Sejak kemarin berita di TV menayangkan insiden kecelakaan hebat. Sayangnya saat berita tayang Apia selalu melewatkannya. Pengangguran seperti Apia ini membutuhkan hiburan. Menonton kartun atau film romansa misalnya.
Saat menonton adegan di suatu film romansa, Apia langsung teringat kejadian dua hari lalu. Dimana ia dan sang mantan berhubungan suami-istri padahal belum berstatus suami-istri.
Apia mengerti bahwa itu salah. Salah besar! Tapi saat sadar sepenuhnya seperti sekarang ini, setiap pergerakan yang Apia lakukan bersama sang mantan justru membuat kedua pipinya memanas.
Wanita berpakaian piyama tersebut merasa itu malam yang sangat indah. Meski setelahnya Hanafi bersikap bajingàn.
Hanafi pamit bahkan tak segan mengatakan akan bertunangan dalam waktu dekat.
Kata Hanafi, kita khilaf.
Y—ya memang, Apia tak memungkiri bahwa malam itu Apia juga begitu bersemangat, memacu tubuh untuk terus bergerak di atas Hanafi dan mencari kenikmatan sesaat.
"Pantas aja dia bilang begitu. Posisiku pernah di atasnya," lirih Apia seraya menggigit bibir bawahnya.
Bodohnya, Apia malah resah memikirkan tentang permainannya saat woman on top. Apakah nikmat? Eh.
Daripada terus kepikiran, Apia memutuskan untuk mematikan TV dan mulai mencari aktivitas yang bisa dilakukan di kamar kos. Misalnya, bersih-bersih kamar kos yang sudah seperti rumah tikus ini.
Apia bukan pemalas. Tapi belum rajin saja.
Selesai bersih-bersih, Apia masak lalu makan masakan sederhananya. Nasi dan telur kecap. Kemudian mencuci piringnya saat selesai makan.
Saat mencuci piring itu, Apia tak sengaja menjatuhkan piringnya sampai pecah berkeping-keping di bawah sana. Dengan hati-hati Apia memunguti pecahan belingnya.
Namun naas meski sudah sangat berhati-hati tangan Apia tetap terluka sampai mengeluarkan darah yang lumayan banyak.
"Ssshh..udah hati-hati aja tetap terluka. Apalagi ceroboh?"
Sambil terus berusaha menghentikan darah yang mengalir di jari telunjuknya, Apia masih bergerak membereskan kekacauan yang tak sengaja dibuatnya itu. Kalau bukan ia yang membereskannya, siapa lagi? Penghuni kamar kos ini hanya dirinya seorang.
Beres dengan insiden memecahkan piring sampai jari telunjuknya menjadi korban, Apia merebahkan tubuhnya di kasur lantai tipis kamar kosnya ini.
Kepala Apia pusing. Saat mengecek dahinya sendiri menggunakan telapak tangan terasa sangat panas. Apia mendadak terserang demam. Sialnya lagi stok obat-obatan di kosnya benar-benar kosong. Selama ini Apia menghemat sisa tabungannya dan hanya berbelanja kebutuhan makan serta membayar kos.
Apia mengumpat kecil, mengumpati kehidupan kerasnya di kota besar Jakarta ini.
Sampai akhirnya Apia tertidur nyenyak dalam keadaan tubuh tertutup selimut tebal karena merasa benar-benar lelah dengan semua ini.
Kali saja dalam tidurnya Apia bermimpi indah..
Misalnya, bermimpi bertemu mantan tersayang.
Cinta Apia pada Hanafi itu penuh kebodohan.
Faktanya Apia mencintai seseorang yang terang-terangan melukainya, apalagi namanya jika bukan kebodohan? Kedunguan? Sama saja!
**
Apia membuka mata dan sangat terkejut saat mendapati dirinya berdiri di tempat yang sangat gelap.
Ia kebingungan mencari jalan untuk keluar dari sini.
Rasanya sesak karena sangat gelap.
Sampai tiba-tiba, sebuah cahaya muncul dari atas menyorot sebuah ranjang dimana di atas ranjang itu tidurlah sesosok pria.
"Hanafi.."
Meski posisi berdiri Apia dengan ranjang itu berjarak, Apia sangat hafal bahwa sosok yang tidur di atas ranjang itu mantannya. Tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa Apia bisa seyakin ini. Yang jelas, Apia merasa harus segera mendekat pada Hanafi.
Apia berlari kecil, tapi tak pernah sampai.
Keringat membanjiri tubuh Apia, rasa lelah membuatnya kemudian berteriak kencang sampai jatuh terduduk. "Kenapa!? Kenapa aku enggak sampai-sampai!? Aku mau lihat Hanafi!"
