Suamiku Menghilang Setiap Malam
Bab 4 : Ketindihan
Malam kembali datang dan Mas Gilhan tak kunjung membalas pesanku hingga ia kini sudah tiba di rumah. Aku menyambutnya dengan tampang cemberut saat membukakan pintu untuknya.
“Mas, ponselnya mana?” tanyaku.
“Ada, emangnya ada apa, Sayang?” Dia merangkul pinggangku dan melangkah menuju ruang tengah.
Di ruang keluarga, terlihat tiga anak-anak kami sedang menonton acara kartun di televisi. Niko sih terlihat hanya fokus dengan ponselnya, hanya dua adik kembarnya itu saja yang menonton.
Di pintu dapur, terlihat Bik Ana menatap ke arah kami dengan tatapan tak senang. Bukan baru kali ini saja dia begini, bahkan dari sejak aku datang ke rumah ini, ia selalu menampakkan wajah tak senang melihat kemesraanku dan Mas Gilhan. Mungkinkah ia menyukai suamiku dan memendam rasa, sedang suamiku tak tertarik dengannya? Ah, bisa jadi seperti itu.
Tanpa terasa, kini kami telah tiba di kamar. Aku menadahkan tangan, meminta ponsel suamiku itu. Dia merogoh ponsel di saku jas dan menyerahkannya kepadaku.
“Ada apa sih, Sayang?” tanyanya lagi.
“Coba Mas buka deh ponselnya dan lihat, ada masuk gak chat dariku?” tanyaku dengan menunjuk ponsel di dalam genggamannya.
“Emang kamu ada chat, Mas? Kapan? Kok nggak ada pemberitahuan, ya?” Mas Gilhan mengusap layar ponselnya dengan sambil duduk di sampingku.
Mas Gilhan membuka pesan dariku, dia terlihat menahan tawa.
“Oke, entar dulu, Mas akan balas ya.” Dia hendak membalas pesanku.
“Mas, nggak lucu deh! Udah ketemu gini sih nggak usah pakai balas chat lagi, jawab langsung saja!” Aku merengek kesal.
“Hahaa ... oke, oke. Jadi begini, Mas memang ada bilang kepada Bik Ana agar jangan membiarkan kamu melakukan pekerjaan apa pun di rumah ini sebab aku membawamu ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai ... hmm ... wanita yang akan disuruh-suruh melakukan pekerjaan apa pun. Kamu Ratu di rumah ini, Sayang, juga Ratu di hati, Mas. Jangan marah lagi, soalnya Mas sibuk sekali di kantor hari ini sehingga pegang ponsel saja tak sempat,” ujar suamiku dengan nada khasnya, lemah lembut dan bikin darah tinggi mendadak turun.
“Mas, nggak gitu juga kali? Kalo cuma masak, masa aku juga nggak boleh? Aku bosan kalau cuma duduk bengong saja di rumah ini, udah gitu ... mau main sama di kembar juga nggak dibolehin sama pembantu songong itu!” Aku mengerucutkan bibir.
“Hmm ... bukan maksudnya begitu, Bik Ana hanya menuruti perintahku saja kalau ia tak boleh membebankan pekerjaan apa pun kepadamu termasuk mengasuh dua putriku,” jawab saumiku lagi.
Aku melengos kesal, rasanya percuma mengadukan semua keluhanku tentang Bik Ana kepadanya, sebab ia akan selalu membelanya.
“Ya sudah kalau begitu, dari pada di rumah cuma bengong, izinkan aku untuk bekerja di kantormu lagi saja!” pintaku dengan tatapan memohon dengan kedua tangan bersimpuh di depan wajah.
Mas Gilhan terlihat menghela napas, lalu mengendorkan kancing kemejanya.
“Sayangku, kamu di rumah saja! Aku takkan membiarkan istriku bekerja lagi, aku mau memanjakanmu. Kalau kamu bosan di rumah, kamu bisa jalan-jalan kok. Aku takkan melarangmu jika mau jalan-jalan keluar bersama teman-temanmu!” ujarnya lagi sembari mengeluarkan dompetnya dan memberikan sebuah kartu kredit kepadaku. “Pakailah sesukamu kartu kredit ini, Sayang, limitnya ada seratus juta, nanti kalau masih kurang bisa Mas naikkan lagi limitnya.”
