bekerja lagi. Meski pekerjaan yang kini Apia jalani bukanlah suatu pekerjaan yang diinginkannya, bahkan jauh tak pernah terbayangkan olehnya. Bekerja sebagai petugas kebersihan rumah sakit? Hahh..yang benar saja!? Apia sebenarnya benci dengan bau obat! Tapi kerasnya kehidupan di kota besar ini memaksa Apia menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh tetangga kosnya—Dina. “Pia? Mau, ya? Memangnya enggak bosan di kos terus? Cari kegiatan di luar seru, lho. Udara rumah sakit juga sejuk. Lingkungan kerjanya positif. Bonus cuci mata ngeliat dokter-dokter muda lagi kerja. Ganteng-ganteng, lho. Pasti kamu betah kerja di sana.” Begitu kata Dina yang kerap dipanggil ‘Mbak Dina’ oleh Apia karena Dina lebih tua di atasnya, sekaligus menghormati Dina yang sudah menikah dan mempunyai anak kelas 1 SD. Suami Dina bekerja di pabrik luar kota. Pulang satu minggu sekali. Jadi sesekali Dina yang kesepian kerap mengajak Apia mengobrol. Sekadar membicarakan kerasnya kehidupan di kota besar ini. Sebenarnya Apia tidak tergiur sama sekali untuk menerima pekerjaan itu meski Dina mengiming-imingi banyak hal. Tapi, Apia iba pada Dina yang kelimpungan mencari pengganti temannya yang tiba-tiba resign. Alhasil dengan niat baik Apia menerima pekerjaan yang Dina tawarkan semata-mata untuk membantu Dina. Ya hitung-hitung mencari udara di luar, bosan di kos terus. Di sinilah Apia, di salah satu ruang rawat inap pasien. Terdapat enam hospital bed, tapi tidak semua ditempati. Sisa dua yang kosong. Apia mulai bergerak, melakukan pekerjaannya, menyapu hingga mengepel ruang tersebut. Sesekali, Apia bertegur sapa dengan keluarga pasien yang tengah berjaga. Apia sudah diberitahu Dina untuk bersikap sopan dan ramah. Setelah Apia menjalani pekerjaannya selama seminggu ternyata pekerjaan ini tidak burúk, Apia mulai menyenangi pekerjaannya ini. Walau Apia masih kerap mengeluh tentang bau obat-obatan yang menyengat. “Semua hanya karena belum terbiasa, Pia. Semangat..” ucap Apia pada dirinya sendiri setelah tugasnya selesai dan keluar dari ruang rawat inap. Saat berjalan sambil membawa ember bekas pel, secara mengejutkan dari ujung lorong sana emergency bed melaju dengan kencang bersama para perawat dan salah seorang dokter yang mengikuti. Hal seperti ini sudah mulai biasa Apia lihat. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, dimana Apia terkejut karena pasien yang berada di atas brankar berdarah-darah. “Tunggu!” Langkah Apia terhenti. Apia merasa orang di belakang sana sedang berbicara padanya sehingga saat itu juga Apia berbalik badan. “Y–ya?” Cling! Tubuh tinggi tegapnya membelakangi cahaya matahari. Tapi di pandangan Apia, itu seperti potongan adegan di film-film saat pertemuan pertama sampai jatuh cinta pada pandangan pertama. ‘Emang boleh secakep ini!? Kata-kata Mbak Dina emang bisa dipegang.’ Ini dokter atau malaikat? Mengapa kulitnya seputih susù? Jujur saat mendekat padanya Apia minder karena kulitnya tidak seputih dokter muda nan tampan ini. Begitu berada di hadapannya, tentu dengan jarak normal layaknya orang yang akan berbincang-bincang, Apia mencium bau harum parfum sang dokter yang memabukkan. Tidak-tidak, baunya kalem dan segar, tidak menyengat atau mendominasi sehingga membuat orang di sekelilingnya menganggap pria ini hendak pergi ke pesta. “Maaf, sepertinya pekerjaan Anda bertambah. Lantai lorong ini kembali kotor setelah kami lewat barusan. Jika Anda tidak keberatan, Anda bisa langsung membersihkannya sekarang, mumpung kotorannya belum kering. Terima kasih.” Sampai sosoknya menghilang di balik pintu sebuah ruangan yang tidak Apia ketahui, Apia masih betah berdiri di tempatnya sambil terus memandangi bayang-bayang pahatan indah mahakarya