"Hanafi!!" seru Apia memanggil Hanafi.
"Hanafi kamu kenapa!? Bangun, Hanafi!"
Berbagai seruan Apia perdengarkan dengan harapan Hanafi terbangun. Sayangnya seruan-seruan itu tak menghasilkan apa-apa. Sampai tiba-tiba dalam satu kedipan mata, Apia sudah berada di sisi ranjang Hanafi. Segera Apia berdiri dari posisi duduknya.
Hal pertama yang Apia lihat dari Hanafi adalah wajah pucatnya. Sangat pucat! Seperti..mayat.
Dengan tubuh bergetar hebat dan menangis pelan, tangan Apia bergerak ragu untuk menyentuh lengan Hanafi. Apia bermaksud menggoyangkan lengan pria itu guna membangunkannya. Namun saat menyentuh lengan Hanafi yang Apia rasakan dingin dan kaku.
Apia menggeleng keras melawan pikiran buruknya. Apia berusaha menanamkan pikiran bahwa 'Hanafi baik-baik saja'.
"Hanafi, bangun.." pinta Apia terdengar sarat akan permohonan.
Jelas saja Hanafi tak memberikan respon sedikitpun. Tubuh Hanafi sangat dingin dan kaku.
Pertanyaan, 'apa yang terjadi?' memenuhi benak Apia yang sedang kebingungan dirinya dan Hanafi berada di tempat apa itu.
Beberapa saat berlalu, tidak ada yang berubah. Hanafi tetap memejamkan kedua mata indahnya. Hal itu membuat Jantung Apia seakan berhenti berdetak. Sesak sekali dadaa Apia.
Sebàjingan-bájingannya Hanafi, pria itu tetaplah sosok yang membekas di hati Apia. Yang teramat Apia sayang dan cinta.
Entah mendapat dorongan dari mana? Apia menyatakan perasaannya untuk kesekian kalinya.
"Hanafi, bangun.. Kamu harus dengar lagi pernyataan cintaku." Apia menarik napas sesaat sebelum akhirnya mengatakan sederet kalimat sakral, "AKU-MASIH-CINTA-KAMU."
Dengan terisak-isak, Apia kembali memohon, "Aku mohon, buka mata kamu, Hanafi.."
Kekuatan cinta itu nyata ada.
Buktinya, kedua mata Hanafi yang tengah terpejam tiba-tiba menunjukkan pergerakan kecil. Apia lega, menghapus air matanya dan mengulas senyum lebar seolah siap menyambut Hanafi yang akan bangun.
Perlahan, pria tampan itu membuka kedua matanya.
Tepat saat kedua mata Hanafi terbuka sempurna dan menatap Apia, Apia justru menjerit histeris karena keadaan Hanafi tiba-tiba berubah menjadi begitu menyeramkan.
**
"HANAFI!"
Apia terbangun dari mimpi yang ia kira indah ternyata merupakan mimpi buruk.
Seperti berlari berkilo-kilo meter, Apia ngos-ngosan dan banjir keringat.
Hanafi dan kondisi tubuhnya yang berlumur dárah itu membuat Apia mau muntah.
Astaga..apa arti mimpi Apia di siang bolong ini?
"Enggak-enggak, aku lagi demam. Jadi wajar aja kalau mimpiku aneh-aneh. Apalagi aku masih agak kesal sama dia. Mungkin karena itu dia muncul di mimpiku dalam keadaan begitu."
Di posisi duduk itu, Apia memeluk tubuhnya sendiri. Jujur sampai detik ini tubuh Apia masih merinding. "Serem banget..kayak korban kecelakaan."
Apia menabok mulutnya sendiri. "Astaga, aku enggak pernah do'ain dia yang jelek-jelek. Sumpah. Mau gimana pun, aku beneran masih sayang dan cinta sama dia."
Sementara itu di tempat lain, di sebuah rumah sakit besar ternama di kota ini, dokter yang menangani pasien atas nama HANAFI KUSUMA dengan berat hati mengatakan, "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi takdir Tuhan tak pernah dapat manusia tawar. Karena kecelakaan hebat itu pasien mengalami koma sampai waktu yang tidak bisa kita semua ketahui. Saat ini yang bisa kita lakukan adalah berdoa sembari menunggu pasien sadar dari komanya."
Tangis seorang wanita paruh baya pecah seketika. Ia memeluk suaminya yang berusaha kuat menerima kenyataan bahwa sang putra tunggal mengalami koma pasca kecelakaan hebat yang dialaminya.
Itu masih sebuah keajaiban dibanding korban yang lain, yang tewas di tempat.
"Ssstt..kita harus kuat, Atika. Tuhan begitu baik karena masih memberi putra kita kesempatan untuk berjuang hidup."
Meski bibirnya tengah berusaha menguatkan sang istri, keadaan Kusuma sebenarnya sangat kacau. Kusuma khawatir bila sang putra akan pergi selama-lamanya. Padahal banyak sekali harapan Kusuma pada diri Hanafi, salah satunya tentang Hanafi yang kelak akan menjadi pewarisnya. Kini setelah semua yang terjadi mungkinkah harapan itu dapat terwujud? Hanya Tuhan yang dapat menjawab pertanyaan Kusuma.
Dengan bibir gemetar, Atika mempertanyakan kemungkinan buruk, "Tapi, Pa.. B—bagaimana jika Han..H—han tak kunjung sadar?"
Sebagai ibu, hati Atika begitu hancur mengetahui kondisi putranya saat ini. Kenangan indah yang dilaluinya bersama Hanafi berputar di kepala seperti film terindah yang tak pernah ingin Atika tamatkan.
"Cukup doakan putra kita, Atika. Tuhan tahu mana yang terbaik untuknya," ujar Kusuma memeluk erat istrinya. Berharap kejadian naas yang menimpa putra tunggal mereka ini dapat menjadikan mereka semakin kuat.
Bukankah ini merupakan ujian dari Tuhan?
Tapi sosok gadis cantik dengan pemikiran luar biasanya tidak berpikir demikian.
'Tante Atika benar, bagaimana jika Hanafi tak kunjung sadar? Jika begitu, kemungkinan terburuk berupa kematian jauh lebih baik daripada keadaan tak pasti berupa koma seperti ini! Bagaimana jika nanti Hanafi mengalami koma selama bertahun-tahun? Apa aku harus menunggunya? Aku tidak sebodoh itu meski aku mencintai Hanafi. Lagipula meski nanti Hanafi sadar, aku yakin kalau kondisi tubuh Hanafi sudah tidak sesempurna sebelumnya. Aku tidak sudi hidup bersama pria càcat. Apa kata orang model cantik nan sempurna sepertiku harus bersuamikan pria càcat? Oh ya ampun..'
"Lorena?"
Panggilan itu memecah pikirannya, segera ia menyahuti dengan sopan seperti biasanya, "Ya Om Kusuma?"
Sungguh pandai gadis ini menyembunyikan pikiran luar biasanya. Ia bisa memerankan dua peran sekaligus. Si jahat dan si baik.
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Jangan sedih, calon tunanganmu akan segera siuman. Kamu percaya pada Om, kan?"
Memaksakan senyum serta tangis palsunya, Lorena mengangguk, "Iya, Om. Lorena harap juga begitu.."
Jauh berbeda dengan isi hatinya. 'Lebih baik kamu mati, Han. Aku tidak sudi lama menunggumu. Aku tidak mau menjadi perawan tua yang akhirnya bersuamikan pria càcat. Aku ini model terkenal, tak sedikit yang mengincarku untuk dijadikan istri paling bahagia karena bersuamikan pria kaya nan penyayang. Tidak sepertimu yang apa-apa harus kuajari. Kamu tidak pernah bersikap romantis padaku karena inisiatif sendiri! Menyebalkan.'
Meski begitu, Lorena tetap berusaha menunjukkan sikap baiknya. Ia menyemangati keluarga old money yang tak lain dan bukan merupakan keluarga kekasihnya. "Om Kusuma, Tante Atika, yang sabar.. Kita doakan selalu Hanafi agar kuat bertahan hidup."
Setelah ini Lorena akan menyusun rencana dan membuat alasan terbaik. Lorena tidak ingin reputasinya sebagai model terkenal hancur karena tidak setia. Selain itu, dengan membuat alasan terbaik Atika ataupun Kusuma tidak akan sanggup menahan kepergian Lorena meninggalkan Hanafi.
'Ya, cerdas sekali otakku ini!' puji Lorena pada dirinya sendiri.
Puas menangis di pelukan suaminya, Atika lantas menatap Lorena dalam-dalam. Hal tersebut membuat Lorena khawatir jika ibu kekasihnya itu sebenarnya mengetahui isi pikiran piciknya.
Tapi ternyata kekhawatiran Lorena tidak terjadi. Atika justru berjalan pelan mendekati Lorena, lalu memeluknya.
"Terima kasih, Lorena. Kamu gadis yang baik. Kamu sangat mencintai Hanafi. Kamu akan setia menunggu Hanafi sampai sadar, kan?"
***