Aku sedikit menganga mendengar seratus juta, hmm ... bagiku ini uang yang sangat banyak tapi bagi suamiku yang kaya raya ini uang segitu ia anggap kecil. Tak ada salahnya kuterima kartu ini dan mengucapkan terima kasih.
***
Malam ini, aku berencana untuk membuntuti lagi suamiku. Akan tetapi, mata ini rasanya tak sanggup lagi untuk terbuka hingga akhirnya aku terlelap.
Belum lama aku terlelap, diantara tidur dan terjaga, aku melihat sebuah bayangan hitam besar lalu menimpa tubuhku.
Agghh!!! Aku tak bisa bergerak atau pun menggerakkan jari sekali pun. Makhluk apa ini? Aku hanya bisa meringkuk, apalagi semua bacaan ayat selalu saja salah dan terbalik-balik, aku mendadak lupa hingga rasanya letih untuk terus melapazkannya.
Hingga beberapa jam berlalu, aku masih belum bisa menggerakkan tubuh, walau mata ini masih terbuka dan bisa melihat jam di dinding. Tepat pukul 01.00, aku merasakan kalau suamiku turun dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu. Agghh ... dia lagi-lagi menghilang malam ini, tapi aku tak bisa berbuat apa pun karena makhluk besar ini belum juga melepaskan tindihannya kepadaku.
Aku menghela napas panjang, dan memilih memejamkan mata karena usahaku untuk menelentangkan badan terasa percuma karena dari sejak tadi aku tak bisa menggerakkan satu jari pun.
***
Entah sudah berapa lama aku berbaring dengan tanpa bisa menggerakkan tubuh ini, hingga akhirnya tindihan berat ini mendadak hilang. Aku menggerakkan tangan dan menarik napas lega. Kini aku sudah bisa mengubah posisi berbaring dari menyamping menjadi terlentang.
Astaghfirullahal’adzim ... aku mengusap d**a dan menoleh ke samping, Mas Gilhan tertidur di sebelahku. Mata ini tertuju ke jam di dinding kamar, kini sudah pukul 06.00, oh tenyata sudah pagi. Apakah suamiku selalu kembali ke kamar ketika hari sudah pagi? Apakah makhluk hitam besar yang menindihku semalaman adalah iblis peliharaan Mas Gilhan yang selalu ia tengok setiap malam di halaman belakang? Lalu ... kalau ia menjenguk makhluk peliharaan, lalu kenapa makhluk itu malah menindihku semalaman? Agghh ... aku pusing dengan semua misteri di rumah ini. Apa yang harus kulakukan sekarang?
***
Setelah Mas Gilhan pamit ke kantor, aku melangkah masuk dan di ruang tengah. Di sana terlihat si kembar sedang membongkar keranjang mainannya. Bik Ana kayaknya lagi sibuk di dapur, bagus deh, aku jadi ada kesempatan untuk bermain bersama dua gadis kecil menggemaskan ini.
“Mama Sindy, main yuk!” ajak salah satu dari putri tiriku itu, karena wajah, gaya rambut dan pakaian yang selalu sama, aku tak bisa membedakan keduanya.
Ayo!” jawabku dengan tesenyum dan duduk di antara mereka.
“Nayla mau yang ini!” ujar anak tiriku itu sambil meraih sebuah boneka barby, aku langsung mengingat kalau yang duduk di sebelah kananku adalah Nayla jadi yang sebelah kiri pasti Naura.
“Iya, Naura yang ini saja dan Mama Sindy yang ini,” ujar Naura dengan memberikan boneka barby dengan gaun pesta bewarna pink itu. “Hmm ... dan untuk Mama .... “ sambungnya dengan memberikan boneka barby dengan baju santai, celana pendek dan tanktop, ke udara.
Bersambung ....