Tuhan itu. “Kok ada ya orang ganteng yang sopan banget kayak gitu? Ya Tuhan..paket komplit yang satu ini ada di kantin enggak, sih? Jadi lapar.” Apia tidak sedang lapar, tapi sedang baper! Selama satu minggu bekerja rumah sakit besar ini baru hari ini Apia bertemu dengan dokter muda nan tampan itu. “Waduhh gawat.. Belum kenalan! Bakal ketemu dia lagi enggak, ya?” Apia terkekeh pelan, menertawai kekonyolannya. Hatinya sih boleh masih tertambat di mantan, tapi kalau tiba-tiba Tuhan mendekatkannya dengan dokter muda tampan tadi ya..Apia sulit nolaknya! Hehehe.. “Apa sih, Pia? Ngayal..” Apia masih berpijak pada bumi, kok. Alias sadar diri. Apia bekerja di shift pagi. Ia mulai bekerja pukul tujuh pagi sampai pukul tiga sore. Pukul dua belas siang Apia akan beristirahat. Tepat saat ini, Apia berada di kantin rumah sakit untuk mengisi perutnya yang keroncongan karena melewatkan sarapan pagi. Salah siapa bangun kesiangan? Sejauh ini Apia selalu datang bekerja tepat waktu. Tapi ya resikonya melewatkan sarapan kalau buru-buru. Lagipula Apia juga bosan. Menu sarapannya di kos itu tidak pernah jauh dari telur sama kecap. Kalau bosan pakai kecap ya pakai cabe bubuk. Sesimple itu kehidupan anak kos menengah ke bawah seperti Apia. Kini di kantin rumah sakit yang menyediakan berbagai menu makanan lezat dan bergizi Apia akhirnya memesan nasi ayam goreng dan sayur bening lengkap dengan sambalnya. Ini termasuk menu makanan mewah bagi Apia yang hanya anak kos. Jadi, Apia akan melahapnya sampai tak bersisa. Di tengah lahapnya makan Apia, tiba-tiba depannya ada orang yang duduk. Padahal semula meja ini hanya diisi olehnya saja. Apia memang senang makan sendiri daripada bergerombol. Sesekali bersama Dina, tapi kalau Dina sibuk ya tetap sendiri seperti sekarang ini. Saat mendongak, Apia langsung tersedak karena tak mempercayai penglihatannya sendiri. Buru-buru, sosok di depannya itu memberikan minum segelas es teh manis milik Apia. Dengan muka merah menahan malu Apia minum guna meredakan sakit tenggorokannya karena tersedak. “Apa saya mengejutkan Anda, Bu? Ternyata keterkejutan Apia masih berlanjut. Apa mukanya seperti ibu-ibu sampai dokter muda tampan ini memanggilnya ‘Ibu’!? Oh Tuhan..rasanya Apia mau oprasi plastik saja! Biar cantik mempesonahhhh! “Memangnya saya setua itu ya, Dok?” Akhirnya Apia memberanikan diri bertanya demikian. Pasalnya cukup menyebalkan saat dipanggil ‘Ibu’, membuat pikiran burúk bersarang di kepala, dan sedikit menurunkan kepercayaan diri. Saat berkaca di cermin, Apia selalu merasa cantik dan muda. Mengapa tiba-tiba dipanggil seperti itu? “Oh tidak, maaf, saya bingung harus memanggil apa? Kita belum berkenalan tadi, lebih tepatnya belum sempat berkenalan karena saya diburu waktu untuk segera menjalankan tugas saya menangani pasien. Jadi kalau boleh saya tahu, Anda siapa?” Apia menahan tawa. Dokter yang belum Apia ketahui namanya ini mampu menjelaskan panjang lebar. Good! Cara berkomunikasinya baik, tapi mengapa Apia merasa seperti sedang menjadi pasien ya? Lalu, apa itu maksud dari pertanyaan singkatnya yang hanya dua kata itu? Anda siapa? Tidak ingin terlalu percaya diri dan menganggap dokter muda tampan ini sedang menanyakan namanya, Apia memberikan jawaban yang umum. Yang bahkan bisa dibuktikan dengan penglihatan. “Dari seragam saya, Dokter seharusnya tahu bahwa saya ini petugas kebersihan rumah sakit.” “Ah, iya..maaf.” Semakin lucu saja ekspresinya saat bingung dan serba salah. Itu membuat Apia kesulitan menahan tawa sampai akhirnya memperdengarkan tawa kecilnya. Ketika mendengar tawa kecil Apia, dokter muda tampan itu malah tertular, tertawa kecil entah menertawai apa? Padahal Apia sedang menertawainya. Dan, tawanya itu lhoo, sopan sekali. Suaranya enak didengar. Wajahnya enak dilihat. ‘Memang ya kalau sudah ganteng mau ketawa mau nangis mau roll depan-belakang juga tetap ganteng!’ “Dokter enggak capek atau bosen?” tanya Apia tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat dahi sang dokter berkerut. “Ya?” Rupanya ia tak paham maksud pertanyaan Apia. “Maaf-maaf terus dari tadi, Dok. Lebaran masih lama,” omel Apia sok berani, padahal baru bertemu dan berinteraksi dengan orang baru. Ya gimana ya? Ini trik Apia untuk mengurangi ketegangan. Cara Apia sudah benar, kan? “Maaf—” “Nah kan, lagi.” Secara mengejutkan, berarti ini ketiga kalinya Apia dibuat terkejut olehnya, si dokter muda tampan itu mengulurkan tangannya. “Saya Rain.” Meski terkejut dan agak katrok, pada akhirnya saat sadar Apia tak menyia-nyiakan kesempatan emas di depan matanya. Apia langsung membalas uluran tangan itu. “S—saya Apia.” Jantung Apia berdetak lebih kencang daripada biasanya. Untung dokter itu tidak membawa stetoskopnya. Coba kalau bawa? Langsung diperiksa saat itu juga si Apia dan ketahuan, deh! Apia pikir, perbincangan akan selesai setelah masing-masing memperkenalkan diri. Tapi Apia salah, karena perbincangan masih berlanjut. “Pasti panggilannya Pia. Iya, kan?” tebaknya yang tepat sasaran. ‘Ya masa cantik-cantik begini dipanggil Api, gosonglah, Dok!’ balas Apia dalam hati. Kalau bibirnya sih mencoba ngelawak dengan bertanya balik, “Kalau Dokter panggilannya apa? Hujan?” “Kamu bisa saja..” Nah, kan. Apia berhasil membuat lawan bicaranya yang bernama Rain itu tertawa. Bakat ngelawak Apia memang perlu diacungi jempol kaki. Masih berlanjut, Apia dan kekonyolannya. “Dokter lahirnya pas hujan, ya? Makanya namanya Rain.” Rain bingung karena tak tahu-menahu tentang hal itu. “Mm..mungkin.” Maka jawaban itulah yang paling aman. Tapi apa selanjutnya tanggapan Apia? Lebih konyol dari sebelumnya! “Untung cuman hujan ya, Dok. Coba kalau sama banjir? Bukan Dokter Rain namanya, tapi Dokter Flood.” Lagi, Rain tertawa karena lawakan Apia. “Kamu lucu.” “Terima kasih, Dok..” Mungkin bagi orang lain lawakan Apia itu garing, tapi bagi Rain lawakan Apia sangat menghibur. Tidak salah Rain menghampiri meja Apia padahal masih banyak meja lain yang kosong. Rain hanya berusaha mengikuti kata hatinya. Dan terbukti, Apia orang yang menyenangkan. “Petugas kebersihan baru, ya?” Perbincangan masih berlanjut seolah Rain tak pernah kehabisan topik pembicaraan. Apia pun tak keberatan menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Rain. Apia mengangguk, membenarkan dugaan Rain. “Iya, baru satu minggu bekerja. Kok Dokter tahu?” Dengan tersenyum bangga Rain mengungkapkan, “Karena saya hampir kenal semua petugas kebersihan di rumah sakit ini.” “Wow! Beneran, Dok?” Apia geleng-geleng kepala. Rain ini banyak nilai plusnya. ‘Manusia kok sempurna rupa juga hatinya. Jangan sempurna-sempurna dong, Dok. Yang lain enggak kebagian.’ Apia sadar dirinya lebay, terlalu mengagungkan orang yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Tapi mengagumi kebaikan orang lain tidak ada salahnya, kan? “Dokter ramah sekali, ya. Berkenaan membaur dengan semua orang. Termasuk dengan para petugas kebersihan rumah sakit. Pasti Dokter Rain banyak yang suka, sikap Dokter membumi,” oceh Apia dengan diiringi senyum tulus andalannya. Namun kali ini ekspresi Rain berubah. Pria tampan berprofesi dokter itu menggeleng. “Tidak juga. Faktanya ada yang tidak suka dengan saya.” “Oh ya? Siapa?” Rain tersenyum geli mendapati keingintahuan Apia. Rupanya Rain masih ingin terhubung dengan Apia sehingga Rain memerintah, “Kita baru berkenalan, sebaiknya simpan saja rasa penasaranmu itu, Pia.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD